Allah I berfirman dalam Surat An Nur:
“Dan janganlah mereka (para wanita) menampakkan perhiasan mereka kecuali di hadapan suami-suami mereka, atau ayah-ayah mereka, atau ayah mertua mereka, atau di hadapan putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka (keponakan laki-laki), atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau di hadapan wanita-wanita mereka, atau budak yang mereka miliki, atau laki-laki yang tidak punya syahwat terhadap wanita atau anak laki-laki kecil yang belum mengerti aurat wanita.” (An-Nur: 31)
Sebagian ahlul ilmi seperti Asy-Sya’bi dan Ikrimah dari kalangan tabi’in berpendapat saudara laki-laki ayah (paman/al-’amm) dan saudara laki-laki ibu (paman/al-khal) tidak disebutkan dalam ayat di atas karena al-’amm dan al-khal terkadang menceritakan apa yang dilihatnya dari keponakan perempuannya kepada anak laki-lakinya (seperti keindahan tubuhnya atau kecantikan parasnya, pen.), sehingga keponakan perempuan ini tidak boleh melepas hijabnya di hadapan keduanya (Tafsir Ibnu Katsir, 5/400). Sehingga menurut Asy-Sya’bi dan Ikrimah, al-amm dan al-khal tidak termasuk mahram (karena tidak disebutkan di dalam ayat, pen.) (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 12/155)
Namun jumhur ulama berpandangan, al-’amm dan al-khal termasuk mahramnya, keduanya sama dengan mahram yang lain dalam kebolehan memandang wanita yang merupakan mahramnya (dalam hal ini keponakan perempuannya, pen.) (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 12/155).
Telah datang hadits yang mendukung pendapat jumhur ulama ini, yaitu hadits ‘Aisyah x yang dikeluarkan dalam Ash-Shahihain. ‘Aisyah x berkata:
“Datang paman susuku minta izin masuk menemuiku. Namun aku menolak untuk mengizinkannya sampai aku menanyakannya kepada Rasulullah r. Ketika datang Rasulullah r kutanyakan tentang hal itu kepada beliau. Beliau pun menjawab: “Dia pamanmu, maka izinkan dia menemuimu”.
“Wahai Rasulullah, yang menyusuiku itu wanita bukan laki-laki,” kataku.
Rasulullah r kembali mengatakan: “Dia pamanmu, maka biarkan dia masuk menemuimu.”
‘Aisyah berkata: “Kejadian itu setelah diperintahkannya hijab kepada kami.” ‘Aisyah juga menyatakan: “Menjadi haram karena penyusuan apa yang haram karena kelahiran/nasab1.” (HR. Al-Bukhari no. 5239)
Dalam riwayat Muslim (no. 1445) disebutkan: “Datang Aflah, saudara Abul Qu’ais minta izin menemui ‘Aisyah setelah turunnya perintah hijab.
Sementara Abul Qu’ais ini ayah susu ‘Aisyah. ‘Aisyah berkata: “Demi Allah, aku tidak akan mengizinkan Aflah sampai aku minta izin kepada Rasulullah r, karena bukan Abul Qu’ais yang menyusuiku tapi istrinya”. Ketika Rasulullah r datang ‘Aisyah pun menceritakan hal tersebut, beliaupun menyatakan: “Izinkan dia menemuimu.”
Keberadaan mahram karena susuan sama dengan mahram karena nasab sehingga bila paman susu diperkenankan masuk menemui keponakan perempuannya karena susuan dengan tanpa hijab maka tentunya yang demikian itu lebih dibolehkan bagi paman karena hubungan nasab baik paman itu saudara ayah (al-’amm) ataupun saudara ibu (al-khal).
(Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah)
Pada edisi terdahulu kita telah ketahui bila seorang bayi disusui oleh wanita selain ibunya (ibu susu) terjalinlah hubungan mahram antara keduanya beserta pihak-pihak tertentu yang terkait dengan keduanya. Namun hubungan mahram tersebut tidak dapat terjalin bila tidak menetapi ketentuan-ketentuan yang ada, yaitu kapan/ pada usia berapa penyusuan itu terjadi dan berapa kali terjadinya penyusuan (kadar penyusuan).
