Islam adalah agama yang paling sempurna dan komprehensif, mencakup
dan mengatur segala urusan kehidupan manusia, baik yang berkaitan dengan
masalah akidah (keyakinan), ibadah (ritual), muamalah (interaksi sesama
makhluk), ekonomi, politik, maupun akhlak dan adab.
Di antara bentuk muamalah yang diatur dalam ajaran Islam adalah
masalah oper-kredit (pengalihan utang), atau dalam istilah syariah dinamakan
dengan “al-hiwalah“. Untuk lebih jelasnya, akan kami sebutkan
permasalahan seputar “al-hiwalah” (oper-kredit) dalam
pembahasan berikut ini.
A. Pengertian “al-hiwalah“
Menurut bahasa, kata “al-hiwalah“–huruf ha’ dibaca kasrah atau kadang-kadang dibaca
fathah–berasal dari kata “at-tahawwul” yang
berarti ‘al-intiqal‘ (pemindahan/pengalihan). Orang Arab biasa
mengatakan, “Hala ’anil ’ahdi,” yaitu ‘berlepas diri dari tanggung
jawab’. Abdurrahman Al-Jaziri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “al-hiwalah“, menurut bahasa, adalah, “Pemindahan dari
suatu tempat ke tempat yang lain.” [1]
Adapun pengertian “al-hiwalah“, menurut
istilah para ulama fikih, adalah sebagai berikut, “Pengalihan utang dari orang
yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya.”
Menurut Hanafiyah, yang dimaksud “al-hiwalah” adalah,
“Memindahkan beban utang dari tanggung jawab muhil (orang
yang berutang) kepada tanggung jawab muhal ‘alaih (orang
lain yang punya tanggung jawab membayar utang pula).” [2]
Menurut Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, “al-hiwalah”
adalah, “Pemindahan atau pengalihan hak untuk menuntut pembayaran utang dari satu
pihak kepada pihak yang lain.”
Gambaran sederhananya adalah: Si A (muhal) memberi
pinjaman kepada si B (muhil), sedangkan si B masih
mempunyai piutang pada si C (muhal ‘alaih).
Begitu si B tidak mampu membayar utangnya pada si A, ia mengalihkan beban utang
tersebut kepada si C. Dengan demikian, si C yang harus membayar utang si B
kepada si A, sedangkan utang si C sebelumnya–yang ada pada si B–dianggap
selesai.
B. Landasan hukum al-hiwalah
Al-hiwalah diperbolehkan, berdasarkan dalil dari Assunnah, ijma’ para ulama, dan qiyas (analogi) yang sahih.
Dalil Assunnah:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Pengulur-uluran pembayaran utang yang dilakukan oleh seorang kaya
merupakan sebuah bentuk kezaliman. Jika (pembayaran piutang, ed.) salah
seorang di antara kalian dialihkan kepada orang lain yang mudah membayar utang,
hendaklah pengalihan tersebut diterima.” [3]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
pula, “Haram bagi orang yang mampu membayar utang untuk melalaikan
utangnya. Apabila salah seorang di antara kalian mengalihkan utangnya kepada
orang lain, hendaklah pengalihan itu diterima, asalkan orang lain (yang diminta
membayar utang) itu mampu membayarnya.” [4]
Ijma’ ulama: Para ulama telah sepakat memperbolehkan al-hiwalah. Hal ini dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim.
[5]
C. Jenis al-hiwalah
Mazhab Hanafi membagi al-hiwalah dalam
beberapa bagian:
Ditinjau dari segi objek akad, al-hiwalah dibagi menjadi dua
jenis:
1. Hiwalah al-haq (pengalihan hak piutang), yaitu apabila yang dialihkan itu merupakan hak untuk menuntut pembayaran utang .
2. Hiwalah ad-dain (pengalihan utang), yaitu apabila yang dialihkan itu adalah kewajiban untuk membayar utang.
1. Hiwalah al-haq (pengalihan hak piutang), yaitu apabila yang dialihkan itu merupakan hak untuk menuntut pembayaran utang .
2. Hiwalah ad-dain (pengalihan utang), yaitu apabila yang dialihkan itu adalah kewajiban untuk membayar utang.
Ditinjau dari jenis akad, hiwalah dibagi
menjadi dua jenis:
1. Al-hiwalah al-muqayyadah (pengalihan bersyarat), yaitu pengalihan sebagai ganti dari pembayaran utang muhil (pihak pertama) kepada muhal (pihak kedua).
1. Al-hiwalah al-muqayyadah (pengalihan bersyarat), yaitu pengalihan sebagai ganti dari pembayaran utang muhil (pihak pertama) kepada muhal (pihak kedua).
Sebagai contoh: A memberi piutang kepada B sebesar 5 juta,
sedangkan B memberi piutang kepada C sebesar 5 juta. Kemudian, B mengalihkan
haknya untuk menuntut piutangnya yang berada pada C kepada A, sebagai ganti
pembayaran utang B kepada A.
Dengan demikian, al-hiwalah al-muqayyadah pada
satu sisi merupakan hiwalah al-haq karena
mengalihkan hak menuntut piutangnya dari C ke A (pengalihan hak). Pada sisi
lain, al-hiwalah al-muqayyadah sekaligus merupakan hiwalah ad-dain karena kewajiban B kepada A
dialihkan menjadi kewajiban C kepada A (pengalihan utang).
2. Al-hiwalah al-muthlaqah (pengalihan mutlak), yaitu pengalihan utang yang tidak ditegaskan sebagai ganti rugi
dari pembayaran utang muhil (pihak
pertama) kepada muhal (pihak kedua).
Sebagai contoh: A berutang kepada B sebesar 5 juta. Kemudian, A
mengalihkan utangnya kepada C, sehingga C berkewajiban membayar utang A kepada
B, tanpa menyebutkan bahwa pemindahan utang tersebut sebagai ganti rugi dari
pembayaran utang C kepada A.
Dengan demikian, al-hiwalah al-muthlaqah hanya
mengandung hiwalah ad-dain karena yang
terjadi hanya: utang A kepada B dipindahkan menjadi utang C kepada B.
D. Rukun al-hiwalah
Menurut Mazhab Hanafi, rukun al-hiwalah hanya
ijab (pernyataan melakukan al-hiwalah)
dari muhil (pihak pertama) dan qabul (pernyataan menerima al-hiwalah) dari muhal (pihak
kedua) kepada muhal ‘alaih (pihak ketiga).
Menurut Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, rukun hiwalah ada enam:
1. Pihak pertama (muhil), yaitu orang yang meng-hiwalah-kan (mengalihkan) utang.
2. Pihak kedua (muhal), yaitu orang yang di-hiwalah-kan (orang yang mempunyai utang kepada muhil).
3. Pihak ketiga (muhal ‘alaih), yaitu orang yang menerima al-hiwalah.
4. Ada piutang muhil kepada muhal.
5. Ada piutang muhal ‘alaih kepada muhil.
6. Ada sighat al-hiwalah, yaitu ijab dari muhil dengan perkataan, “Aku alihkan utangku yang sebenarnya bagi engkau kepada fulan (maksudnya: aku alihkan kewajibanku kepadamu untuk membayar utangku yang ada pada fulan, ed.),” dan qabul dari muhal dengan kata-katanya, “Aku terima pengalihan darimu.” [6]
1. Pihak pertama (muhil), yaitu orang yang meng-hiwalah-kan (mengalihkan) utang.
2. Pihak kedua (muhal), yaitu orang yang di-hiwalah-kan (orang yang mempunyai utang kepada muhil).
3. Pihak ketiga (muhal ‘alaih), yaitu orang yang menerima al-hiwalah.
4. Ada piutang muhil kepada muhal.
5. Ada piutang muhal ‘alaih kepada muhil.
6. Ada sighat al-hiwalah, yaitu ijab dari muhil dengan perkataan, “Aku alihkan utangku yang sebenarnya bagi engkau kepada fulan (maksudnya: aku alihkan kewajibanku kepadamu untuk membayar utangku yang ada pada fulan, ed.),” dan qabul dari muhal dengan kata-katanya, “Aku terima pengalihan darimu.” [6]
Dipublikasikan ulang dari Majalah Pengusaha Muslim,
Rubrik “Fikih Kontemporer”, dengan penyuntingan tata bahasa oleh redaksi www.PengusahaMuslim.com
==
Catatan kaki:
[1] Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, hlm. 210.
