Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam yang menjanjikan
kebahagiaan di surga bagi orang-orang yang bertakwa dan kesengsaraan di neraka
bagi orang-orang yang kufur lagi durhaka. Shalawat dan salam kepada Nabi akhir
zaman, sebagai penutup para Nabi dan panutan dalam meniti jalan yang lurus,
begitu pula kepada keluarga dan para sahabatnya.
Allah Ta’ala berfirman,
فَأَمَّا الَّذِينَ شَقُوا فَفِي النَّارِ لَهُمْ فِيهَا زَفِيرٌ
وَشَهِيقٌ (106) خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ إِلَّا
مَا شَاءَ رَبُّكَ إِنَّ رَبَّكَ فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ (107) وَأَمَّا الَّذِينَ
سُعِدُوا فَفِي الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ السَّمَوَاتُ
وَالْأَرْضُ مَا دَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ إِلَّا مَا شَاءَ رَبُّكَ
عَطَاءً غَيْرَ مَجْذُوذٍ (108)
“Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka,
di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas (dengan merintih), mereka
kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki
(yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia
kehendaki. Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam syurga,
mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu
menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.”
(QS. Huud: 106-108)
Jika kita melihat ayat di atas, seakan-akan ada yang ganjil. Allah
mengisyaratkan surga dan neraka itu ada selama bumi dan langit itu ada. Dari
sini bisa diyakini bahwa surga dan neraka itu tidak kekal. Ayat inilah yang
menjadi dasar keyakinan Ir. Agus Mustofa (Penulis Buku Tasawuf Modern) dalam
bukunya “Ternyata Akhirat Tidak Kekal”[1]. Berikut kami cuplik
sedikit perkataan beliau dalam buku tersebut setelah beliau membawakan surat
Huud ayat 106-108:
“Ayat di atas bercerita tentang keadaan penduduk neraka dan
penduduk surga. Dikatakan oleh Allah, bahwa mereka itu akan kekal di dalam
surga atau neraka selama ada langit dan bumi.
Informasi ini, sungguh sangat menggelitik logika kita. Kenapa
demikian? Sebab ternyata kekekalan surga dan neraka itu –menurut ayat ini-
tergantung pada kondisi lainnya, yaitu keberadaan langit dan bumi alias alam
semesta.
Dengan kata lain, akhirat itu akan kekal jika langit dan bumi atau
alam semesta ini juga kekal. Sehingga, kalau suatu ketika alam semesta ini
mengalami kehancuran, maka alam akhirat juga bakal mengalami hal yang sama,
kehancuran.
Tentu, hal ini membuat kita agak shock. Sebab ini
telah menggoyang apa yang sudah kita pahami selama ini. Bahwa yang namanya
akhirat itu adalah alam baka. Alam yang kekal abadi, dan tidak akan pernah
mengalami kiamat lagi. Dan itu telah dikatakan berulang-ulang dalam Al Qur’an.
Akan tetapi, apakah kita tidak percaya kepada firman Allah di
atas, bahwa Surga dan Neraka itu kekalnya adalah sekekal langit dan bumi? Tentu
saja, kita juga nggak berani untuk tidak percaya, sebab
kalimat-kalimat di atas demikian gamblangnya: Khaalidiina fiiha
maadaamatis samaawaati wal ardhi … (kekal di dalamnya selama ada langit dan
bumi …) ” (hal. 234)
Demikian sedikit nukilan dari perkataan beliau, yang kesimpulannya
sesuai judul bukunya yaitu akhirat itu tidaklah kekal. Kami sangat tergelitik
sekali ingin menyanggah pernyataan beliau di atas dengan merujuk pada pakar
tafsir terkemuka. Yang tentunya ilmu ulama tafsir sudah pasti lebih terpercaya.
Semoga Allah memudahkan untuk menyelesaikan tulisan ini karena ingin
mengharapkan wajah-Nya yang mulia.
