Komparasi Antara Musyrikin Klasik
Dengan Musyrikin Modern
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah berkata:
اَلْقاعِدَةُ الرّابِعَةُ: أَنَّ
مُشْرِكِيْ زَمانِنا أَغْلَظُ شِرْكـًا مِنَ الْأَوَّلِيْنَ. لِأَنَّ الْأَوَّلِيْنَ يُشْرِكُوْنَ فِي الرَّخاءِ وَيُخْلِصُوْنَ فِي الشِّدَّةِ، وَمُشْرِكُوْ زَمانِنا شِرْكُهُمْ دائِمٌ؛ فِي الرَّخاءِ وَالشِّدَّةِ. وَالدَّلِيْلُ
قَوْلُهُ تَعالَى: ﴿فَإِذَا
رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوْا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ﴾
[Terjemah]
Kaidah keempat: Bahwa kaum
musyrikin pada zaman kita lebih besar kesyirikannya dibandingkan kaum musyrikin
zaman dahulu. Hal itu karena kaum musyrikin terdahulu hanya berbuat kesyirikan
ketika mereka dalam keadaan lapang, adapun ketika dalam keadaan susah maka
mereka mengikhlaskan ibadah untuk Allah. Sementara kaum musyrikin pada zaman
kita, kesyirikan mereka berlangsung terus baik dalam keadaan lapang maupun
dalam keadaan susah. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, “Maka apabila
mereka menaiki kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ibadah
kepada-Nya. Tapi tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba
mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).” (QS. Al-Ankabut: 65)
[Syarh]
Kaidah ini adalah hasil dari ketiga kaidah sebelumnya. Jika sudah diyakini
bahwa kaum musyrikin pada zaman ini sama seperti kaum musyrikin di setiap
zaman, seperti kaum musyrikin jahiliah, walaupun mereka memeluk agama Islam,
mereka mengerjakan shalat, dan beribadah kepada Allah. Jika mereka (kaum
musyrikin sekarang) ini sama seperti mereka (kaum musyrikin dahulu) dan
kesyirikan yang mereka lakukan sama persis dengan kesyirikan yang dikerjakan
oleh kaum musyrikin terdahulu, maka terkadang itu sudah cukup. Dan inilah yang
ingin dijelaskan oleh Asy-Syaikh dalam kaidah ini, yaitu bahwa kaum musyrikin
di zaman ini justru lebih parah kesyirikannya dibandingkan kesyirikan kaum
musyrikin jahiliah. Kenapa? Karena Allah Jalla wa Ala telah menyifati kaum
musyrikin jahiliah bahwa mereka berbuat kesyirikan hanya ketika dalam keadaan
lapang, adapun ketika dalam keadaan susah maka mereka justru bertauhid kepada
Allah.
Allah Jalla wa Ala berfirman:
وَمَا
بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ
“Dan apa saja nikmat yang ada
pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh
kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.” (QS. An-Nahl: 53)
Yakni: Tidak kepada selain-Nya.
ثُمَّ
إِذَا كَشَفَ الضُّرَّ عَنْكُمْ إِذَا فَرِيقٌ مِنْكُمْ بِرَبِّهِمْ يُشْرِكُونَ. لِيَكْفُرُوا بِمَا آتَيْنَاهُمْ
“Kemudian apabila Dia telah
menghilangkan kemudharatan itu dari pada kamu, tiba-tiba sebahagian dari pada
kamu mempersekutukan Tuhannya dengan (yang lain). Biarlah mereka mengingkari
nikmat yang telah Kami berikan kepada mereka.” (QS. An-Nahl: 54-55)
Allah Jalla wa Ala menjelaskan tentang keadaan kaum musyrikin ketika mereka
berada di tengah lautan:
حَتَّىٰ إِذَا كُنْتُمْ فِي الْفُلْكِ وَجَرَيْنَ بِهِمْ بِرِيحٍ طَيِّبَةٍ وَفَرِحُوا بِهَا جَاءَتْهَا رِيحٌ عَاصِفٌ وَجَاءَهُمُ الْمَوْجُ مِنْ كُلِّ مَكَانٍ وَظَنُّوا أَنَّهُمْ أُحِيطَ بِهِمْ ۙ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ لَئِنْ أَنْجَيْتَنَا مِنْ هَٰذِهِ لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ. فَلَمَّا أَنْجَاهُمْ إِذَا هُمْ يَبْغُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ.
