Idul Fitri Bukan Kembali Suci
Bag 1
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Ada beberapa istilah yang sering kita dengar, didengungkan di
berbagai kesempatan ceramah atau bahkan khutbah idul fitri, namun istilah ini
mungkin perlu untuk diluruskan atau didudukkan pada tempat yang benar. Berikut
diantaranya,
Pertama, bulan syawal = bulan peningkatan
Kita sering mendengar beberapa khatib memotivasi jamaahnya untuk
tetap meningkatkan amal ibadah mereka secara istiqamah seusai menjalankan
kegiatan ibadah selama ramadhan. Diantara alasan yang mereka utarakan adalah
memaknai kata syawal dengan arti peningkatan. Sehingga bulan syawal mereka
artikan dengan bulan peningkatan.
Kita sepakat nasehat untuk istiqamah dalam beramal adalah nasehat
yang luar biasa. Akan tetapi, mengaitkannya dengan bulan syawal dan mengartikan
bulan syawal sebagai bulan peningkatan, perlu untuk ditinjau ulang.
Makna Syawal secara Bahasa
Makna Syawal secara Bahasa
Ibnul ‘Allan asy Syafii mengatakan, “Penamaan bulan Syawal itu
diambil dari kalimat Sya-lat al Ibil yang maknanya onta itu mengangkat atau
menegakkan ekornya. Syawal dimaknai demikian, karena dulu orang-orang Arab
menggantungkan alat-alat perang mereka, disebabkan sudah dekat dengan
bulan-bulan haram, yaitu bulan larangan untuk berperang. (Dalil al Falihin li
Syarh Riyadh al Shalihin).
Ada juga yang mengatakan, dinamakan bulan syawal dari kata syalat
an-Naqah bi Dzanabiha [arab: شالت الناقةُ بذنَبِها], artinya onta betina menaikkan ekornya. (Lisan Al-Arab, 11/374).
Bulan syawal adalah masa di mana onta betina tidak mau dikawini
para pejantan. Ketika didekati pejantan, onta betina mengangkat ekornya.
Keadaan ini menyebabkan munculnya keyakinan sial di tengah masyarakat jahiliyah
terhadap bulan syawal. Sehingga mereka menjadikan bulan syawal sebagai bulan
pantangan untuk menikah. Ketika islam datang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam justru menikahi istri beliau di bulan syawal. Untuk membantah anggapan
sial masyarakat jahiliyah. Keterangan selengkapnya bisa anda pelajari di Anjuran Menikah di Bulan Syawal
Memahami hal ini, kurang tepat jika dikatakan bahwa sebab mengapa
bulan ini dinamakan syawal adalah karena bulan ini jatuh seusai ramadhan. Dan
ketika itu manusia melakukan peningkatan dalam beramal dan berbuat baik. Ini
jelas pemahaman yang tidak benar. Karena nama bulan “syawal” sudah ada sejak
zaman jahiliyah (sebelum datangnya islam), sementara masyarakat jahiliyah belum
mengenal syariat puasa di bulan ramadhan. Dengan demikian, tidak terdapat
hubungan antara makna bahasa tersebut dengan pemahaman bahwa syawal adalah
bulan peningkatan dalam beramal.
Mengingatkan masyarakat untuk meningkatkan ibadah dan amal soleh
termasuk nasehat baik, hanya saja, tidak perlu kita kaitkan dengan nama bulan
syawal, karena dua hal ini tidak saling berhubungan.
Bag 2
Kita akan membahas anggapan yang
tersebar hampir di seluruh lapisan masyarakat, Idul fitri = kembali suci.
Masyarakat, bahkan para tokoh
agama, sering mengartikan idul fitri dengan kembali suci.
Mereka mengartikan ‘id dengan makna kembali dan fitri diartikan suci.
Para khatib seringkali memberi
kabar gembira kepada masyarakat yang telah menyelesaikan ibadah selama
ramadhan, bahwa pada saat idul fitri mereka telah kembali suci, bersih dari
semua dosa antara dia dengan Allah.
Kemudian diikuti dengan meminta
maaf kepada sesama, tetangga kanan-kiri. Sehingga usai hari raya, mereka
layaknya bayi yang baru dilahirkan, suci dari semua dosa. Tak lupa sang khatib
akan mengkaitkan kejadian ini dengan nama hari raya ini, idul fitri. Dia
artikan ‘Kembali Suci’. Turunan dari pemaknaan ini, sebagian masyarakat sering
menyebut tanggal 1 syawal dengan ungkapan ‘hari yang fitri’.
Setidaknya ada 2 kesalahan fatal
terkait ceramah khatib di atas,
Pertama, memaknai idul fitri dengan
kembali suci. Dan ini kesalahan bahasa
Kedua, keyakinan bahwa ketika idul
fitri, semua muslim dosanya diampuni.
Mengapa salah? Berikut rincian
keterangan masing-masing;
Arti
Idul Fitri secara Bahasa
Idul fitri berasal dari dua kata;
id [arab: عيد] dan al-fitri [arab: الفطر].
