Jika sejak kecil belum
diakikahi, apakah ketika dewasa anak tersebut boleh mengakikahi dirinya
sendiri? Ada yang beralasan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengakikahi dirinya sendiri ketika telah diangkat menjadi nabi.
Hadits yang Membicarakan Nabi
Mengakikahi Diri Sendiri
Para ulama berselisih
pendapat mengenai hukum mengakikahi untuk diri sendiri. Hal ini dikarenakan
kevalidan hadits yang membicarakan masalah ini,
أن النبي صلى الله عليه وسلم عق عن نفسه بعدما بعث نبيا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakikahi
dirinya sendiri setelah ia diutus sebagai Nabi” (HR. Al Baihaqi 9: 300).
Imam Nawawi dalam Al Majmu’ (8: 250) berkata, “Hadits ini adalah hadits batil. Al
Baihaqi mengatakan bahwa hadits tersebut adalah hadits munkar. Diriwayatkan oleh
Al Baihaqi dari ‘Abdur Rozaq, ia berkata, “Mereka meninggalkan ‘Abdullah bin
Muharror disebabkan hadits ini.” Disebutkan pula bahwa hadits ini diriwayatkan
dari Qotadah dan dari jalur lain dari Anas, namun tidaklah shahih. Initnya,
hadits ini adalah hadits bathil. ‘Abdullah bin Muharror adalah dho’if,
disepakati akan kedho’ifannya. Al Hafizh mengatakan bahwa dia itu matruk
(ditinggalkan). Wallahu Ta’ala a’lam.”
Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad (2: 303) berkata, “Disebutkan Ibnu Ayman dari hadits Anas
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakikahi
dirinya sendiri setelah diangkat sebagai nabi. Abu Daud mengomentari hadits ini
dalam masailnya bahwa ia pernah mendengar Imam Ahmad menyebutkan hadits Haytsam
bin Jamil, dari ‘Abdullah bin Mutsanna, dari Tsumamah, dari Anas bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakikahi
dirinya sendiri. Imam Ahmad berkata, dari ‘Abdullah bin Muharror, dari Qotadah,
dari Anas, ia mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengakikahi dirinya sendiri. Imam Ahmad mengatakan hadits
ini munkar. Imam Ahmad mendho’ifkan ‘Abdullah bin Muharror.”
Pendapat Ulama Mengenai
Mengakikahi Diri Sendiri
Dalam madzhab Syafi’i,
penulis kitab Fathul Qorib, Muhammad bin Qosim Al Ghozzi berkata, “Akikah tidaklah luput
jika diakhirkan setelah itu. Jika akikah diakhirkan hingga baligh, maka
gugurlah tanggung jawab akikah dari orang tua terhadap anak. Adapun setelah
baligh, anak punya pilihan bisa untuk mengakikahi dirinya sendiri.”
Beberapa ulama menganjurkan
mengakikahi diri sendiri seperti Ibnu Sirin dan Al Hasan Al Bashri. Ibnu Sirin
berkata,
لو أعلم أنه لم يعق عني لعققت عن نفسي
“Seandainya aku tahu bahwa
aku belum diakikahi, maka aku akan mengakikahi diriku sendiri.” (HR. Ibnu Abi
Syaibah dalam Mushonnaf, 8: 235-236. Sanadnya shahih kata Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 2726).
Al Hasan Al Bashri berkata,
إذا لم يعق عنك ، فعق عن نفسك و إن كنت رجلا
“Jika engkau belum
diakikahi, maka akikahilah dirimu sendiri jika engkau seorang laki-laki.”
(Disebutkan oleh Ibnu Hazm dalam Al Muhalla, 8: 322. Sanadnya hasan kata Syaikh
Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 2726)
Imam Malik rahimahullah berpendapat tidak perlunya mengakikahi diri sendiri. Imam
Malik berkata, “Tidak perlu mengakikahi diri sendiri karena hadits yang
membicarakan hal tersebut dho’if. Lihatlah saja para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
belum diakikahi di masa jahiliyah, apakah mereka mengakikahi diri mereka
sendiri ketika telah masuk Islam? Jelaslah itu suatu kebatilan.” (Al Mudawanah
Al Kubro karya Imam Malik dengan riwayat riwayat Sahnun dari Ibnu Qosim, 5:
243. Dinukil dari Fathul Qorib, 2: 252).
Penulis lebih cenderung
dengan alasan yang dikemukakan oleh Imam Nawawi bahwa tidak perlu mengakikahi diri
sendiri. Alasan penulis menguatkan pendapat ini:
1- Hadits yang membicarakan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakikahi
diri sendiri adalah hadits dho’if (lemah).
2- Para sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
belum diakikahi di masa jahiliyah, tidak mengakikahi diri mereka sendiri ketika
telah masuk Islam.
3- Akikah menjadi tanggung
jawab orang tua dan bukanlah anak.
4- Hukum akikah menurut
jumhur (mayoritas) ulama adalah sunnah dan bukanlah wajib.
Wallahu a’lam, hanya Allah yang memberi taufik.
Baca pula artikel
Rumaysho.Com: (1) Sunnah Akikah bagi Buah
Hati, (2) Waktu Pelaksanaan Aqiqah, (3) Bagaimana Jika Belum
Diaqiqahi Ketika Kecil?
Referensi:
Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab
lisy Syairozi, Abu Zakariya Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar ‘Alamil
Kutub, cetakan kedua, tahun 1427 H.
Hasyihah ‘alal Qoulil Mukhtar
fii Syarh Ghoyatil Ikhtishor (catatan kaki untuk Fathul
Qorib), Muhammad bin Qosim Al Ghozzi, pentahqiq: Dr. Sa’aduddin bin Muhammad Al
Kubi, terbitan Maktabah Al Ma’arif, cetakan pertama, tahun 1432 H.
Silsilah Al Ahadits Ash
Shahihah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, terbitan Maktabah Al
Ma’arif, cetakan pertama, tahun 1416 H.
Zaadul Ma’ad fii Hadyi Khoiril
‘Ibad, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan
keempat, tahun 1425 H.
—
Diselesaikan di kantor
Pesantren Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, 5 Dzulhijjah 1434 H
0 komentar:
Posting Komentar