Kisah yang ketiga adalah sebuah kisah yang penuh pelajaran.
Menyadarkan kita bahwa seseorang tidak akan luput dari ketetapan takdir Allah ﷻ bagaimanapun kuat usahanya. Allah ﷻ memerintahkan manusia
untuk berusaha, namun hasilnya tetap di tangan-Nya. Keadaan ini membuat diri
rendah hati dan tidak tinggi. Hati akan selalu bergantung kepada-Nya
ash-Shamad.
Allah ﷻ berfirman,
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ خَرَجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَهُمْ
أُلُوفٌ حَذَرَ الْمَوْتِ فَقَالَ لَهُمُ اللَّهُ مُوتُوا ثُمَّ أَحْيَاهُمْ ۚ
إِنَّ اللَّهَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا
يَشْكُرُونَ
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang ke luar dari
kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut
mati; maka Allah berfirman kepada mereka: “Matilah kamu”, kemudian Allah
menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia
tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.” (QS:Al-Baqarah | Ayat: 243).
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menerangkan bahwa kisah ini terjadi di
masa bani Israil. Tentang eksodus penduduk Desa Dawirdan (Arab: داوردان), ada yang menyebut Desa Adzriat (Arab: أذرعات), yang lari dari wabah penyakit Tha’un yang melanda negeri mereka. Jumlah mereka sangat besar; 4000
atau 8000 orang. Bahkan ada yang mentaksirnya 30.000 atau 40.000 orang.
Mereka lari untuk menghindari wabah Tha’un yang mematikan. Mencari
tempat yang aman untuk melipat-gandakan usia. Akhirnya tibalah mereka di suatu
dataran rendah yang bersih dari wabah. Lahan baru itu pun menjadi padat dengan
kedatangan mereka.
Lalu Allah ﷻ mengutus dua malaikat. Satu berada di atas lembah tempat mereka
tinggal. Satu lagi di bagian bawah. Lalu kedua malaikat itu berteriak sekali
pekikan. Hingga wafatlah semua pengungsi ini.
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang ke luar dari
kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut
mati; maka Allah berfirman kepada mereka: “Matilah kamu”
Beberapa masa telah berlalu. Tubuh ribuan manusia terkubur itu
telah menjadi tengkorak dan tulang-belulang. Allah jadikan satu rangkaian
tulang dari satu tubuh tercerai-berai. Bagian atas tertanam di suatu tempat,
sementara bagian yang lainnya berada jauh di tempat yang lain. Demikianlah
keadaannya. Bahkan manusia pun sulit mengumpulkan dan merangkai kembali rangka
mereka. Lalu lewatlah salah seorang nabi dari nabi-nabi Allah. Ia memohon
kepada Allah ﷻ agar menghidupkan mereka kembali. Allah pun mengabulkan doanya.
Atas perintah Allah, tulang-belulang yang tercerai-berai itu
kembali pada anggota yang lainnya. Berkumpul, kembali menempati posisinya
hingga terbentuklah rangka manusia. Allah ﷻ perintahkan tulang-tulang
itu terbungkus dengan daging, urat-urat, dan kulit. Imam Ibnu Katsir menukilkan
riwayat dari salah seorang salaf bahwa nabi itu menyaksikan kejadian
menakjubkan itu. Kemudian Allah ﷻ perintahkan pula ruh-ruh
mereka kembali ke jasad-jasadnya. Mereka pun hidup kembali. Orang-orang itu
merasa bahwa mereka telah dibangunkan dari tidur yang amat panjang. Kemudian
mereka berucap, “Maha Suci Engkau (ya Allah ya Rabb kami dan segala puji
bagi-Mu), tiada Ilah yang berhak diibadahi kecuali diri-Mu”.
Inilah makna ayat:
“kemudian Allah menghidupkan mereka.”
Terdapat sebuah atsar shahih diriwayatkan Imam Ahmad dari Abdullah
bin Abbas radhiallahu ‘anhuma: Suatu ketika Umar bin al-Khattab keluar bersafar
menuju Syam. Dalam perjalanan ia berjumpa dengan Abu Ubaidah ibnul Jarah dan
sahabat-sahabatnya yang memberitakan bahwa Syam sedang terserang wabah
penyakit.