Id secara bahasa berasal dari
kata aada – ya’uudu [arab: عاد – يعود], yang artinya kembali. Hari
raya disebut ‘id karena hari raya terjadi secara berulang-ulang, dimeriahkan
setiap tahun, pada waktu yang sama. Ibnul A’rabi mengatakan,
سمي العِيدُ عيداً لأَنه يعود كل سنة بِفَرَحٍ مُجَدَّد
Hari raya dinamakan id karena
berulang setiap tahun dengan kegembiraan yang baru. (Lisan Al-Arab, 3/315).
Ada juga yang mengatakan, kata id
merupakan turunan kata Al-Adah [arab: العادة], yang artinya kebiasaan. Karena
masyarakat telah menjadikan kegiatan ini menyatu dengan kebiasaan dan adat
mereka. (Tanwir Al-Ainain, hlm. 5).
Selanjutnya kita akan membahas
arti kata fitri.
Perlu diberi garis sangat tebal
dengan warna mencolok, bahwa fitri TIDAK sama dengan fitrah. Fitri dan fitrah
adalah dua kata yang berbeda. Beda arti dan penggunaannya. Namun, mengingat
cara pengucapannya yang hampir sama, banyak masyarakat indonesia menyangka
bahwa itu dua kata yang sama. Untuk lebih menunjukkan perbedaannnya, berikut
keterangan masing-masing,
Pertama, Kata Fitrah
Kata fitrah Allah sebutkan dalam Al-Quran,
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي
فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ
Hadapkanlah wajahmu dengan Lurus
kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (QS. Ar-Rum: 30).
Ibnul Jauzi menjelaskan makna
fitrah,
الخلقة التي خلق عليها البشر
“Kondisi awal penciptaan, dimana
manusia diciptakan pada kondisi tersebut.” (Zadul Masir, 3/422).
Dengan demikian, setiap manusia
yang dilahirkan, dia dalam keadaan fitrah. Telah mengenal Allah sebagai
sesembahan yang Esa, namun kemudian mengalami gesekan dengan lingkungannya,
sehingga ada yang menganut ajaran nasrani atau agama lain. Ringkasnya, bahwa
makna fitrah adalah keadaan suci tanpa dosa dan kesalahan.
Kedua, kata Fitri
Kata fitri berasal dari kata
afthara – yufthiru [arab: أفطر – يفطر], yang artinya berbuka atau
tidak lagi berpuasa. Disebut idul fitri, karena hari raya ini dimeriahkan
bersamaan dengan keadaan kaum muslimin yang tidak lagi berpuasa ramadhan.
Terdapat banyak dalil yang
menunjukkan hal ini, diantaranya
1. Hadis tentang anjuran untuk
menyegerahkan berbuka,
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا يزال الدين ظاهراً، ما عجّل النّاس الفطر؛ لأنّ اليهود والنّصارى
يؤخّرون
“Agama Islam akan senantiasa
menang, selama masyarakat (Islam) menyegerakan berbuka. Karena orang yahudi dan
nasrani mengakhirkan waktu berbuka.” (HR. Ahmad 9810, Abu Daud 2353, Ibn Hibban
3509 dan statusnya hadia hasan).
Dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا تزال أمَّتي على سُنَّتي ما لم تنتظر بفطرها النّجوم
“Umatku akan senantiasa berada di
atas sunahku, selama mereka tidak menunggu waktu berbuka dengan terbitnya
bintang.” (HR. Ibn Khuzaimah dalam Shahihnya 3/275, dan sanadnya shahih).
Kata Al-Fithr pada hadis di atas
maknanya adalah berbuka, bukan suci. Makna hadis ini menjadi aneh, jika kata
Al-Fithr kita artikan suci.
“Umatku akan senantiasa berada di
atas sunahku, selama mereka tidak menunggu waktu berSUCI dengan terbitnya
bintang”
Dan tentu saja, ini keluar dari
konteks hadis.
2. Hadis tentang cara penentuan
tanggal 1 ramadhan dan 1 syawal
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ، وَالفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ
“Hari mulai berpuasa (tanggal 1
ramadhan) adalah hari di mana kalian semua berpuasa. Hari berbuka (hari raya 1
syawal) adalah hari di mana kalian semua berbuka.” (HR. Turmudzi 697, Abu Daud
2324, dan dishahihkan Al-Albani).
Makna hadis di atas akan menjadi
aneh, ketika kita artikan Al-Fithr dengan suci.
Karena itu sungguh aneh ketika
fitri diartikan suci, yang sama sekali tidak dikenal dalam bahasa arab.
Suci
Seperti Bayi?
Selanjutnya kita bahas
konsekuensi dari kesalahan mengartikan idul fitri. Karena anggapan bahwa idul
fitri = kembali suci, banyak orang keyakinan bahwa ketika idul fitri, semua
orang yang menjalankan puasa ramadhan, semua dosanya diampuni dan menjadi suci.
