Bolehkah saya punya khadimat ya ustadz masalahnya
jadi ada non-mahram di rumah kami. Jazaakumullah Khair
wa Barakallahu fikum, Wassallam
Neneng
Alamat: Jakarta Selatan
Email: nenengtxxxxx@yahoo.com
Alamat: Jakarta Selatan
Email: nenengtxxxxx@yahoo.com
Ustadz Musyaffa Ad Dariny, Lc. menjawab:
Ada dua pendapat yang sekilas berbeda dalam masalah ini:
(1) Tidak membolehkan sama sekali, ini adalah pendapat mayoritas
ulama madzhab (yakni: Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah)
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ : أَكْرَهُ أَنْ يَسْتَأْجِرَ الرَّجُلُ
امْرَأَةً حُرَّةً يَسْتَخْدِمُهَا وَيَخْلُو بِهَا وَكَذَلِكَ الْأَمَةُ وَهُوَ
قَوْلُ أَبِي يُوسُفَ وَمُحَمَّدٍ أَمَّا الْخَلْوَةُ فَلِأَنَّ الْخَلْوَةَ
بِالْمَرْأَةِ الْأَجْنَبِيَّةِ مَعْصِيَةٌ . وَأَمَّا الِاسْتِخْدَامُ
فَلِأَنَّهُ لَا يُؤْمَنُ مَعَهُ الِاطِّلَاعُ عَلَيْهَا وَالْوُقُوعُ فِي
الْمَعْصِيَةِ (بدائع الصنائع 4/189)
Imam Abu Hanifah mengatakan: “Aku
benci (yakni mengharamkan) pria menyewa wanita merdeka, untuk dijadikan sebagai
pembantu dan bisa menyendiri dengannya. Begitu pula jika yang disewa adalah
wanita hamba sahaya”. Ini (juga) pendapatnya Abu Yusuf dan Muhammad. Alasan
larangan menyendiri dengannya, karena menyendiri dengan wanita yang bukan
mahrom adalah maksiat. Sedang alasan larangan menjadikannya pelayan, karena
tidak akan selamat dari melihatnya dan terjatuh dalam kemaksiatan. (Bada’i’us Shana’i’,
4/189)
سَمِعْتُ مَالِكًا وَسُئِلَ عَنْ الْمَرْأَةِ تُعَادِلُ الرَّجُلَ
فِي الْمَحْمَلِ لَيْسَ بَيْنَهُمَا مَحْرَمٌ فَكَرِهَ ذَلِكَ , فَاَلَّذِي
يَسْتَأْجِرُ الْمَرْأَةَ تَخْدِمُهُ وَلَيْسَ بَيْنَهُمَا مَحْرَمٌ وَلَيْسَ لَهُ
أَهْلٌ وَهُوَ يَخْلُو مَعَهَا أَشَدُّ عِنْدِي كَرَاهِيَةً.المدونة 3/443
Aku pernah mendengar Imam Malik ditanya tentang
wanita yang mengambil pria (sebagai kusir) sekedupnya, padahal tidak ada mahrom
diantara mereka, maka beliau membenci (mengharamkan)-nya. Karena itu, pria yang
mengambil wanita sebagai pembantu padahal tidak ada mahram diantara mereka,
sedang si pria tidak punya istri, dan dia bisa menyendiri dengannya, itu lebih
haram bagiku. (Al-Mudawwanah, 3/443)
لَوْ اسْتَأْجَرَ أَجْنَبِيٌّ أَمَةً تَخْدُمُهُ فَوَجْهَانِ,
وَيَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ الْأَصَحُّ التَّحْرِيمَ; لِأَنَّهُ لَا يَنْفَكُّ عَنْ
النَّظَرِ غَالِبًا .(حاشية قليوبي وعميرة 3/72)
Jika pria yang bukan mahram mengambil budak wanita sebagai
pembantunya, maka ada dua pendapat (dalam madzhab syafi’i), dan
yang layak dijadikan sebagai pendapat yang paling shahih adalah
