Yang dimaksud dengan tauhid ini ialah mengesakan Allah Ta’ala pada
seluruh nama dan sifat yang dimiliki-Nya. Tauhid ini mengandung dua rukun
penting:
1. Penetapan, yang dimaksud adalah menetapkan bagi Allah Ta’ala seluruh nama dan sifat-Nya. Maka tidaklah kita menetapkan nama bagi Allah Ta’ala kecuali dengan nama yang Allah Ta’ala tetapkan bagi diri-Nya atau ditetapkan oleh Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula tidaklah kita menetapkan sifat bagi Allah Ta’ala kecuali dengan sifat yang Allah Ta’ala tetapkan bagi diri-Nya atau ditetapkan oleh Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Peniadaan, yang dimaksud adalah meniadakan dari Allah Ta’ala seluruh nama dan sifat yang telah ditiadakan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Termasuk di dalamnya, meniadakan semua penyerupaan dengan nama dan sifat Allah dengan nama dan sifat makhluk.
Barangsiapa tidak mau menetapkan bagi Allah Ta’ala sesuatu yang sudah Allah Ta’ala tetapkan bagi diri-Nya berarti dia mu’aththil (seorang penolak) dan penolakannya serupa dengan penolakan Fir’aun. Sebab seorang yang tidak mau menetapkan nama dan sifat bagi Allah Ta’ala berarti dia telah meniadakan Allah Ta’ala sebagaimana Fir’aun yang tidak mengimani keberadaan Allah Ta’ala. Demikian pula barangsiapa yang mau menetapkan saja tapi dia menyerupakan nama dan sifat Allah tersebut dengan nama dan sifat makhluk berarti dia menyamai kaum musyrikin yang mengibadahi selain Allah Ta’ala. Sebab seorang yang menyerupakan nama dan sifat Allah Ta’ala dengan sesuatu yang ada pada makhluk, pada hakikatnya dia mengibadahi sesuatu selain Allah Ta’ala, karena Allah Ta’ala tidak sama dengan makhluk-Nya. Dan barangsiapa yang menetapkan sesuatu yang sudah Allah Ta’ala tetapkan bagi diri-Nya tanpa menyerupakannya dengan makhluk maka berarti dia seorang muwahhid (seorang yang bertauhid).
Kedua rukun ini berlandaskan pada dalil syariat dan akal. Adapun dalil dari syariat, di antaranya adalah firman Allah Ta’ala, “Hanya milik Allah nama-nama yang paling baik, maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama itu, dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran mengenai nama-nama-Nya.” (Al-A’raf: 180) “Tak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11)
Allah Ta’ala berfirman, “Maka janganlah kalian mengadakan penyerupaan-penyerupaan bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui.” (An-Nahl: 74)
Sedangkan dalil dari logika yaitu kita mengatakan bahwa berbicara tentang nama dan sifat Allah Ta’ala termasuk pemberitaan yang tak mungkin akal kita mampu untuk mengetahui rinciannya tanpa tuntunan wahyu. Oleh karena itu, seharusnya kita mencukupkan diri dengan setiap yang diberitakan oleh wahyu saja dan tidak melampauinya.
1. Penetapan, yang dimaksud adalah menetapkan bagi Allah Ta’ala seluruh nama dan sifat-Nya. Maka tidaklah kita menetapkan nama bagi Allah Ta’ala kecuali dengan nama yang Allah Ta’ala tetapkan bagi diri-Nya atau ditetapkan oleh Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula tidaklah kita menetapkan sifat bagi Allah Ta’ala kecuali dengan sifat yang Allah Ta’ala tetapkan bagi diri-Nya atau ditetapkan oleh Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Peniadaan, yang dimaksud adalah meniadakan dari Allah Ta’ala seluruh nama dan sifat yang telah ditiadakan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Termasuk di dalamnya, meniadakan semua penyerupaan dengan nama dan sifat Allah dengan nama dan sifat makhluk.
