NABI YUSHA’ MENGEMBAN AMANAH
SESUDAH WAFATNYA NABI MUSA.
Yang dimaksudkan adalah nabi Yusya’
bin Nuun ‘alaihissalam. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan namanya di
dalam Alquran secara tidak jelas (tidak terang-terangan) dalam kisah Khidir, sebagaimana
yang telah dikemukakan sebelumnya, yaitu dalam firman-Nya,
وَإِذْ
قَالَ مُوسَى لِفَتَاهُ…
”Dan (ingatlah) ketika Musa
berkata kepada muridnya…..” (Q.s. Al-Kahfi: 60)
فَلَمَّا
جَاوَزَا قَالَ لِفَتَاهُ آتِنَا غَدَاءَنَا …
”Maka tatkala mereka berjalan
lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya, “Bawalah ke mari makanan kita…..” (Q.s. Al-Kahfi: 62)
Telah kami sampaikan pula sebelumnya tentang hadis shahih yang diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menegaskan bahwa dia adalah Yusya’ bin Nuun.
Telah kami sampaikan pula sebelumnya tentang hadis shahih yang diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menegaskan bahwa dia adalah Yusya’ bin Nuun.
Dan menurut Ahli Kitab (Kitab
Perjanjian Lama), kenabian Yusya’ ini disepakati. Sekelompok dari mereka, yaitu
kelompok Samirah, tidak mengakui kenabian seorang pun setelah Musa ‘alaihissalam kecuali Yusya’ bin Nuun, karena
hal itu secara jelas disebutkan dalam Taurat. Tetapi mereka tidak mau mengakui
kenabian para Nabi setelahnya, padahal mereka itu (para Nabi) benar dan dibenarkan
pula oleh kitab-kitab yang ada pada mereka (kelompok Samirah). Semoga melaknat
mereka secara bertubi-tubi sampai hari kiamat.
Sedangkan mengenai kisah yang
disampaikan oleh Ibnu Jarir (dalam Tarikhnya) dan beberapa Ahli Tafsir lainnya
dari Muhammad bin Ishaq, kenabian itu diserahkan oleh Musa kepada Yusya’ pada
akhir hayatnya. Di mana Musa ‘alaihissalam menemui Yusya’ dan menanyakan
kepadanya berbagai perintah dan larangan yang disampaikan Allah kepadanya
(Musa). Hingga akhirnya Yusya’ menjawab,”Wahai Kalimullah (orang yang diajak berbicara
langsung oleh Allah-ed), sesunguhnya aku tidak bertanya tentang apa yang
diwahyukan Allah kepadamu sehingga engaku sendiri yang yang memberitahukannya
kepadaku. ”Pada saat itu, Musa ‘alaihissalam tidak menyukai kehidupan dan
lebih suka mati. Tetapi dalam hal ini masih perlu ditinjau kembali, karena Musa ‘alaihissalam masih terus mendapatkan perintah,
larangan, wahyu, syari’at dan firman Allah sampai dia meninggal dunia.
Dan dia masih terus memuliakan
dan mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana yang telah kami
kemukakan dalam hadits shahih sebelumnya tentang kisah Malaikat Maut yang
ditampar sampai matanya keluar oleh Musa ‘alaihissalam. Kemudian, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Malaikat Maut kepadanya;
jika dia masih ingin hidup, maka hendaklah dia meletakkan tangannya di atas
punggung sapi, dan setiap satu dari bulu-bulu yang tertutup tangannya, maka
akan dihitung satu tahun masa hidupnya. Musa ‘alaihissalam bertanya, ”Setelah itu apa?” Dia
menjawab, ”Kematian.” Maka Musa ‘alaihissalam berkata, ”Kalau begitu sekarang
saja, wahai Rabb-ku.” Selanjutnya, Musa ‘alaihissalam meminta kepada-Nya agar
didekatkan dengan Baitul Maqdis sejauh lemparan batu. Permintaan tersebut
dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Demkianlah yang disampaikan oleh
Muhammad bin Ishaq, bahwa apa yang dikemukakannya itu bersumber dari
kitab-kitab Ahlul Kitab. Dan, di dalam kitab mereka, Taurat, disebutkan bahwa
wahyu masih terus turun kepada Musa ‘alaihissalam setiap saat Bani Israil
membutuhkannya hingga akhir hayatnya, sebagaimana yang diketahui dari redaksi
kitab mereka yang ada di tabut kesaksian di kubah Zaman.
Pada bagian bab ketiga dari kitab
Taurat disebutkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Musa dan Harun ‘alaihimassalam untuk mempersiapkan Bani Israil
dengan mengelompokkan mereka dalam beberapa suku. Keduanya diperintahkan agar
mengangkat seorang pemimpin untuk setiap suku yang terdiri dari dua belas
orang. Hal itu dilakukan agar mereka siap untuk berperang, menghadapi
orang-orang perkasa ketika hendak keluar dari padang pasir. Dan, itu terjadi
setelah mendekati empat puluh tahun.
Oleh karena itu, sebagian mereka
mengatakan, ”Musa ‘alaihissalam memukul Malaikat Maut karena dia
tidak mengenalnya dengan penampilan seperti itu. Sedangkan dia telah
diperintahkan dengan suatu perintah yang diharapkan terjadi pada zamannya,
namun Allah Subhanahu wa Ta’ala mentakdirkan hal itu terjadi pada
zaman muridnya, Yusya bin Nuun ‘alaihissalam.”
Sama halnya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat hendak menyerang bangsa
Romawi di Syam (Syiria). Ketika sampai di Tabuk, kemudian beliau kembali lagi
pada tahun itu, yaitu tahun 9 Hijriyah. Setelah itu, beliau haji pada tahun ke
10 H., kemudian pulang kembali, untuk kemudian mempersiapkan pasukan Usamah bin
Zaid radhiyallahu ‘anhuma guna berangkat ke Syam, dan
beliau ingin sekali keluar bersama mereka sebagai wujud ketaatan pada
firman-Nya:
قَاتِلُوا
الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلا بِالْيَوْمِ الآخِرِ وَلا يُحَرِّمُونَ
مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ
أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ (29)
”Perangilah orang-orang yang
tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka
tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak
beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang
diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh
sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (Q.s. At-Taubah: 29)
Di saat menyiapkan pasukan Usamah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, sedangkan pasukan
Usamah berada di kemah-kemah mereka di lereng-lereng gunung. Lalu, misi itu
diteruskan oleh Shahabat beliau dan Khalifah (pengganti) beliau, Abu Bakar
Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Ketika Jazirah Arab bersatu
kembali seperti sedia kala, dan kebenaran kembali tegak, Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu menyiapkan tentara (untuk
menyerang) -kanan dan kiri- menuju Iraq pengikut Kisra raja Persia, dan ke Syam
pengikut Kaisar raja Romawi. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kemenangan kepada kaum
Muslimin, dan mengokohkan kedudukannya melalui pasukan mereka serta mereka
menundukkan musuh-musuh mereka, sebagaimana yang akan kami sampaikan pada
pembahasan tersendiri secara rinci, pada tempatnya nanti Insyaa Allah dengan
pertolongan-Nya, Taufuq-Nya, dan bimbingan-Nya.
