Assalammualaikum warahmatullah wabarakatuh
Pak ustadz saya ada sedikit problem utk mendidik anak,
Pak ustadz saya ada sedikit problem utk mendidik anak,
1.
Saya sudah coba mendidik anak saya agar tidak mengamalkan hadist
dhaif dgn cara saya terangkan ttg keshahihan dan kedhaifan satu hadist, pernah
satu kali dia berdebat dgn temannya pada saat diajak makan bersama dan kawannya
ini mengajak doa sebelum makan “Allahuma bariklana fii ma Rajaqtana
wqina azabanar” lalu anak saya tak mau mengikuti dan terjadi
perdebatan jawab anak saya: Nabi muhammad tdk mengajari ini (dan ini tdk sah)
jadi hanya bismilah saja. Tapi pak anak saya ini baru berumur 6 thn jadi dia
hanya mejelaskan yang saya katakan, sementara maksud saya itu hanya utk anak
saya saja sendiri dulu jgn dilingkungan sosial/kawan mainnya karena namanya
juga masih kecil blm bisa menjelaskan lebih. Salahkah cara saya mendidik?
2.
Saat saya bekerja saya selalu mengingatkan anak saya utk shalat
kemasjid berjamaah, biasanya setiap shalat magrib & isya selalu berjamah
bersama saya. Kemarin pada saat saya blm pulang mereka tak mau disurh kemasjid
shalat berjamaah, tapi mereka melakukan shalat di rumah dan mereka berjamah
berdua kakak (6 thn) dan adiknya (4 thn).
Pertanyaannya:
1.
Kapan mereka mulai dianjurkan shalat di masjid?
2.
Pada saat mereka shalat berjamah berdua sebelumnya mereka iqomah
dan ada yg salah lalu kakaknya bilang nggak pa-pa masih kecil lalu mereka
shalat berjamaah di rumah.
Terimakasih atas penjelasannya dan saya minta doanya semoga anak
saya menjadi generasi salafiyun yg toat, dan mereka diberikan kemudahan mempelajari
ilmu-ilmu Allah. Jazakallah Khairan Khatshiran.
Jawaban Ustadz:
Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan
kepada Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga,
sahabat dan seluruh orang yang mengikuti jejaknya hingga hari kiamat. Amiin.
Mohon maaf sebelumnya, karena sangat telat menjawab pertanyaan
Bapak Jhono. Apa yang bapak lakukan dalam mendidik anak bapak, adalah sudah
benar adanya, yaitu mengajari dan membiasakan anak-anak bapak dengan amalan
sunnah dan adab-adab yang diajarkan Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi
wa sallamdalam berbagai kesempatan dan keadaan. Karena dengan membiasakan
mereka adab-adab islami, amalan islami dan juga akidah islami semenjak dini,
akan menjadikan apa yang kita ajarkan benar-benar tertanam kokoh dalam jiwa
mereka. Hal ini sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad shollallahu
‘alaihi wa sallam dalam banyak hadits, di antaranya:
عن بن عباس قال كنت خلف رسول الله صلى الله عليه وسلم يوما فقال ثم
يا غلام إني أعلمك كلمات احفظ الله يحفظك احفظ الله تجده تجاهك إذا سألت فاسأل
الله وإذا استعنت فاستعن بالله واعلم أن الأمة لو اجتمعت على أن ينفعوك بشيء لم
ينفعوك إلا بشيء قد كتبه الله لك ولو اجتمعوا على أن يضروك بشيء لم يضروك إلا بشيء
قد كتبه الله عليك رفعت الأقلام وجفت الصحف. رواه أحمد والترمذي
“Dari sahabat Ibnu Abbas ia berkata: Suatu hari aku membonceng
Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bersabda kepadaku: ‘Wahai nak,
sesungguhnya aku akan ajarkan kepadamu beberapa kalimat: Jagalah (syariat)
Allah, niscaya Allah akan menjagamu, jagalah (syariat) Allah, niscaya engkau
akan dapatkan (pertolongan/perlindungan) Allah senantiasa di hadapanmu. Bila
engkau meminta (sesuatu) maka mintalah kepada Allah, bila engkau memohon
pertolongan, maka mohonlah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah (yakinilah)
bahwa umat manusia seandainya bersekongkol untuk memberimu suatu manfaat,
niscaya mereka tidak akan dapat memberimu manfaat melainkan dengan sesuatu yang
telah Allah tuliskan untukmu, dan seandainya mereka bersekongkol untuk
mencelakakanmu, niscaya mereka tidak akan mampu mencelakakanmu selain dengan
suatu hal yang telah Allah tuliskan atasmu. Al Qalam (pencatat takdir) telah
diangkat, dan lembaran-lembaran telah kering.’” (Riwayat Ahmad, dan At Tirmizy)
Betapa besar dan betapa dalam pendidikan yang diberikan oleh
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam kepada anak pamannya
Abdullah bin ‘Abbas, berbagai wasiat yang berupa aqidah islam beliau sampaikan
padanya. Dan perlu diketahui, bahwa Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu
‘anhuma dilahirkan 3 tahun sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam berhijrah, dengan demikian ketika Nabi shollallahu
‘alaihi wa sallam meninggal dunia, umur beliau kira-kira 13 tahun.
