Allah berfirman di bagian akhir surat al-Baqarah,
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ
تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah
tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang)
itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (QS.
al-Baqarah: 280).
Mulai ayat 275 hingga 279, Allah menjelaskan bahaya riba bagi
umat. Kemudian di ayat 280, Allah menjelaskan aturan utang-piutang.
Ketika posisi orang yang berutang tidak mampu membayar utangnya,
ayat di atas memberikan 2 pilihan untuk orang yang memberi utang,
Pertama, memberi waktu tenggang
Allah tetapkan, batas pemberian waktu tenggan sampai si pengutang
mendapat kemudahan untuk melunasi utangnya.
Al-Qurthubi menyebutkan, ayat ini turut terkait kasus yang dialami
bani Tsaqif dengan Bani al-Mughirah. Ketika Bani Tsaqif meminta Bani
al-Mughirah untuk melunasi utangnya, mereka belum sanggup membayarnya. Mereka
mengaku tidak memiliki apapun untuk dibayarkan, dan meminta waktu tunda sampai
musim panen. Kemudian turun ayat ini. (Tafsir al-Qurthubi, 3/371)
Ini berbeda dengan aturan di masa jahiliyah. Orang yang berutang
dan dia tidak bisa bayar sampai batas yang ditetapkan, maka dia harus menjual
dirinya untuk jadi budak, agar bisa melunasi utangnya. Kemudian aturan ini
dinasakh dalam islam. (Tafsir al-Qurthubi, 3/371).
Sebagian ulama mengatakan, pilihan memberikan waktu tenggang bagi
orang yang tidak mampu melunasi utang adalah sifatnya perintah wajib.
Ketika menafsirkan ayat di atas, Imam Ibnu Utsaimin menuliskan,
ومن فوائد الآية: وجوب إنظار المعسر – أي إمهاله حتى يوسر؛ لقوله
تعالى: { فنظرة إلى ميسرة }؛ فلا تجوز مطالبته بالدَّين؛ ولا طلب الدَّين منه
Diantara pelajaran dari ayat, wajibnya memberi waktu tenggang bagi
orang yang kesulitan. Artinya memberi waktu tenggang sampai dia mendapat
kemudahan. Berdasarkan firman Allah ta’ala, (yang artinya), “berilah tangguh
sampai dia berkelapangan.” Sehingga tidak boleh menuntut dia agar berhutang di
tempat lain atau menagih utangnya. (Tafsir al-Quran al-Karim, al-Baqarah, ayat
280).
Kemudian, berdasarkan ayat di atas, kewajiban memberi waktu
tenggang ini berlaku ketika orang yang berhutang mengalami kesulitan. Jika
sejatinya dia mampu, namun sengaja menunda pelunasan utang, maka orang yang
menghutangi boleh memaksa untuk melunasi utangnya. Karena Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam menyebut orang yang menunda pelunasan utang, padahal
dia mampu sebagai orang dzalim.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَطْلُ الْغَنِىِّ ظُلْمٌ
“Menunda pelunasan utang yang dilakukan orang mampu adalah
kedzaliman.” (HR. Bukhari 2287 & Muslim 4085).
Karena itu tindakan kedzaliman, kita dibolehkan menolak
kedzalimannya dengan menagihnya agar segera melunasi utangnya.
Kedua, mengikhlaskannya
Pilihan kedua yang Allah ajarkan adalah memutihkan utang itu. Ada
3 keutamaan untuk pemutihan utang,
1.
Allah menyebutnya sebagai sedekah
2.
Allah menyebut tindakan itu lebih baik, jika kita mengetahui
3.
Allah sebut orang yang memilih memutihkan utang sebagai orang yang
berilmu.
Kemudian, pilihan kedua ini sifatnya anjuran dan tidak wajib.
Imam Ibnu Utsaimin menjelaskan,
ومن فوائد الآية: فضيلة الإبراء من الدَّين، وأنه صدقة؛ لقوله تعالى:
{ وأن تصدقوا خير لكم }؛ والإبراء سنة؛ والإنظار واجب
Diantara pelajaran dari ayat ini, keutamaan menggugurkan utang,
dan ini bernilai sedekah. Bedasarkan firman Allah (yang artinya), “Dan
menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu.”
Sehingga memutihkan utang hukumnya anjuran, sementara menunda
pelunasan bagi yang tidak mampu, hukumnya wajib. (Tafsir al-Quran al-Karim,
al-Baqarah, ayat 280)
Bisakah pemutihan utang
ini mewakili zakat?
Misalnya, si A memutihkan utang senilai 500rb. Di waktu yang sama,
dia berkewajiban membayar zakat sebesar 400 rb. Bisakah pemutihan utang itu
sekaligus mewakili zakat si A?
Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا
كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَلَا تَيَمَّمُوا
الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآَخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا
فِيهِ
Hai orang-orang yang beriman, berinfaqlah (di jalan allah) dengan
sebagian dari hasil usahamu yang baik dan sebagian dari apa yang Aku keluarkan
dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk untuk kalian
infaqkan, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan
memincingkan mata terhadapnya. (QS. al-Baqarah:
267).
Yang dimaksud ‘memilih yang buruk-buruk untuk kalian infaqkan’
bukanlah harta haram. Namun harta halal, boleh dimanfaatkan. Hanya saja,
sebagian orang kurang suka karena sudah tidak bagus. Termasuk harta yang tidak
ada harapan untuk bisa dimanfaatkan. Seperti sapi yang lari ke hutan, yang
kemungkinan kecil bisa kembali. Berniat mensedekahkan sapi semacam ini termasuk
kategori memilih yang buruk-buruk untuk diinfaqkan. Sehingga
tidak boleh diniatkan untuk zakat.
Termasuk utang macet. Sementara tidak ada harapan untuk
dikembalikan. Statusnya seperti harta hilang. Karena itulah para ulama
menyimpulkan, utang semacam ini jika diikhlaskan, tidak bisa menggantikan
kewajiban bayar zakat.
Kita simak keterangan Ibnu Utsaimin tentang utang macet,
والدَّين الذي على معسر مال تالف؛ لأن الأصل بقاء الإعسار؛ وحينئذٍ
يكون هذا الدَّين بمنزلة المال التالف؛ فلا يصح أن يجعل هذا المال التالف زكاة عن
العين؛ ولهذا قال شيخ الإسلام رحمه الله: إن إبراء الغريم المعسر لا يجزئ من
الزكاة بلا نزاع
Utang yang berada di tangan orang yang kesulitan bayar, seperti
uang hilang. Karena hukum asal orang itu adalah masih dianggap sebagai orang
yang kesulitan. Sehingga utang itu statusnya seperti uang hilang. Dan tidak
boleh harta yang hilang dijadikan sebagai zakat. Karena itu, Syaikhul Islam
mengatakan, ‘Memutihkan utang orang yang kesulitan bayar, tidak bisa menggantikan
kewajiban zakat, tanpa ada perbedaan pendapat ulama.’ (Tafsir al-Quran
al-Karim, al-Baqarah, ayat 280).
Akad Sepihak
Kemudian, aturan lain yang perlu diperhatikan terkait pemutihan
utang,
bahwa utang yang telah diikhlaskan statusnya sedekah. Dan semacam
ini sifatnya akad sepihak. Artinya, untuk memutihkan utang, hanya kembali
kepada kerelaan orang yang memberi utang. Sehingga bisa jadi yang berutang
tidak tahu sama sekali bahwa utangnya telah diikhlaskan.
Dan salah satu diantara aturan yang berlaku, orang yang telah
mensedekahkan hartanya kepada orang lain, pantangan baginya untuk menarik
kembali, sekalipun itu dikembalikan oleh orang yang diberi.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَثَلُ الَّذِى يَهَبُ فَيَرْجِعُ فِى هِبَتِهِ كَمَثَلِ الْكَلْبِ
يَأْكُلُ فَيَقِىءُ ثُمَّ يَأْكُلُ قَيْئَهُ
Perumpamaan orang yang memberikan harta, lalu dia menarik kembali
pemberiannya, seperti anjing yang makan, lalu dia muntah, kemudian dia makan
muntahannya. (HR. Nasai 3705 dan dishahihkan al-Albani)
Dalam riwayat lain, dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يُعْطِىَ عَطِيَّةً أَوْ يَهَبَ هِبَةً
فَيَرْجِعَ فِيهَا إِلاَّ الْوَالِدَ فِيمَا يُعْطِى وَلَدَهُ وَمَثَلُ الَّذِى يُعْطِى
الْعَطِيَّةَ ثُمَّ يَرْجِعُ فِيهَا كَمَثَلِ الْكَلْبِ يَأْكُلُ فَإِذَا شَبِعَ
قَاءَ ثُمَّ عَادَ فِى قَيْئِهِ
Tidak halal bagi seseorang yang memberikan atau menghibahkan
sesuatu kemudian dia menarik kembali pemberiannya. Kecuali pemberian orang tua
kepada anak. Orang yang memberikan harta kepada orang lain, kemudian dia
menarik kembali, seperti anjing yang makan, setelah kenyang, dia muntah.
Kemudian dia makan lagi muntahannya. (HR. Abu Daud 3541 dan dishahihkan
al-Albani).
Karena itu, ketika si X telah mengikhlaskan utang si A tanpa
sepengetahuannya, kemudian suatu saat si A datang untuk melunasi utang itu,
maka si X tidak boleh menerimanya. Karena dia telah mensedekahkan utang itu.
Allahu a’lam.
Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan
Pembina Konsultasisyariah.com)
0 komentar:
Posting Komentar