Ada orang yang belum pernah haji. Ketika sakit, dia berpesan agar
nanti dihajikan setelah meninggal. Apakah wasiat ini harus dilaksanakan?
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Bagi orang yang pernah haji dan telah memenuhi kriteria mampu
berhaji, dia harus segera berhaji. Ini merupakan pendapat Imam Abu Hanifah,
Imam Malik, dan Imam Ahmad. Mereka berdalil dengan firman Allah,
وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ
سَبِيلاً وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ الله غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu
(bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa
mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak
memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Ali Imran: 97).
Orang yang tidak berangkat haji ada 3 keadaan:
[1] Orang yang tidak mampu secara ekonomi, sehingga tidak memiliki
dana untuk haji.
Ulama sepakat, orang semacam ini tidak wajib haji. (Fatwa Syabakah
Islamiyah, no. 51540)
[2] Orang yang mampu secara ekonomi, tapi tidak mampu secara
fisik.
Menurut Abu Hanifah, as-Syafi’I, dan Ahmad wajib baginya untuk
menunjuk orang yang akan menggantikannya untuk berhaji. Dan jika mayit
berwasiat untuk dihajikan, ahli waris bisa menghajikannya dengan menggunakan
harta warisannya, meskipun melebihi 1/3 hartanya.
[3] Orang yang mampu haji secara ekonomi maupun fisik
Jika ada orang yang mati, padahal mungkin baginya berhaji namun
dia tidak haji, dan dia meninggalkan harta warisan, maka wajib bagi ahli
warisnya untuk menggunakan harta warisannya sebagai biaya haji atas nama si
mayit. Ini merupakan pendapat Hasan al-Bashri, Thawus, as-Syafi’i, dan Ahmad.
Dalam ar-Raudhul Murbi’ dinyatakan,
وإن مات من لزماه أي الحج والعمرة أخرجا من تركته من رأس المال أوصى
به أو لا ويحج النائب من حيث وجبا على الميت
Jika orang yang wajib haji atau umrah meninggal, maka dia harus
dihajikan dan diumrahkan dengan mengambil warisannya. Baik dia pernah berwasiat
maupun tidak. Wakilnya menghajikan dia sebagai haji wajib atas nama mayit.
(ar-Raudhul Murbi’, al-Buhuti, hlm. 173)
Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan,
من كان يستطيع في حياته الحج ببدنه وماله، فهذا يجب على ورثته أن
يخرجوا من ماله لمن يحج عنه، لكونه لم يؤد الفريضة التي مات وهو يستطيع أداءها وإن
لم يوص بذلك، فإن أوصى بذلك فالأمر آكد
Orang yang mampu haji ketika hidup dengan fisik dan hartanya, maka
wajib bagi ahli warisnya agar menggunakan hartanya untuk menghajikannya, karena
dia belum menunaikan kewajiban orang yang telah mati, padahal dia mampu
mengerjakannya. Meskipun si mayit tidak pernah berwasiat untuk dihajikan. Jika
dia berwasiat, maka tanggung jawabnya lebih besar.
Sumber: https://www.binbaz.org.sa/fatawa/686
Ini berlaku untuk haji pertama (haji wajib). Sementara wasiat
untuk haji sunah (lebih dari sekali), hanya diambilkan dari kadar 1/3 hartanya.
Ibnu Qudamah mengatakan,
وإن كان تطوعاً أخذ الثلث لا غير إذا لم يجز الورثة ويحج به
Jika wasiatnya untuk haji sunah, maka dia ambil dari 1/3 hartanya,
tidak lebih, jika ahli warisnya tidak rela melepaskan lebih dari 1/3.
(al-Muhgni, 6/590).
Allahu a’lam
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan
Pembina Konsultasisyariah.com)
0 komentar:
Posting Komentar