Jika kita mengetahui keutamaan ilmu ini, pasti akan semakin
semangat untuk belajar Islam. Jika keutamaannya semakin membuat seseorang dekat
dengan Allah, diridhoi malaikat dan membuat penduduk langit, juga bumi tunduk,
maka itu sudah jadi keutamaan yang luar biasa.
Berikut kami tunjukkan beberapa di antara keutamaan ilmu agama:
1- Yang paling takut pada Allah hanyalah orang yang berilmu
Hal ini bisa direnungkan dalam ayat,
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya,
hanyalah ulama” (QS. Fathir: 28).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
“Sesungguhnya yang paling takut pada Allah dengan takut yang sebenarnya adalah
para ulama (orang yang berilmu). Karena semakin seseorang mengenal Allah Yang
Maha Agung, Maha Mampu, Maha Mengetahui dan Dia disifati dengan sifat dan nama
yang sempurna dan baik, lalu ia mengenal Allah lebih sempurna, maka ia akan
lebih memiliki sifat takut dan akan terus bertambah sifat takutnya.” (Tafsir Al
Qur’an Al ‘Azhim, 6: 308).
Para ulama berkata,
من كان بالله اعرف كان لله اخوف
“Siapa yang paling mengenal Allah, dialah yang paling takut pada
Allah.”
2- Keutamaan menuntut ilmu sudah
tercakup dalam hadits berikut.
عَنْ كَثِيرِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ كُنْتُ جَالِسًا مَعَ أَبِى
الدَّرْدَاءِ فِى مَسْجِدِ دِمَشْقَ فَجَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا أَبَا
الدَّرْدَاءِ إِنِّى جِئْتُكَ مِنْ مَدِينَةِ الرَّسُولِ -صلى الله عليه وسلم-
لِحَدِيثٍ بَلَغَنِى أَنَّكَ تُحَدِّثُهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- مَا جِئْتُ لِحَاجَةٍ. قَالَ فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- يَقُولُ « مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ
بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ
أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ
مَنْ فِى السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِى الأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِى جَوْفِ الْمَاءِ
وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ
الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ
الأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا
وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ »
Dari Katsir bin Qois, ia berkata, aku pernah duduk bersama Abu
Darda’ di Masjid Damasqus, lalu datang seorang pria yang lantas berkata, “Wahai
Abu Ad Darda’, aku sungguh mendatangi dari kota Rasul -shallallahu ‘alaihi wa
sallam- (Madinah Nabawiyah) karena ada suatu hadits yang telah sampai padaku di
mana engkau yang meriwayatkannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku datang untuk maksud
mendapatkan hadits tersebut. Abu Darda’ lantas berkata, sesungguhnya aku pernah
mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan
mudahkan baginya di antara jalan menuju surga. Sesungguhnya malaikat meletakkan
sayapnya sebagai tanda ridho pada penuntut ilmu. Sesungguhnya orang yang
berilmu dimintai ampun oleh setiap penduduk langit dan bumi, sampai pun ikan
yang berada dalam air. Sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu dibanding ahli
ibadah adalah seperti perbandingan bulan di malam badar dari bintang-bintang
lainnya. Sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi. Sesungguhnya Nabi
tidaklah mewariskan dinar dan tidak pula dirham. Barangsiapa yang mewariskan
ilmu, maka sungguh ia telah mendapatkan keberuntungan yang besar.” (HR.
Abu Daud no. 3641. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Dan sungguh sangat indah apa yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim,
ولو لم يكن في العلم الا القرب من رب العالمين والالتحاق بعالم
الملائكة وصحبة الملأ الاعلى لكفى به فضلا وشرفا فكيف وعز الدنيا والآخرة منوط به
ومشروط بحصوله
“Seandainya keutamaan ilmu hanyalah kedekatan pada Rabbul ‘alamin
(Rabb semesta alam), dikaitkan dengan para malaikat, berteman dengan penduduk
langit, maka itu sudah mencukupi untuk menerangkan akan keutamaan ilmu. Apalagi
kemuliaan dunia dan akhirat senantiasa meliputi orang yang berilmu dan dengan
ilmulah syarat untuk mencapainya” (Miftah Daaris Sa’adah,
1: 104).
3- Orang yang dipahamkan agama,
itulah yang dikehendaki kebaikan.
Dari Mu’awiyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan,
maka Allah akan memahamkan dia tentang agama.” (HR. Bukhari no. 71
dan Muslim no. 1037). Yang dimaksud fakih dalam hadits bukanlah hanya
mengetahui hukum syar’i, tetapi lebih dari itu. Dikatakan fakih jika seseorang
memahami tauhid dan pokok Islam, serta yang berkaitan dengan syari’at Allah.
Demikian dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin dalam Kitabul ‘Ilmi, hal. 21.
4- Akan hidup terus setelah matinya.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ
ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ
وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seorang manusia mati maka terputuslah darinya amalnya kecuali
dari tiga hal; dari sedekah jariyah atau ilmu yang diambil manfaatnya atau anak
shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim no. 1631)
5- Ilmu menghidupkan hati
sebagaimana hujan menyuburkan tanah.
Dari Abu Musa, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَثَلُ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ
كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا ، فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ
قَبِلَتِ الْمَاءَ ، فَأَنْبَتَتِ الْكَلأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ ، وَكَانَتْ
مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتِ الْمَاءَ ، فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ ،
فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا ، وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى ، إِنَّمَا
هِىَ قِيعَانٌ لاَ تُمْسِكُ مَاءً ، وَلاَ تُنْبِتُ كَلأً ، فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ
فَقِهَ فِى دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ ، فَعَلِمَ
وَعَلَّمَ ، وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا ، وَلَمْ يَقْبَلْ
هُدَى اللَّهِ الَّذِى أُرْسِلْتُ بِهِ
“Permisalan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku dengannya
adalah bagai ghaits (hujan yang bermanfaat) yang mengenai tanah. Maka ada tanah
yang baik, yang bisa menyerap air sehingga menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan
rerumputan yang banyak. Di antaranya juga ada tanah yang ajadib (tanah yang
bisa menampung air, namun tidak bisa menyerap ke dalamnya), maka dengan
genangan air tersebut Allah memberi manfaat untuk banyak orang, sehingga
manusia dapat mengambil air minum dari tanah ini. Lalu manusia dapat memberi
minum untuk hewan ternaknya, dan manusia dapat mengairi tanah pertaniannya.
Jenis tanah ketiga adalah tanah qi’an (tanah yang tidak bisa menampung
dan tidak bisa menyerap air). Inilah permisalan orang yang memahami agama
Allah, bermanfaat baginya ajaran yang Allah mengutusku untuk membawanya. Dia
mengetahui ajaran Allah dan dia mengajarkan kepada orang lain. Dan demikianlah
orang yang tidak mengangkat kepalanya terhadap wahyu, dia tidak mau menerima
petunjuk yang Allah mengutusku untuk membawanya.” (HR. Bukhari dan
Muslim).
Bukhari membawakan hadits ini dalam kitab shahihnya pada Bab
“Orang yang berilmu dan mengajarkan ilmu”. An Nawawi membawakan hadits ini
dalam Shahih Muslim pada Bab “Permisalan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutus
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengannya”.
Imam Nawawi –rahimahullah–
mengatakan,
“Adapun makna hadits dan maksudnya, di dalamnya terdapat
permisalan bagi petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan al ghoits
(hujan yang bermanfaat). Juga terdapat kandungan dalam hadits ini bahwa tanah
itu ada tiga macam, begitu pula manusia.
Jenis pertama adalah tanah yang bermanfaat dengan adanya hujan.
Tanah tersebut menjadi hidup setelah sebelumnya mati, lalu dia pun menumbuhkan
tanaman. Akhirnya, manusia pun dapat memanfaatkannya, begitu pula hewan ternak,
dan tanaman lainnya dapat tumbuh di tanah tersebut.
Begitu pula manusia jenis pertama. Dia mendapatkan petunjuk dan
ilmu. Dia pun menjaganya (menghafalkannya), kemudian hatinya menjadi hidup. Dia
pun mengamalkan dan mengajarkan ilmu yang dia miliki pada orang lain. Akhirnya,
ilmu tersebut bermanfaat bagi dirinya dan juga bermanfaat bagi yang lainnya.
Jenis kedua adalah tanah yang tidak mendatangkan manfaat bagi
dirinya sendiri, namun bermanfaat bagi orang lain. Tanah ini menahan air
sehingga dapat dimanfaatkan oleh yang lain. Manusia dan hewan ternak dapat
mengambil manfaat darinya.
Begitu pula manusia jenis kedua. Dia memiliki ingatan yang bagus.
Akan tetapi, dia tidak memiliki pemahaman yang cerdas. Dia juga kurang bagus
dalam menggali faedah dan hukum. Dia pun kurang dalam berijtihad dalam ketaatan
dan mengamalkannya. Manusia jenis ini memiliki banyak hafalan. Ketika orang
lain yang membutuhkan yang sangat haus terhadap ilmu, juga yang sangat ingin
memberi manfaat dan mengambil manfaat bagi dirinya; dia datang menghampiri
manusia jenis ini, maka dia pun mengambil ilmu dari manusia yang punya banyak
hafalan tersebut. Orang lain mendapatkan manfaat darinya,sehingga dia tetap
dapat memberi manfaat pada yang lainnya.
Jenis ketiga adalah tanah tandus yang tanaman tidak dapat tumbuh
di atasnya. Tanah jenis ini tidak dapat menyerap air dan tidak pula
menampungnya untuk dimanfaatkan orang lain.
Begitu pula manusia jenis ketiga. Manusia jenis ini tidak memiliki
banyak hafalan, juga tidak memiliki pemahaman yang bagus. Apabila dia
mendengar, ilmu tersebut tidak bermanfaat baginya. Dia juga tidak bisa
menghafal ilmu tersebut agar bermanfaat bagi orang lain.” (Syarh Muslim, 15: 47-48)
Semoga Allah beri hidayah untuk terus menempuh jalan meraih ilmu
bermanfaat.
—
0 komentar:
Posting Komentar