Bolehkah seorang mahasiswa
memberikan hadiah untuk dosennya atau seorang murid memberikannya pada gurunya?
Bolehkah dosen tersebut menerimanya?
Hukum Asal Memberi Hadiah
Hukum asal memberi hadiah adalah
sunnah (dianjurkan). Hal ini berdasarkan hadits,
تَهَادَوْا تَحَابُّوا
“Salinglah memberi hadiah, maka
kalian akan saling mencintai.”
(HR. Bukhari dalam Al Adabul Mufrod no. 594. Syaikh Al Albani mengatakan hadits
ini hasan sebagaimana dalam Irwaul Gholil no. 1601)
Hadiah yang Terlarang
Ada hadiah yang terlarang. Di
antaranya adalah hadiah yang diberikan sebagai prasayarat tambahan dari utang
piutang. Ini adalah hadiah terlarang karena dipersyaratkan di awal. Ada kaedah
yang disepakati oleh para ulama, “Setiap
utang piutang yang di dalamnya ditarik manfaat atau keuntungan, maka itu adalah
riba.”
Begitu pula termasuk hadiah yang
terlarang adalah hadiah yang diberikan pada pegawai negeri (PNS) yang
bertanggung jawab mengurus suatu urusan tertentu. Dalilnya adalah hadits Abu
Humaid As Sa’idi, ia mengatakan, “Pernah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempekerjakan seseorang dari bani
Asad yang namanya Ibnul Lutbiyyah untuk mengurus zakat. Orang itu datang sambil
mengatakan, “Ini bagimu, dan ini hadiah bagiku.” Secara spontan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di atas mimbar -sedang
Sufyan mengatakan dengan redaksi ‘naik minbar’-, beliau memuja dan memuji Allah
kemudian bersabda,
مَا بَالُ الْعَامِلِ نَبْعَثُهُ ، فَيَأْتِى يَقُولُ
هَذَا لَكَ وَهَذَا لِى . فَهَلاَّ جَلَسَ فِى بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ فَيَنْظُرُ
أَيُهْدَى لَهُ أَمْ لاَ ، وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لاَ يَأْتِى بِشَىْءٍ
إِلاَّ جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ ، إِنْ كَانَ
بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ ، أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ ، أَوْ شَاةً تَيْعَرُ
“Ada apa dengan seorang pengurus
zakat yang kami utus, lalu ia datang dengan mengatakan, “Ini untukmu dan ini
hadiah untukku!” Cobalah ia duduk saja di rumah ayahnya atau rumah ibunya, dan
cermatilah, apakah ia menerima hadiah ataukah tidak? Demi Dzat yang jiwaku
berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang datang dengan mengambil hadiah seperti
pekerja tadi melainkan ia akan datang dengannya pada hari kiamat, lalu dia akan
memikul hadiah tadi di lehernya. Jika hadiah yang ia ambil adalah unta, maka
akan keluar suara unta. Jika hadiah yang ia ambil adalah sapi betina, maka akan
keluar suara sapi. Jika yang dipikulnya adalah kambing, maka akan keluar suara
kambing.“
Kemudian beliau mengangkat kedua
tangannya sehingga kami melihat putih kedua ketiaknya seraya mengatakan,
“Ketahuilah, bukankah telah kusampaikan?” (beliau mengulang-ulanginya tiga
kali). (HR. Bukhari no. 7174 dan Muslim no. 1832)
Dalam riwayat lain disebutkan,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُولٌ
“Hadiah bagi pejabat (pegawai)
adalah ghulul (khianat).”
(HR. Ahmad 5: 424. Syaikh Al Albani menshohihkan hadits ini sebagaimana
disebutkan dalam Irwa’ul Gholil no. 2622)
Hadiah Mahasiswa untuk Dosennya
Syaikh Dr. Ahmad Al Kholil hafizhahullah berkata, “Termasuk pula dalam
hadiah yang terlarang adalah hadiah dari seorang murid (mahasiswa) kepada guru
(dosennya). Itu termasuk dalam hadayal ‘ummal, yang tidak dibolehkan, baik itu
diberi setelah kenaikan tingkat dan diumumkannya hasil (nilai) atau sebelumnya,
baik hadiah itu diberikan dalam rangka memberikan manfaat pada guru agar bisa
memberikan nilai yang bagus atau cuma sekedar membalas budi baik semata.”