3 Hal yang Mesti Diyakini Mengenai Surga dan Neraka
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Al Hafizh Al Hakami rahimahullah, keyakinan terhadap surga dan neraka yang
mesti diyakini adalah 3 hal. Beliau sebut dalam bait syairnya,
والنَّارُ وَالجَنَّةُ حَقٌّ وَهُمَا … مَوْجُوْدَتَانِ لاَ فَنَاءَ
لَهُمَا
“Neraka dan surga adalah benar adanya. Keduanya telah ada saat ini.
Dan keduanya tidaklah fana.”
Berikut sedikit uraiannya.[2]
Pertama: Surga dan neraka itu benar adanya, tidak ada keraguan sedikit
pun tentangnya.
Di antara dalilnya,
وَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ (131)
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (132) وَسَارِعُوا
إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ
أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (133)
“Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang
disediakan untuk orang-orang yang kafir. Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya
kamu diberi rahmat. Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga
yang luasnya seluas langit dan bumi yang telah disediakan untuk
orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imron: 131-133)
Kedua: Surga dan neraka sudah ada saat ini.
Tentang surga, Allah Ta’ala berfirman,
أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
“Yang telah disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.”
(QS. Ali Imron: 133)
Tentang neraka, Allah Ta’ala berfirman,
أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ
“Yang telah disediakan untuk orang-orang kafir.” (QS.
Ali Imron: 131). Jika dikatakan “telah disediakan”, berarti keduanya telah ada.
Dari Imron bin Hushain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
اطَّلَعْتُ فِى الْجَنَّةِ فَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا الْفُقَرَاءَ ، وَاطَّلَعْتُ فِى النَّارِ ، فَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ
“Aku pernah melihat surga, lalu aku melihat bahwa kebanyakan
penghuninya adalah orang-orang miskin. Aku pun pernah melihat neraka, lalu aku
melihat kebanyakan penghuninya adalah para wanita.”[3]
Dari Ibnu ‘Abbas, Rofi’ bin Khudaij, ‘Aisyah dan Ibnu ‘Umar,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْحُمَّى مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ ، فَأَبْرِدُوهَا بِالْمَاءِ
“Sakit demam berasal dari panasnya jahannam. Oleh karenanya,
dinginkanlah demam tersebut dengan air.”[4]
Ketiga: Surga dan neraka itu kekal karena Allah yang menghendaki
keduanya untuk kekal. Keduanya tidaklah fana. Banyak sekali dalil yang
membicarakan hal ini, berikut kami sebutkan sebagiannya.
Tentang surga, Allah Ta’ala berfirman,
خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah: 100)
Tentang neraka, Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَظَلَمُوا لَمْ يَكُنِ اللَّهُ لِيَغْفِرَ
لَهُمْ وَلَا لِيَهْدِيَهُمْ طَرِيقًا ,إِلَّا طَرِيقَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ
فِيهَا أَبَدًا
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan kezaliman, Allah
sekali-kali tidak akan mengampuni (dosa) mereka dan tidak (pula) akan
menunjukkan jalan kepada mereka, kecuali jalan ke neraka Jahannam; mereka
kekal di dalamnya selama-lamanya.” (QS. An Nisa’: 168-169)
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا دَخَلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ ، وَ أَهْلُ النَّارِ
النَّارَ ، ثُمَّ يَقُومُ مُؤَذِّنٌ بَيْنَهُمْ يَا أَهْلَ النَّارِ لاَ مَوْتَ ،
وَيَا أَهْلَ الْجَنَّةِ لاَ مَوْتَ ، خُلُودٌ
“Jika penduduk surga telah memasuki surga dan penduduk neraka telah
memasuki neraka, kemudian seseorang akan meneriaki di antara mereka, “Wahai
penduduk neraka, tidak ada lagi kematian untuk kalian. Wahai
penduduk surga, tidak ada lagi kematian untuk kalian. Kalian akan kekal
di dalamnya.”[5]
Awal Sanggahan dari Mustofa Bisri
Buku “Ternyata Akhirat Tidak Kekal”
sebenarnya sudah dikritisi lebih terlebih dulu oleh A. Mustofa Bisri. Berikut
pemaparan beliau ketika memberikan pengantar untuk buku tersebut.
