Sesungguhnya, hidup di dunia ini hanyalah sementara. Allah Ta’ala menciptakan manusia dan menguji mereka,
agar nampak siapa yang paling baik amalannya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di
antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
(Qs. al-Mulk: 2).
Qatadah -semoga Allah merahmatinya- berkata, “Allah telah
mengumumkan kematian kepada manusia, dan Dia menjadikan dunia ini sebagai
negeri kehidupan dan kebinasaan, dan Dia menjadikan akhirat negeri pembalasan
dan kekekalan”. (Tafsir ath-Thabari, juz 12 hal.
164).
Dan ujian Allah kepada manusia berupa perkara yang menyenangkan
ataupun yang menyusahkan. Allah Ta’ala berfirman
(yang artinya):
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu
dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya) dan hanya
kepada Kami-lah kamu dikembalikan.” (Qs. al-Anbiya’: 35).
Imam Ibnu Katsir berkata tentang firman Allah “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai
cobaan“, yaitu Kami akan menguji kamu kadang-kadang dengan
musibah-musibah dan kadang-kadang dengan kenikmatan-kenikmatan, sehingga Allah
akan melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang kufur, siapa yang bersabar dan
siapa yang berputus asa. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas, “Kami akan
menguji kamu dengan kesusahan dan kemakmuran, kesehatan dan sakit, kekayaan dan
kemiskinan, halal dan haram, ketaatan dan kemaksiatan, petunjuk dan kesesatan.”
(Tafsir Ibnu Katsir, surat al-Anbiya’ (21): 35).
Sikap Manusia Terhadap Ujian Allah
Menghadapi ujian dari Allah Ta’ala tersebut,
kebanyakan manusia tidak lulus. Hanya sedikit orang-orang yang lulus ujian,
sedikit orang-orang yang beriman, sedikit orang-orang yang bersyukur kepada
Allah Ta’ala. Sebagaimana dikatakan oleh Nabi Yusuf ‘alaihis salam,
“Dan aku mengikuti agama bapak-bapakku, yaitu Ibrahim, Ishak dan
Ya’qub. Tiadalah patut bagi kami (para Nabi) mempersekutukan sesuatu apapun
dengan Allah. Yang demikian itu adalah dari karunia Allah kepada kami dan
kepada manusia (seluruhnya); tetapi kebanyakan manusia tidak mensyukuri (Nya).”
(Qs. Yusuf: 38).
Juga sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah Ta’ala kepada Rasul-Nya yang paling mulia,
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam,
“Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu
sangat menginginkannya.” (Qs. Yusuf: 103).
Oleh karena itulah, jumlah yang banyak bukanlah standar kebenaran.
Standar kebenaran adalah wahyu yang dibawa oleh Rasulullah dari Allah Ta’ala, yang dipahami oleh para sahabatnya.
Sikap Manusia Menghadapi Ujian Kesusahan
Banyak manusia berputus asa dengan kesusahan yang mereka alami,
seolah-olah kesusahan itu tidak akan hilang dari mereka. Allah juga berfirman
(yang artinya),
“Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika dia ditimpa
malapetaka, dia menjadi putus asa lagi putus harapan.” (Qs.
Fushilat: 49).
Imam Ibnu Katsir berkata, “Manusia itu tidak bosan meminta
kebaikan kepada Rabb-nya, yaitu meminta harta, kesehatan badan, dan lainnya.
Namun jika keburukan menimpanya, yaitu musibah atau kemiskinan, dia menjadi
putus asa lagi putus harapan, yaitu terbetik pada pikirannya, bahwa setelah itu
kebaikan tidak akan pernah menghampirinya”. (Tafsir Ibnu Katsir,
surat Fushilat: 49).
Sikap Manusia Menghadapi Ujian Kesenangan
Namun sebaliknya, jika manusia itu mendapatkan berbagai macam
kesenangan dan kenikmatan, maka kebanyakan mereka melupakan kepada Penciptanya.
Mereka menganggap bahwa mereka berhak mendapatkan kenikmatan itu, mereka
menganggap itu semua karena usahanya dan kepandaiannya. Kemudian kebanyakan
mereka berbuat melewati batas!
Dan sesungguhnya kebanggaan dan kesombongan itu tidak menyelamatkan mereka dari siksa Allah sedikitpun. Allah berfirman (yang artinya):
Dan sesungguhnya kebanggaan dan kesombongan itu tidak menyelamatkan mereka dari siksa Allah sedikitpun. Allah berfirman (yang artinya):
“Maka apabila manusia ditimpa bahaya ia menyeru Kami, kemudian
apabila Kami berikan kepadanya nikmat dari Kami ia berkata, ‘Sesungguhnya, aku
diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku.’ Sebenarnya itu adalah ujian,
tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui. Sungguh orang-orang yang sebelum
mereka (juga) telah mengatakan itu pula, Maka, tiadalah berguna bagi mereka apa
yang dahulu mereka usahakan.” (Qs. az-Zumar: 49-50).
Allah juga berfirman (yang artinya),
“Dan jika Kami merasakan kepada manusia sesuatu rahmat dari Kami
sesudah dia ditimpa kesusahan, pastilah dia berkata, ‘Ini adalah hakku, dan aku
tidak yakin bahwa hari kiamat itu akan datang. Dan jika aku dikembalikan kepada
Tuhanku, maka sesungguhnya aku akan memperoleh kebaikan pada sisi-Nya’ Maka,
Kami benar-benar akan memberitakan kepada orang-orang kafir apa yang telah
mereka kerjakan dan akan Kami rasakan kepada mereka adzab yang keras.”
(Qs. Fushilat: 50).
Imam Ibnu Katsir berkata tentang ayat ini, “Yaitu jika manusia
mendapatkan kebaikan dan rezeki setelah kesusahan, dia mengatakan, ‘Ini
untukku, aku berhak mendapatkannya di sisi Rabb-ku.'”
Firman-Nya “dan aku tidak yakin bahwa hari
kiamat itu akan datang“, yaitu dia kafir terhadap datangnya hari
kiamat. Yaitu karena Allah memberikan kenikmatan, dia menjadi sombong, berbangga,
dan kafir.
Firman-Nya “dan jika aku dikembalikan
kepada Tuhanku, maka sesungguhnya aku akan memperoleh kebaikan pada sisi-Nya“,
yaitu jika terjadi hari kiamat, maka Rabb-ku akan berbuat
baik kepadaku, sebagaimana di dunia ini telah berbuat baik kepadaku. Dia
berangan-angan kosong terhadap Allah ‘Azza wa Jalla,
padahal dia berbuat buruk dan tidak meyakini (hari Kiamat).
Firman Allah “Maka Kami benar-benar akan
memberitakan kepada orang-orang kafir apa yang telah mereka kerjakan, dan akan
Kami rasakan kepada mereka azab yang keras“, yaitu Allah mengancam
dengan hukuman dan siksaan terhadap orang yang perbuatannya dan keyakinannya
seperti itu.” (Tafsir Ibnu Katsir, surat Fushilat,
59).
Siapa yang Lulus Ujian?
Walaupun demikian, namun masih ada orang-orang yang lulus
menghadapi ujian tersebut sebagaimana firman-Nya (yang artinya):
“Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat) dari
Kami, kemudian rahmat itu Kami cabut daripadanya, pastilah dia menjadi putus
asa lagi tidak berterima kasih. Dan jika Kami rasakan kepadanya kebahagiaan
sesudah bencana yang menimpanya, niscaya dia akan berkata, ‘Telah hilang
bencana-bencana itu daripadaku’, sesungguhnya dia sangat gembira lagi bangga.
Kecuali orang-orang yang sabar (terhadap bencana), dan mengerjakan amal-amal
shalih; mereka itu beroleh ampunan dan pahala yang besar.” (Qs. Hud:
9-11).
Imam Ibnu Katsir berkata, “Allah Ta’ala memberitakan tentang
manusia dan sifat-sifat tercela yang ada padanya, kecuali orang-orang yang
dirahmati oleh Allah, yaitu hamba-hamba-Nya yang beriman. Bahwa manusia itu
jika ditimpa oleh kesusahan setelah kenikmatan, dia berputus asa dari kebaikan
terhadap masa depan, dan dia mengingkari (kebaikan) yang telah lewat,
seolah-olah dia tidak pernah melihat kebaikan, dan setelah itu dia tidak
berharap kelonggaran. Demikian juga jika manusia itu mengalami kenikmatan
setelah kesusahan, “dia akan berkata, ‘Telah hilang bencana-bencana itu
daripadaku.’”, yaitu setelah ini, kesusahan dan keburukan tidak akan menimpaku
lagi.
Firman-Nya “Sesungguhnya dia sangat gembira
lagi bangga“, yaitu dia bergembira dan bersombong dengan apa yang
ada di tangannya, berbangga terhadap orang lain. Firman-Nya, “Kecuali orang-orang yang sabar“, yaitu menghadapi
kesusahan-kesusahan dan perkara-perkara yang tidak disukai; firman-Nya “Dan mengerjakan amal-amal shalih“, yaitu pada waktu
longgar dan sehat; firman-Nya “Mereka itu beroleh ampunan“,
yaitu dengan sebab kesusahan yang mereka alami; firman-Nya, “Dan pahala yang besar“, dengan sebab amalan mereka pada
waktu longgar.” (Tafsir Ibnu Katsir, surat Hud:
9-11).
Maka, semoga kita termasuk orang-orang yang bersyukur terhadap
nikmat, bersabar terhadap musibah, dan beramal shalih pada setiap saat sesuai
dengan kemampuan kita. Amin.
Penulis: Ustadz Muslim Al-Atsari
Artikel www.PengusahaMuslim.com
Artikel www.PengusahaMuslim.com
0 komentar:
Posting Komentar