Dalam
tafsir surat Iqro’ kali ini dibicarakan tentang ancaman bagi orang yang
mengajak orang lain untuk sesat dan menjauhkan dari kebenaran.
Allah Ta’ala berfirman,
أَرَأَيْتَ الَّذِي يَنْهَى (9) عَبْدًا إِذَا صَلَّى
(10) أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ عَلَى الْهُدَى (11) أَوْ أَمَرَ بِالتَّقْوَى (12)
أَرَأَيْتَ إِنْ كَذَّبَ وَتَوَلَّى (13) أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللَّهَ يَرَى
(14) كَلَّا لَئِنْ لَمْ يَنْتَهِ لَنَسْفَعَنْ بِالنَّاصِيَةِ (15) نَاصِيَةٍ
كَاذِبَةٍ خَاطِئَةٍ (16) فَلْيَدْعُ نَادِيَهُ (17) سَنَدْعُ الزَّبَانِيَةَ (18)
كَلَّا لَا تُطِعْهُ وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ (19)
“Bagaimana pendapatmu tentang
orang yang melarang, seorang hamba ketika mengerjakan shalat, bagaimana
pendapatmu jika orang yang melarang itu berada di atas kebenaran, atau dia
menyuruh bertakwa (kepada Allah)? Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang
itu mendustakan dan berpaling? Tidaklah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah
melihat segala perbuatannya? Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti
(berbuat demikian) niscaya Kami tarik ubun-ubunnya. (Yaitu) ubun-ubun orang
yang mendustakan lagi durhaka. Maka biarlah dia memanggil golongannya (untuk
menolongnya), kelak Kami akan memanggil malaikat Zabaniyah. Sekali-kali jangan,
janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada
Rabbmu).” (QS. Al ‘Alaq: 9-19)
Mengajak Orang Lain untuk Sesat
Setelah
Allah memberikan berbagai macam nikmat, yang tidak mungkin ia membalas nikmat
tersebut dan tidak mungkin ia mensyukurinya dengan sempurna. Lalu Allah
karuniakan kekayaan dan keluasan rezeki. Akan tetapi, jika manusia melihat
dirinya telah kaya, ia melampaui batas. Bahkan ia menghalang-halangi dari
petunjuk. Ia lupa bahwa ia akan kembali pada Allah Ta’ala dan akan diberi
balasan.
Ketika
ia tidak mau menerima kebenaran itu sendiri, ia pun mengajak lainnya untuk
meninggalkan petunjuk dan melarang untuk menunaikan shalat. Padahal shalat
adalah sebaik-baik amalan iman.
Al
huda atau petunjuk yang dimaksud dalam ayat yang dibahas adalah
mengetahui kebenaran dan mengamalkannya.
Berpaling dari Kebenaran
Selanjutnya
pada ayat, “Bagaimana
pendapatmu jika orang yang melarang itu mendustakan dan berpaling? Tidaklah dia
mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?”
Maksud
ayat, harusnya orang yang mendustakan kebenaran takut akan siksa Allah. Karena
Allah melihat segala perbuatan dan tingkah laku manusia.
Jika Terus Menolak Kebenaran
Jika
seseorang terus menerus menolak kebenaran, maka keadaannya sebagaimana yang
disebut dalam ayat, Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat
demikian) niscaya Kami tarik ubun-ubunnya. (Yaitu) ubun-ubun orang yang
mendustakan lagi durhaka.
Maksud
ayat di atas, sesuai dengan hakekatnya, yaitu ubun-ubunnya akan ditarik sebagai
siksaan untuknya.
Lalu
ketika itu ia akan memannggil teman-teman yang semajelis dengannya untuk
menolongnya, “Maka
biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya), kelak Kami akan
memanggil malaikat Zabaniyah. Sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh
kepadanya; dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Rabbmu).”
Yang
dimaksud Zabaniyah adalah
penjaga Jahannam, di mana penjaga tersebut akan menyiksa mereka. Inilah akibat
bagi orang yang menolak kebenaran dan melarang orang lain untuk shalat. Kita
selaku muslim diperintahkan untuk tidak mentaati mereka. Bersujudlah dan
dekatkanlah diri pada Allah.
Abu Jahl yang Melarang Rasul
dari Shalat
Ayat
yang dibahas kali ini adalah ancaman bagi setiap orang yang menghalangi dari
kebenaran dan juga melarang dari shalat. Namun ayat ini turun pada Abu Jahl
yang melarang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari shalat, ia pun
menyakiti dan menghardik beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Semoga
bermanfaat. Berakhir sudah tafsir Surat Iqro’. Moga Allah memahamkan kita pada
Al Qur’an dan terus rajin menerungkannya.
Alhamdulillahilladzi
bi ni’matihi tatimmush sholihaat, segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala
kebaikan menjadi sempurna.
Referensi:
Taisir
Al Karimir Rahman, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan
Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1423 H, hal. 930-931
—
Akhukum
fillah: Muhammad Abduh Tuasikal
0 komentar:
Posting Komentar