Zakatnya Harta Suami Istri
Pertanyaan:
Bolehkah mencampur harta milik suami dan istri? Harta suami dan istri yang tercampur bagaimana zakatnya?
Dari: Ummu Ahmad
Jawaban:
Jawaban:
Pertama, Islam menghargai harta seseorang. Mengakui keabsahannya, selama harta itu diperoleh dengan jalan halal.
Baik itu harta milik pria maupun wanita, milik suami maupun istri. Semua orang mempunyai hak kepemilikan penuh terhadap harta pribadinya.
Dalam Alquran, Allah Ta’ala telah membedakan antara harta suami dan harta istri. Hal tersebut diungkapkan dalam pembahasan pembagian warisan. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ
“Kalian wahai para suami, berhak mendapatkan warisan seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh para istri, jika istri tidak mempunyai anak. Namun, Jika istrimu itu mempunyai anak, maka kamu berhak mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya. Warisan itu dibagi sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat dan sesudah dibayar utangnya. Para istrimu berhak memperoleh warisan seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Namun, jika kamu mempunyai anak, maka istrimu hanya berhak memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan. Warisan itu dibagi sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat dan sesudah dilunasi utang-utangmu.” (QS. An Nisa: 12)
Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala membedakan antara harta suami dan harta istri. Si suami baru berhak menguasai harta istrinya kalau istrinya sudah meninggal itupun dalam jumlah tertentu yang ditetapkan syariat. Begitu juga si istri.
Tidak bisa dipungkiri bahwa Istri juga memiliki harta yang dapat diperoleh dari bekerja, ataupun dari mas kawin, atau warisan orang tuanya dan sumber-sumber lainnya.
Bahkan Allah Ta’ala melarang para suami untuk mengambil kembali harta yang pernah diserahkan kepada istrinya, seperti pemberian berupa maskawin.
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا
“Dan jika kamu ingin mencerai istrimu dan menikahi wanita lainnya, sedang kamu telah memberikan kepada istrimu itu harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari istrimu itu sedikit pun dari harta yang sudah kamu berikan.” (QS. An Nisa: 20)
Karena harta itu sudah sepenuhnya milik si istri. Istri-lah yang berhak membelanjakannya atau mensedekahkannya sesuai keinginannya walaupun tanpa seizin suami. Suami hanya berhak mencicipi harta istrinya, itupun jika si istri ridho memberikannya pada suami.
Allah Ta’ala berfirman,
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
“Berikanlah maskawin kepada wanita yang kamu nikahi berupa pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika istrimu menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka silahkan makan (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 4)
Kedua, Suami-istri menggabungkan harta mereka dalam satu tabungan
Pembahasan semisal ini dibahas oleh ulama dalam masalah “zakat harta syarikah” atau harta gabungan.
Yaitu, bila dua orang atau lebih menggabungkan harta mereka. Kalau dihitung harta perorang dari mereka maka nishob belum tercapai. Namun, karena digabungkan, maka hasilnya mencapai nishob. Kemudian harta ini dikelola dan diperlakukan seakan-akan harta yang satu. Maksudnya, ketika harta ini dikelola oleh pihak ketiga misalnya, setiap pengeluaran dan keuntungan yang mengalir dianggap harta gabungan juga.
Dalam hal ini, terdapat perbedaan pendapat antara para ulama. Apakah harta gabungan yang sudah mencapai nishob dikenakan zakat? ataukah tidak wajib zakat, jikalau harta perorang yang ikut andil dalam gabungan tersebut belum sampai nishobnya.
Dengan kata lain, sampai tidaknya nishob harta, apakah ditinjau dari sisi jumlah harta yang terkumpul atau dari sisi pemilik harta tersebut?
Pendapat yang kuat menurut hemat kami adalah, yang menyatakan bahwa nishob harta zakat selain dari hewan ternak, maka dihitung dari jumlah yang dimiliki oleh pemilik harta tersebut.
Contoh: apabila kita perkirakan nishob zakat harta adalah 50 juta rupiah. Bila ada 3 orang menghimpun modal untuk usaha masing-masing 20 juta rupiah, maka gabungan harta tersebut yang berjumlah 60 juta. Walaupun tampaknya sudah lebih dari nishob, namun jika ditilik dari masing-masing pihak yang bergabung, uang mereka belum sampai nishob, maka gabungan harta tersebut belum terkena wajib pajak, karena belum sampai nishob.
Pendapat ini yang dinilai kuat oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Utsaimin, disebutkan oleh beliau dalam kitabnya Syarh Mumti’ jilid 6 hal 66.
Dengan demikian, bila suami dan istri keduanya mempunyai penghasilan tetap, kemudian menggabungkan uang mereka berdua dalam satu tabungan. Maka wajib tidaknya zakat dalam harta tabungan itu tergantung sampai tidaknya nishob dari harta masing-masing mereka.
Idealnya, seharusnya mereka berdua menghitung pemasukan harta mereka masing-masing. Mungkin saja pemasukan suami lebih banyak daripada si istri. Sehingga kemungkinan besar harta suami lebih cepat mencapai nishob dibandingkan harta istri.
Ketahuilah bahwa dalam harta peninggalan suami maupun istri ada harta yang diwarisi oleh orang lain, seperti orang tua suami atau istri. Untuk itu, jalan terbaik adalah dengan mengetahui jumlah harta masing-masing walaupun tidak terlalu mendetil, asalkan penghitungan ini tidak melahirkan sengketa dan pertikaian antar keluarga.
Jangan sampai terjadi penguasaan istri terhadap harta suaminya ketika suaminya sudah meninggal. Begitu juga sebaliknya jika istri meninggal, jangan sampai suami menguasai seluruh harta istri. Dengan dalih harta ini adalah milik bersama. Karena, harta bersama pun bisa diketahui prosentase harta dari andil masing-masing anggota.
Keterangan di atas adalah cuplikan artikel yang ditulis Ustad Muhammad Yassir, Lc. Pengajar di Sekolah Tinggi Dirasah Islamiyah Imam Syafii Jember. Tulisan ini diterbitkan di majalah Pengusaha Muslim edisi 36, yang secara khusus mengupas aturan keuangan keluarga. Pada rubrik zakat edisi 36, Ust. Muhammad Yasir mengupas tentang zakat harta keluarga, terutama ketika suami-istri bekerja.
Terdapat artikel menarik lainnya yang bisa anda dapatkan di majalah ini, diantaranya,
Serba-serbi wasiat, oleh Ust. Aris Munandar, MA. Pada edisi ini, Ust. Aris mengupas tentang wasiat dari A sampai Z.
Istri kaya – suami miskin, oleh Dr. Muhammad Afifin Baderi. Pada kesempatan ini, Dr. Muhammad Arifin akan mengupas tentang hak dan kewajiban suami terkait harta. Termasuk, apakah suami wajib melunasi utang istrinya ataukah tidak
Kontroversi harta gono-gini, Oleh Dr. Muhammad Arifin Baderi. Membaca artikel ini, akan merasa terpuaskan dengan polemik gono-gini.
Dan berbagai artikel menarik lainnya. Bagi anda yang berminat untuk mendapatkan keterangan lebih rinci, anda bisa simak di majalah pengusaha muslim : http://majalah.pengusahamuslim.com/
0 komentar:
Posting Komentar