Kapan Terjadinya Penyusuan
Ulama berbeda pendapat dalam masalah pada usia berapa penyusuan seorang anak menjadikan terjalinnya hubungan mahram antara si anak dengan wanita yang menyusuinya. Sebagian ulama berpendapat penyusuan itu seluruhnya membuat terjalinnya hubungan mahram, sama saja apakah terjadinya ketika anak masih kecil ataupun sudah besar, dengan dalil hadits ‘Aisyah x tentang kisah Sahlah yang diperintahkan oleh Rasulullah r untuk menyusui Salim maula Abu Hudzaifah, maka Sahlah berkata: “Bagaimana aku menyusuinya sementara dia sudah besar?” Rasulullah r tersenyum dan berkata:
“Aku tahu Salim itu sudah besar.” (HR. Muslim no. 1453)
Mereka juga berdalil dengan keumuman firman Allah I:
“(Diharamkan bagi kalian menikahi)……ibu-ibu kalian yang menyusui kalian (ibu susu).” (An-Nisa: 23)
Adapun jumhur ulama dari kalangan shahabat, tabi‘in, dan ulama berbagai negeri1 berpendapat; penyusuan yang dapat menjalin hubungan mahram adalah saat anak berusia di bawah dua tahun. (Syarah Shahih Muslim, 10/30).
Al-Hafidz Ibnu Katsir t menyatakan bahwa mayoritas para imam berpendapat penyusuan tidaklah menjadikan hubungan mahram kecuali bila penyusuan itu terjadi saat si anak berusia di bawah dua tahun. Adapun di atas itu maka tidak menjadikan hubungan mahram antara dia dan wanita yang menyusuinya. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/290, 481)
Demikian pendapat ‘Ali bin Abi Thalib, Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas‘ud, Jabir, Abu Hurairah, Ibnu ‘Umar, Ummu Salamah, Sa’id ibnul Musayyab, ‘Atha dan jumhur ulama. Dan ini merupakan madzhab Al-Imam Asy-Syafi‘i, Ahmad, Ishaq, Ats-Tsauri, Abu Yusuf, Muhammad dan Malik dalam satu riwayat. Pendapat Al-Imam Malik yang lain adalah dua tahun dua bulan atau tiga bulan. Abu Hanifah berpendapat dua tahun enam bulan. Zufar ibnul Hudzail berpendapat selama anak itu masih menyusu sampai ia berusia tiga tahun.
Al-Imam Malik t berkata: “Seandainya seorang anak telah disapih sebelum usia dua tahun, lalu ada seorang wanita yang menyusui anak tersebut setelah penyapihannya maka tidaklah penyusuan ini menjadikan hubungan mahram karena air susu tadi kedudukannya sudah sama dengan makanan yang lain.”
‘Umar ibnul Khaththab dan ‘Ali bin Abi Thalib z pernah berkata: “Penyusuan yang terjadi setelah anak disapih tidaklah menjadikan hubungan mahram.” Mungkin keduanya memaksudkan usia dua tahun seperti pendapat jumhur ulama, sama saja apakah anak itu telah disapih ataupun belum disapih. Namun mungkin juga yang mereka maksudkan seperti ucapannya Imam Malik di atas, wallahu a`lam. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/291, Aunul Ma’bud, 6/43)
Al-Imam At-Tirmidzi t menyatakan bahwa yang diamalkan oleh mayoritas ulama dari kalangan sahabat Nabi r dan selain mereka adalah penyusuan itu tidak menjadikan hubungan mahram kecuali bila anak susu itu berusia di bawah dua tahun. Adapun penyusuan yang terjadi setelah seorang anak berusia dua tahun penuh tidaklah menjadikan hubungan mahram. (Sunan At-Tirmidzi, 2/311)
Pendapat yang kedua ini berdalil dengan firman Allah I:
“Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuan”.
Sebagaimana pendapat ini bersandar dengan hadits Nabi r. Ketika beliau r masuk menemui ‘Aisyah, di sisi ‘Aisyah ada seorang lelaki yang sedang duduk. Beliau tidak suka melihat hal itu dan terlihat kemarahan di wajah beliau. ‘Aisyah pun berkata: “Wahai Rasulullah! Dia saudara laki-lakiku sepersusuan.” Rasulullah menanggapinya dengan menyatakan:
“Perhatikanlah saudara-saudara laki-laki kalian sepersusuan. Karena penyusuan yang teranggap adalah ketika air susu mencukupi dari rasa lapar.2” (HR. Al-Bukhari no. 5102 dan Muslim no. 1455)
Dalam hadits di atas Nabi r memerintahkan untuk memastikan perkara menyusui ini, apakah penyusuan itu benar adanya dengan terpenuhi syaratnya yaitu terjadi di masa menyusu dan memenuhi kadar penyusuan. Abu ‘Ubaid berkata: “Makna hadits ini adalah anak itu bila lapar maka air susu ibu adalah makanan yang mengenyangkannya bukan makanan yang lain.”
Adapun anak yang sudah makan dan minum maka penyusuannya bukanlah untuk menutupi laparnya karena pada makanan dan minuman yang lain bisa memenuhi perutnya, berbeda dengan anak kecil yang belum makan makanan. (Fathul Bari, 9/179, Subulus Salam, 3/333, Nailul Authar, 6/368)
Al-Imam Al-Khaththabi t berkata dalam Al-Ma‘alim: “Penyusuan yang menyebabkan terjalinnya hubungan mahram adalah ketika anak susu itu masih kecil sehingga air susu itu dapat menguatkannya dan menutupi rasa laparnya. Adapun penyusuan yang terjadi setelah ini, dalam keadaan air susu tidak dapat lagi menutupi rasa laparnya dan tidak dapat mengenyangkannya kecuali dengan memakan roti dan daging atau yang semakna dengan keduanya, maka tidaklah menyebabkan hubungan mahram.” (Aunul Ma‘bud, 6/43)
Al-Hafidz Ibnu Hajar t berkata: “Penyusuan yang ditetapkan kemahraman dengannya dan dibolehkan khalwat karenanya adalah ketika anak yang disusui masih kecil sehingga air susu dapat menutupi rasa laparnya karena perutnya masih lemah cukup terisi dengan susu dan dengan air susu ini tumbuhlah dagingnya. Dengan demikian ini jadilah si anak susu seperti bagian dari ibu susunya sehingga ia menyertai anak-anak ibu susu dalam hubungan mahram. Dalam hadits ini3 Nabi r seolah-olah mengatakan: “Tidak ada penyusuan yang teranggap kecuali yang bisa mencukupi dari rasa lapar atau memberi makanan dari rasa lapar.” (Fathul Bari, 9/179)
Jumhur ulama juga berdalil dengan hadits Ummu Salamah x yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (no. 1162):
“Suatu penyusuan tidaklah mengharamkan (terjadinya pernikahan) kecuali yang mengisi usus dan berlangsungnya sebelum anak itu disapih.” (Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Al-Irwa no. hadits 2150)
Adapun kisah Sahlah dengan Salim yang menjadi dalil bagi pendapat pertama maka hal itu merupakan pengecualian bagi orang yang keadaannya seperti Sahlah dan Salim.4
Kadar Penyusuan
Ahli ilmu pun berbeda pendapat dalam masalah kadar penyusuan yang menyebabkan hubungan mahram.
· Pendapat pertama: Penyusuan sedikit ataupun banyak itu terjadi akan menyebabkan terjalinnya kemahraman dengan syarat air susu tersebut sampai ke dalam perut. Demikian pendapat jumhur ulama salaf dan khalaf. Dihikayatkan pendapat ini oleh Ibnul Mundzir dari ‘Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas‘ud, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, ‘Atha, Thawus, Ibnul Musayyab, ‘Urwah ibnuz Zubair, Al-Hasan, Mak-hul, Az-Zuhri, Qatadah, Al-Hakam, Hammad, Malik, Al-Auza‘i, Ats-Tsauri dan Abu Hanifah. Mereka berdalil dengan firman Allah I:
“Dan ibu-ibu yang menyusui kalian…” (An-Nisa: 23)
Dalam ayat ini tidak disebutkan jumlah penyusuan yang menyebabkan anak susu haram menikahi ibu susunya.