“Yang paling menarik tentu kesimpulan Agus Mustofa tentang
ketidak-kekalan Akhirat, yang karenanya kemudian menjuduli bukunya dengan “Ternyata Akhirat
Tidak Kekal” ini. Kesimpulannya itu antara lain didasarkan
pada Q.S. 11 Hud: 107 dan 108, di mana -menurut pemahaman Agus- kekekalan
mereka yang berbahagia di sorga maupun celaka di neraka digantungkan “kepada
kondisi lainnya, yaitu keberadaan langit dan bumi alias alam semesta”.
Dengan kata lain, paparnya, “Akhirat itu akan kekal jika langit
dan bumi atau alam semesta ini juga kekal. Sehingga kalau suatu ketika alam
semesta ini mengalami kehancuran, maka alam akhirat juga bakal mengalami hal
yang sama, kehancuran” (hal. 234). Pendapat ini diperkuat dengan kutipan Q.S.
28: Al Qashash: 88,
كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ
“Tiap-tiap sesuatu itu pasti binasa kecuali ‘Wajah-Nya’”
Kesimpulan dan pendapat itu terjadi karena Agus Mustofa tidak
mempertimbangkan atau mengabaikan tafsir-tafsir yang ada, khususnya mengenai
kalimat:
مَا دَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ
Misalnya, tafsiran Ahli Tafsir yang menyatakan bahwa yang dimaksud
“langit dan bumi” adalah langit dan bumi yang lain, berdasarkan QS. 14: 48
يَوْمَ تُبَدَّلُ الْأَرْضُ غَيْرَ الْأَرْضِ وَالسَّمَوَاتُ
“(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain
dan (demikian pula) langit.” … [6]
Demikian sebagian komentar dari Bapak Mustofa Bisri yang
mengkritik pendapat kontroversial dari Agus Mustofa. Intinya, pendapat yang
diutarakan oleh Agus Mustofa berseberangan dengan pendapat ahli tafsir dan para
ulama yang tentu lebih memahami ayat tersebut. Mari kita simak penjelasan
selanjutnya.
Merujuk Tafsiran Ulama
Pertama: Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Gholib Al Amili (Abu
Ja’far Ath Thobari)
Mengenai ayat,
خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ
“Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi”,
Ibnu Jarir Ath Thobari rahimahullah mengatakan,
“Orang Arab biasanya jika ingin mensifatkan sesuatu itu kekal selamanya, maka
mereka akan mengungkapkan dengan,
هذا دائم دوام السموات والأرض
“Ini kekal selama langit dan bumi ada.” Namun maksud
ungkapan ini adalah kekal selamanya.[7]
Kedua: Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir Al Qurosyi Ad Dimasyqi
Selain membawakan perkataan Ibnu Jarir Ath Thobari, Ibnu Katsir
membawakan penafsiran lain. Beliau rahimahullah mengatakan,
“Boleh jadi dipahami bahwa maksud ayat “selama langit dan bumi itu ada”
adalah jenis langit dan bumi (maksudnya: langit dan bumi yang beda dengan saat
ini, pen). Karena sudah pasti alam akhirat juga ada langit dan bumi (namun
berbeda dengan saat ini, pen). Buktinya adalah firman Allah Ta’ala,
يَوْمَ تُبَدَّلُ الْأَرْضُ غَيْرَ الْأَرْضِ وَالسَّمَوَاتُ
“(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan
(demikian pula) langit.” (QS. Ibrahim: 48)
Oleh karena itu, Al Hasan Al Bashri menjelaskan mengenai firman
Allah,
خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ
“Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi”,
maksudnya adalah Allah mengganti langit berbeda dengan langit yang ada saat
ini. Begitu pula Allah mengganti bumi berbeda dengan bumi yang ada saat ini.
Langit dan bumi (yang berbeda dengan saat ini tadi, pen) pun akan terus ada.”
Ibnu Abi Hatim mengatakan bahwa Sufyan bin Husain menyebutkan dari
Al Hakam, dari Mujahid, dari Ibnu ‘Abbas, beliau mengatakan mengenai firman
Allah (yang artinya), “Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan
bumi,” yaitu setiap surga itu memiliki langit dan bumi.
‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam menafsirkan, “Yaitu selama bumi
itu menjadi bumi (yang berbeda dengan saat ini, pen) dan langit menjadi langit
(yang berbeda dengan saat ini, pen).” –Demikian penjelasan Ibnu Katsir rahimahullah mengenai surat Huud ayat 107.[8]
Ketiga: Abu Muhammad Al Husain bin Mas’ud Al Baghowi
Al Baghowi menyatakan yang hampir sama dengan Ibnu Jarir Ath
Thobari dan Ibnu Katsir. Al Baghowi mengatakan, “Mengenai ayat (yang artinya),
“Mereka kekal di dalamnya” yaitu terus berada tinggal di
dalamnya. Sedangkan ayat (yang artinya), “Selama langit dan bumi itu ada”,
sebagaimana dikatakan oleh Adh Dhohak, “Selama langit dan bumi dari surga dan
neraka itu ada. Karena segala sesuatu yang berada di atasmu dan menaungimu
itulah langit. Sedangkan segala sesuatu sebagai tempat engkau berpijak itulah
bumi. Begitu pula para pakar tafsir menjelaskan bahwa ungkapan dalam ayat
tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan kekalnya sesuatu. Inilah ungkapan yang
biasa disebutkan oleh orang Arab. Mereka biasa mengatakan, “Saya tidak akan
mendatangimu selama langit dan bumi itu ada”. Atau mereka katakan, “… selama
bergantinya malam dan siang”. Mereka maksudkan ini semua untuk mengungkapkan “selamanya”.”[9]
Keempat: Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad Asy Syaukani
Tentang ayat (yang artinya), “Selama langit dan bumi itu ada,” Asy
Syaukani menukil perkataan Ibnu ‘Abbas yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim,
beliau mengatakan maksud ayat tadi, “Setiap surga memiliki langit dan bumi
tersendiri.”[10]
Kelima: Mahmud bin ‘Amr bin Ahmad Az Zamakhsyari
Az Zamakhsyari menyatakan penafsiran yang sama dengan Ibnu Jarir
dan Ibnu Katsir. Jadi, makna ayat (yang artinya), “Selama langit dan bumi itu
ada”, maksudnya: [1] Yang dimaksud adalah langit dan bumi di akhirat, keduanya
itu abadi dan makhluk yang kekal, [2] ungkapan orang Arab yang ingin menyatakan
sesuai itu kekal dan tidak ada ujung akhirnya.
Untuk maksud pertama ini, beliau membawakan dua ayat bahwa di
akhirat itu ada langit dan bumi tersendiri. Ayat pertama, Allah Ta’ala berfirman,
يَوْمَ تُبَدَّلُ الْأَرْضُ غَيْرَ الْأَرْضِ وَالسَّمَوَاتُ
“(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan
(demikian pula) langit.” (QS. Ibrahim: 48)
Ayat kedua, Allah Ta’ala berfirman,
وَأَوْرَثَنَا الأرض نَتَبَوَّأُ مِنَ الجنة حَيْثُ نَشَاء
“Dan telah (memberi) kepada kami bumi (tempat) ini
sedang kami (diperkenankan) menempati tempat dalam surga di mana saja yang kami
kehendaki.” (QS. Az Zumar: 74)[11]
Keenam: Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengungkapkan, “Sekelompok ulama
menjelaskan mengenai firman Allah (yang artinya), “Selama langit dan bumi itu
ada”, yaitu yang dimaksud adalah langit dari surga dan bumi dari surga.
Sebagaimana disebutkan dalam Shahihain,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian ingin meminta pada Allah, mintalah surga Firdaus.
Firdaus adalah surga yang paling tinggi dan merupakan surga pilihan.
