Bismillah was shalatu was
salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Allah tidak hanya mencatat amal
perbuatan yang kita lakukan, namun Allah juga mencatat semua pengaruh dari
perilaku dan perbuatan kita. Allah berfirman,
إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا
وَآَثَارَهُمْ وَكُلَّ شَيْءٍ أحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ
“Sesungguhnya Kami yang
menghidupkan orang mati, Kami catat semua yang telah mereka lakukan dan
bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan semuanya kami kumpulkan dalam kitab
(catatan amal) yang nyata.” (QS. Yasin: 12)
Al-Hafidz Ibnu Katsir
menyebutkan dua tafsir ulama tentang makna kalimat, ‘bekas-bekas yang mereka tinggalkan’
Pertama, Jejak kaki mereka ketika
melangkah menuju ketaatan atau maksiat
Ini merupakan pendapat Mujahid
dan Qatadah sebagaimana yang iriwayatkan oleh Ibnu Abi Najih.
Diantara dalil yang menguatkan
pendapat ini adalah hadis dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu
‘anhuma, bahwa ada Bani Salamah ingin berpindah membuat
perkampungan yang dekat dengan masjid nabawi. Karena mereka terlalu jauh jika
harus berangkat shalat jamaah setiap hari ke masjid nabawi. Ketika informasi
ini sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda,
يَا بَنِى سَلِمَةَ دِيَارَكُمْ تُكْتَبْ آثَارُكُمْ دِيَارَكُمْ
تُكْتَبْ آثَارُكُمْ
Wahai Bani Salamah, perjalanan
dari rumah kalian ke masjid akan dicatat jejak-jejak kali kalian. (HR. Muslim 1551, dan Ahmad
14940)
Kedua, Pengaruh dari amal yang kita
kerjakan
Artinya, Allah mencatat bentuk
amal yang mereka kerjakan dan pengaruh dari amal itu. Jika baik, maka dicatat
sebagai kebaikan. Dan jika buruk dicatat sebagai keburukan.
Ini seperti yang disebutkan
dalam hadis dari sahabat Jarir bin Abdillah, bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَعُمِلَ بِهَا
بَعْدَهُ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ
أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، فَعُمِلَ
بِهَا بَعْدَهُ، كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، وَلَا يَنْقُصُ
مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Siapa yang menghidupkan sunah
yang baik dalam Islam, kemudian diikuti oleh orang lain setelahnya maka dicatat
untuknya mendapatkan pahala seperti orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi
pahala mereka sedikit pun. Siapa yang menghidupkan tradisi yang jelek di tengah
kaum muslimin, kemudian diikuti oleh orang lain setelahnya, maka dia
mendapatkan dosa sebagaimana dosa orang yang melakukannya tanpa mengurangi dosa
mereka sedikit pun.” (HR. Muslim 2398, Ahmad 19674,
dan yang lainnya)
Ayat di atas selayaknya
memberikan motivasi bagi kita untuk semangat dalam menyebarkan kebaikan serta
merasa takut ketika melakukan perbuatan yang mengundang orang lain untuk
bermaksiat.
10 Amal Yang Tidak Terputus
Pahalanya
Para penghuni kubur tergadai di
kuburan mereka, terputus dari amalan shaleh, dan menunggu hari hisab yang tidak
diketahui hasilnya. Mereka berada dalam kesepian, hanya ditemani amalnya ketika
di dunia.
Dalam suasana demikian, ada
beberapa orang yang kebaikannya terus mengalir.
Jasad mereka bersemayam dengan
tenang di alam kubur, namun balasan pahala mereka tidak berhenti. Pahala mereka
terus berdatangan, padahal mereka terdiam dalam kuburnya, menunggu datangnya
kiamat. Sungguh masa pensiun yang sangat indah, yang tidak bisa terbeli dengan
dunia seisinya.
