Salah satu kelompok menyimpang dalam Islam adalah Mu’tazilah.
Kelompok ini dikenal mengedepankan logika dalam memahami teks syariat. Ketika
wahyu (Alquran dan sunnah) bertentangan dengan logika mereka, maka akan
diotak-atik, lalu ditafsirkan sesuai dengan logika yang lemah itu. Atau bahkan
ditolak begitu saja. Mereka pula meyakini bahwa Allah ﷻ tidak mencatatkan takdir. Kebaikan dan keburukan adalah usaha
manusia. Padahal Allah ﷻ berfirman membantah Firaun yang mengatakan keburukan itu datang
dari Musa.
فَإِذَا جَاءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوا لَنَا هَٰذِهِ ۖ وَإِنْ
تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَىٰ وَمَنْ مَعَهُ ۗ أَلَا إِنَّمَا
طَائِرُهُمْ عِنْدَ اللَّهِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka
berkata: “Itu adalah karena (usaha) kami”. Dan jika mereka ditimpa kesusahan,
mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang
besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari
Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (QS:Al-A’raf | Ayat:
131).
Orang-orang Mu’tazilah menyatakan manusia yang menciptakan
perbuatan mereka. Dan Allah ﷻ berfirman,
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat
itu.” (QS:Ash-Shaaffat | Ayat: 96).
Menurut mereka Allah ﷻ tidak menciptakan
keburukan, dan tidak mencegah manusia untuk berbuat buruk. Manusialah yang
bermaksiat dan menciptakan perbuatan mereka sendiri. Ini bentuk mencsucikan
Allah ﷻ. Dan inilah tauhid menurut mereka. Padahal dalam keyakinan
Ahlussunnah ini adalah kesyirikan. Karena secara tidak langsung menyatakan ada
dua pencipta. Pencipta kebaikan dan keburukan.
Orang-orang Majusi meyakini ada Tuhan kebaikan dan Tuhan
keburukan. Jika Tuhan kebaikan menang, maka terjadilah perbuatan-perbuatan baik
di muka bumi. Jika Tuhan keburukan yang menang, maka terjadilah kemaksiatan,
pembunuhan, dan kekacauan.
Aku Tak Butuh Doamu
Mudah-mudahan kisah berikut ini menjelaskan tetang salahnya
keyakinan demikian.
Ada seorang yang zuhud dan ahli ibadah yang terpengaruh
pemikiran Mu’tazilah, namanya adalah Amr bin Ubaid. Suatu hari seorang Arab
desa (Arab badui) bertemu dengan Amr bin Ubaid.
Badui itu berkata, “Sesungguhnya ontaku telah dicuri. Berdoalah
kepada Allah agar Dia mengembalikannya padaku”, keluh si Badui.
Amr mengangkat tangannya, lantas memanjatkan doa, “Ya Allah,
sesungguhnya engkau tidak menginginkan onta badui ini dicuri. Ya Allah
kembalikanlah onta itu padanya.”
Mendengar doa tersebut, dengan polosnya si Badui berseloroh,
“Aku tidak butuh doamu!”
“Mengapa?” tanya Amr heran.
“Dia tidak menginginkan ontaku dicuri, tapi ternyata masih
dicuri. Aku khawatir, ketika Dia ingin ontaku kembali, namun ia tidak kembali”,
jawab si Badui dengan polosnya.
Akal yang sesuai fitrah tidak sejalan dengan pemikiran
Mu’tazilah. Mereka bermaksud mensucikan Allah dari keburukan, namun mereka
jatuh dalam kekeliruan bahwa kehendak jahat makhluk mengalahkan kehendak Allah ﷻ yang menginginkan kebaikan.
Pelajaran
Pertama: kehendak Allah ﷻ ada dua macam; kehendak
kauniyah dan kehendak syar’iyah.
Kehendak kauniyah adalah segala sesuatu yang terjadi di muka
bumi ini, baik atau buruk. Allah ﷻ membenci Iblis dan
melaknatnya, tapi Dia dengan hikmah-Nya menciptakan Iblis. Allah membenci
kemaksiatan dan kekufuran, tapi di bumi-Nya terjadi demikian. Apakah Dia kalah
dengan kehendak makhluk-Nya? Maha suci Allah dari yang demikian. Ini dinamakan
kehendak kauniyah. Keburukan itu terjadi atas izin-Nya (kehendaknya), tapi Dia
membencinya.
Kehendak syar’iyah adalah perbuatan-perbuatan taat dan amalan
shalih para hamba-Nya. Dia menghendakinya dan juga meridhainya. Kedua takdir
ini adalah hikmah dari Allah ﷻ.
Kedua: Mu’tazilah adalah kelompok yang menyimpang dari
Ahlussunnah wal Jamaah.
Ketiga: Ahlussunnah wal Jamaah meyakini bawah Allah berkuasa
atas alam semesta. Segala sesuatu yang terjadi di alam ini atas kehendak dan
pengawasan-Nya. Ketika Dia tidak menghendaki sesuatu, maka itu tidak akan
terjadi.
Keempat: Ajaran Islam sesuai dengan logika dan fitra manusia
yang lurus.
Kelima: Sebuah prinsip penting yang harus dipahami oleh setiap
muslim adalah mungkin saja syariat itu membuat bingung dan heran akal, tapi
syariat itu bukanlah sesuatu yang bersifat mustahil. Karena akal manusia itu
lemah. Ada hal-hal yang membingungkan dan tidak bisa ia tangkap. Lemahnya akal
manusia sebagaimana lemahnya indera mereka. Mata manusia tidak bisa menembus
dinding, tapi bukan berarti di balik dinding itu tidak ada apa-apa. Lantaran
mata tidak mampu melihatnya. Demikian juga kualitas akal manusia.
Keenam: Allah ﷻ Maha Bijaksana dalam setiap ketetapan-Nya. Dialah Yang Maha
Mengetahui sementara manusia tidak mengetahui. Tidak pantas manusia menanyakan
perbuatan Allah ﷻ. Allah ﷻ berfirman,
لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ
“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah
yang akan ditanyai.” (QS:Al-Anbiyaa | Ayat: 23).
Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)
Artikel www.KisahMuslim.com
Artikel www.KisahMuslim.com
0 komentar:
Posting Komentar