Barangsiapa tidak mau menetapkan bagi Allah Ta’ala sesuatu yang sudah Allah Ta’ala tetapkan bagi diri-Nya berarti dia mu’aththil (seorang penolak) dan penolakannya serupa dengan penolakan Fir’aun. Sebab seorang yang tidak mau menetapkan nama dan sifat bagi Allah Ta’ala berarti dia telah meniadakan Allah Ta’ala sebagaimana Fir’aun yang tidak mengimani keberadaan Allah Ta’ala. Demikian pula barangsiapa yang mau menetapkan saja tapi dia menyerupakan nama dan sifat Allah tersebut dengan nama dan sifat makhluk berarti dia menyamai kaum musyrikin yang mengibadahi selain Allah Ta’ala. Sebab seorang yang menyerupakan nama dan sifat Allah Ta’ala dengan sesuatu yang ada pada makhluk, pada hakikatnya dia mengibadahi sesuatu selain Allah Ta’ala, karena Allah Ta’ala tidak sama dengan makhluk-Nya. Dan barangsiapa yang menetapkan sesuatu yang sudah Allah Ta’ala tetapkan bagi diri-Nya tanpa menyerupakannya dengan makhluk maka berarti dia seorang muwahhid (seorang yang bertauhid).
Kedua rukun ini berlandaskan pada dalil syariat dan akal. Adapun dalil dari syariat, di antaranya adalah firman Allah Ta’ala, “Hanya milik Allah nama-nama yang paling baik, maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama itu, dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran mengenai nama-nama-Nya.” (Al-A’raf: 180) “Tak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11)
Allah Ta’ala berfirman, “Maka janganlah kalian mengadakan penyerupaan-penyerupaan bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui.” (An-Nahl: 74)
Sedangkan dalil dari logika yaitu kita mengatakan bahwa berbicara tentang nama dan sifat Allah Ta’ala termasuk pemberitaan yang tak mungkin akal kita mampu untuk mengetahui rinciannya tanpa tuntunan wahyu. Oleh karena itu, seharusnya kita mencukupkan diri dengan setiap yang diberitakan oleh wahyu saja dan tidak melampauinya.
Kemudian, di sini kita perlu menegaskan bahwa seluruh sifat yang
Allah Ta’ala tetapkan bagi diri-Nya merupakan sifat-sifat kesempurnaan. Allah
Ta’ala lebih banyak menyebutkan nama-nama dan sifat-sifatNya secara rinci
daripada mengglobalkannya. Itu karena bila pemberitaan dan kandungan-kandungan
yang ditunjukkannya semakin banyak/rinci maka akan semakin nampak pula
kesempurnaan zat yang mempunyai sifat-sifat tersebut. Oleh karena itu, sifat-sifat
yang telah Allah Ta’ala tetapkan bagi diri-Nya lebih banyak diberitakan
daripada sifat-sifat yang ditiadakan oleh Allah Ta’ala dari diri-Nya.
Adapun seluruh sifat yang telah ditiadakan oleh Allah Ta’ala dari diri-Nya merupakan sifat-sifat kekurangan yang tidak pantas bagi Dzat-Nya, seperti sifat kelemahan, letih, aniaya, dan sifat menyerupai para makhluk. Kebanyakan sifat ini disebutkan secara global, sebab hal itu lebih sesuai dalam mengagungkan zat yang disifatkan dan lebih sempurna dalam menyucikannya dari sifat kurang. Sedangkan penyebutan sifat-sifat (yang ditiadakan) itu secara rinci tanpa alasan, bisa menjadi berubah menjadi ejekan dan pelecehan terhadap zat yang disifati.
Jika anda memuji seorang raja dengan mengatakan kepadanya, “Anda adalah seorang yang dermawan, pemberani, teguh, memiliki hukum yang kuat, perkasa atas musuh-musuhmu” dan sifat-sifat terpuji lainnya, sungguh hal ini termasuk sanjungan yang sangat besar terhadapnya. Demikian pula jika anda mengatakan kepadanya, “Anda adalah seorang raja yang tak bisa disamai oleh seorang pun dari raja-raja dunia yang berada di masamu,” sungguh hal ini juga merupakan sanjungan yang bernilai lebih, karena anda telah mengglobalkan sifat-sifat yang ditiadakan darinya.