Dalam hadis dari Anas bin Malik radhiallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
سَبْعٌ يَجْرِيْ لِلْعَبْدِ أَجْرُهُنَّ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ
وَهُوَ فِي قَبْرِهِ : مَنْ عَلَّمَ عِلْمًا ، أَوْ أَجْرَى نَهْرًا ، أَوْ حَفَرَ
بِئْرًا ، أَوَ غَرَسَ نَخْلًا ، أَوْ بَنَى مَسْجِدًا ، أَوْ وَرَثَ مُصْحَفًا ،
أَوْ تَرَكَ وَلَدًا يَسْتَغْفِرُ لَهُ بَعْدَ مَوْتِهِ
“Ada tujuh amalan yang
pahalanya tetap mengalir untuk seorang hamba setelah dia meninggal, padahal dia
berada di dalam kuburnya: (1) orang yang mengajarkan ilmu agama, (2) orang yang
mengalirkan sungai (yang mati) (3) orang yang membuat sumur, (4) orang yang
menanam kurma, (5) orang yang membangun masjid, (6) orang yang memberi mushaf
al-Quran, dan (7) orang yang meninggalkan seorang anak yang senantiasa
memohonkan ampun untuknya setelah dia wafat.” (HR. al-Bazzar dalam Musnadnya
7289, al-Baihaqi dalam Syuabul Iman 3449, dan yang lainnya. Al-Albani menilai
hadis ini hasan).
Sudah saatnya kita bersemangat
menanam investasi pahala selama masih di duni. Karena masa hidup di dunia
adalah kesempatan yang Allah jadikan tempat beramal. Untuk masa yang leih
abadi di setelah wafat.
Kita akan melihat lebihi dekat
7 amal yang dijanjikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Pertama, mengajarkan ilmu pengetahuan
Yang dimaksud dengan ilmu di
sini adalah ilmu yang bermanfaat, yang mengantarkan seseorang mengenal agama
dan Rabbnya. Ilmu yang menjadi petunjuk seseorang ke jalan yang lurus. Ilmu
yang mengenalkan jalan hidayah dan jalan kesesatan. Ilmu yang mengajarkan mana
yang haq dan mana yang batil. Mana yang halal dan mana yang haram.
Ini menunjukkan betapa mulianya
kedudukan seorang ulama yang memberi nasihat kepada umat. Para dai yang ikhlas
memberika pencerahan bagi umat. Hingga Imam Ahmad pernah memuji ulama seperti
orang yang menghidupkan masyarakat yang telah mati hatinya. Dalam pengantar
bukunya ar-Rad ala Jahmiyah,
الحمد لله الذي جعل في كل زمان فترة من الرسل بقايا من أهل العلم
يدعون من ضل إلى الهدى ويصبرون منهم على الأذى يحيون بكتاب الله الموتى ويبصرون
بنور الله أهل العمى فكم من قتيل لإبليس قد أحيوه وكم من ضال تائه قد هدوه فما
أحسن أثرهم على الناس وأقبح أثر الناس عليهم
Segala puji bagi Allah yang
menjadikan generasi ulama sebagai pejuang di masa fatrah dari para rasul.
Mereka mengajak orang yang sesat menujuk jalan petunjuk, bersabar terhadap
setiap gangguan dari masyarakat. Mereka menghidupkan manusia yang mati hatinya
dengan kitabullah.. dan membuat bisa melihat orang yang orang buta agama dengan
cahaya Allah. Betapa banyak korban Iblis yang dia hidupkan, dan betapa banyak
orang sesat dalam kebodohan yang mereka tunjukkan jalan hidayah. Sungguh indah
kiprah mereka di tengah masyarakat, namun sungguh buruk sikap masyarakat yang
tidak memahami hak mereka kepada ulama. (ar-Rad ‘ala al-Jahmiyah, hlm. 6)
Ketika orang yang berilmu
wafat, maka ilmu mereka pun tetap kekal di tengah-tengah masyarakat. Di saat
jasad mereka tertanam di tanah kuburan, pahala mereka tetap bermunculan. Para
ulama mengatakan,
يموت العالم ويبقى كتابه
“Saat ulama pergi, buku-buku
mereka tetap kekal abadi.”
Apakah ini juga berlaku untuk ilmu dunia?
Pertanyaan ini pernah
disampaikan kepada Imam Ibnu Utsaimin.
