Gambar atau lukisan yang
memiliki ruh seperti manusia dan hewan haram diperdagangkan. Sedangkan gambar
selain itu yang tidak memiliki ruh, masih dibolehkan seperti gambar pohon,
gunung, pemandangan, bebatuan, dan pantai.
Dari Sa’id bin Abil Hasan,
ia berkata,
كُنْتُ عِنْدَ ابْنِ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهما – إِذْ أَتَاهُ
رَجُلٌ فَقَالَ يَا أَبَا عَبَّاسٍ إِنِّى إِنْسَانٌ ، إِنَّمَا مَعِيشَتِى مِنْ
صَنْعَةِ يَدِى ، وَإِنِّى أَصْنَعُ هَذِهِ التَّصَاوِيرَ . فَقَالَ ابْنُ
عَبَّاسٍ لاَ أُحَدِّثُكَ إِلاَّ مَا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه
وسلم – يَقُولُ سَمِعْتُهُ يَقُولُ « مَنْ صَوَّرَ صُورَةً فَإِنَّ اللَّهَ
مُعَذِّبُهُ ، حَتَّى يَنْفُخَ فِيهَا الرُّوحَ ، وَلَيْسَ بِنَافِخٍ فِيهَا
أَبَدًا » . فَرَبَا الرَّجُلُ رَبْوَةً شَدِيدَةً وَاصْفَرَّ وَجْهُهُ . فَقَالَ
وَيْحَكَ إِنْ أَبَيْتَ إِلاَّ أَنْ تَصْنَعَ ، فَعَلَيْكَ بِهَذَا الشَّجَرِ ،
كُلِّ شَىْءٍ لَيْسَ فِيهِ رُوحٌ
“Aku dahulu pernah berada di sisi Ibnu ‘Abbas –radhiyallahu
‘anhuma-. Ketika itu ada seseorang yang mendatangi beliau lantas ia berkata,
“Wahai Abu ‘Abbas, aku adalah manusia. Penghasilanku berasal dari hasil karya
tanganku. Aku biasa membuat gambar seperti ini.” Ibnu ‘Abbas kemudian berkata,
“Tidaklah yang kusampaikan berikut ini selain dari yang pernah kudengar dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku pernah mendengar beliau bersabda,
“Barangsiapa yang membuat gambar, Allah akan mengazabnya hingga ia bisa
meniupkan ruh pada gambar yang ia buat. Padahal ia tidak bisa meniupkan ruh
tersebut selamanya.” Wajah si pelukis tadi ternyata berubah menjadi kuning.
Kata Ibnu ‘Abbas, “Jika engkau masih tetap ingin melukis, maka gambarlah pohon
atau segala sesuatu yang tidak memiliki ruh.”[1]
Bagaimana jika gambar atau
lukisan tersebut terpotong tidak terlihat bernyawa?
Ibnu Qudamah berkata, “Jika
bagian kepala itu dipotong, maka hilanglah larangan. Ibnu ‘Abbas berkata,
الصُّورَةُ الرَّأْسُ ، فَإِذَا قُطِعَ الرَّأْسُ فَلَيْسَ
بِصُوْرَةٍ
“Disebut gambar (yang
terlarang) adalah jika ada kepalanya. Namun jika kepalanya itu terpotong, maka
itu bukanlah gambar (yang terlarang).” Perkataan ini diceritakan dari ‘Ikrimah.
Diriwayatkan pula dari Abu
Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَتَانِي جِبْرِيلُ ، فَقَالَ : أَتَيْتُك الْبَارِحَةَ ، فَلَمْ
يَمْنَعْنِي أَنْ أَكُونَ دَخَلْت إلَّا أَنَّهُ كَانَ عَلَى الْبَابِ تَمَاثِيلُ
، وَكَانَ فِي الْبَيْتِ سِتْرٌ فِيهِ تَمَاثِيلُ ، وَكَانَ فِي الْبَيْتِ كَلْبٌ
، فَمُرْ بِرَأْسِ التِّمْثَالِ الَّذِي عَلَى الْبَابِ فَيُقْطَعُ ، فَيَصِيرُ
كَهَيْئَةِ الشَّجَرَ ، وَمُرْ بِالسِّتْرِ فَلْتُقْطَعْ مِنْهُ وِسَادَتَانِ
مَنْبُوذَتَانِ يُوطَآنِ ، وَمُرْ بِالْكَلْبِ فَلْيُخْرَجْ .
“Jibril pernah
mendatangiku, lalu ia berkata, “Aku tadi malam hendak menemui engkau. Namun ada
sesuatu yang merintangiku masuk yaitu ada suatu gambar di pintu.” Dan ketika
itu di rumahku, ada kain penutup yang bergambar (makhluk bernyawa). Di rumahku
juga terdapat anjing. Potonglah kepala dari gambar yang terdapat di
pintu, maka bentuknya nanti sama seperti pepohonan. Untuk bantal atau sandaran
pun demikian, yang ada gambarnya dipotong. Untuk anjing, maka usirlah dari
rumah.” Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas melakukan perintah
dari Jibril.
Jika gambar tersebut
dipotong lantas tidak nampak lagi bernyawa setelah dipotong, seperti yang
terpotong adalah dada, perut, atau yang ada hanyalah kepala yang terpisah dari
badan, maka tidak termasuk dalam larangan. Karena setelah dipotong, tidak
nampak gambar (yang utuh). Terpotongnya bagian-bagian tadi statusnya sama
seperti kepala yang terpotong.
Namun jika ketika dipotong
masih teranggap bernyawa, seperti lengkap dengan mata, tangan, atau kaki, maka
masih tetap terlarang.
Demikian pula jika di awal
pembuatan gambar hanyalah ada badan tanpa kepala, kepala tanpa badan,
atau bentuknya tidak teranggap hidup dengan adanya kepala dan bagian lain
dari badannya, maka tidak termasuk dalam larangan. Karena seperti itu bukanlah
gambar sesuatu yang bernyawa.”[2]
Adapun jika gambar tersebut
bukan yang dimaksud dibeli, namun ikutan pada barang yang lain, maka ada kaedah
yang bisa jadi pegangan,
يَثْبُتُ تَبَعًا مَا لَا يَثْبُتُ اسْتِقْلَالًا
“Sah jika berbarengan dengan yang lain, namun bermasalah jika bersendirian.”
Misalnya kita ingin membeli
sabun cuci, namun di kemasannya terdapat gambar manusia, tetapi yang dituju
ketika membeli adalah sabunnya (isinya), bukan kemasannya. Maka sah-sah saja
membeli sabun cuci seperti itu berdasarkan kaedah fikih di atas.
Semoga bermanfaat. Hanya
Allah yang memberi taufik.
[1] HR. Bukhari no. 2225.
[2] Lihat Al Mughni, 10: 201.
—
Disusun di sore hari di Panggang, Gunungkidul, 26 Jumadats Tsaniyyah 1435 H
Akhukum fillah: Muhammad
Abduh Tuasikal
0 komentar:
Posting Komentar