Demikian pula hadits:
“Karena penyusuan yang teranggap adalah ketika air susu mencukupi dari rasa lapar.” (HR. Al-Bukhari no. 5102 dan Muslim no. 1455)
tidak disebutkan berapa kali terjadi penyusuan.
· Pendapat kedua: Minimal tiga kali penyusuan, sebagaimana pendapat yang lain dari Al-Imam Ahmad, pendapat ahlu dzahir kecuali Ibnu Hazm, pendapat Sulaiman bin Yasar, Sa’id bin Jubair, Ishaq, Abu Tsaur, Abu ‘Ubaid, Ibnul Mundzir dan Abu Sulaiman, berdalil dengan apa yang dipahami dari hadits:
“Tidak mengharamkan (karena susuan) satu isapan dan dua isapan.” (HR. Muslim no. 1450)
Ummul Fadhl x menceritakan: Datang seorang A‘rabi (Arab badui) menemui Nabiyullah r, ketika itu beliau berada di rumahku. Badui itu berkata: “Wahai Nabiyullah, aku dulunya punya seorang istri, kemudian aku menikah lagi. Maka istri pertamaku mengaku telah menyusui istriku yang baru dengan satu atau dua isapan.” Mendengar hal tersebut, Rasulullah r berkata:
“Tidak mengharamkan (karena susuan) satu isapan dan dua isapan.” (HR. Muslim no. 1451)
· Pendapat ketiga: Hukum yang diakibatkan penyusuan tidak bisa ditetapkan bila kurang dari lima susuan, berdalil dengan hadits ‘Aisyah x yang menyebutkan di-mansukh-kannya (dihapus) hukum penyusuan yang sepuluh menjadi lima.
“Dulunya Al Qur’an turun menyebutkan sepuluh kali penyusuan yang dimaklumi dapat mengharamkan kemudian dihapus ketentuan tersebut dengan lima kali penyusuan.”
Pendapat ini dipegangi oleh Ibnu Mas‘ud, Abdullah bin Az-Zubair, Asy-Syafi‘i dan satu riwayat dari Al-Imam Ahmad.
(Lihat Al-Umm, 5/26-27, Fathul Bari, Syarah Shahih Muslim, 10/29, Tafsir Ibnu Katsir,1/480-481, Subulus Salam, 3/331-332, Nailul Authar, 6/363)
Dari ketiga pendapat di atas, wallahu a‘lam, yang kuat adalah pendapat ketiga. Adapun ayat yang umum dalam permasalahan ini:
“Dan ibu-ibu yang menyusui kalian…” dan dalil-dalil umum lainnya, dikhususkan dengan sabda Nabi r:
“Tidak mengharamkan (karena susuan) satu isapan dan dua isapan.”
dan dikhususkan dengan hadits ‘Aisyah:
“Dulunya Al Qur’an turun menyebutkan sepuluh kali penyusuan yang dimaklumi dapat mengharamkan kemudian dihapus ketentuan tersebut dengan lima kali penyusuan.”
Namun pada sabda Nabi r:
“Tidak mengharamkan (karena susuan) satu isapan dan dua isapan.” (HR. Muslim no. 1450)
tidak secara jelas menunjukkan tiga dan empat kali penyusuan dapat menyebabkan keharaman, sehingga yang tersisa adalah hadits Aisyah x yang menyebutkan lima kali susuan, wallahu ta‘ala a‘lam.
Al-Imam Asy-Syafi‘i t berkata: “Penyusuan tidaklah menyebabkan keharaman kecuali lima kali susuan yang terpisah.” (Al-Umm, 5/26). Demikian pula yang dikatakan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla (10/9).
