Kaya dengan Sedekah
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum Ustadz.
Apa hukumnya bershodaqoh dengan
niat untuk menolak bala’ atau dengan niat agar rezeki semakin lancar?
Apakah hal ini termasuk syirik?
Apakah hal ini mengurangi
kemurnian keikhlasan kita?
Jazakallah khairan
Dari: Abu Abdillah
Jawaban:
Jawaban:
Wa’alaikumussalam
Alhamdulillah, shalawat dan salam
semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Allah ‘Azza wa
Jalla Maha Pemurah,
sehingga nikmat dan karunia-Nya senantiasa menyertai hidup umat manusia. Begitu
pemurahnya Allah ‘Azza wa Jalla sampai-sampai nikmat-Nya dapat
dirasakan sampaipun oleh orang-orang kafir dan yang banyak bergelimang dalam
dosa. Yang demikian itu karena nikmat dunia tiada artinya di sisi Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam menegaskan:
“Andai
kehidupan dunia di sisi Allah senilai sayap nyamuk niscaya Allah tidak mungkin
membiarkan orang kafir menikmati walau hanya seteguk air.”
(HR. At-Tirmizy).
Demikianlah kedudukan harta
kekayaan dunia di sisi Allah, sehingga wajar bila orang kafir dapat saja
menjadi kaya bahkan mungkin juga orang terkaya di dunia ini. Namun beda halnya
dengan iman kelapangan dada dengan cahaya takwa. Iman dan takwa begitu bernilai
disisi Allah sehingga hanya diberikan kepada hamba yang Allah cintai.
Sebagaimana yang dituturkan oleh junjungan kita shallallahu
‘alaihi wa sallam:
“Sejatinya
Allah telah membagi akhlaq kalian sebagaimana Allah juga telah membagi rezeki
kalian. Dan sejatinya Allah ‘Azza wa Jalla dapat saja memberi kakayaan dunia
kepada orang yang Dia cintai dan yang tidak Dia cintai. Namun untuk
urusan agama, maka Allah tidak mungkin memberikannya kecuali kepada orang yang
Allah cintai. Barangsiapa yang telah Allah berikan bagian dalam urusan agama,
maka itu bukti bahwa Allah mencintainya.” (HR. Ahmad dan lainnya).
Berangkat dari hal ini, Islam
mendorong umatnya untuk mengorbankan dunianya demi membangun imannya. Dan
sebaliknya, Islam juga mengharamkan atas mereka perbuatan mengorbankan urusan
agama demi mendapatkan kepentingan dunia.
Sedekah Agar Kaya
Hidup berkecukupan dan bahkan
harta melimpah ruah adalah impian setiap manusia. Bahkan impian ini tidak akan
pernah putus sampaipun setelah Anda mencapai umur lanjut.
“Anak
keturunan Adam tumbuh kembang dan ada dua hal yang turut tumbuh dan berkembang
bersamaan dengan usianya: cinta terhadap harta kekayaan dan angann-angan
panjang umur.” (HR. Bukhari).
Impian menjadi seorang yang kaya
raya secara tinjauan hukum syariat adalah sah-sah saja, asalkan tidak
menjadikan Anda lupa daratan sehingga menghalalkan segala macam cara.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan:
“Jangan
pernah engkau merasa rezekimu telat datangnya, karena sesungguhnya tidaklah
seorang hamba akan mati, hingga telah datang kepadanya rezeki terakhir (yang telah
ditentukan) untuknya. Karena itu, tempuhlah jalan yang baik dalam mencari
rezeki: yaitu dengan menempuh jalan yang halal dan meninggalkan jalan yang
haram.” (HR. Ibnu Majah, Abdurrazzaq, Ibnu Hibban, dan Al Hakim).
Diantara sikap proporsional dalam
mencari kekayaan dunia ialah dengan tidak menjadikan amalan akhirat sebagai
sarana mencari kekayaan sesaat di dunia fana ini. Demikianlah dahulu pesan
Allah ‘Azza
wa Jalla yang
disampaikan melalui lisan orang-orang shaleh dari para pengikut Nabi Musa ‘alaihissalam
kepada Qarun, yang artinya:
“Dan
carilah (kebahagiaan) negeri akhirat dengan kekayaan yang telah Allah
anugerahkan kepadamu, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan)
duniawi.” (QS. Al-Qashash: 77)
Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini dengan
berkata:
Mereka menganjurkan kepada Qarun
agar menggunakan karunia Allah berupa harta kekayaan yang melimpah ruah dalam
ketaatan kepada Allah. Hendaknya kekayaan yang ia miliki digunakan untuk
mendekatkan diri kepada Allah dengan segala bentuk amal kebajikan. Dengannya ia
mendapatkan pahala besar baik di dunia maupun di akhirat.
Walau demikian bukan berati ia
harus melalaikan kehidupan dunianya dengan tidak makan, minum, pakaian, rumah,
dan istri. Yang demikian itu karena Allah memiliki hak, sebagaimana dirinya
juga memiliki hak yang harus ia tunaikan. Dan istrinya pun memiliki hak yang
harus ia tunaikan demikian pula tamunya juga memiliki hak yang harus ia
tunaikan. Karena itu tunaikanlah masing-masing hak kepada pemiliknya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3:484)
Upaya membangun sukses kehidupan
dunia bukan berarti harus mengorbankan segala hal termasuk kehidupan Anda kelak
di akhirat. Dan percayalah bahwa bila Anda memenuhi hak-hak Allah, niscaya
Allah memudahkan urusan Anda dalam melapangkan rezeki Anda. Renungkanlah sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:
“Barangsiapa
yang orientasinya adalah urusan akhirat, niscaya Allah meletakkan kekayaannya
di dalam jiwanya. Sebagaimana Allah juga akan menyatukan urusannya dan kekayaan
dunia akan menghampirinya dengan mudah. Namun sebalikya, orang yang
orientasinya adalah urusan dunia, niscaya Allah jadikan kemiskinannya ada di
depan matanya. Sebagaimana Allah juga mencerai-beraikan urusannya dan
tiada kekayaan dunia yang menghampirinya selain yang telah Allah tentukan
untuknya.” (HR. At Tirmidzi dan lainnya).