Sedangkan atap (langit) dari surga tersebut adalah ‘Arsy Allah”. Begitu pula sebagian ulama ketika menjelaskan
mengenai firman Allah,
وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِي الزَّبُورِ مِنْ بَعْدِ الذِّكْرِ أَنَّ
الْأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَّالِحُونَ
“Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis
dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hambaKu yang
saleh.” (QS. Al Anbiya’: 105). Yang dimaksudkan di sini adalah
bumi di surga. Oleh karena itu tidak bertentangan antara yang menyatakan langit
akan terlipat (yaitu langit dunia, pen). Sedangkan langit yang tetap terus ada
adalah langit (atap) dari surga. Oleh karena itu, yang mesti kita pahami adalah
segala sesuatu yang berada di atas, maka ia disebut secara bahasa dengan langit
(as samaa’). Sebagaimana pula hujan disebut dengan samaa’ (langit). Dan atap juga disebut
dengan samaa’ (langit).”[12]
Ringkasnya, mengenai surat Huud ayat 107 dan 108, ada dua penafsiran:
Pertama: Yang dimaksud adalah langit dan bumi yang ada di akhirat nanti.
Kedua: Penyebutan “selama langit dan bumi itu ada” adalah ungkapan
orang Arab yang ingin menyebutkan sesuatu itu kekal abadi.
Bandingkan tafsiran di atas ini dengan pemahamann penulis buku
tersebut.
Kekeliruan Penulis Buku “Ternyata Akhirat Tidak Kekal”
Dari penjelasan ulama di atas, terlihat jelas bahwa surat Huud
ayat 16-108 bukan memaksudkan akhirat itu tidak kekal sebagaimana yang
disalahpahami oleh Agus Mustofa. Sudah jelaslah kekeliruan yang beliau utarakan
dalam buku tersebut. Intinya, kekeliruan yang beliau lakukan disebabkan
beberapa hal:
Pertama: Hanya bergantung pada logika yang dangkal
Setelah beranjak dari pemahaman keliru terhadap surat Huud ayat
107 dan 108, beliau pun mengemukakan argumen sains. Namun ini sudah beranjak
dari pemikiran keliru terhadap ayat tadi dan dibangun di atas logika yang fasid (rusak). Yang namanya logika jika
bertentangan dengan dalil, maka dalil yang mesti didahulukan karena logika
tentu saja terbatas. Coba pahami baik-baik perkataan seorang alim, Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berikut
ini.
“Bahkan akal adalah syarat untuk mengilmui sesuatu dan untuk
beramal dengan baik dan sempurna. Akal pun akan menyempurnakan ilmu dan amal.
Akan tetapi, akal tidaklah bisa berdiri sendiri. Akal bisa
berfungsi jika dia memiliki instink dan kekuatan sebagaimana penglihatan mata
bisa berfungsi jika ada cahaya. Apabila akal mendapati cahaya iman dan Al
Qur’an barulah akal akan seperti mata yang mendapatkan cahaya mentari. Jika
bersendirian tanpa cahaya, akal tidak akan bisa melihat atau mengetahui sesuatu.”[13]
Intinya, logika bisa berjalan dan berfungsi jika ditunjuki oleh
dalil syar’i yaitu dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah. Tanpa cahaya ini, akal
tidak akan berfungsi sebagaimana mestinya. Sedangkan tentang surga dan neraka,
betapa banyak ayat yang menunjukkan kekalnya. Pantaskah di sini akal
mengalahkan dalil Al Qur’an dan As Sunnah? Logika barulah benar jika memang
tidak berseberangan dengan wahyu.
Kedua: Tidak mau merujuk pada ulama
Inilah salah satu kekeliruannya lagi. Jarang sekali kami lihat
dalam buku beliau yang menukil perkataan ulama atau mau merujuk pada mereka
dalam menafsirkan ayat. Beliau kadang menafsirkannya sendiri sehingga bisa
salah fatal semacam ini.
Maka benarlah apa yang dikatakan oleh Umar bin ‘Abdul ‘Aziz,
مَنْ عَبَدَ اللهَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ مَا يُفْسِدُ أَكْثَرَ
مِمَّا يُصْلِحُ
”Barangsiapa beribadah pada Allah tanpa ilmu, maka kerusakan yang
ditimbulkan lebih besar daripada perbaikan yang dilakukan.”[14]
Kita punya kewajiban jika tidak tahu tentang masalah agama
termasuk pula dalam memahami ayat untuk bertanya pada orang berilmu.
Allah Ta’ala berfirman,
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu
tiada mengetahui.” (QS. An Nahl: 43 dan Al Anbiya’: 7).