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi t dalam Al-Mughni (7/535) juga memberikan pernyataan yang hampir sama ketika menjelaskan ucapan Abul Qasim Al-Khiraqi: “Penyusuan yang tidak diragukan dapat menyebabkan pengharaman (seperti apa yang haram karena nasab –pent.) adalah lima kali penyusuan atau lebih.”
Dan bentuk satu kali penyusuan tersebut adalah seorang bayi menghisap air susu dari puting seorang wanita sampai puas/kenyang lalu ia melepaskan puting tersebut, sekalipun dalam waktu menyusu itu ia berhenti sejenak dari menghisap puting untuk bermain-main atau menghirup napas, maka tetap terhitung satu kali penyusuan (Al-Umm, 5/27). Sama saja menurut pendapat jumhur ulama, baik air susu itu dihisap langsung oleh si bayi dari kedua payudara ibu susunya atau telah diperas sehingga si bayi meminumnya dari gelas misalnya, sekalipun ada sebagian ulama seperti Ibnu Hazm yang membatasi hanya air susu yang dihisap langsung dari payudara dengan berpegang pada makna menyusu secara bahasa. Namun pendapat jumhur ulama lebih kuat karena yang penting air susu itu dapat menutupi rasa lapar dan mengisi usus, bagaimana pun cara si bayi meminum air susu tersebut. (Lihat Fathul Bari, 9/148, Al-Muhalla, 10/7)
Ragu tentang jumlah penyusuan
Apabila seseorang ragu tentang jumlah penyusuan, apakah telah sempurna lima kali penyusuan sehingga menjadi haram seperti yang haram karena hubungan nasab ataukah belum, maka kata Ibnu Qudamah t: “Tidaklah ditetapkan keharaman tersebut karena dikembalikan kepada hukum asal.5 Sementara keraguan tidaklah dapat menghilangkan keyakinan sebagaimana bila seseorang ragu telah jatuh talak (cerai) atau tidak maka kembali pada hukum asal tidak ada talak.” (Al-Mughni, 7/537)
Susu hewan
Apabila seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan yang bukan mahram minum dari susu seekor kambing (yang sama), sapi ataupun unta maka tidaklah hal ini teranggap sebagai satu penyusuan, kata Al-Imam Asy-Syafi‘i t. Namun hal ini hanyalah seperti makanan dan minuman biasa, dan tidak terjalin hubungan mahram antara kedua anak tersebut, karena yang demikian hanya berlaku untuk air susu manusia bukan air susu hewan. Allah I berfirman:
“Dan ibu-ibu yang menyusui kalian…”
“Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuan.”
(Al-Umm, 5/26)
1 Kecuali Abu Hanifah yang berpendapat dua tahun enam bulan, Zufar yang berpendapat tiga tahun dan Al-Imam Malik dalam satu riwayat berpendapat dua tahun ditambah beberapa hari. (Syarah Shahih Muslim, 10/30)
2 Penyusuan yang menyebabkan hubungan mahram dan menghalalkan khalwat adalah ketika anak yang disusui itu masih kecil sehingga air susu dapat menutupi rasa laparnya.
2 Penyusuan yang menyebabkan hubungan mahram dan menghalalkan khalwat adalah ketika anak yang disusui itu masih kecil sehingga air susu dapat menutupi rasa laparnya.
3 Yaitu hadits:
4 Insya Allah akan dijelaskan.
5 Hukum asalnya tidak ditetapkan keharaman seperti yang diharamkan dalam hubungan nasab, yakni tidak haram untuk menjalin pernikahan. Dan juga tidak halal apa yang halal karena hubungan nasab seperti tidak halal berkhalwat, dst
4 Insya Allah akan dijelaskan.
5 Hukum asalnya tidak ditetapkan keharaman seperti yang diharamkan dalam hubungan nasab, yakni tidak haram untuk menjalin pernikahan. Dan juga tidak halal apa yang halal karena hubungan nasab seperti tidak halal berkhalwat, dst
0 komentar:
Posting Komentar