Apa yang saya sampaikan di sini
bukan berarti kehidupan dunia dan akhirat adalah dua hal yang harus
dipertentangkan. Bahkan sebaliknya, keberkahan amal shaleh bukan hanya Anda
rasakan di akhirat, namun sejak di dunia pun Anda juga pasti dapat
merasakannya.
Penjelasan saya ini bertujuan
mengajak Anda untuk menyusun ulang keduanya sesuai dengan skala prioritasnya.
Dengan senantiasa memperhatikan skala prioritas antara keduanya, Anda terhindar
dari perilaku dan pola pikir orang-orang kafir sebagaimana yang dikisahkan pada
ayat berikut, yang artinya:
“Yang
demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia
lebih dari akhirat, dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum
yang kafir.” (QS. An-Nahl: 107)
Dengan demikian keutamaan akhirat
senantiasa menjadi tujuan utama dan motovasi terbesar bagi Anda untuk
mengerjakan berbagai amal kebajikan dan amal sholeh.
Sebagai contohnya adalah sedekah.
Dalam berbagai dalil ditegaskan bahwa Allah menjanjikan kepada orang yang
bersedekah balasan di dunia, berupa digantikan dengan harta yang lebih banyak
dan baik, disembuhkan dari penyakit dan lain sebagainya. Walau demikian, bukan
berarti Anda dibenarkan untuk menjadikan balasan di dunia sebagai obsesi atau
tujuan utama Anda ketika beramal. Disebutkannya keutamaan sedekah di dunia
berfungsi sebagai motivasi tambahan agar Anda semakin bersemangat dalam
beramal.
Layakkah saudaraku sebagai
seorang muslim bila keuntungan dunia dari beramal shaleh lebih menguasai hati
Anda dibanding keuntungan akhirat? Pantaskah sebagai orang yang beriman
terhadap pembalasan pada hari akhir memiliki pola pikir semacam ini ?
Suatu hari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menceritakan bahwa kelak pada hari kiamat
ada empat orang yang pertama kali dihisab, diantaranya:
“Seorang
lelaki yang Allah lapangkan rezekinya, sehingga ia memiliki seluruh jenis
harta kekayaan. Ketika ia didatangkan, segera Allah mengingatkannya perihal
berbagai jenis nikmat-Nya di dunia, dan ia pun mengakuinya semua. Selanjutnya
Allah bertanya kepadanya: Lalu apakah yang engkau kerjakan dengan
nikmat-nikmat-Ku itu? Ia menjawab: Tidaklah ada satu jalanpun yang Engkau suka
bila aku bersedekah padanya melainkan aku telah menyedekahkan hartuku padanya .
Namun Allah menghardik lelaki itu dan berfirman: Engkau berdusta, sejatinya
engkau melakukan itu agar dikatakan engkau adalah orang dermawan, dan itu telah
engkau dapatkan. Selanjutnya ia diperintahkan untuk diseret terbalik di atas
wajahnya, dan kemudian dicampakkan ke dalam neraka.” (HR.
Muslim).
Saudaraku! memiliki tujuan
skunder dari amal shaleh berupa keuntungan di dunia walaupun dibenarkan, namun
tidak diragukan bahwa orang yang hanya memiliki satu tujuan yaitu pahala di
akhirat adalah lebih utama. Anda pasti mengetahui bahwa diantara etika
bersedekah ialah merahasiakannya, sampai-sampai tangan kiri Anda tidak
mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanan Anda. Karena itu dalam
banyak dalil balasan dunia tidak disebutkan, sebagaimana ditegaskan pada firman
Allah Ta’ala,
yang artinya:
“Dan
mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan
orang yang ditawan. Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk
mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan
tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya Kami takut akan (adzab) Tuhan
kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh
kesulitan. Maka Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan
kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati. Dan Dia memberi balasan
kepada mereka karena kesabaran mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera.”
(QS. Al-Insan: 8-12)
Percayalah, saudaraku, Allah
tidaklah pelit atau kikir. Bila Anda senantiasa melapangkan urusan saudara
Anda, pastilah Allah membalas Anda dengan yang serupa. Akan tetapi syaratnya
bila Anda melakukan amal kebajikan Anda benar-benar karena ikhlas, hanya
mengharapkan balasan dari Allah.
Semoga paparan sederhana ini
dapat menjadi pencerahan bagi Anda, sehingga tidak terjerumus dalam ketimpangan
dengan mengedepankan keuntungan materi dibanding keuntungan akhirat di sisi
Allah. Wallahu Ta’ala a’alam bisshawab.
Catatan:
Keterangan di atas adalah artikel
Dr. Muhammad Arifin bin Baderi yang diterbitkan dalam Majalah Pengusaha Muslim
edisi 29. Pada edisi ini, majalah Pengusaha Muslim secara khusus mengupas
tentang zakat dan sedekah, mulai dari polemik zakat profesi, amil zakat ilegal,
mengenal perbedaan infak, zakat, sedekah, dan hibah, dan berbagai artikel
menarik lainnya.
Bagi Anda yang berminat
mendapatkan edisi cetak, bisa menghubungi: http://majalah.pengusahamuslim.com/
0 komentar:
Posting Komentar