Jawaban beliau,
الظاهر أن الحديث عام ، كل علم ينتفع به فإنه يحصل له الأجر ، لكن
على رأسها وقمتها العلم الشرعي ، فلو فرضنا أن الإنسان توفي وقد علم بعض الناس
صنعة من الصنائع المباحة ، وانتفع بها هذا الذي تعلمها فإنه ينال الأجر ، ويؤجر
على هذا
Secara teks hadis, ilmu disini
sifatnya umum, semua ilmu yang bermanfaat, bisa mendatangkan pahala. Hanya
saja, yang paling bermanfaat adalah ilmu syariah. Andai ada orang yang wafat,
dan dulu dia pernah mengajarkan tentang ketrampilan yang mubah, dan itu bermanfaat
bagi orang yang diajari, maka dia mendapatkan pahala dan juga diberi pahala
untuk memberikan ilmu semacam ini. (Liqaat Bab al-Maftuh, 117/16).
Kedua, Mengalirkan sungai yang mati
Maksudnya adalah membuat aliran
pada sungai yang tertahan airnya, agar air tersebut bisa mengalir ke
tempat-tempat pemukiman masyarakat, sehingga orang lain bisa memanfaatkannya.
Betapa besar kebaikan dari
amalan yang mulia ini, memudahkan manusia memperoleh air yang merupakan
kebutuhan yang paling utama dalam kehidupan manusia.
Kata Syaikh Dr. Abdurrazaq,
serupa dengan amalan ini adalah membangun penampungan air di tempat-tempat yang
dibutuhkan manusia.
Ketiga, menggali sumur
Dalam hadis dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَيْنَا رَجُلٌ بِطَرِيقٍ اشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ فَوَجَدَ
بِئْرًا فَنَزَلَ فِيهَا فَشَرِبَ ، ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا كَلْبٌ يَلْهَثُ
يَأْكُلُ الثَّرَى مِنْ الْعَطَشِ ، فَقَالَ الرَّجُلُ لَقَدْ بَلَغَ هَذَا
الْكَلْبَ مِنْ الْعَطَشِ مِثْلُ الَّذِي كَانَ بَلَغَ مِنِّي ، فَنَزَلَ
الْبِئْرَ فَمَلَا خُفَّهُ مَاءً فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ
فَغَفَرَ لَهُ ، قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّه وَإِنَّ لَنَا فِي الْبَهَائِمِ
لَأَجْرًا ؟ فَقَالَ : فِي كُلِّ ذَاتِ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ
“Suatu ketika ada seorang lelaki
yang merasakan sangat kehausan, lalu ia menjumpai sebuah sumur. Dipun turun,
lalu meminum airnya. Setelah itu ia naik lagi. Sesampainya di atas, dia melihat
seekor anjing yang menjulur-julurkan lidahnya memakan tanah yang lembab saking
hausnya. Lelaki itu mengatakan, ‘Anjing ini pasti merasa sangat kehausan
sebagaimana hausku tadi’.
Lalu ia kembali turun ke dalam
sumur dan memenuhi sepatunya dengan air. Setelah itu ia beri minum anjing
tersebut. (Oleh karena perbuatannya) Allah pun bersyukur kepadanya dan
mengampuninya.”
Para sahabat bertanya, “Wahai
Rasulullah, apakah perbuatan baik kita terhadap hewan mendapat ganjaran
pahala?” Rasulullah menjawab, “Pada setiap Ya, pada setiap nyawa itu ada
ganjaran pahala.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Jika hanya dengan memberi minum
seekor anjing bisa menyebabkan semua dosanya terampuni, bagaimana pula dengan
orang yang membuat sebuah sumur, yang bisa dimanfaatkan banyak orang?! Tentu
pahalanya sangat besar.
Keempat, menanam pohon kurma.
Mengapa kurma?
Kurma adalah pohon yang paling
utama dan paling bermanfaat untuk manusia, barangsiapa yang menanam kurma lalu
membagikan buahnya kepada kaum muslimin, maka pahalanya akan ia dapatkan dari
setiap butir kurma yang dimakan. Dan setiap orang ataupun hewan bisa memperoleh
manfaat dari buah kurma.
Sama halnya dengan orang yang
menanam pohon yang bermanfaat lainnya, baik bermanfaat karena buahnya atau
bermanfaat karena teduhnya atau karena lainnya. Dia juga akan memperoleh
pahala.
Dalam hadis ini disebutkan
kurma, karenakan keutamaan dan keistimewaan kurma yang tidak dimiliki pohon
lainnya.
Kelima, membangun masjid.
Masjid adalah tempat yang
paling dicintai Allah.
Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
أَحَبُّ الْبِلَادِ إِلَى اللَّهِ مَسَاجِدُهَا وَأَبْغَضُ
الْبِلَادِ إِلَى اللَّهِ أَسْوَاقُهَا
“Tempat yang paling dicintai
Allah adalah masjid-masjidnya dan yang paling dibenci Allah adalah
pasar-pasarnya.” (HR. Muslim 1560)
Karena di masjid, nama Allah
diagungkan dan ditinggikan. Tempat ditegakkan shalat, ayat-ayat al-Quran
dibacakan, ilmu agama disebarkan, umat Islam berkumpul, untuk maslahat agung
lainnya. Allah memuji masjid dalam al-Quran,
فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا
اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَالِ
“Bertasbih kepada Allah di
masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di
dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang.” (QS. an-Nur: 36).
Karena itu, orang yang
membangun masjid, dia akan memperoleh pahala dari setiap aktivitas kebaikan
yang dilakukan di masjid tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ بَنَى مَسْجِدًا لِلَّهِ يَبْتَغِي بِهِ وَجْهَ اللَّهِ بَنَى
اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ
“Barangsiapa yang membangun
sebuah masjid karena mengharap wajah Allah, maka Allah akan bangunkan untuknya
sebuah rumah di dalam surga.” (Muttafaqun
‘alaihi)
Keenam, menghadiahkan mushaf al-Quran
Menghadiahkan al-Quran berarti
memberi fasilitas orang lain untuk bisa mendapatkan pahala sebanyak huruf yang
dibaca dalam al-Quran. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ
وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا
Siapa yang membaca satu huruf
dalam al-Quran maka dia mendapatkan satu pahala. Dan satu pahala dilipatkan 10
kali. (HR.
Turmudzi 3158).
Terutama ketika hadiah al-Quran
itu tepat sasaran. Benar-benar diberikan kepada mereka yang rajin membaca
al-Quran atau mereka yang menghafalkan al-Quran. Sangat disayangkan, jika
al-Quran yang kita berikan itu salah sasaran. Diterima oleh mereka yang jarang
membaca al-Quran, kecuali di bulan ramadhan.
Ketujuh, anak soleh
Anak soleh, harta yang paling
tidak ternilai.
Ketika orang tua mendidik
anaknya, maka dia akan mendapatkan pahala dari amal soleh yang dilakukan
anaknya. Karena setiap orang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain, dia
akan mendapatkan pahala selama orang itu mengamalkan ilmunya. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ
مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى
ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنْ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا
يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
Siapa yang mengajak ke jalan
petunjuk, maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengikutinya,
tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Sebaliknya siapa yang mengajak
kepada kesesatan maka dia mendapat dosa seperti dosa orang yang mengamalkannya,
tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.
(HR. Muslim 2674).
Sehingga tidak semua orang tua
mendapatkan pahala dari amal anaknya. Kecuali jika orang tua yang mengajarkan
kebaikan atau mengarahkan anak itu untuk belajar kebaikan.
Syaikhul Islam mengatakan,
النبي صلى الله عليه وسلم لم يجعل للأب مثل عمل جميع ابنه ، ولا
نعلم دليلا على ذلك ، وإنما جعل ما يدعوه الابن له من عمله الذي لا ينقطع
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidaklah
menjadikan pahala untuk bapak sama dengan pahala amal anaknya. Kami tidak
mengetahui adanya dalil tentang itu. Namun beliau jadikan ajakan kebaikan
kepada anaknya, bagian dari amal orang tuanya, yang tidak akan terputus.
(Jami’ul Masail Ibnu Taimiyah, 4/266).
Hadis Kedua
Kemudian hadis kedua, hadis
dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ
بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ ، وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ ،
وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ ، أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ ، أَوْ بَيْتًا لِابْنِ
السَّبِيلِ بَنَاهُ ، أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ ، أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ
مَالِهِ فِي صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ
Diantara pahala amal mukmin
yang akan tetap mengalir setelah kematiannya adalah ilmu yang dia sebarkan,
anak soleh yang dia tinggalkan, mushaf yang dia wariskan, masjid yang dia
bangun, rumah untuk Ibnu Sabil (orang yang di perjalanan), atau sungai yang dia
alirkan, sedekah hartanya yang dia keluarkan ketika masih sehat dan kuat, yang
masih dimanfaatkan setelah dia meninggal. (HR. Ibnu Majah 249 dan dihasankan al-Albani)
Sabda beliau “atau sebuah rumah
yang dibangun untuk para musafir” ini menjelaskan tentang keutamaan membangun
rumah yang diwakafkan untuk kepentingan umat Islam, baik itu untuk musafir,
atau untuk penuntut ilmu, atau untuk anak yatim, atau untuk para janda, dan
fakir miskin.
Dalam hadis lain, dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda,
إِذَا مَاتَ ابن آدم الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ
إِلَّا مِنْ ثلاث ثَلَاثَةٍ : إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ
يُنْتَفَعُ بِهِ ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila anak Adam meninggal,
maka terputus darinya semua amalan kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu
yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim 4310)
Para ulama menafsirkan sedekah
jariyah dengan wakaf, karena fisiknya tetap dan manfaatnya berkelanjutan.
Al-Khatib as-Syarbini – ulama
syafiiyah – (w. 977 H). Dalam Mughni al-Muhtaj, beliau mengatakan,
الصدقة الجارية محمولة عند العلماء على الوقف كما قاله الرافعي ،
فإن غيره من الصدقات ليست جارية
“Sedekah jariyah dipahami
sebagai wakaf menurut para ulama, sebagaimana keterangan ar-Rafi’i. Karena
sedekah lainnya bukan sedekah jariyah.” (Mughni al-Muhtaj, 3/522).
Diantara semangat beramal para
sahabat, mereka yang mampu, semuanya pernah wakaf.
Sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu
‘anhuma menuturkan,
لَـمْ يَكُنْ أَحَدٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِـيِّ صَلّى اللهُ عليهِ
وسَلّم ذُو مَقدِرَة إِلّا وَقَفَ
Tidak ada seorangpun sahabat
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam yang
memiliki kemampuan, kecuali mereka wakaf. (Ahkam al-Auqaf, Abu Bakr
al-Khasshaf, no. 15 dan disebutkan dalam Irwa’ al-Ghalil, 6/29).
Selain beberapa amalan yang di
atas, masih ada amalan lainnya yang pahalanya tetap mengalir ketika pelakunya
sudah meninggal. Amalan tersebut adalah berjihad di jalan Allah, menghadang
musuh dan melindungi kaum muslimin.
Dari Salman al-Farisi radhiallahu
‘anhu, bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رِبَاطُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ خَيْرٌ مِنْ صِيَامِ شَهْرٍ وَقِيَامِهِ
وَإِنْ مَاتَ جَرَى عَلَيْهِ عَمَلُهُ الَّذِي كَانَ يَعْمَلُهُ وَأُجْرِيَ
عَلَيْهِ رِزْقُهُ وَأَمِنَ الْفَتَّانَ
“Berjaga di daerah perbatasan
sehari semalam, lebih baik dari pada puasa dan tahajud selama satu bulan.
Apabila ia wafat dalam perang tersebut, pahala dari amalnya ini tetap mengalir,
demikian juga rezekinya, dan dia aman dari fitnah.” (HR. Muslim 5047).
Allahu a’lam
Ditulis oleh Ustadz Ammi
Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
0 komentar:
Posting Komentar