pendapat yang mengharamkannya, karena pada umumnya tidak mungkin lepas dari
melihatnya (padahal melihatnya itu haram hukumnya). (Hasyiah Qalyubi dan Umairah,
3/72)
(2) Membolehkan dengan
syarat selamat dari hal yang dilarang syariat. Ini pendapatnya Madzhab Hambali.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ رضي الله عنه: يَجُوزُ أَنْ يَسْتَأْجِرَ
الْأَجْنَبِيُّ الْأَمَةَ وَالْحُرَّةَ لِلْخِدْمَةِ, وَلَكِنْ يَصْرِفُ وَجْهَهُ
عَنْ النَّظَرِ لِلْحُرَّةِ. لَيْسَتْ الْأَمَةُ مِثْلَ الْحُرَّةِ, فَلَا يُبَاحُ
لِلْمُسْتَأْجِرِ النَّظَرُ لِشَيْءٍ مِنْ الْحُرَّةِ, بِخِلَافِ الْأَمَةِ,
فَيَنْظُرُ مِنْهَا إلَى الْأَعْضَاءِ السِّتَّةِ, أَوْ إلَى مَا عَدَّا عَوْرَةَ
الصَّلَاةِ عَلَى مَا يَأْتِي فِي النِّكَاحِ, وَالْحَاصِلُ أَنَّ الْمُسْتَأْجِرَ
لَهُمَا كَالْأَجْنَبِيِّ, فَلَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَخْلُوَ مَعَ إحْدَاهُمَا فِي
بَيْتٍ, وَلَا يَنْظُرَ إلَى الْحُرَّةِ مُتَجَرِّدَةً, وَلَا إلَى شَعْرِهَا
الْمُتَّصِلِ; لِأَنَّهُ عَوْرَةٌ مِنْهَا, بِخِلَافِ الْأَمَةِ.
Imam Ahmad Rahimahullah mengatakan: “Pria yang bukan mahram boleh mengambil wanita
-baik budak atau merdeka- untuk dijadikan sebagai pembantu, tapi ia harus
memalingkan wajahnya dan tidak melihatnya, jika pembantunya itu wanita yang
merdeka. Pembantu wanita yang budak tidak seperti yang merdeka.
Karena itu, Pria yang menjadikannya pembantu tidak boleh melihat
bagian tubuh manapun dari wanita yang merdeka. Berbeda jika pembantunya itu
wanita dari budak, maka ia boleh melihatnya pada bagian tubuhnya yang enam,
atau bagian tubuh yang tidak menjadi auratnya ketika shalat, sebagaimana akan
diterangkan pada bab nikah.
Intinya, Pria yang menjadikannya pembantu tidak boleh melihat
keduanya, sebagaimana pria lain (yang bukan mahram). Karenanya ia tidak boleh
menyendiri dengan kedua jenis pembantu ini dalam satu rumah, ia tidak boleh
melihatnya terbuka, dan tidak boleh melihat rambutnya yang masih sambung,
karena itu termasuk auratnya, berbeda jika pembantu wanitanya itu dari budak” (Mathalibu
Ulin Nuha, 3/615, dan Kasysyaful Qona’, 3/548)
Dua pendapat ini, sebenarnya tidak bertentangan, karena ulama yang
membolehkannya, melihat hukum asal akad tersebut, sedang ulama yang
mengharamkannya, melihat hukum akhirnya setelah dipengaruhi situasi dan
kondisi. Mereka semua sepakat bahwa hukum asal akad sewa tersebut dibolehkan,
dan mereka juga sepakat jika akad sewa tersebut mengandung hal yang melanggar
syariat maka dilarang. Wallahu a’lam.
Kesimpulannya, diharamkan mengambil pembantu, kecuali dalam dua keadaan:
(a) Jika keadaannya darurat atau sangat membutuhkan sekali.