Tapi jika anda mengatakan kepadanya, “Engkau adalah seorang raja yang tidak pelit, tidak penakut, tidak faqir, dan engkau bukan seorang penjual sayur, bukan seorang tukang sapu, bukan dokter hewan, dan bukan tukang bekam,” dan rincian-rincian yang semacam itu dalam meniadakan segala aib yang tidak pantas bagi kemuliaannya, sungguh hal ini akan dianggap sebagai ejekan dan pelecehan terhadapnya.
Kemudian, walaupun sifat-sifat yang ditiadakan oleh Allah Ta’ala dari Zat-Nya kebanyakannya disebutkan secara global, namun terkadang Allah Ta’ala menyebutkannya secara rinci karena beberapa sebab:
1. Untuk meniadakan sesuatu yang diklaim oleh para pendusta terhadap hak Allah Ta’ala. Sebagaimana dalam firman-Nya, “Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi beserta-Nya.” (Al-Mu`minun: 91) Ini tatkala sebagian orang kafir ada yang menetapkan bahwa Allah mempunyai anak
2. Untuk menepis anggapan akan adanya suatu kekurangan pada kesempurnaan Allah Ta’ala. Sebagaimana dalam firman-Nya, “Dan sesungguhnya telah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam hari, dan tidaklah sedikitpun kami ditimpa keletihan.” (Qaf: 38)
Tatkala Allah Ta’ala menciptakan ketujuh langit dan bumi hanya dalam waktu enam hari, mungkin akan terbetik dalam pikiran sebagian orang bahwa Allah akan mengalami keletihan. Maka Allah segera menepis sangkaan jelek tersebut dengan firman-Nya di atas.
Adapun seluruh sifat yang telah ditiadakan oleh Allah Ta’ala dari diri-Nya merupakan sifat-sifat kekurangan yang tidak pantas bagi Dzat-Nya, seperti sifat kelemahan, letih, aniaya, dan sifat menyerupai para makhluk. Kebanyakan sifat ini disebutkan secara global, sebab hal itu lebih sesuai dalam mengagungkan zat yang disifatkan dan lebih sempurna dalam menyucikannya dari sifat kurang. Sedangkan penyebutan sifat-sifat (yang ditiadakan) itu secara rinci tanpa alasan, bisa menjadi berubah menjadi ejekan dan pelecehan terhadap zat yang disifati.
Jika anda memuji seorang raja dengan mengatakan kepadanya, “Anda adalah seorang yang dermawan, pemberani, teguh, memiliki hukum yang kuat, perkasa atas musuh-musuhmu” dan sifat-sifat terpuji lainnya, sungguh hal ini termasuk sanjungan yang sangat besar terhadapnya. Demikian pula jika anda mengatakan kepadanya, “Anda adalah seorang raja yang tak bisa disamai oleh seorang pun dari raja-raja dunia yang berada di masamu,” sungguh hal ini juga merupakan sanjungan yang bernilai lebih, karena anda telah mengglobalkan sifat-sifat yang ditiadakan darinya.
Tapi jika anda mengatakan kepadanya, “Engkau adalah seorang raja yang tidak pelit, tidak penakut, tidak faqir, dan engkau bukan seorang penjual sayur, bukan seorang tukang sapu, bukan dokter hewan, dan bukan tukang bekam,” dan rincian-rincian yang semacam itu dalam meniadakan segala aib yang tidak pantas bagi kemuliaannya, sungguh hal ini akan dianggap sebagai ejekan dan pelecehan terhadapnya.
Kemudian, walaupun sifat-sifat yang ditiadakan oleh Allah Ta’ala dari Zat-Nya kebanyakannya disebutkan secara global, namun terkadang Allah Ta’ala menyebutkannya secara rinci karena beberapa sebab:
1. Untuk meniadakan sesuatu yang diklaim oleh para pendusta terhadap hak Allah Ta’ala. Sebagaimana dalam firman-Nya, “Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi beserta-Nya.” (Al-Mu`minun: 91) Ini tatkala sebagian orang kafir ada yang menetapkan bahwa Allah mempunyai anak
2. Untuk menepis anggapan akan adanya suatu kekurangan pada kesempurnaan Allah Ta’ala. Sebagaimana dalam firman-Nya, “Dan sesungguhnya telah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam hari, dan tidaklah sedikitpun kami ditimpa keletihan.” (Qaf: 38)
Tatkala Allah Ta’ala menciptakan ketujuh langit dan bumi hanya dalam waktu enam hari, mungkin akan terbetik dalam pikiran sebagian orang bahwa Allah akan mengalami keletihan. Maka Allah segera menepis sangkaan jelek tersebut dengan firman-Nya di atas.
Adapun perincian nama-nama dan sifat-sifat Allah, maka berikut
sebagian di antara dalil-dalilNya, “Dialah Allah yang tiada sesembahan
yang berhak diibadahi selain Dia, yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata,
Dia-lah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dialah Allah yang tiada
sesembahan yang berhak diibadahi selain Dia, yang Maha Memiliki, yang Maha Suci,
yang Maha Sejahtera, yang Mengaruniakan keamanan, yang Maha Memelihara, yang
Maha Perkasa, yang Maha Kuasa, yang Maha Sombong. Maha Suci Allah dari segala
yang mereka persekutukan. Dialah Allah yang Maha Menciptakan, yang Mengadakan,
yang membentuk rupa, yang mempunyai nama-nama yang baik. Seluruh yang di langit
dan bumi bertasbih kepada-Nya. Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Hasyr:
22-24)
Ayat-ayat ini mengandung lebih dari 15 nama, dan setiap nama paling minimal mengandung satu sifat atau lebih.
Adapun dalil-dalil bahwa Allah meniadakan sifat-sifat kurang dari-Nya secara global, maka berikut di antaranya firman Allah Ta’ala, “Tak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya.” (QS. Asy-Syura: 11) juga firman-Nya,“Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (QS. Maryam: 65) dan firman-Nya, “Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” (Al-Ikhlash: 4)
Ayat-ayat ini mengandung lebih dari 15 nama, dan setiap nama paling minimal mengandung satu sifat atau lebih.
Adapun dalil-dalil bahwa Allah meniadakan sifat-sifat kurang dari-Nya secara global, maka berikut di antaranya firman Allah Ta’ala, “Tak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya.” (QS. Asy-Syura: 11) juga firman-Nya,“Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (QS. Maryam: 65) dan firman-Nya, “Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” (Al-Ikhlash: 4)
Di sini ada satu poin penting yang harus diperhatikan, yaitu:
Bahwa tatkala kita meniadakan adanya keserupaan antara nama dan sifat Allah
dengan nama dan sifat para makhluk, maka yang dimaksudkan di sini adalah
meniadakan keserupaan secara sempurna dan menyeluruh antara nama dan sifat
Allah dengan nama dan sifat makhluk. Artinya, kalau ada keserupaan antara nama dan
sifat Allah dengan nama dan sifat makhluk tapi keserupaan ini tidak
sempurna/menyeluruh, akan tetapi hanya pada satu sisi -yaitu sekedar kesamaan
lafazh dan makna dasar (bukan makna menyeluruh)-, maka ini tidak bertentangan
dengan rukun peniadaan yang telah kita terangkan di atas.
Jadi, adanya kesamaan lafazh dan makna dasar antara nama dan sifat Allah dengan nama dan sifat makhluk, tidaklah menunjukkan baha Allah serupa dengan makhluk dan demikian pula sebaliknya. Hal ini bisa dibuktikan melalui dalil-dalil syariat, logika, dan panca indera.
1. Bukti dari dalil yang syar’i di antaranya, bahwasanya Allah Ta’ala telah berfirman tentang Zat-Nya:
“Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (An-Nisa`: 58)
Di dalam ayat ini, Allah Ta’ala menetapkan bahwa Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat. Sementara di dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala menetapkan bahwa manusia juga mendengar dan melihat. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur, yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan). Karena itu Kami jadikan dia seorang yang mendengar dan melihat.” (Al-Insan: 2)
Maka pada kedua ayat ini, walaupun Allah menetapkan bahwa manusia mempunyai sifat mendengar dan melihat sebagaimana juga Allah memiliki kedua sifat tersebut, namun tentunya pendengaran dan penglihatan Allah Ta’ala tidaklah sama dengan pendengaran dan penglihatan manusia walaupun sama-sama disebutkan mempunya nama dan sifat mendengar dan melihat.
