Asuransi pertama kali
muncul di abad ke-14 masehi di Italiyah. Mereka menyebutnya Saukarah, dalam
bahasa latin yang artinya asuransi. Transaksi ini mereka buat untuk memberikan
jaminan keamanan bagi para pedagang yang mengantar barang melalui jalur laut untuk
distribusi barang di selat Giblatar atau di sepanjang laut Albora.
Selama beberapa
tahun, asuransi hanya mereka terapkan untuk menjamin resiko bahaya laut. Hingga
akhirnya terjadi kebakaran besar di London, tahun 1666 M, yang melenyapkan
lebih dari 30.000 rumah. Setelah itu, mereka membuat asuransi untuk resiko di
darat. (Aqdu at-Ta’min wa Mauqif
as-Syariah al-Islamiyah, Musthofa az-Zarqa’, hlm. 34).
Ketika kasus Saukarah
ini disampaikan kepada ulama besar bermadzhab hanafiyah, Imam Ibnu Abidin (w.
1252 H), beliau memberikan komentar,
والذى يظهر لى أنه لا يحل للتاجر
أخذ بدل الهالك، لأن هذا التزام ما لا يلزم
Yang benar baginya,
tidak halal bagi pedagang untuk mengambil ganti senilai barangnya yang hilang.
Karena ini mewajibkan (orang untuk membayar) sesuatu yang bukan kewajibannya.
(Hasyiyah Ibnu Abidin, 4/170)
Artinya, ketika
pedagang itu membayar premi senilai 10 dinar, dan dia mengirim barang senilai
10.000 dinar, kemudian barangnya hilang atau rusak, dia tidak boleh meminta
ganti rugi saukarah sebesar 10.000 dinar. Karena ini mewajibkan pihak asuransi
untuk membayar uang yang bukan kewajibannya.
Lalu berapa yang
boleh dia ambil?
Jawabannya, senilai
premi yang pernah dia bayarkan.
Asuransi Pengiriman Barang
Praktek yang terjadi
pada asuransi pengiriman barang, pihak ekspedisi meminta sejumlah uang sebagai
premi asuransi pengiriman barang, terutama untuk barang elektronik atau barang
yang beresiko tinggi. Kemudian pihak ekspedisi menjanjikan, jika barang
rusak atau hilang akan diganti dengan uang senilai harga barang.
Jika kita lihat lebih
dekat, ketika konsumen membayar sejumlah uang ke pihak ekspedisi, apa yang dia
dapatkan?
Dia mendapatkan
jaminan resiko. Dan ini tidak terukur. Karena tidak ada yang tahu apakah akan
terjadi resiko terhadap barang ataukah tidak. Sehingga hekakatnya, pihak
konsumen membeli sesuatu yang tidak jelas. Belum bisa dipastikan apakah ada
atau tidak. Itulah yang dimaksud transaksi gharar.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
beliau mengatakan,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli gharar.” (HR.
Muslim 3881)
Karena itu, pada
prinsipnya, transaksi ini tidak diperbolehkan.
Asuransi yang Hanya Mengikuti
Yang menjadi
pertanyaan, bagaimana jika itu diharuskan? Dalam arti, pihak ekspedisi tidak
mau mengirim barang jika pelanggan tidak membayar asuransi.
Sebelumnya ada yang
perlu untuk kita bedakan terkait transaksi yang didampingi transaksi lain.
Seperti mengirim barang via ekspedisi yang disitu disyaratkan harus ikut
asuransi. Atau membeli tiket pesawat yang disyaratkan harus ikut asuransi.
Disana ada transaksi
utama, dan ada transaksi kedua yang mengikuti. Transaksi utama merupakan tujuan
utama akad. Sementara transaksi kedua tidak akan ada ketika transaksi utama
tidak ada.
Dalam transaksi
pengiriman barang yang mewajibkan adanya asuransi, kita memahami, bahwa
asuransi di sini sifatnya mengikuti dan bukan tujuan utama transaksi. Karena
akad utamanya adalah ijarah, dalam bentuk jual
beli jasa dan layanan
antar-barang sampai di tujuan. Asuransi tidak akan ada, jika orang tidak
mengirim barang.
Dan kita bisa
menilai,
Untuk akad pertama,
pengiriman barang, hukumnya mubah. Sementara akad kedua,
asuransi, adalah akad bermasalah. Karena transaksi gharar.
Yang menjadi
pertanyaan adalah apakah keberadaan akad kedua yang bermasalah, menyebabkan
batalnya akad pertama yang hukumnya mubah?.
Terdapat kaidah dalam
masalah fiqh. Kaidah ini disampaikan al-Kurkhi – ulama Hanafiyah – (w. 340 H),
الأصل أنه قد يثبت الشيء تبعاً
وحكماً وإن كان يبطل قصداً
Hukum asalnya,
terkadang ada sesuatu diboleh-kan karena mengikuti, meskipun batal jika jadi
tujuan utama. (al-Wajiz fi Idhah Qawaid Fiqh,
hlm. 340).
Karena itu, yang
diperhitungkan adalah transaksi utamanya dan bukan transaksi yang mengikuti.
Sehingga dalam hal
ini, pelanggan tetap dibolehkan mengirim barang via ekspedisi, dan jika tidak
bisa menghidari syarat asuransi, dia bisa bayarkan. Yang menanggung kesalahan
adalah pihak ekspedisi.
Allahu
a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar