Ustadz, ana udah bertunangan dengan seorang laki-laki, tapi
tiba-tiba karena alasan tertentu, ana jadi kurang cocok dengan dia dan ana
ingin berpisah dengan dia. Tapi ana takut. Apakah boleh membatalkan tunangan?
Dan bagaimana cara yang baik untuk menyampaikannya kepada dia? Lalu apa hukum
pertunangan dalam Islam?
(Fulanah)
Jawaban:
(Fulanah)
Jawaban:
Wa ‘alaikumussalam warahmatullaahi wabarakaatuh
Alhamdulillah, ‘alaa kulli haal. Ukhti yang
saya hormati. Bolehkah membatalkan pertunangan? Ini pertanyaan menarik. Karena
pertanyaan ini berpangkal dari simpul persoalan makna “pertunangan” yang
membawahi beberapa telaah fikih yang tidak sederhana.
Bila kita mau jujur, makna pertunangan itu adalah budaya baru yang
dikembangkan oleh masyarakat modern, sebagai penitisan ulang dari budaya mirip
di masa Siti Nurbaya dulu yang disebut “perjodohan”. Bedanya, perjodohan
bersifat lebih mengikat, dan lebih sering dilakukan tanpa sepengetahuan anak
yang dijodohkan. Kedua calon mempelai itu dijodohkan semenjak kecil, bahkan
kadang sebelum mereka dilahirkan –dengan perkiraan seandainya anaknya perempuan
anak dijodohkan dengan anak si Fulan misalnya–, sehingga keduanya tak punya
pilihan selain menerimanya mentah-mentah!
Pertunangan bersifat lebih fleksibel, karena dilakukan dengan melibatkan
langsung pihak yang dijodohkan. Maka, mengacu pada kaidah fikih: “Asal dari
adat kebiasaan itu mubah kecuali bila ada dalil yang menunjukkan keharamannya,
maka pertunangan secara hukum asal adalah mubah.
Itu artinya, boleh saja terjadi kesepakatan antara pria muslim
dengan wanita muslimah untuk saling menikah di waktu tertentu, karena pada saat
itu keduanya masih ingin menyelesaikan studi misalnya, atau karena si calon
suami ingin merawat kedua orang tuanya terlebih dahulu selama satu atau dua tahun.
Itu akan dimasukkan dalam kategori “perjanjian”.
Tapi, yang harus dijelaskan di sini, karena ia hanya sebagai
kebiasaan, maka pertunangan tidak memiliki dasar hukum khusus seperti halnya
lamaran atau akad pernikahan. Karena tak memiliki dasar khusus, maka tidak
boleh seseorang menjadikan pertunangan ini sebagai ikatan. Karena ikatan itu
hanya berlaku dengan akad pernikahan, dan itu hukum baku yang tak dapat diubah.
Maka bila seseorang melakukan pertunangan atau “menunangkan” putrinya dengan
pria tertentu misalnya, sifatnya tidak boleh dijadikan perjanjian yang
mengikat. Keduanya hanya boleh diibaratkan sebagai “janji keinginan” untuk
saling menikahi. Seperti seorang pria yang mengatakan, “Saya berniat menikahkan
putra saya dengan putrimu,” lalu yang diajak bicara menjawab, “Saya juga
berniat demikian, kira-kira dua tahun lagi…”
Karena tidak mengikat, maka bila salah seorang di antara keduanya
tiba-tiba menjadi kuat hasratnya untuk menikah, sementara pihak yang lain belum
mau menikah, maka pihak yang ingin menikah itu bebas membatalkan perjanjian
tersebut, untuk –misalnya– menikah dengan pria atau wanita lain.
Artinya, di awal pertunangan tersebut memang harus disepakati
bahwa pertunangan itu hanyalah sebatas rencana, bukan sebuah perjanjian yang
mengikat, di mana salah seorang tidak boleh membatalkannya secara sepihak,
harus dengan kesepakatan kedua belah pihak. Karena bila demikian, maka itu sama
saja mengganti syariat akad dengan pertunangan. Di level tersebut, maka
pertunangan bisa menjadi bid’ah yang diharamkan. Kenapa bid’ah? Karena definisi
bid’ah yaitu:
“Sebuah metode atau cara dalam urusan agama yang sengaja dibuat-buat, menyerupai bentuk syariat (ibadah) yang sudah ada, dengan tujuan pelaksanaan menambah ibadah, atau memiliki tujuan seperti tujuan syariat.”
“Sebuah metode atau cara dalam urusan agama yang sengaja dibuat-buat, menyerupai bentuk syariat (ibadah) yang sudah ada, dengan tujuan pelaksanaan menambah ibadah, atau memiliki tujuan seperti tujuan syariat.”
Sementara perbuatan bid’ah itu haram dalam Islam:
“Hati-hatilah kalian terhadap ibadah yang dibuat-buat. Setiap ibadah yang dibuat-buat itu bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat.” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud IV L 201, dengan nomor 4607. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi V : 44, dengan nomor 2676, dan telah ditakhrij sebelumnya hal. 42.]