Prinsip-prinsip aqidah dan keyakinan seorang muslim telah beliau
tanamkan pada diri Abdullah bin Abbas semenjak ia belum baligh, bukan hanya
adab-adab yang berkenaan dengan amaliyah sehari-hari, shalat berjamaah dll.
Begitu juga halnya dengan cucu beliau Al Hasan bin Ali bin Abi
Thalib rodhiallahu ‘anhu, beliau dilahirkan pada tahun 3 hijriah,
sehingga ketika Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam wafat, ia
berumur 7 tahun. Walau demikian hal-hal prinsip telah beliau ajarkan kepadanya,
di antaranya adalah haramnya memakan harta shadaqah bagi keluarga Nabi shollallahu
‘alaihi wa sallam:
أخذ الحسن بن علي رضي الله عنهما تمرة من تمر الصدقة فجعلها في فيه
فقال النبي صلى الله عليه وسلم: كخ كخ ليطرحها ثم قال أما شعرت أنا لا نأكل
الصدقة. متفق عليه
“Al Hasan bin Ali rodhiallahu ‘anhuma mengambil sebiji kurma dari
kurma shadaqah (zakat), kemudian ia memasukkannya ke dalam mulut (hendak
memakannya) maka Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: ‘Kakh,
kakh,’ agar ia mencampakkannya, kemudian beliau bersabda kepadanya, ‘Tidakkah
engkau sadar bahwa kita tidak (halal) memakan shadaqah?’” (Muttafaqun ‘alaih)
Hadits ini menjadi dasar kuat bagi prinsip pendidikan anak, yaitu
semenjak dini kita ajarkan anak-anak kita untuk tidak memakan harta haram, dan
menjauhi segala makanan yang tidak boleh dimakan. Dan juga menjauhi segala
perbuatan yang tidak dibenarkan dalam agama. Di antara yang menunjukkan bahwa
pendidikan anak harus dilakukan semenjak dini ialah hadits berikut:
عن عمر بن أبي سلمة رضي الله عنه يقول :كنت غلاما في حجر رسول الله
صلى الله عليه وسلم وكانت يدي تطيش في الصحفة، فقال لي رسول الله صلى الله عليه
وسلم: يا غلام سم الله وكل بيمينك وكل مما يليك فما زالت تلك طعمتي بعد. متفق عليه
“Dari sahabat Umar bin Abi Salamah radhiallahu ‘anhu, ia
mengisahkan: Dahulu ketika aku masih kecil dan menjadi anak tiri
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, dan (bila sedang makan) tanganku
(aku) julurkan ke segala sisi piring, maka Rasulullah shallallahu ’alaihi
wa sallam bersabda, ‘Hai nak, bacalah bismillah, dan makanlah dengan
tangan kananmu, dan makanlah dari sisi yang terdekat darimu.’ Maka semenjak
itu, itulah etikaku ketika aku makan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Perlu diketahui, bahwa Umar bin Abi Salamah ini lahir pada tahun
kedua hijriah, dan ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal
dunia, ia baru berumur 7 tahun, sehingga ia belum baligh, ketika diajari oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adab-adab makan di atas.