“Sehingga apabila kamu berada di
dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di
dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya,
datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya,
dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa
kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka
berkata): “Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini,
pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur”. Maka tatkala Allah
menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka membuat kezaliman di muka bumi tanpa
(alasan) yang benar.” (QS. Yunus: 22-23)
Allah Jalla wa Ala berfirman:
فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ
“Maka apabila mereka naik kapal
mereka mendoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala
Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali)
mempersekutukan (Allah).” (QS. Al-Ankabut: 65)
Dan dalam ayat yang lain:
وَإِذَا غَشِيَهُمْ مَوْجٌ كَالظُّلَلِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ فَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ ۚ وَمَا يَجْحَدُ بِآيَاتِنَا إِلَّا كُلُّ خَتَّارٍ كَفُورٍ
“Dan apabila mereka dilamun ombak
yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan, lalu
sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus. Dan tidak ada yang mengingkari
ayat-ayat Kami selain orang-orang yang tidak setia lagi ingkar.” (QS. Luqman: 32)
Jika anda memperhatikan keadaan kaum musyrikin sekarang dengan keadaan kaum
musyrikin zaman dahulu, maka anda akan melihat bahwa kaum musyrikin terdahulu
hanya berbuat kesyirikan ketika dalam keadaan lapang saja, adapun jika mereka
tertimpa musibah maka mereka beribadah dengan ikhlas dan bertauhid kepada
Allah. Adapun kaum musyrikin di zaman ini jika mereka tertimpa kejelekan maka
mereka akan segera mendatangi Al-Idrus atau Al-Husain, atau Al-Badawi, atau
Al-Marghanani atau kepada si fulan atau kepada si fulan atau kepada yang
lainnya, atau kepada orang mati yang mereka berdoa kepadanya. Jika mereka
terkena kejelekan, mereka segera menuju ke pohon-pohon atau batu-batu dan
semacamnya. Dan perbuatan ini tidak diragukan lebih besar kesyirikannya
dibandingkan kaum musyrikin terdahulu. Hal itu karena kaum musyrikin belakangan
berbuat kesyirikan pada kedua keadaan ini, sementara kaum musyrikin terdahulu
hanya berbuat kesyirikan pada satu keadaan saja tapi tetap mengingat Allah pada
keadaan kedua. Akan tetapi siapakah yang mau memahami hal ini? Siapakah yang
masalah ini jelas di matanya sehingga dia bisa yakin terhadapnya, tanpa ada
keraguan, tanpa ada penghalang?
Karena ada sebagian orang terkadang mengatakan: Mereka (kaum musyrikin
belakangan) ini mengerjakan shalat, mengeluarkan zakat, dan mereka berpuasa.
Maka bagaimana bisa dikatakan kalau kesyirikan mereka lebih parah daripada
kesyirikan kaum musyrikin terdahulu?!
Maka kita katakan: Yang menjadi patokan dalam masalah ini adalah landasan agama
(tauhid). Karena semua ibadah ini tidak ada manfaatnya tanpa disertai dengan
adanya tauhid. Sebagaimana yang telah kita sebutkan di awal pembahasan bahwa
ibadah seperti ini sama seperti shalat yang dilakukan tanpa thaharah. Jika kaum
musyrikin melakukan ibadah-ibadah besar ketika susah namun mereka berbuat
kesyirikan ketika lapang sehingga membuat semua ibadah mereka itu tidak
bermanfaat dan tidak diterima, maka bagaimana lagi jika mereka berbuat
kesyirikan dalam keadaan lapang dan dalam keadaan susah?!