Keyakinan semacam ini termasuk
kekeliruan yang sangat fatal. Setidaknya ada 2 alasan untuk menunjukkan
salahnya keyakinan ini,
Pertama, keyakinan bahwa semua
orang yang menjalankan puasa ramadhan, dosanya diampuni dan menjadi suci, sama
dengan memastikan bahwa seluruh amal puasa kaum muslimin telah diterima oleh
Allah, dan menjadi kaffarah (penghapus) terhadap semua dosa yang meraka
lakukan, baik dosa besar maupun dosa kecil. Padahal tidak ada orang yang bisa
memastikan hal ini, karena tidak ada satupun makhluk yang tahu apakah amalnya
diterima oleh Allah ataukah tidak.
Terkait dengan penilaian amal,
ada 2 hal yang perlu kita bedakan, antara keabsahan amal dan diterimanya amal.
1. Keabsahan amal.
Amal yang sah artinya tidak perlu
diulangi dan telah menggugurkan kewajibannya. Manusia bisa memberikan penilaian
apakah amalnya sah ataukah tidak, berdasarkan ciri lahiriah. Selama amal itu
telah memenuhi syarat, wajib, dan rukunnya maka amal itu dianggap sah.
2. Diterimanya amal
Untuk yang kedua ini, manusia
tidak bisa memastikannya dan tidak bisa mengetahuinya. Karena murni menjadi hak
Allah. Tidak semua amal yang sah diterima oleh Allah, namun semua amal yang
diterima oleh Allah, pastilah amal yang sah.
Karena itulah, terkait
diterimanya amal, kita hanya bisa berharap dan berdoa. Memohon kepada Allah,
agar amal yang kita lakukan diterima oleh-Nya. Seperti inilah yang dilakukan
orang shaleh masa silam. Mereka tidak memastikan amalnya diterima oleh Allah,
namun yang mereka lakukan adalah memohon dan berdoa kepada Allah agar amalnya
diterima.
Siapakah kita diandingkan Nabi
Ibrahim ‘alaihis salam. Seusai memperbaiki bangunan Ka’bah, beliau tidak ujub
dan memastikan amalnya diterima. Namun yang berliau lakukan adalah berdoa,
رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Ya Allah, terimalah amal dari
kami. Sesungguhnya Engkau Dzat Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS.
Al-Baqarah: 127).
Demikian pula yang dilakukan oleh
para sahabat dan generasi pengikut mereka. Yang mereka lakukan adalah berdoa
dan bukan memastikan.
Mu’alla bin Fadl mengatakan:
كانوا يدعون الله تعالى ستة أشهر أن يبلغهم رمضان يدعونه ستة أشهر أن
يتقبل منهم
“Dulu para sahabat, selama enam
bulan sebelum datang bulan Ramadhan, mereka berdoa agar Allah
mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan. Kemudian, selama enam bulan
sesudah Ramadhan, mereka berdoa agar Allah menerima amal mereka ketika di
bulan Ramadhan.” (Lathaiful Ma›arif, Ibnu Rajab, hal.264)
Karena itu, ketika bertemu sesama
kaum muslimin seusai ramadhan, mereka saling mendoakan,
تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُم
“Semoga Allah menerima amal kami
dan kalian”
Inilah yang selayaknya kita tiru.
Berdoa memohon kepada Allah agar amalnya diterima dan bukan memastikan amal
kita diterima.
Kedua, sesungguhnya ramadhan
hanya bisa menghapuskan dosa kecil, dan bukan dosa besar. Sebagaimana
dinyatakan dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ،
وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ، مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِر
“Antara shalat 5 waktu, jumatan
ke jumatan berikutnya, ramadhan hingga ramadhan berikutnya, akan menjadi
kaffarah dosa yang dilakukan diantara amal ibadah itu, selama dosa-dosa besar
dijauhi.” (HR.
Ahmad 9197 dan Muslim 233).
Kita perhatikan, ibadah besar
seperti shalat lima waktu, jumatan, dan puasa ramadhan, memang bisa menjadi
kaffarah dan penebus dosa yang kita lakukan sebelumnya. Hanya saja, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan syarat: ‘selama dosa-dosa besar
dijauhi.’ Adanya syarat ini menunjukkan bahwa amal ibadah yang disebutkan dalam
hadis, tidak menggugurkan dosa besar dengan sendirinya. Yang bisa digugurkan
hanyalah dosa kecil.
Lantas bagaimana dosa besar bisa
digugurkan?
Caranya adalah dengan bertaubat
secara khusus, memohon ampun kepada Allah atas dosa tersebut. Sebagaimana Allah
telah tunjukkan hal ini dalam Al-Quran,
إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ
عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيمًا
Jika kamu menjauhi dosa-dosa
besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus
kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat
yang mulia (surga).
(QS. An-Nisa: 31).
Allahu a’lam
0 komentar:
Posting Komentar