“Hati-hatilah kalian terhadap ibadah yang dibuat-buat. Setiap ibadah yang dibuat-buat itu bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat.” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud IV L 201, dengan nomor 4607. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi V : 44, dengan nomor 2676, dan telah ditakhrij sebelumnya hal. 42.]
Coba cermati ungkapan, “Sebuah metode atau cara dalam urusan agama
yang sengaja dibuat-buat, menyerupai bentuk syariat (ibadah) yang sudah ada….”
Jelas terlihat bahwa pertunangan yang mengikat itu adalah cara dalam urusan
agama yang menyerupai bentuk syariat yang ada, yaitu akad pernikahan. Bila
sebatas pertunangan yang tak mengingat, maka ia tak menjadi seperti akad. Ia
hanya terhitung kebiasaan saja, dan asal hukumnya adalah mubah. Ketika dibuat
mengikat, ia menyerupai akad, padahal akad nikah sendiri adalah soal ibadah
bukan kebiasaan, mengingat ada aturannya, adab, rukun dan syaratnya, seperti
ibadah-ibadah lain.
Mengacu pada penjelasan tersebut, maka boleh-boleh saja ukhti
membatalkan pertunangan tersebut, bila di tengah perjalanan ukhti menganggap
tidak ada kecocokan di antara kalian berdua. Karena kalian berdua memang tidak
berada dalam ikatan apa-apa, hanya ada dalam lingkaran “rencana”. Akan tetapi,
bila rencana itu dahulu dibicarakan antara orang tua, maka saat membatalkan,
demi hukum kemaslahatan, sebaiknya ukhti juga melibatkan orang tua untuk
menyampaikan niat membatalkan tersebut. Tapi harus dicatat, soal ketidakcocokan
itu memang sudah dipikirkan masak-masak, bukan karena faktor emosional sesaat
saja. Karena bila tidak, dalam kehidupan rumah tangga pun konflik ala kadarnya
biasa terjadi, tak boleh menjadi alasan untuk mudah meminta cerai. Itu harus
dicermati.
Selanjutnya, pada kebiasaan pertunangan yang ada di masa modern
ini –beda dengan perjodohan di masa lampau– banyak orang beranggapan bahwa
pertunangan itu sudah menjadi “semi pernikahan”, di mana karena sudah
bertunangan maka kedua calon pasangan itu boleh bepergian berdua ke mana-mana
tanpa disertai oleh mahram-nya, berduaan, berpacaran, saling berpegangan,
menjalin keakraban sedemikian rupa, dan lain sebagainya. Hal itu jelas
berlawanan dengan aturan dalam Islam. Pria dan wanita yang bertunangan belumlah
halal untuk saling bersentuhan, bepergian berduaan tanpa mahram atau
berdua-duaan di satu tempat. Keduanya masih dihitung sebagai orang lain. Sama
dengan orang yang mengatakan, “Saya punya keinginan untuk membeli mobil Anda,”
maka itu bukanlah transaksi, meskipun si pemilik mobil juga punya keinginan
menjual mobilnya. Sehingga mobil itu belum halal baginya. Soal hubungan pria
wanita dalam Islam, jelas tak dapat diserupakan dengan mobil dan calon
pembelinya.
Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya salah seorang di antaramu ditikam di kepalanya dengan jarum dari besi adalah lebih baik daripada menyentuh seseorang yang bukan mahramnya.”
“Sesungguhnya salah seorang di antaramu ditikam di kepalanya dengan jarum dari besi adalah lebih baik daripada menyentuh seseorang yang bukan mahramnya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul
Kabir dan perawi lainnya, kemudian dinyatakan shahih
oleh Syekh Nashiruddin al-Albani dalam Silsilatul Ahadits Ash-Shahihah
wa Syai-un min Fiqhiha wa Fawaa-iduhaa.
Kesimpulannya, saudari boleh saja memutuskan untuk membatalkan
pertunangan. Namun, karena semua itu dilakukan secara musyawarah, lakukanlah
pembatalan itu dengan musyawarah. Bicarakan apa yang menjadi keinginan saudari,
tariklah pendapat dari masing-masing yang hadir, calon suami, calon mertua dan
juga kedua orang tua atau bahkan juga saudara-saudara yang ada. Setelah itu,
tetapkanlah yang saudari anggap lebih baik bagi masa depan saudari, calon
suami, dan seluruh keluarga yang ada. Tapi, jangan lupa untuk ber-istikharah.
Lakukan shalat dua rakaat, dan mohonlah bimbingan atas segala pilihan kepada
Allah. Wallaahu A’lam.
Sumber: majalah Nikah Sakinah Vol.9, No.5, Rubrik Konsultasi
Pranikah
Artikel www.konsultasiSyariah.com
Artikel www.konsultasiSyariah.com
0 komentar:
Posting Komentar