Sebagian ulama menyebutkan bahwa dia pernah berjumpa dengan salah seorang
penduduk daerah Thaif sebelum dakwah tauhid tersebar luas di sana dan sebelum
orang-orang di daerah itu mengenal dakwah tauhid. Maka orang ini berkata kepada
ulama tersebut, “Penduduk Thaif ini, jika mereka mengalami kesusahan maka
mereka akan segera menuju ke kuburan Ibnu Abbas sementara mereka tidak mengenal
Allah.” Sebagian lainnya berkata kepada beliau, “Mengenal Ibnu Abbas itu sudah
cukup.” Ini adalah salah satu bentuk kesyirikan yang banyak diyakini oleh
orang-orang, dan bersamaan dengan itu mereka melupakan Allah Jalla wa Ala dalam
keadaan lapang dan dalam keadaan susah kecuali jika mereka melakukan nadzar,
barulah mereka ingat kepada Allah. Dan hal seperti ini banyak terjadi di zaman
ini, suatu kejadian yang sangat mengherankan.
Sungguh Allah Jalla wa Ala telah memberikan nikmat kepada kita di negeri (Saudi
Arabiah) ini, karena kita tidak pernah melihat dan tidak pernah mendengar
amalan-amalan yang merisaukan kita seperti kesyirikan besar dan kekafiran besar
seperti ini. Tapi siapa saja yang melihat ke negeri-negeri lain yang padanya
terdapat banyak kesyirikan, seperti beberapa daerah di Mesir, sebagian daerah
di Sudan, Afrika, sebagian daerah di Pakistan, India, dan negeri lainnya seperti
Irak, Suriah, dan semacamnya. Siapa yang melihat ke negeri-negeri ini niscaya
dia akan melihat keanehan dimana orang-orang berdoa kepada tempat-tempat
keramat atau kepada kubur-kubur para nabi, bahkan selain para nabi. Mereka
meyakini keyakinan-keyakinan syirik terhadap penghuni kubur ini dan mereka
memberikan kepada penghuni kubur ini sebagian dari hak-hak ilahiah. Padahal
hanya milik Allah Jalla wa Ala hak terbesar dalam mengikhlaskan ibadah
kepada-Nya, hak terbesar untuk Dia Jalla wa Ala disembah oleh hati-hatri hamba,
dan tidak tersisa satupun ibadah kecuali diperuntukkan kepada-Nya Subhanahu,
tidak kepada selain-Nya. Sebagaimana pada firman Allah Jalla wa Ala:
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan
dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia
mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi: 110)
Dan Allah Jalla wa Ala berfirman dalam hadits qudsi:
أَنَا
أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنْ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
“Aku adalah sekutu yang paling
tidak memerlukan sekutu, barangsiapa melakukan suatu amalan dengan
menyekutukan-Ku dengan selain-Ku padanya, maka Aku akan meninggalkannya dan
sekutunya.”
Jika seperti ini hukumannya pada amalan riya`, di mana seseorang memaksudkan
dengan amal ibadahnya untuk meraih selain keridhaan Allah Jalla wa Ala yaitu
agar dilihat oleh orang. Maka bagaimana lagi dengan menyerahkan ibadah kepada
selain Allah Jalla wa Ala, seperti berdoa kepada selain Allah, atau
beristighatsah dengan selain Allah, atau bernadzar untuk selain Allah, atau
menyembelih untuk selain Allah, atau meminta perlindungan kepada selain Allah
pada perkara yang tidak ada yang bisa memberikan perlindungan kecuali Allah,
atau beristighatsah kepada selain Allah pada perkara yang tidak ada yang bisa
memberikan pertolongan kecuali Allah, berdoa kepada orang-orang yang telah
meninggal serta meyakini keyakinan tertentu tentang mereka lalu mereka
menamakannya sebagai ‘sirr (rahasia)’. Mereka mengatakan: Pada roh sayyid ini
terdapat rahasia. Karenanya mereka mengganti kata roh dengan kata ‘rahasia’, sehingga
mereka mengatakan: Orang ini mempunyai ‘rahasia’ (baca: roh), semoga Allah
menyucikan ‘rahasianya’ (baca: rohnya). Karena mereka meyakini bahwa roh
orang-orang yang mati itu mempunyai rahasia. Padahal roh yang telah meninggal
tidak ada rahasia padanya kecuali rahasia kecuali rahasia pembuatan dan
penciptaannya oleh Allah Jalla wa Ala. Adapun jika yang diyakini bahwa roh-roh
ini mampu memberikan pertolongan kepada orang yang beristighatsah dengannya
atau mampu memberikan sesuatu kepada orang yang meminta kepadanya, maka semua
kemampuan seperti ini tidak ada yang memilikinya kecuali Allah Jalla wa Ala:
إِذْ
تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُوا مِنَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا وَرَأَوُا الْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الْأَسْبَابُ
“(Yaitu) ketika orang-orang yang
diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka
melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama
sekali.” (QS. Al-Baqarah: 166)
Dan Allah Jalla wa Ala berfirman mengabarkan keadaan kaum musyrikin di dalam
neraka:
تَاللَّهِ إِنْ كُنَّا لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ. إِذْ نُسَوِّيكُمْ بِرَبِّ الْعَالَمِينَ
“Demi Allah: Sungguh kami dahulu
(di dunia) dalam kesesatan yang nyata, karena kami menyetarakan kamu dengan
Tuhan semesta alam.” (QS. Asy-Syu’ara`: 97-98)
Para ulama menjelaskan: Mereka tidak menyetarakan sembahan mereka itu dengan
Tuhan semesta alam dalam artian mereka juga mencipta, memberi rezki,
menghidupkan, dan mematikan. Akan tetapi mereka menyetarakan sembahan mereka
itu dengan Tuhan semesta alam dalam hal ibadah, dimana mereka menyerahkan
ibadah kepada sembahan tersebut. Sehingga jadilah mereka menyetarakan
sembahan-sembahan batil dengan ini dengan Allah Jalla wa Ala dalam hal
keberhakan untuk diibadahi. Karena mereka menyembah Allah tapi juga menyembah
selain-Nya, sehingga dalam hal ini mereka menyamakan antara makhluk dengan
Al-Khaliq Jalla wa Ala. Dan ini adalah kezhaliman yang paling buruk dan
pelampauan batas terhadap hak Allah Jalla wa Ala yang paling jelek. Hal itu
karena hak Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah untuk dimuliakan, diagungkan,
diesakan dalam ibadah, mengkhlaskan semua amalan untuk-Nya, mengakui semua
kesempurnaan-Nya, serta menyifati Allah Jalla wa Ala dengan sifat-sifat
keindahan, kemuliaan, dan kesempurnaan. Serta meyakini bahwa tidak ada satu
kebaikan pun kecuali berasal dari Allah Subhanahu dan tidak ada satupun
kejelekan yang ditahan terjadinya kecuali yang menahannya itu adalah Allah
Subhanahu. Sehingga kita selaku makhluknya hanya berbuat di kehidupan ini
semuanya dengan keutamaan dan nikmat Allah Ta’ala.
Kesimpulannya, kaidah terakhir ini kembalinya kepada tiga kaidah yang tersebut
sebelumnya.
Kami memohon kepada Allah Jalla wa Ala agar Dia berkenan menjadikan kita
tergolong orang-orang yang: Jika diberi maka dia bersyukur, jika diuji dengan
musibah maka dia bersabar, dan jika berdosa maka dia beristighfar.
Shalawat, salam, dan keberkahan dari Allah semoga senantiasa tercurah kepada
Nabi kita Muhammad.
___________________________
Kami (penerjemah) berkata:
Alhamdulillah, kita telah selesai membaca syarh Asy-Syaikh Saleh bin Abdil Aziz
Alu Asy-Syaikh hafizhahullah terhadap kitab Al-Qawa’id Al-Arba’ karya
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah. Semoga Allah Ta’ala berkenan
menjadikan amalan kita semua dalam hal ini ikhlas hanya untuk-Nya dan bisa
bermanfaat bagi kita di hari kiamat kelak, Allahumma amin.
Atsariyyah.com
0 komentar:
Posting Komentar