Tidak jarang, kita jumpai ada orang yang membeli barang di suatu
warung secara tidak tunai, lalu pembeli mengatakan, “Bu, nanti saya bayar kalau
sudah gajian atau nanti pas tanggal muda.” Artinya, tidak ada tanggal pasti
pembayaran barang yang dibeli.
Bolehkan jual beli secara tidak tunai dengan cara seperti di atas?
Tulisan singkat berikut ini akan mengupas hal tersebut.
Semisal dengan kasus di atas adalah kasus yang saya jumpai
beberapa pekan yang lewat. Ketika itu, ada seorang yang menghubungi saya via
telepon. Beliau menceritakan transaksi yang beliau lakukan. Beliau adalah
produsen roti dengan skala cukup besar. Seringkali, pelanggan lama mengambil
roti sambil mengatakan, “Uangnya nanti saja ya,” tanpa ada kejelasan tanggal
pembayaran.
Hukum untuk transaksi jual beli di atas kita jumpai dalam hadits
berikut ini,
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ – رضى الله عنهما – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله
عليه وسلم – نَهَى عَنْ بَيْعِ حَبَلِ الْحَبَلَةِ ، وَكَانَ بَيْعًا
يَتَبَايَعُهُ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ ، كَانَ الرَّجُلُ يَبْتَاعُ الْجَزُورَ
إِلَى أَنْ تُنْتَجَ النَّاقَةُ ، ثُمَّ تُنْتَجُ الَّتِى فِى بَطْنِهَا
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma, bahwa sesungguhnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang transaksi jual beli yang
disebut dengan “habalul habalah”. Itu adalah jenis jual beli yang dilakoni
masyarakat jahiliah. “Habalul habalah” adalah transaksi jual beli yang
bentuknya adalah: seorang yang membeli barang semisal unta secara tidak tunai.
Jatuh tempo pembayarannya adalah ketika cucu dari seekor unta yang dimiliki
oleh penjual lahir. (HR. Bukhari, no. 2143 dan Muslim, no. 3883)
Pengertian tentang “habalul habalah”,
sebagaimana di atas, adalah pengertian “habalul habalah”
yang disampaikan oleh Ibnu Umar selaku shahabat yang membawakan hadits.
Sehingga, dalam hal ini berlakulah kaidah yang diletakkan oleh Imam Syafi’i,
yaitu, “Penjelasan seorang shahabat yang meriwayatkan hadits mengenai makna
hadits yang dibawakan itu lebih diutamakan daripada penjelasan selainnya,
selama penjelasan tersebut tidak menyelisihi makna tekstual hadits, karena
shahabat yang membawakan hadits itu yang lebih mengetahui makna hadits yang dia
bawakan.” (Ibnul Mulaqqin Asy-Syafi’i, Al-Iflam bi Fawaid Umdah
Al-Ahkam, juz 7, hlm. 76, terbitan Dar Al-‘Ashimah, Riyadh, cetakan
pertama, 1421 H)
Inilah salah satu bentuk jual beli yang memasyarakat di masa
jahiliah, lalu dibatalkan oleh Islam. Hal ini dilarang karena menyebabkan
terjadinya sengketa dan perselisihan antara penjual dan pembeli.
Berdasarkan pengertian transaksi “habalul habalah”
tersebut maka dapat dikatakan bahwa hadits di atas adalah dalil pokok
dilarangnya transaksi jual beli yang tidak tunai dan jatuh tempo pembayarannya
tidak pasti. Contohnya adalah jual beli dengan pegawai negeri, dengan jatuh
tempo “jika pemerintah sudah mencairkan gaji para pegawai”. Padahal, tanggal
pencairan gaji itu tidaklah pasti; bisa maju, bisa mundur. Tentu saja, jika
tanggal pencairan gaji itu bisa dipastikan, transaksi ini diperbolehkan. (Ibnul
Mulaqqin Asy-Syafi’i, Al-Iflam bi Fawaid ‘Umdah
Al-Ahkam, juz 7, hlm. 78, terbitan Dar Al-‘Ashimah, Riyadh, cetakan
pertama, 1421 H)
Syekh Abdullah Aba Buthain mengatakan, “Sedangkan yang dimaksud
dengan transaksi jual beli ‘habalul habalah’ itu memiliki dua penjelasan. Yang
pertama: orang jahiliah dahulu, sering kali, jika membeli unta atau barang
dagangan yang lain secara tidak tunai, menetapkan bahwa jatuh tempo pembayaran
adalah lahirnya cucu dari seekor unta betina. Berdasarkan hal ini, jual beli
habalul habalah dilarang, karena adanya ketidakjelasan mengenai waktu jatuh
tempo pembayaran.” (Ad-Durar As-Saniyyah fi Al-Ajwibah
An-Najdiyyah, juz 6, hlm. 8–9)
Syekh Abdullah Al-Bassam mengatakan, “Transaksi jual beli ‘habalul
habalah’ dilarang karena jatuh tempo pembayarannya tidak jelas. Padahal, lama
dan singkatnya waktu jatuh tempo pembayaran itu sangat mempengaruhi harga jual
barang yang dibeli.” (Taisir ‘Allam, juz 2, hlm. 143,
terbitan Darus Salam, Riyadh, cetakan pertama, 1414 H)
Jadi, ketidakjelasan waktu pembayaran dalam transaksi jual beli
yang tidak tunai adalah suatu hal yang terlarang. Lain halnya dengan transaksi
utang-piutang. “Diperbolehkan menetapkan waktu jatuh tempo dalam transaksi
utang-piutang. Akan tetapi, jika tanpa adanya waktu jatuh tempo maka malah itu
yang lebih baik, karena hal tersebut meringankan beban orang yang berutang.”
(Penjelasan Syekh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi dalam Minhaj Al-Muslim, hlm. 336)
0 komentar:
Posting Komentar