Ingatlah, obat dari kebodohan adalah dengan bertanya pada ahli
ilmu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
شِفَاءُ الْعِىِّ السُّؤَالُ
“Obat dari kebodohan adalah dengan bertanya.”[15] Ketika
membawakan hadits ini, Ibnu Qayyim Al Jauziyah mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut kebodohan
dengan penyakit dan obatnya adalah dengan bertanya pada para ulama (yang
berilmu).”[16]
Ketiga: Mengikut ayat mutasyabih (yang masih samar)
Sebelum menyebutkan pendapatnya pada halaman 234, sebenarnya Ir.
Agus Mustofa sudah memaparkan ayat-ayat yang menunjukkan kekalnya surga dan
neraka. Bahkan beliau sendiri katakan di hal. 232 dari bukunya, “Dan masih
banyak lagi ayat tentang kekekalan Surga, Neraka, atau Akhirat itu. Tak kurang dari 110 ayat yang menggambarkan,
betapa akhirat, surga dan neraka itu kekal.”
Namun ketika sampai pada hal. 234, setelah membawakan surat Huud
ayat 106-108, beliau pun mengatakan, “Justru di sinilah kunci pemahamannya.
Pertama, bahwa akhirat tersebut sesungguhnya memang tidak kekal.
Akan tetapi, ketidakkekalan itu bukan berarti meringankan arti dari
informasi-informasi sebelumnya yang mengatakan: Khaalidiina fiiha … (kekal di dalamnya
…). Dan di ayat lainnya lagi seringkali ditambahkan kata
‘abada’ (abadi, selama-lamanya). Miliaran tahun! Karena kekal yang dimaksudkan
tersebut memang bukan kekal yang tidak terbatas. Akhirat adalah makhluk. Karena
itu ia pasti memiliki awal dan akhir.” Demikian perkataan beliau.
Semula ia katakan bahwa 110 ayat membicarakan kekekalan akhirat,
namun ketika bertemu dengan surat Huud ayat 106-108, baru ia menjadi bingung.
Lalu akhirnya ia simpulkan bahwa akhirat itu tidak kekal. Bagaimana mungkin
hanya berpegang pada surat Huud lalu mengalahkan 110 ayat yang menyatakan
kekekalan surga dan neraka?!
Thoriqoh (metode) orang-orang yang menyimpang memang seperti ini.
Kebiasaannya adalah selalu mempertentangkan ayat yang satu dan lainnya. Atau
kebiasaannya adalah berpegang pada ayat yang masih samar (baca: mutasyabih) dan
meninggalkan ayat-ayat yang sudah jelas yaitu ayat muhkam. Seharusnya sikap
yang tepat ketika seseorang menemukan ayat-ayat yang samar dan sulit baginya
untuk memahaminya adalah ia pahami dan membawa ayat
tersebut kepada ayat muhkam (yang sudah jelas maknanya). Bukan malah
yang jadi pegangan adalah ayat mutasyabih yang masih samar.
Itulah yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, ketika kita menemukan ayat masih samar, bawalah
ayat tersebut kepada ayat yang sudah jelas maknanya agar kita tidak tersesat.
Allah Ta’ala berfirman,
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آَيَاتٌ
مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ
فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ
الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ
وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آَمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ
رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara
(isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan
yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya
condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang
mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari
ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan
orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil
pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (QS.
Ali Imron: 7). Ayat-ayat yang muhkam (yang sudah jelas maknanya) dalam ayat ini
disebut dengan ummul kitaab (induk kitab).
Artinya, ayat-ayat muhkam inilah yang jadikan rujukan ketika bertemu dengan
ayat-ayat yang masih samar bagi sebagian orang (mutasyabihaat).[17] Namun
kecenderungan orang-orang yang sesat adalah biasa mengikuti ayat mutasyabih
(yang masih samar).