(b) Jika bisa selamat dari hal-hal yang dilarang oleh syariat,
seperti melihatnya, berduaan dengannya, atau bercampurnya pria dan wanita yang
bukan mahram, dll.
Syaikh Muhammad Al-Utsaimin mengatakan:
Pertama: Hendaklah kita tidak mendatangkan pembantu -wanita atau
pria- kecuali jika keadaannya mendesak atau darurat, karena kedatangan pembantu
itu akan menghabiskan banyak biaya yang sebenarnya tidak diperlukan dan bukan
darurat, padahal Nabi -shallallohu’alaihi wasallam- telah
melarang umatnya menyia-nyiakan harta.
Kedua: Sebagian mereka kurang amanah dalam menjalankan tugas yang kita
percayakan kepadanya. Oleh karena itu, tidak seyogyanya mendatangkan pembantu
-pria atau wanita- kecuali dengan beberapa syarat:
Untuk pembantu wanita: (Jika rumahnya
jauh) Harus ada mahramnya. Jika tidak ada, maka tidak boleh mendatangkannya,
karena sabda Nabi –shallallahu alaihi wasallam-: “Wanita tidak boleh
safar kecuali dengan mahramnya”… Tidak ditakutkan menimbulkan fitnah (bahaya
syahwat). Jika takut menimbulkan fitnah, baik terhadap dirinya maupun
anak-anaknya, maka ia tidak boleh melakukannya. Harus selalu menjalankan
kewajibannya menutup wajahnya. Tidak boleh menyendiri dengannya. Jika tak ada
orang lain di rumahnya, maka ia tidak boleh mendatangkan pembantunya sama
sekali, begitu pula, jika ada orang lain di rumahnya tapi mereka biasa pergi
dari rumah dan ia tinggal sendiri di rumahnya bersama pembantu ini, maka ini
juga tidak boleh, karena sabda Nabi –shallallahu’alaihi wasallam-:
“Pria tidak boleh berduaan dengan wanita kecuali dengan mahramnya”. (Liqa’ul
Babil Maftuh, no soal: 619)
Syeikh Abdullah Al-Faqih mengatakan:
“Menyebarnya tren mendatangkan pembantu rumah tangga ini, banyak menyebabkan
kerusakan, dan kenyataan adalah saksi paling baik untuknya, diantara kerusakan
itu adalah:
Pertama: Dan ini yang paling bahaya, mendholimi putra dan putrinya
ketika mereka dirumahnya, yaitu dengan menyerahkan pendidikan mereka kepada
para pembantu wanita, sehingga anak kehilangan ikatan rasa dengan ortunya,
padahal ikatan rasa itulah unsur utama dalam mendidik dan mengarahkan jiwa
anak.
Kedua: Adanya pembantu wanita dalam rumah, merupakan penyebab utama yang
mendorong para ibu keluar rumah, baik untuk kerja, atau belanja, atau pergi ke
rumah orang lain. Dan ini jelas bertentangan dengan maksud dan tujuan Syariat
Islam agar wanita menetap di rumahnya, Allah berfirman (yang artinya): “Hendaklah
kalian (para istri) tetap di rumah kalian!” (Al-Ahzab:33)
Ketiga: Menjadikan wanita (yakni istri dan putri majikan) merasa jenuh dan
malas, dan ini merupakan penyebab utama terjangkitnya banyak penyakit pada
wanita.
Keempat: Membiarkan pembantu wanita di dalam rumah bersama anak-anak
usia puber, termasuk diantara penyebab jatuhnya mereka dalam perbuatan keji
(zina)” (Fatawa Syabakah Islamiyah, no fatwa: 18210).
Dari uraian di atas, kita dapat menarik kesimpulan, sebaiknya kita
tidak mengambil pembantu, karena banyaknya mafsadah yang
ditimbulkan, dan sulitnya memenuhi syarat dari ulama yang membolehkannya.
Kecuali bila keadaannya darurat atau sangat mendesak sekali. Wallahu
a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar