Bismillah
was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Setiap muslim harus
mengedepankan sikap kehati-hatian ketika hendak berbicara tentang tafsir
al-Quran. Karena al-Quran adalah firman Allah. dan menafsirkan firman Allah,
berarti menyampaikan maksud dari firman Allah. apa yang bisa kita bayangkan,
ketika kita menyampaikan tafsir al-Quran, kemudian Allah menyatakan, “Kamu dusta, bukan itu yang Aku
maksudkan.”
Siapakah kita
dibandingkan Abu Bakr as-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Murid terdekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Keilmuan beliau tentang al-Quran, sampai menyebabkan beliau tidak berani
menyampaikan tafsir tanpa bukti. Beliau pernah mengatakan,
أي سماء تظلني، وأي أرض تقلني، إذا
قلت في كتاب الله ما لا أعلم
Langit mana yang akan
menaungiku, bumi mana yang akan kupijak, jika aku berbicara tentang isi
kitabullah, sementara aku tidak memiliki ilmunya.
Dalam riwayat lain,
beliau mengatakan,
إذا قلت في كتاب الله برأيي
“… jika saya berani
berbicara tentang isi kitabullah dengan akalku.” (Kanzul Ummal, 2/327)
Inilah sikap wara’
terhadap masalah kebenaran. Menjaga lisan, untuk jangan sampai mengucapkan
masalah agama, hanya berdasarkan logika, tanpa didukung dalil dan ilmu.
Ayat Pendukung Asuransi
Ada 2 ayat dalam
al-Quran, yang diklaim mendukung kegiatan asuransi, dan berikut penjelasan
tafsir yang disampaikan para ulama,
Pertama, firman Allah terkait wasiat,
agar tidak menelantarkan ahli waris
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ
تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا
اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
Hendaklah
kalian takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang
mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)
mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah
mereka mengucapkan perkataan yang benar. (QS. an-Nisa: 9)
Ada 2 tafsir ulama
mengenai ayat ini,
Tafsir pertama, bahwa
ayat ini berbicara tentang orang yang hendak meninggal dunia, kemudian dia mau
menyampaikan wasiat. Karena semangatnya untuk beramal sangat besar, terkadang
si calon mayit akan mewasiatkan seluruh hartanya, atau sebagian besar hartanya,
sehingga mereka tidak memiliki warisan atau jatah warisannya sangat sedikit.
Allah perintahkan, agar yang mendengar wasiat ini untuk meluruskan isi wasiat.
Jangan sampai wasiatnya menyebabkan ahli warisnya menjadi terlantar, karena
tidak mendapat jatah warisan.
Ibnu Abbas memberikan
penjelasan tentang ayat ini,
هذا في الرجل يَحْضُره الموت،
فيسمعه الرجل يوصي بوصية تَضر بورثته، فأمر الله تعالى الذي يسمعه أن يتقي الله،
ويوفقه ويسدده للصواب، ولينظر لورثته كما كان يحب أن يصنع بورثته إذا خشي عليهم
الضَّيْعَةَ
Ayat ini berbicara
tentang seseorang yang hendak meninggal, kemudian temannya mendengar orang ini
berwasiat terkait hartanya, yang itu membahayakan ahli warisnya. Lalu Allah
perintahkan agar orang yang mendengarnya bertaqwa kepada Allah, dengan
membimbing si calon mayit dan meluruskkannya agar wasiatnya benar. dan
hendaknya orang yang mendengar ini memperhatikan keadaan ahli warisnya.
Sebagaimana dia juga ingin agar ahli warisnya terjaga, karena dia juga khawatir
mereka akan terlantar. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/222).
Ini sejalan dengan
sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau menjadi saksi atas
wasiatnya Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu. Beliau pernah menceritakan
pengalaman sakitnya ketika di Mekah, saat haji wada’,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjengukku ketika haji Wada’, karena
sakit keras. Aku pun berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya sakitku sangat
keras sebagaimana yang anda lihat. Sedangkan aku mempunyai harta yang cukup
banyak dan yang mewarisi hanyalah seorang anak perempuan. Bolehkah saya
sedekahkan 2/3 dari harta itu?” Beliau menjawab, “Tidak.” Saya bertanya lagi,
“Bagaimana kalau separuhnya?” Beliau menjawab, “Tidak.” Saya bertanya lagi,
“Bagaimana kalau sepertiganya?” Beliau menjawab,
وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ ، إِنَّكَ
أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً
يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ
“Sepertiga
itu banyak (atau cukup besar). Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu
kaya, itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin
sehingga mereka terpaksa meminta-minta kepada masyarakat.” (HR. Bukhari 4409 dan Muslim
1628)
Sehingga berdasarkan
tafsir pertama, makna ayat adalah hendaknya kalian takut untuk menelantarkan
ahli waris, karena harta ortunya habis diwasiatkan. Karena itu, solusi di akhir
ayat yang Allah sebutkan,
“Hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar…”
Maksudnya, ucapkan
perkataan yang benar dalam berwasiat. Jangan sembarangan, pikirkan masa depan
ahli waris dengan tidak menghabiskan jatah warisan untuk wasiat.
Tafsir kedua,
bahwa ayat ini berbicara tentang harta anak yatim
Allah perintahkan
agar yang merawat anak yatim, jangan sampai dia memakan harta mereka secara
dzalim. Sebagaimana dia sendiri tidak ingin, ketika dia mati, kemudian harta
anaknya yang yatim dimakan orang lain secara dzalim.
Sehingga makna ayat,
sebagaimana kamu takut ketika anakmu jadi yatim setelah kamu meninggal,
hartanya dimanfaatkan orang lain secara dzalim, maka janganlah kamu
memanfaatkan harta anak yatim secara dzalim.
Kata Ibnu Jarir, ini
merupakan tafsir Ibnu Abbas menurut riwayat al-Aufi.
Karena itu, di lanjutan
ayat (an-Nisa: 10), Allah memberi ancaman untuk mereka yang makan harta anak
yatim secara dzalim.
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ
أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا
وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
“Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam neraka.”
Hubungan
ayat dengan Asuransi
Jika kita perhatikan
untuk tafsir pertama, terkait masalah
wasiat, ayat ini mengajarkan agar orang tua, meninggalkan harta warisan untuk
ahli warisnya. Tapi ayat ini tidak meyuruh seorang muslim untuk memperbanyak
warisan. Yang diperintahkan dalam ayat ini adalah meminta seorang muslim untuk
tidak menghabiskan warisannya dengan cara diwasiatkan semuanya.
Karena itulah, solusi
di akhir ayat yang Allah sebutkan,
وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
“Dan berkatalah
dengan perkataan yang benar.”
Artinya, perkataan
yang benar ketika berwasiat.
Jika maksud ayat
adalah memotivasi orang untuk memperbanyak warisan, tentu solusi yang diberikan
bukan “berkatalah yang benar.” namun “perbanyaklah menabung…” dan Allah tidak
memerintahkan demikian.
Kedua, firman Allah tentang wasiat
untuk istri
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ
مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى
الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ
Orang-orang
yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah
berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya
dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). (QS. al-Baqarah: 240).
Ayat ini bercerita,
bahwa ketika ada seorang suami yang meninggal, istri punya hak nafkah dan
tempat tinggal selama setahun. Sehingga, ketika suami sudah mendekati kematian,
hendaknya dia berwasiat, agar istrinya diberi hak untuk tinggal selama setahun
untuk menjalani masa iddah.
Kara para ulama,
hukum dalam ayat ini telah mansukh (dihapus). Mansukh dengan ayat tentang
penjelasan masa iddah wanita yang ditinggal mati suaminya selama 4 bulan 10
hari dan ayat tentang warisan, di mana seorang istri mendapat jatah ¼ atau 1/8.
Ibnu Zubair pernah
bertanya kepada Utsman, setelah beliau membuat mushaf. “Mengapa ayat ini tetap
ada dalam mushaf al-Quran, sementara dia sudah dihapus?”
Kemudian, Utsman
radhiyallahu ‘anhu,
يا ابن أخي لا أغير شيئاً منه من
مكانه
“Wahai
anak saudaraku, sama sekali aku tidak mengubah isi al-Quran sedikitpun.” (HR. Bukhari 4531)
Ibnu Abbas
mengatakan,
{ وَالَّذِينَ
يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لأزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ } فكان للمتوفى
عنها
زوجها
نفقتها
وسكناها
في
الدار
سنة،
فنسختها
آية
المواريث
فجعل
لهن
الربع
أو
الثمن
مما
ترك
الزوج
“Orang-orang yang
akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah
berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya
dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya).”
Dulu, para wanita
yang ditinggal mati suaminya, maka dia berhak mendapatkan nafkah dan tempat
tinggal di rumahnya selama setahun. Kemudian dinasakh dengan ayat warisan,
sehingga mereka mendapatkan ¼ atau 1/8 dari harta warisan suami. (HR. Ibnu Abi
Hatim dan disebutkan Ibnu Katsir dalam Tafsirnya, 1/658).
Karena hukum pada
ayat ini telah dimansukh, maka tidak bisa dijadikan sebagai dalil.
Allahu
a’lam
0 komentar:
Posting Komentar