Kemudian Abdurrahman bin Auf berkata, “Sungguh aku punya
pengetahuan tentang masalah ini”. Abdurrahman punya solusi, langkah apa yang
harus diambil Umar. Apakah melanjutkan perjalanan ke Syam atau kembali ke
Madinah. Kata Abdurrahman bin Auf, “Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,
“Apbila suatu wabah penyakit berada di tempat kalian, janganlah
kalian lari dari wabah itu. Dan jika kalian mendengar suatu daerah terserang
wabah penyakit, jangalah kalian memasukinya.” (HR. Ahmad).
Umar pun memuji Allah, kemudian kembali ke Kota Madinah.
Dalam riwayat lain, Abdurrahman memberi tahu Umar bahwa Rasulullah
ﷺ bersabda,
“Wabah penyakit pernah mengadzab kaum sebelum kalian. Apabila
kalian mendengar suatu tempat terserang wabah jangan kalian masuki tempat itu.
Namun jika tempat kalian yang terwabahi, janganlah kalian lari darinya.” Umar
pun kembali menuju Madinah. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).
Pelajaran:
Pertama: Kisah yang termaktub dalam ayat ini mengajarkan kita bahwa tidak
ada tempat bergantung kecuali hanya kepada Allah. Tidak ada yang bisa lepas dan
membebaskan diri dari takdir-Nya. Orang-orang lari dari kampung mereka,
menghindari wabah, agar panjang usia. Namun siapa sangka, jalan yang mereka
tempuh malah mendekatkan diri mereka kepada kematian.
Kedua: Terkadang usaha itu tidak mesti berbuah hasil. Jika demikian
mengapa harus menempuh usaha yang haram. Seseorang korupsi ingin menumpuk harta
menjadi kaya. Bisa jadi ia kaya, tidak sedikit pula yang masuk penjara. Seorang
pemuda menempuh pacaran untuk memperistri gadis idaman. Bisa jadi ia dapatkan,
bisa jadi ia ditinggalkan. Demikian juga sekelompok besar orang dari bani
Israil ini. Mereka lari dari kematian. Bisa jadi mereka selamat dan bisa jadi
mereka wafat. Namun Allah ﷻ tetapkan mereka wafat sebagai pelajaran untuk mereka dan kita
semua. Karena itu Allah ﷻ berfirman,
“Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi
kebanyakan manusia tidak bersyukur.”
Ketiga: Sebagaimana Allah mampu menghidupkan manusia untuk kali kedua di
dunia, ruh dan jasad mereka, demikian pula di hari kebangkitan kelak. Allah ﷻ mampu atas segala sesuatu.
Keempat: Oleh karena itu, tidak boleh seseorang lari dari jihad karena
takut mati. Sebagaimana lari dari wabah mematikan belum tentu menyelamatkan.
Demikian juga mendatangi sesuatu yang mengancam nyawa belum tentu mendatangkan
kematian. Karena itu di ayat selanjutnya Allah berfirman,
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ
عَلِيمٌ
“Dan berperanglah kamu sekalian di jalan Allah, dan ketahuilah
sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS:Al-Baqarah | Ayat:
244).
Kelima: Kisah ini juga mengajarkan bahwa mengeluarkan harta di jalan
Allah tidaklah berujung dengan kemiskinan atau kekurangan. Di ayat berikutnya
Allah ﷻ berfirman,
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ
لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً ۚ وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ
تُرْجَعُونَ
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang
baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan
pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan
melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS:Al-Baqarah |
Ayat: 245).
Mudah-mudahan kisah ini semakin memikat hati kita untuk mengkaji
ayat-ayat Alquran. Membuatnya cinta dan nikmat membacanya.
Daftar Pustaka:
– as-Sa’di, Abdurrahman bin Nashir. 2003. Taisir al-Karim ar-Rahman. Beirut: Dar Ibnu Jauzi.
– http://quran.ksu.edu.sa/tafseer/katheer/sura2-aya243.html#katheer
– as-Sa’di, Abdurrahman bin Nashir. 2003. Taisir al-Karim ar-Rahman. Beirut: Dar Ibnu Jauzi.
– http://quran.ksu.edu.sa/tafseer/katheer/sura2-aya243.html#katheer
Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)
Artikel www.KisahMuslim.com
Artikel www.KisahMuslim.com
0 komentar:
Posting Komentar