Alasan ketidakbolehannya dengan
dalil hadayal ‘ummal yang disebutkan di atas dari dua
sisi:
1- Hadits tersebut menunjukkan
bahwa siapa saja yang telah mendapatkan gaji dari kas negara karena pekerjaan
yang ia lakukan, maka tidak boleh baginya mengambil sesuatu yang lebih sebagai
timbal balik dari pekerjaannya. Hal ini dikuatkan pula dengan hadits dari
‘Abdullah bin Buraidah, dari bapaknya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ
رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ
“Siapa saja yang dipekerjakan
dalam suatu amalan lantas ia mendapatkan gaji dari pekerjaan tersebut kemudian ia
mendapatkan tambahan lain dari pekerjaan itu, maka itu adalah ghulul (hadiah
khianat).” (HR. Abu Daud no.
2943. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
2- Dalam hadits hadayal ‘ummal disebutkan diharamkannya seorang
pegawai mengambil hadiah tanpa diperinci. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak merinci hal ini, apakah
hadiah tersebut diambil setelah pekerjaannya mengurus zakat selesai ataukah
sebelumnya. Begitu pula di situ tidak disebutkan apakah hadiah tersebut untuk
maksud dimudahkan dalam masalah zakat ataukah tidak.
Dalam Mirqotul Mafatih disebutkan bahwa Ibnul Malik
berkata akan tidak bolehnya seorang pegawai menerima hadiah. Karena jika ada
yang memberikan hadiah, maka tujuannya bisa jadi sebagai sogokan agar zakat
tidak ditagih, tentu seperti ini tidak boleh. Boleh jadi hadiah tadi diberikan
untuk tujuan lainnya namun karena memandang orang tersebut melakukan pekerjaan
itu padahal ia telah diberikan upah atas pekerjaannya. Intinya, dengan
memandang dua sisi ini, hadiah semacam itu tidak dibolehkan.
Al Qurthubi mengatakan tentang
hadits hadayal ‘ummal, “Hadits tersebut adalah dalil
yang shahih yang menunjukkan bahwa hadiah yang diberikan kepada pejabat, hakim
serta pegawai yang mengurus hajat kaum muslimin tidaklah dibolehkan. Hadiah
tersebut adalah hadiah ghulul (khianat) dan menunjukkan
haramnya. Seperti itu termasuk makan harta dengan jalan yang batil.”
* Catatan: Yang
dimaksud dengan guru atau dosen di sini adalah jika mereka PNS atau pegawai
negeri yang mendapatkan gaji dari negara, bukan yang dimaksud adalah guru
ngaji, guru TPA, atau seorang ustadz. Simak ulang lagi pembahasan di atas.
Bagaimana Jika Guru atau Dosen Sudah Terlanjur Menerima
Hadiah?
Jika seorang guru terlanjur
menerima hadiah dari muridnya, apa yang ia mesti lakukan?
Ada beda pendapat ulama dalam hal
ini, ada yang mengatakan hadiah tersebut diserahkan ke baitul maal (kas
negara). Ada pula yang menyatakan dikembalikan pada pemiliknya.
Intinya, yang bisa dipilih adalah
hendaknya harta tersebut dikembalikan pada pemiliknya. Jika tidak bisa
diserahkan pada baitul maal (kas negara) atau bisa pula dengan membelikan
sesuatu yang bermanfaat untuk sekolah. Demikian penjelasan guru kami, Syaikh
Dr. Ahmad Al Kholil –semoga Allah senantiasa menjaga beliau-.
Hanya Allah yang memberi taufik
dan hidayah.
Referensi utama:
Tulisan guru kami, Syaikh Dr.
Ahmad Al Kholil (di antara murid Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin): http://alkhlel.com/mktba/play-5812.html
* Penulis pernah mengambil ilmu
secara langsung dari Syaikh Dr. Ahmad bin Muhammad Al Kholil dalam dauroh
ilmiyyah musim panas 1433 H di Masjid Jaami’ Ar Rojhi di kota Riyadh membahas
kitab Manhajus Salikin karya Syaikh As Sa’di. Syaikh Ahmad Al Kholil pernah
berguru pada Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin dan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz
bin Baz. Beliau adalah di antara ulama yang kami pandang cerdas dalam ilmu
fikih. Lihat biografinya di sini.
—
0 komentar:
Posting Komentar