Seringkali masyarakat
mempertanyakan, bolehkan menjual barang dengan keuntungan lebih dari 100%?
Bahkan sebagian orang beranggapan, mengambil keuntungan lebih dari 100%
termasuk kedzaliman bagi konsumen. Sehingga harga jual tidak boleh dua kali
lipat dari harga modal yang dikeluarkan untuk pengadaan barang.
Karena kita berbicara tentang
hukum, tentu semua ada standarnya. Sebagai mukmin kita wajib menyadari, standar
itu harus kembali kepada dalil atau praktek transaksi yang ada di masa salaf
atau keterangan para ulama fiqh.
Antara Harga Pasar dan Keuntungan
Di sana ada 2 hal yang perlu kita
bedakan,
[1] Harga pasar
[2] Keuntungan
Harga Pasar
Harga pasar adalah standar harga
yang berlaku di masyarakat untuk suatu barang tertentu. Menjual barang lebih
dari harga pasar, digolongkan para ulama sebagai tindakan pembodohan. Sementara
melakukan pembodohan dalam transaksi jual beli termasuk penipuan yang
diharamkan dalam semua agama.
Allah menyebut hari kiamat dengan
hari taghabun,
ذَلِكَ يَوْمُ التَّغَابُنِ
“Itulah
hari at-Thaghabun.” (QS. at-Thaghabun: 9).
Disebut hari taghabun dari kata ghabn yang pembodohan.
Karena orang-orang mukmin penduduk surga, membodoh-bodohkan penduduk
neraka.
Al-Qurthubi menyebutkan
keterangan Ibnul Arabi,
قال ابن العربي: استدل علماؤنا بقوله تعالى: ذلك يوم التغابن على أنه
لا يجوز الغبن في المعاملة الدنيوية، لأن الله تعالى خصص التغابن بيوم القيامة
Ibnul Arabi mengatakan,
Para ulama madzhab kami berdalil
dengan ayat ini untuk mengatakan bahwa tidak boleh melakukan tindakan
pembodohan dalam muamalah di dunia. Karena Allh Ta’ala hanya mengkhususkan
tindakan saling membodohkan hanya di hari kiamat. (Tafsir al-Qurthubi, 18/138)
Pembodohan dalam transaksi ada
dua[1],
Pertama, pembodohan ringan yang
ditolerir
Ini adalah pendapat mayoritas
ulama. Meskipun ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa pembodohan tidak ada
yang ditoleransi, meskipun sedikit.
Kedua, pembodohan parah yang
tidak bisa ditolerir (al-Ghabn
al-Fahisy ).
Manurut Hanafiyah, Malikiyah dan
sebagian ulama Hambali, transaksi yang mengandung Ghabn Fahisy dibatalkan
dan barang dikembalikan.
Ulama berbeda pendapat, berapa
batasan nilai menjual di atas harga pasar yang terhitung ghabn fahisy . Kita tidak
berpanjang lebar mengenai masalah ini, karena itu saya hanya akan menyebutkan
salah satu pendapat saja.
Dalam Fiqh Empat Madzhab
disebutkan pendapat Malikiyah,
المالكية – المشهور في المذاهب أنه لا يرد المبيع بالغبن في
الربح ولو كان كثيراً فوق العادة إلا في أمور:
Menurut Malikiyah – Yang masyhur
menurut berbagai madzhab, bahwa barang yang dibeli tidak dikembalikan dengan
sebab ghabn(pembodohan)
yang menghasilkan keuntungan meskipun melebihi batas normal, kecuali dalam
beberapa kejadian,
أحدها: أن يكون البائع والمشتري بالغبن الفاحش وكيلاً أو وصياً، فإذا
كان كذلك فإن بيعها وشراءها يرد
Yang pertama, penjual dan pembeli
yang mengalami ghabn fahisy adalah
wakil atau orang yang diberi wasiat. Jika itu yang terjadi maka trasaksinya
dibatalkan.
Kemudian mengenai standar ghabn fahisy , sebagian Malikiyah
menyatakan,
واختلف في حد الغبن الفاحش فقال بعضهم: إذا بيعت السلعة بزيادة الثلث
عن قيمتها، أو بنقص الثلث كان غبناً
Ulama berbeda pendapat mengenai
batasan ghabn fahisy . Sebagian ulama
mengatakan, apabila barang dijual 1/3 lebih mahal dari harga normal (harga
pasar), atau 1/3 lebih murah maka terjadi ghabn.
(al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah,
2/255).[2]
Sementara itu, yang difatwakan
Syaikh Ibnu Baz – rahimahullah – bahwa ghabn fahisy standarnya
kembali kepada urf – standar yang berlaku di masyarakat,
Beliau ditanya, “Apa
batasan ghabn yang mempengaruhi
keabsahan transaksi?”
Jawaban Syaikh Ibnu Baz,
اختلفوا فيه؛ بعضهم قال: الثلث. وبعضهم قال: أقل من ذلك. ولكن
أحسن ما قيل في هذا: أنه ما يعده الناس غبناً بالعرف، ما يعده أهل البيع والشراء
غبناً؛ حيث يعتبر ضاراً للمشتري
Ulama berbeda pendapat dalam
masalah ini. sebagian mengatakan 1/3, dan yang lain mengatakan kurang dari itu.
Namun pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini, selama masyarakat penyebut
itu pembodohan berdasarkan standar mereka, maka bisa berlaku sebagai pembodohan
menurut pasar, dimana ini merugikan pembeli.[3]
Istilah ghabn fahisy di masyarakat
kita sering mereka sebut dengan harga ‘nuthuk’ atau
‘menthung’. Kata ini dari bahasa
jawa artinya memukul.[4]
Selanjutnya kita berpindah ke
masalah berikutnya yaitu mengambil keuntungan lebih dari 100%.
Ada dua riwayat yang tegas
menunjukkan bolehnya mengambil keuntungan lebih dari 100%.
Pertama, hadis dari Urwah al-Bariqi
beliau menceritakan,
دَفَعَ إِلَىَّ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- دِينَارًا
لأَشْتَرِىَ لَهُ شَاةً فَاشْتَرَيْتُ لَهُ شَاتَيْنِ فَبِعْتُ إِحْدَاهُمَا
بِدِينَارٍ وَجِئْتُ بِالشَّاةِ وَالدِّينَارِ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه
وسلم-.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan
uang sebesar 1 dinar kepadaku untuk dibelikan seekor kambing. Kemudian uang itu
saya belikan 2 ekor kambing. Tidak berselang lama, saya menjual salah satunya
seharga 1 dinar. Kemudian saya bawa kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seekor
kambing dan uang 1 dinar.
Kemuduian akupun menceritakan
kejadian itu kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Lalu beliau mendoakan,
بَارَكَ اللَّهُ لَكَ فِى صَفْقَةِ يَمِينِكَ
Semoga Allah memberkahimu dalam
transaksi yang dilakukan tanganmu.
(HR. Turmudzi 1304, Daruquthni 2861, dan dihasankan Syuaib al-Arnauth)
Kedua, hadis dari Abdullah Zubair radhiyallahu ‘anhuma,
beliau menceritakan,
وَكَانَ الزُّبَيْرُ اشْتَرَى الْغَابَةَ بِسَبْعِينَ وَمِائَةِ
أَلْفٍ ، فَبَاعَهَا عَبْدُ اللَّهِ بِأَلْفِ أَلْفٍ وَسِتِّمِائَةِ أَلْفٍ
Zubair pernah membeli tanah hutan
seharga 170.000, kemudian tanah itu dijual oleh putranya, Abdullah bin Zubair
seharga 1.600.000 (HR. Bukhari 3129).
Hadis ini diletakkan al-Bukhari
dalam kitab shahihnya di Bab, “keberkahan harta orang yang berperang.”
Hadis ini dijadikan dalil oleh
para ulama untuk menyimpulkan bolehnya mengambil keuntungan berlipat-lipat
dalam jual beli. (Majallah Majma’ al-Fiqh al-Islami, volume 5/VII – Tahdid Arbah Tujjar, Dr. Yusuf
Qardhawi)
Banyak kasus dimana orang bisa
mendapatkan keuntungan berlipat-lipat ketika jual beli. Orang yang pergi ke
hutan untuk mencari kayu gaharu, mereka bermodal gergaji, kapak, dst. yang jika
dinilai, tidak lebih dari 2 jt. dan ketika dia berhasil mendapat 1 batang
gaharu, hasilnya bisa berjuta-juta. Jika dilihat dari modal, keuntungan bisa
berlipat-lipat. Dan umumnya unit produksi, bisa menghasilkan keuntungan
berlipat-lipat, jika dilihat dari modal. Meskipun hukum ini juga berlaku untuk
unit usaha yang lain seperti trader.
Biasanya, pembodohan itu banyak
terjadi ketika konsumen kurang perhatian terhadap harga pasar atau kurang
perhatian melihat situasi barang. Memang keuntungan dalam jual beli mengikuti
laju perekonomian masyarakat, seperti faktor permintaan dan suplay barang atau
ketersediaan barang. Namun para pedagang hendaknya tetap memperhatikan
kode etik pebisnis muslim. Dalam arti, tidak bernafsu meraup keuntungan dengan
terlalu semangat memanfaatkan kesempatan. Karena ini yang memicu tindakan ghabn.
Kesimpulan inilah yang
disampaikan Lajnah Daimah dalam salah satu Fatwanya,
ليست الأرباح في التجارة محدودة , بل تتبع أحوال العرض والطلب , كثرة
وقلة ، لكن يستحسن للمسلم تاجراً أو غيره أن يكون سهلاً سمحاً في بيعه وشرائه ,
وألا ينتهز فرصة غفلة صاحبه , فيغبنه في البيع أو الشراء , بل يراعي حقوق الأُخوّة
الإسلامية
Keuntungan perdagangan tidak
memiliki batasan tertentu. Namun mengikuti kondisi persediaan – permintaan
barang, dan ketersediaan barang. Hanya saja dianjurkan bagi para pegadang untuk
memberi kemudahan bagi konsumen dalam bertransaksi. Jangan sampai memanfaatkan
kesempatan kelalaian pembeli, kemudian melakukan ghabn (pembodohan) dalam
melakukan transaksi jual beli. Sehingga dia harus memperhatikan hak ukhuwah islamiyah. (Fatwa Lajnah
Daimah, yang ditanda-tangan Syaikh Ibnu Baz, Fatwa no. 6161).
Dari keterangan di atas, kita
bisa memberikan kesimpulan,
[1] Dibolehkan mengambil
keuntungan lebih dari 100%
[2] Tidak dibolehkan menjual
barang melebihi harga pasar, karena ini termasuk pembodohan kosumen
[3] Keuntungan dari jual beli
dibolekan selama tidak menyababkan harga barang dinaikkan melebihi harga pasar.
[4] Memanfaatkan kelalaian
konsumen terhadap barang, bisa terhitung ghabn (pembodohan)
jika harga dinaikkan secara tidak normal.
[5] Dibolehkan menaikkan harga
barang mengikuti perubahan harga pasar, karena faktor ketersediaan dan
permintaan terhadap barang.
Demikian, semoga bermanfaat..
Allahu a’lam.
Keterangan:
[1] Disimpulkan dari
keterangan Dr. Ali Muhyiddin al-Qarh-daghi dalam bukunya Mabda’ ar-Ridha fi al-Uqud, 2/736
– 740.
[2] Sebagian ulama
menyebutkan bahwa alasan Malikiyah dengan membatasi 1/3 adalah hadis tentang wasiat.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الثُّلُثُ ، وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ
“Ya sepertiga, dan 1/3 itu sudah
banyak.” (HR. Bukhari 2743)
Sebagaimana wasiat lebih dari 1/3
merugikan ahli waris, menaikkan harga melebihi 30% dari harga pasar juga sangat
merugikan konsumen.
[3] Fatwa ini disebutkan
dalam situs resmi Syaikh Ibnu Baz. Anda bisa mengakses di
alamat, http://www.binbaz.org.sa/fatawa/3917
[4] Ada paper bagus yang
ditulis Dr. Nidzamuddin Abdul Hamid, Majallah al-Majma’, Volume VI – 252
mengenai khiyar ghabn dan
beberapa batasannya. Paper ini menjadi salah satu referensi tulisan ini.
0 komentar:
Posting Komentar