2. Bukti dari dalil yang logis, yaitu bahwa sebuah sifat yang sama itu terkait dan berbeda sesuai dengan siapa yang memiliki sifat tersebut. Bila beberapa perkara itu berbeda dari sisi dzat, maka pastilah beberapa perkara tersebut berbeda pula dari sisi sifatnya. Sebagai contoh, kita menyifati manusia dan juga menyifati harimau dengan satu sifat yang sama, yaitu keberanian, padahal kita mengetahui bahwa jenis keberanian antara keduanya jelas berbeda karena zat yang memiliki sifat tersebut (manusia dan harimau) juga berbeda.
3. Adapun bukti dari dalil secara panca indera, yaitu bahwasanya kita menyaksikan gajah memiliki fisik, kaki, serta kekuatan dan nyamuk juga memiliki fisik, kaki, serta kekuatan. Di sini tentunya kita mengetahui perbedaan antara fisik, kaki, serta kekuatan keduanya.
Jadi, adanya kesamaan lafazh dan makna dasar antara nama dan sifat Allah dengan nama dan sifat makhluk, tidaklah menunjukkan baha Allah serupa dengan makhluk dan demikian pula sebaliknya. Hal ini bisa dibuktikan melalui dalil-dalil syariat, logika, dan panca indera.
1. Bukti dari dalil yang syar’i di antaranya, bahwasanya Allah Ta’ala telah berfirman tentang Zat-Nya:
“Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (An-Nisa`: 58)
Di dalam ayat ini, Allah Ta’ala menetapkan bahwa Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat. Sementara di dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala menetapkan bahwa manusia juga mendengar dan melihat. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur, yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan). Karena itu Kami jadikan dia seorang yang mendengar dan melihat.” (Al-Insan: 2)
Maka pada kedua ayat ini, walaupun Allah menetapkan bahwa manusia mempunyai sifat mendengar dan melihat sebagaimana juga Allah memiliki kedua sifat tersebut, namun tentunya pendengaran dan penglihatan Allah Ta’ala tidaklah sama dengan pendengaran dan penglihatan manusia walaupun sama-sama disebutkan mempunya nama dan sifat mendengar dan melihat.
2. Bukti dari dalil yang logis, yaitu bahwa sebuah sifat yang sama itu terkait dan berbeda sesuai dengan siapa yang memiliki sifat tersebut. Bila beberapa perkara itu berbeda dari sisi dzat, maka pastilah beberapa perkara tersebut berbeda pula dari sisi sifatnya. Sebagai contoh, kita menyifati manusia dan juga menyifati harimau dengan satu sifat yang sama, yaitu keberanian, padahal kita mengetahui bahwa jenis keberanian antara keduanya jelas berbeda karena zat yang memiliki sifat tersebut (manusia dan harimau) juga berbeda.
3. Adapun bukti dari dalil secara panca indera, yaitu bahwasanya kita menyaksikan gajah memiliki fisik, kaki, serta kekuatan dan nyamuk juga memiliki fisik, kaki, serta kekuatan. Di sini tentunya kita mengetahui perbedaan antara fisik, kaki, serta kekuatan keduanya.
Jika kita sudah mengetahui bahwa kesamaan dalam nama dan sifat di
antara para makhluk tidaklah melazimkan kesamaan dalam bentuk zat dan
hakikatnya, padahal mereka adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah Ta’ala.
Maka tidak adanya keserupaan antara Dzat yang Maha pencipta dengan makhluk
ciptaan-Nya dalam hakikat nama dan sifat tentu lebih utama dan lebih jelas.
Bahkan kesamaan antara Dzat Yang Maha Pencipta dan makhluk ciptaan-Nya dalam perkara
nama dan sifat adalah sesuatu yang amat sangat tidak mungkin terjadi. Wallahu
a’lam bish-shawab.
Al-atsariyah.com
0 komentar:
Posting Komentar