Dan secara khusus yang berkenaan dengan shalat, maka Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam telah bersabda:
مروا أولادكم بالصلاة و هم أبناء سبع سنين و اضربوهم عليها و هم
أبناء عشر. رواه أحمد وأبو داود والحاكم
“Perintahlah anak-anakmu agar mendirikan shalat tatkala mereka
telah berumur tujuh tahun, dan pukullah karenanya tatkala mereka telah berumur
sepuluh tahun.”
Pada hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
tegas mensyariatkan agar pendidikan shalat dimulai semenjak dini, yaitu sebelum
baligh, bahkan ketika ia baru berumur tujuh tahun ia sudah diperintahkan untuk
shalat. Tentu syariat ini memerlukan persiapan, yaitu dengan mengajarkan tata
cara shalat, dimulai dari cara berwudhu, rukun-rukun shalat, wajib-wajibnya,
sunnah-sunnahnya, hingga yang membatalkannya. Dan persiapan ini bisa dilakukan
semenjak dini walau ia belum diperintahkan, dan tidak perlu dimarahi kalau
tidak mau shalat. Akan tetapi bila sudah berumur tujuh tahun, maka disyariatkan
untuk memerintahkannya shalat, dengan pengertian: kita mewajibkan atasnya, dan
bila ia tidak mau maka kita memarahinya, walau tidak sampai menghukuminya
dengan memukul, tapi cukup dengan ucapan. Dan bila sudah berumur sepuluh tahun,
maka kita disyariatkan memukulnya bila ia tidak mau shalat.
Kesimpulan:
Pertama, untuk pendidikan, maka tidak ada batas waktu kapan
dimulainya, bahkan berbagai dalil di atas, menunjukkan bahwa seyogyanya
pendidikan baik yang berkaitan dengan penanaman nilai-nilai aqidah islamiah,
adab-adab islami, atau amaliah islamiah dimulai sedini mungkin. Bahkan para
ulama menyebutkan bahwa pendidikan bukan hanya dimulai hanya setelah sang anak
terlahirkan ke dunia, akan tetapi dimulai jauh-jauh hari, yaitu dengan cara
memilih pasangan yang saleh, sebagaimana disebutkan dalam hadits:
تخيروا لنطفكم وانكحوا الأكفاء وأنكحوا إليهم رواه ابن ماجة والحاكم
“Pilihlah tempat engkau menanamkan air mani (benih)mu, dan
nikahilah wanita-wanita yang sekufu (sederajat), dan nikahkanlah mereka (dengan
wanita-wanita yang berada di bawah perwalianmu).” (Riwayat Ibnu Majah, dan Al Hakim)
Kedua, Pendidikan bukan hanya dengan cara mengajari mereka, akan
tetapi lebih dari itu, karena mencakup banyak hal, diantaranya adalah menjaga
mereka dari makanan yang tidak halal, dan segala yang tidak halal untuk mereka,
sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersama
cucunya Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib rodhiallahu ‘anhuma. Dengan
demikian ini adalah tanggung jawab besar yang dipikul oleh setiap orang tua,
yaitu hendaknya mereka mencari nafkah untuk keluarga, istri dan anaknya dari
jalan-jalan yang halal, dan benar-benar ia ketahui akan kehalalannya, agar
anaknya benar-benar tumbuh menjadi anak yang saleh, dan akan lebih mudah
dididik dengan pendidikan yang benar. Oleh karena itu bila suatu saat kita
merasa mendapatkan kesulitan dalam mendidik anak kita, maka hendaknya
permasalahan ini dikoreksi ulang, yaitu: Apakah seluruh nafkah yang saya
berikan kepada anak saya benar-benar halal? Pada kesempatan ini, betapa
perlunya kita semua untuk merenungkan kisah yang disebutkan oleh Nabi shollallahu
‘alaihi wa sallam berikut,
“Ada seseorang yang safar jauh, keadaannya kusut dan berdebu,
menengadahkan kedua tangannya ke langit, sambil berkata: Ya Rab, Ya Rab, akan
tetapi makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan diberi makan
dengan makanan yang haram, maka mana mungkin akan dikabulkan do’anya.” (HRS Muslim)
Para ulama menjelaskan bahwa alasan keempat ditolaknya doa orang
tersebut ialah karena semasa ia masih kecil ia diberi nafkah dari harta yang
haram, sebagaimana dijelaskan oleh Al Mubarakfury dan Syaikh Muhammad bin
Shaleh Al Utsaimin. Maka sadar dan pikirkanlah semenjak sekarang wahai
saudara-saudaraku tentang nasib anak kita, dan masa depan anak keturunan kita,
jangan sampai karena dosa kita, yaitu mencari harta dari jalan-jalan yang
haram, dan kemudian kita nafkahkan kepada mereka, doa-doa yang kelak mereka
panjatkan tidak diterima Allah ta’ala.
Ketiga, pendidikan anak akan lebih menghasilkan buahnya bila
disertai dengan adanya uswah hasanah, yaitu dengan cara mencontohkan
setiap yang kita ajarkan pada mereka dalam bentuk praktek nyata dari orang tua.
Cermatilah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas
kepada cucunya Al Hasan, yaitu tatkala beliau bersabda kepadanya “Tidakkah
engkau sadar bahwa kita tidak (halal) memakan shadaqah?” Pada hadits
ini Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan kepada Al
Hasan, bahwa syariat ini, yaitu haramnya shadaqah, bukan hanya berlaku pada
dirinya saja, akan tetapi berlaku bagi seluruh keluarga Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam, sehingga beliau menyebutkan alasan larangan ini dengan
kata-kata “kita”. Dan pembahasan masalah uswah hasanah dan
perannya amat panjang, dan bukan ini saatnya untuk saya sebutkan.
Keempat, di antara metode pendidikan yang diajarkan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah dengan menggunakan
metode “perintah dan larangan”. Metode ini dengan jelas dapat kita amati pada
hadits-hadits yang saya sebutkan di atas. Dan hal ini “larangan dan perintah”
merupakan salah satu pokok ajaran islam, yang lebih dikenal dengan sebutan “amar
ma’ruf dan nahi mungkar“. Dan sudah barang tentu metode
ini menyelisihi metode pendidikan yang sedang dikembangkan di dunia kafir dan
diikuti oleh banyak sekolah-sekolah islam terpadu, yaitu mengajarkan dengan
cara menyampaikan tanpa memerintah atau melarang. Metode yang sedang
digandrungi oleh banyak ormas islam dan sekolah-sekolah islam ini amat
berbahaya bagi kelangsungan agama mereka, sebab ini akan mengikis habis
prinsip amar ma’ruf & nahi mungkar dari
jiwa mereka. Maka hendaknya umat Islam sadar dan mengkaji kembali berbagai
metode pendidikan yang selama ini mereka terapkan, dan meningkatkan daya dan
upaya mereka guna mengkaji metode pendidikan yang diajarkan dalam syariat.
Kelima, di antara metode pendidikan yang dapat kita simpulkan dari
hadits-hadits di atas ialah dibenarkannya hukuman fisik, yaitu berbentuk
pukulan, bahkan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam dengan
jelas memerintahkan kita untuk memukul anak-anak kita bila mereka telah berumur
10 tahun dan berani meninggalkan shalat atau bermalas-malasan untuk shalat.
Bukan hanya dalam mendidik anak saja kita disyariatkan untuk memukul, bahkan
dalam mendidik istri (yang tentu sudah baligh dan dewasa, dan mungkin sudah
berumur 60 tahun) kita juga disyariatkan untuk menggunakan metode memukul,
sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah berikut:
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ
فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya (sikap tidak taat
pada suami), maka nasehatilah mereka dan pukullah mereka.” (QS. An Nisa’: 34)
Dan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عن معاوية بن حيدة رضي الله عنه قال قلت يا رسول الله ما حق زوجة
أحدنا عليه قال أن تطعمها إذا طعمت وتكسوها إذا اكتسيت ولا تضرب الوجه…. رواه أبو
داود وابن حبان
“Dari Mu’awiyyah bin Haidah radhiallahu ‘anhu ia berkata, Aku
bertanya kepada Rasulullah, ‘Ya Rasulullah! Apakah hak-hak istri kami atas
kami?’ Beliau menjawab, ‘Engkau beri makan mereka bila engkau makanan, engkau
beri mereka pakaian bila engkau berpakaian, dan janganlah engkau memukul
wajah…’” (Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Hibban)
Dan dalam hadits lain Nabi bersabda:
فاضربوهن ضربا غير مبرح رواه مسلم
“Pukullah mereka dengan pukulan yang tidak keras (tidak membikin
patah tulang, atau luka, atau mengeluarkan darah, atau meninggalkan bekas).” (HR. Muslim)
Tentunya metode ini tidak dilakukan dengan sembarangan dan
semena-mena, atau bahkan dengan cara-cara yang menjadikan anak cidera atau
terluka, atau memukul di muka dll, sebagaimana yang dijelaskan dalam dua hadits
di atas. Dan tentunya tidak dilakukan setiap saat, sebagaimana hal ini jelas
dari teks ayat di atas, yaitu bila nasihat dan peringatan yang berbentuk
kata-kata tidak berguna atau tidak dihiraukan lagi.
Keenam, dan yang tidak kalah penting dalam pendidikan anak adalah
pembenahan terhadap diri sendiri, jadilah orang yang saleh, dan bertakwa,
-dengan izin Allah- bila hal ini telah tercapai, dan kita mendidik anak-anak
kita dengan baik, anak-anak kita akan menjadi anak saleh pula. Pada kesempatan
ini saya mengajak para pembaca untuk merenungkan kisah yang disebutkan dalam Al
Quran, yaitu yang disebutkan dalam surat Al Kahfi ayat 74-82:
فَانطَلَقَا حَتَّى إِذَا لَقِيَا غُلاَمًا فَقَتَلَهُ قَالَ
أَقَتَلْتَ نَفْسًا زَكِيَّةً بِغَيْرِ نَفْسٍ لَّقَدْ جِئْتَ شَيْئًا نُّكْرًا
{74} قَالَ أَلَمْ أَقُل لَّكَ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِىَ صَبْرًا {75} قَالَ
إِن سَأَلْتُكَ عَن شَىْءٍ بَعْدَهَا فَلاَ تُصَاحِبْنِي قَدْ بَلَغْتَ مِن
لَّدُنِّي عُذْرًا {76} فَانطَلَقَا حَتَّى إِذَآ أَتَيَآ أَهْلَ قَرْيَةٍ
اسْتَطْعَمَآ أَهْلَهَا فَأَبَوْا أَن يُضَيِّفُوهُمَا فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًا
يُرِيدُ أَن يَنقَضَّ فَأَقَامَهُ قَالَ لَوْ شِئْتَ لَتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا
{77} قَالَ هَذَا فِرَاقُ بَيْنِي وَبَيْنِكَ سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَالَمْ
تَسْتَطِعْ عَّلَيْهِ صَبْرًا {78} أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ
يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدتُّ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُم مَّلِكٌ
يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا {79} وَأَمَّا الْغُلاَمُ فَكَانَ أَبَوَاهُ
مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَآ أَن يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا {80} فَأَرَدْنَآ
أَن يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِنْهُ زَكَاةً وَأَقْرَبَ رُحْمًا {81}
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلاَمَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ
تَحْتَهُ كَنزٌ لَّهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَن
يَبْلُغَآ أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنزَهُمَا رَحْمَةً مِن رَّبِّكَ
وَمَافَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَالَمْ تَسْطِعْ عَّلَيْهِ
صَبْرًا {82}
“Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa
dengan seorang anak, maka Khidihr membunuhnya. Musa berkata: ‘Mengapa kamu
bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain Sesungguhnya kamu
telah melakukan suatu yang mungkar.’ Khidhr berkata: ‘Bukankah sudah kukatakan
kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku.’ Musa
berkata: ‘Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka
janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup
memberikan uzur kepadaku.’ Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya
sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri
itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya
mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr
menegakkan dinding itu. Musa berkata: ‘Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil
upah untuk itu.’ Khidihr berkata: ‘Inilah perpisahan antara aku dengan kamu;
Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak
dapat sabar terhadapnya. Adapun bahtera itu kepunyaan orang-orang miskin yang
bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena dihadapan
mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. Dan adapun anak itu
maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mu’min, dan kami khawatir bahwa dia
akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami
menghendaki, supaya Rabb mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang
lebih baik kesuciannya dari anak itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada
ibu bapaknya. Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di
kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang
ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Rabbmu menghendaki agar supaya mereka
sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanan itu, sebagai rahmat dari
Rabbmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian
itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar
terhadapnya.’”(QS. Al Kahfi: 74-82)
Betapa jelasnya kisah ini, pada kisah pertama, Allah mengutus
Khidir untuk membunuh seorang anak yang bila hidup hingga dewasa akan
menjadikan kedua orang tuanya yang mereka adalah orang-orang saleh menjadi
sesat dan kafir.