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,
“Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, yaitu keluar
dari kebenaran menuju pada kebatilan, maka mereka mengikuti ayat yang masih
mutasyabih (masih samar). Mereka mengambil ayat mutasyabih tersebut yang mampu
mereka selewengkan sesuai maksud mereka yang keliru dan dijadikan sebagai
pembela mereka karena makna yang masih bisa diselewengkan sesuka mereka. Adapun
ayat-ayat yang muhkam (yang sudah jelas maknanya), seperti itu tidak dijadikan
rujukan mereka. Mereka tidak mau berpegang pada ayat yang muhkam karena itu
bisa menyangkal dan menjatuhkan pendapat mereka sendiri. ”[18]
Penutup
Inilah beberapa kekeliruan dasar penulis Agus Mustofa. Ditambah
lagi pemahaman beliau yang berbau tasawuf dan filsafat, hal ini semakin
menambah kelamnya buku “Ternyata Akhirat Tidak Kekal”.
Kami hanya mengingatkan, waspadalah terhadap buku-buku dan
pemahaman beliau sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menasehati kita agar waspada dengan orang-orang yang
hanya mau berpegang pada ayat mutasyabih (yang masih samar) dan meninggalkan
jauh-jauh ayat muhkam (yang sudah jelas maknanya).
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah membaca surat Ali Imron ayat 7 di atas, lalu
‘Aisyah mengatakan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
إِذَا رَأَيْتُمُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ
فَأُولَئِكَ الَّذِينَ سَمَّى اللَّهُ فَاحْذَرُوهُمْ
“Jika kalian melihat orang-orang yang sering mengikuti ayat-ayat
yang mutasyabih (yang masih samar), maka merekalah yang Allah sebut (dalam
surat Ali Imron ayat 7). Oleh karenanya, Waspadalah terhadap mereka.”[19]
Semoga Allah memberi taufik dan hidayah pada penulis buku
tersebut. Semoga kaum muslimin yang lain dapat terhindar dari
kekeliruan-kekeliruannya. Hanya Allah yang memberi taufik.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan
menjadi sempurna.
Al Faqir Ilallah: Muhammad Abduh Tuasikal
Diselesaikan di pagi hari di Panggang, GK, 21 Shofar 1431 H
[1] Buku yang ditulis
oleh Agus Mustofa amatlah banyak, semuanya bertajuk tasawuf modern. Buku
“Ternyata Akhirat Tidak Kekal” ini telah sampai pada cetakan kesepuluh dan
diterbitkan oleh PADMA Press.
[2] Kami sarikan
dari Ma’arijul Qobul, Syaikh Hafizh bin Ahmad Al Hakami,
2/222-229, Darul Hadits, cetakan tahun 1420 H.
[3] HR. Bukhari no. 5198
dan Muslim no. 2737.
[4] HR. Bukhari dan
Muslim.
[5] HR. Bukhari no. 6544
dan Muslim no. 2850.
[6] Lihat Ternyata Akhirat Tidak Kekal, Agus Mustofa, hal.
xi-xii, PADMA press, cetakan kesepuluh, tahun 2006.
[7] Tafsir Ath Thobari (Jaami’ Al Bayan ‘an Ta’wilil Ayil Qur’an),
Ibnu Jarir Ath Thobari, 12/578, Dar Hijr.
[8] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 7/472,
Muassasah Qurthubah.
[9] Ma’alimut Tanzil, Al Baghowi, 4/200, Dar Thoyibah,
cetakan keempat, tahun 1417 H.
[10] Fathul Qodir, Asy Syaukani, 3/486, Mawqi’ At Tafaasir.
[11] Al Kasysyaf, Az Zamakhsyari, 3/124, Mawqi’ At Tafaasir.
[12] Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 15/109,
Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.
[13] Majmu’ Al Fatawa, 3/338-339.
[14] Lihat Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Munkar, Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, hal. 15, Mawqi’ Al Islam.
[15] HR.
Abu Daud no. 336, Ibnu Majah no. 572 dan Ahmad (1/330). Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shohih Al Jaami’ no.
4363.
[16] Ighotsatul Lahfaan min Mashoidisy Syaithon, Ibnu Qoyyim
Al Jauziyah, 1/19, Darul Ma’rifah, cetakan kedua, tahun 1395 H
[17] Faedah
dari penjelasan Ibnu Katsir ketika menjelaskan surat Ali Imron ayat 7.
Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 3/7.
[18] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 3/9.
[19] HR.
Muslim no. 2665.