Pertanyaan:
Bolehkah seseorang
menghadiri perayaan yang bid’ah seperti perayaan maulid nabi, isro’ mi’roj,
malam nishfu sya’ban, namun ia tidak meyakini bahwa perayaan-perayaan tadi
disyari’atkan, ia cuma bertujuan menjelaskan kebenaran?
Jawaban:
Pertama, perayaan yang
disebutkan dalam pertanyaan di atas adalah perayaan yang tidak boleh dirayakan
bahkan perayaan yang bid’ah yang mungkar.
Kedua, jika memang kita
bermaksud untuk menghadiri perayaan-perayaan tersebut dalam rangka menasehati
dan mengingatkan bahwa perayaan tersebut termasuk bid’ah (perkara yang
diada-adakan dalam agama), maka itu adalah suatu hal yang disyari’atkan,
lebih-lebih lagi jika yakin memiliki argumen yang kuat dan yakin selamat dari
fitnah. Namun jika menghadirinya tidak dalam rangka demikian, hanya
bersenang-senang saja, maka seperti itu tidak dibolehkan karena termasuk dalam
berserikat dengan mereka dalam hal yang mungkar dan malah menambah tersebar
serta semakin meriahnya bid’ah mereka.
Wa billahit taufiq, wa
shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shohbihi wa sallam
Fatwa Al Lajnah Ad Daimah
lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ no. 6524, 3/38
Fatwa ini ditandatangani
oleh:
Ketua: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz
bin ‘Abdillah bin Baz
Wakil Ketua: Syaikh ‘Abdur
Rozaq ‘Afifi
Anggota: Syaikh ‘Abdullah
bin Ghudayan, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud
Sebagai kelanjutan dari
pembahasan Maulid Nabi, berikut kami sampaikan beberapa pendapat ulama Ahlus
Sunnah dalam menyikapi perayaan tersebut. Semoga bermanfaat.
[Pertama]
Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni
Ad Dimasqi mengatakan, “Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain
dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu Idul Fithri dan Idul Adha) seperti
perayaan pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebut dengan
malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian malam Rojab, hari ke-8 Dzulhijjah,
awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal -yang dinamakan
orang yang sok pintar (alias bodoh) dengan ’Idul Abror-; ini semua adalah
bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang merupakan generasi
terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah melaksanakannya.” (Majmu’ Fatawa, 25/298)
[Kedua]
Muhammad bin ‘Abdus Salam Khodr
Asy Syuqairiy membawakan pasal “Di bulan Rabi’ul Awwal dan Bid’ah Maulid”. Dalam
pasal tersebut, beliau rahimahullah mengatakan, “Bulan Rabi’ul Awwal ini
tidaklah dikhusukan dengan shalat, dzikr, ‘ibadah, nafkah atau sedekah
tertentu. Bulan ini bukanlah bulan yang di dalamnya terdapat hari besar Islam
seperti berkumpul-kumpul dan adanya ‘ied sebagaimana digariskan oleh syari’at.
… Bulan ini memang adalah hari kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
sekaligus pula bulan ini adalah waktu wafatnya beliau. Bagaimana seseorang
bersenang-senang dengan hari kelahiran beliau sekaligus juga kematiannya [?]
Jika hari kelahiran beliau dijadikan perayaan, maka itu termasuk perayaan yang
bid’ah yang mungkar. Tidak ada dalam syari’at maupun dalam akal yang
membenarkan hal ini.
Jika dalam maulid terdapat
kebaikan,lalu mengapa perayaan ini dilalaikan oleh Abu Bakar, ‘Umar, Utsman,
‘Ali, dan sahabat lainnya, juga tabi’in dan yang mengikuti mereka [?] Tidak
disangsikan lagi, perayaan yang diada-adakan ini adalah kelakuan orang-orang
sufi, orang yang serakah pada makanan, orang yang gemar menyiakan waktu dengan
permainan sia-sia dan pengagung bid’ah. …”
Lalu beliau melanjutkan
dengan perkataan yang menghujam, “Lantas faedah apa yang bisa diperoleh, pahala
apa yang bisa diraih dari penghamburan harta yang memberatkan [?]” (As Sunan wal Mubtada’at Al Muta’alliqoh Bil Adzkari wash
Sholawat, 138-139)
[Ketiga]
Seorang ulama
Malikiyah, Syaikh Tajuddin ‘Umar bin ‘Ali –yang lebih terkenal
dengan Al Fakihaniy- mengatakan bahwa maulid adalah bid’ah madzmumah (bid’ah yang
tercela). Beliau memiliki kitab tersendiri yang beliau namakan “Al Mawrid fil Kalam ‘ala ‘Amalil Mawlid (Pernyataan mengenai amalan Maulid)”.
Beliau rahimahullah
mengatakan, “Aku tidak mengetahui bahwa maulid memiliki dasar dari Al Kitab dan
As Sunnah sama sekali. Tidak ada juga dari satu pun ulama yang dijadikan qudwah
(teladan) dalam agama menunjukkan bahwa maulid berasal dari pendapat para ulama
terdahulu. Bahkan maulid adalah suatu bid’ah yang diada-adakan, yang sangat
digemari oleh orang yang senang menghabiskan waktu dengan sia-sia, sangat pula
disenangi oleh orang serakah pada makanan. Kalau mau dikatakan maulid masuk di
mana dari lima hukum taklifi (yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram),
maka yang tepat perayaan maulid bukanlah suatu yang wajib secara ijma’
(kesepakatan para ulama) atau pula bukan sesuatu yang dianjurkan (sunnah).
Karena yang namanya sesuatu yang dianjurkan (sunnah) tidak dicela orang
yang meninggalkannya. Sedangkan maulid tidaklah dirayakan oleh sahabat, tabi’in
dan ulama sepanjang pengetahuan kami. Inilah jawabanku terhadap hal ini. Dan
tidak bisa dikatakan merayakan maulid itu mubah karena yang namanya bid’ah
dalam agama –berdasarkan kesepakatan para ulama kaum muslimin- tidak bisa
disebut mubah. Jadi, maulid hanya bisa kita katakan terlarang atau
haram.” (Al Hawiy Lilfatawa Lis Suyuthi, 1/183)
0 komentar:
Posting Komentar