Dan pada kisah kedua Allah memerintahkan Khidir untuk menegakkan
pagar dinding yang hendak roboh, dan ternyata alasannya adalah karena di bawah
dinding itu tersimpan harta peninggalan dua orang saleh untuk anak mereka
berdua yang masih kecil. Jadi yang menjadi alasan adalah kesalehan orang tua,
buka karena anaknya yang saleh.
Dari kisah ini dengan jelas kita mendapatkan banyak pelajaran
penting dalam dunia pendidikan, yaitu bila orang tuanya saleh, maka -atas izin
Allah- anak keturunannya akan dijaga Allah, bukan hanya tentang kehidupannya di
dunia, akan tetapi sampai yang berkenaan dengan kehidupan akhiratnya. Oleh
karena itu, betapa perlunya kita untuk merenungkan kisah ini, sehingga timbul
di jiwa kita keyakinan dan iman bahwa Alah adalah benar-benar akan menjadi
wali/pengurus orang-orang saleh.
Dan mungkin yang perlu kita perhatikan dalam mendidik anak kecil
ialah, ajari mereka tata cara yang sopan lagi baik dalam menyampaikan alasan,
baik alasan ketika meminta, atau menolak, atau mengajak, agar tidak menimbulkan
kesalahpahaman pada orang lain ketika mereka bermain dengan anak-anak mereka.
Semoga apa yang saya uraikan di atas, bermanfaat bagi saya sendiri, dan bagi
setiap orang yang membacanya, mohon maaf bila ada kesalahan, wallahu
a’lam bisshawab.
Dari jawaban saya di atas, jelas bahwa pendidikan dapat dimulai semenjak
dini, tanpa ada batasan umur, walaupun untuk sampai memerintahkan mereka shalat
dan menegur dengan keras bila tidak shalat, ada batasannya, yaitu ketika telah
berumur 7 tahun, atau yang sering disebut dengan umur tamyiiz (dapat
membedakan antara baik dan buruk, sandal kanan dari sandal kiri). Dan sudah
barang tentu selama masa pembelajaran dan pelatihan, anak-anak akan melakukan
banyak kesalahan, baik yang berkaitan dengan ucapan atau perbuatan, maka
kesalahan-kesalahan tersebut, sedikit demi sedikit dibenarkan dengan cara-cara
yang selaras dengan pertumbuhan mereka.
Semoga Allah melimpahkan rahmat, taufik, hidayah dan ‘inayahnya
kepada kita dan keluarga kita, serta kepada seluruh pembaca dan keluarga mereka
sehingga termasuk orang-orang yang mendapatkan petunjuk di dunia dan
akhirat, amiin. Wallahu a’lam bisshawab.
***
Penanya: Jhono
Dijawab oleh: Ustadz Muhammad Arifin Badri
Dijawab oleh: Ustadz Muhammad Arifin Badri
Sumber: muslim.or.id
0 komentar:
Posting Komentar