Demikianlah Musa ‘alaihissalam, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkannya untuk
menyiapkan Bani Israil menjadi tentara dan untuk mengangkat untuk mereka
pemimpin-pemimpin untuk masing-masing suku, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَلَقَدْ
أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَبَعَثْنَا مِنْهُمُ اثْنَيْ عَشَرَ
نَقِيبًا وَقَالَ اللَّهُ إِنِّي مَعَكُمْ لَئِنْ أَقَمْتُمُ الصَّلاةَ
وَآتَيْتُمُ الزَّكَاةَ وَآمَنْتُمْ بِرُسُلِي وَعَزَّرْتُمُوهُمْ وَأَقْرَضْتُمُ
اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا لأكَفِّرَنَّ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَلأدْخِلَنَّكُمْ
جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ فَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ مِنْكُمْ
فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ (12)
”Dan sesungguhnya Allah telah
mengambil perjanjian (dari) Bani Israel dan telah Kami angkat di antara mereka
dua belas orang pemimpin dan Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku beserta kamu, sesungguhnya
jika kamu mendirikan salat dan menunaikan zakat serta beriman kepada
rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman
yang baik sesungguhnya Aku akan menghapus dosa-dosamu. Dan sesungguhnya kamu
akan Kumasukkan ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai. Maka
barangsiapa yang kafir di antaramu sesudah itu, sesungguhnya ia telah tersesat
dari jalan yang lurus.” (Q.s. Al-Maa’idah: 12)
Dia berfirman kepada mereka,
”Jika kalian melaksanakan apa yang telah Aku wajibkan kepada kalian dan tidak
enggan berperang sebagaimana yang keengganan kalian pertama kali, niscaya Aku
(Allah) akan menjadikan pahala semuanya itu sebagai penghapus hukuman atas
pelanggaran yang telah kalian lakukan tersebut, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada orang-orang Badui yang
tertinggal (tidak ikut) bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam umrah Hudaibiyah.
قُلْ
لِلْمُخَلَّفِينَ مِنَ الأعْرَابِ سَتُدْعَوْنَ إِلَى قَوْمٍ أُولِي بَأْسٍ شَدِيدٍ تُقَاتِلُونَهُمْ أَوْ يُسْلِمُونَ فَإِنْ تُطِيعُوا يُؤْتِكُمُ اللَّهُ أَجْرًا حَسَنًا وَإِنْ تَتَوَلَّوْا كَمَا تَوَلَّيْتُمْ مِنْ قَبْلُ يُعَذِّبْكُمْ عَذَابًا أَلِيمً (16)
”Katakanlah kepada orang-orang
Badui yang tertinggal: “Kamu akan diajak untuk (memerangi) kaum yang mempunyai
kekuatan yang besar, kamu akan memerangi mereka atau mereka menyerah (masuk
Islam). Maka jika kamu patuhi (ajakan itu) niscaya Allah akan memberikan
kepadamu pahala yang baik dan jika kamu berpaling sebagaimana kamu telah
berpaling sebelumnya, niscaya Dia akan mengazab kamu dengan azab yang pedih.” (Q.s. Al-Fath: 16)
Demikianlah yang difirmankan
Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Bani Israil:
… فَمَنْ
كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ(12)
”… Maka barangsiapa yang kafir
di antaramu sesudah itu, sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan yang lurus.” (Q.s. Al-Maa’idah: 12)
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala mencela mereka atas perbuatan
buruk mereka dan pelanggaran yang mereka lakukan terhadap janji mereka,
sebagaimana Dia juga mencela orang-orang Nashrani karena berbagai perbedaan
dalam pemahaman agama mereka. Hal ini telah kami uraikan secara panjang lebar
dalam kitab Tafsir (Tafsir Ibnu Katsir), Walillahul Hamd.
Maksudnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Musa ‘alaihissalam
agar menuliskan nama-nama orang yang akan ikut berperang dari kalangan Bani
Israil, yaitu mereka yang memanggul senjata dan ikut berperang. Dia juga
diperintahkan agar mengangkat pemimpin untuk setiap suku.
Sumber: Kisah Shahih Para Nabi, Syaikh Salim Al-Hilali hafizhahullah,
edisi Indonesia. Pustaka Imam asy-Syafi’i hal 335-340, alsofwah.or.id
0 komentar:
Posting Komentar