[2] Ad-Dur Al-Mukhtar Syarhu Tanwir Al-Abshar, V:340; dinukil dari Mauqif Asy-Syari’ah min Al-Masharif Al-Islamiyyah Al-Mu’ashshirah, karya Dr. Abdullah Abdurrahim Al-Abadi, hlm. 339.
[3] HR. Bukhari dalam Shahih-nya, IV:585, no. 2287, dan Muslim dalam Shahih-nya, V:471, no. 3978; dari hadis Abu Hurairah radhi’allahu ‘anhu.
[4] HR. Ahmad dan Al-Baihaqi.
[5] I’lam Al-Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin, I:380; dinukil dari Al-Mulakhkhas Al-Fiqhi, karya Syekh Shalih Al-Fauzan, II:81 dan Taudhih Al-Ahkam, karya Abdullah Al-Bassam, IV:579.
[6] Fiqh Asy-Syafi’iyyah, karya Ahmad Idris, hlm. 57–58.
Catatan kaki:
[1] Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, hlm. 210.
[2] Ad-Dur Al-Mukhtar Syarhu Tanwir Al-Abshar, V:340; dinukil dari Mauqif Asy-Syari’ah min Al-Masharif Al-Islamiyyah Al-Mu’ashshirah, karya Dr. Abdullah Abdurrahim Al-Abadi, hlm. 339.
[3] HR. Bukhari dalam Shahih-nya, IV:585, no. 2287, dan Muslim dalam Shahih-nya, V:471, no. 3978; dari hadis Abu Hurairah radhi’allahu ‘anhu.
[4] HR. Ahmad dan Al-Baihaqi.
[5] I’lam Al-Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin, I:380; dinukil dari Al-Mulakhkhas Al-Fiqhi, karya Syekh Shalih Al-Fauzan, II:81 dan Taudhih Al-Ahkam, karya Abdullah Al-Bassam, IV:579.
[6] Fiqh Asy-Syafi’iyyah, karya Ahmad Idris, hlm. 57–58.
E. Syarat al-hiwalah
Semua imam mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali)
menyatakan bahwa al-hiwalah menjadi sah apabila
sudah terpenuhi syarat-syarat yang berkaitan dengan muhil (pihak pertama), muhal, dan muhal ‘alaih, serta
berkaitan dengan utang tersebut.
Syarat bagi muhil (pihak pertama) adalah:
1. Baligh dan berakal. Al-Hiwalah tidak sah dilakukan oleh anak kecil walaupun ia sudah mengerti (mumayyiz), dan tidak sah jika dilakukan oleh orang gila.
2. Ridha. Jika muhil (pihak pertama) dipaksa untuk melakukan hiwalah maka akad tersebut tidak sah.
1. Baligh dan berakal. Al-Hiwalah tidak sah dilakukan oleh anak kecil walaupun ia sudah mengerti (mumayyiz), dan tidak sah jika dilakukan oleh orang gila.
2. Ridha. Jika muhil (pihak pertama) dipaksa untuk melakukan hiwalah maka akad tersebut tidak sah.
Syarat bagi muhal (pihak kedua) adalah:
1. Baligh dan berakal.
2. Ada persetujuan (ridha) dari muhal terhadap muhil yang melakukan hiwalah, menurut Mazhab Hanafi serta sebagian besar Mazhab Maliki dan Syafi’i. Persyaratan ini ditetapkan berdasarkan pertimbangan bahwa kebiasaan orang dalam membayar utang berbeda-beda, ada yang mudah dan ada pula yang sulit. Adapun terkait menerima pelunasan, itu merupakan hak muhal.
1. Baligh dan berakal.
2. Ada persetujuan (ridha) dari muhal terhadap muhil yang melakukan hiwalah, menurut Mazhab Hanafi serta sebagian besar Mazhab Maliki dan Syafi’i. Persyaratan ini ditetapkan berdasarkan pertimbangan bahwa kebiasaan orang dalam membayar utang berbeda-beda, ada yang mudah dan ada pula yang sulit. Adapun terkait menerima pelunasan, itu merupakan hak muhal.
Jika al-hiwalah dilakukan secara
sepihak saja, muhal dapat saja merasa
dirugikan, contohnya: apabila ternyata muhal ‘alaih (pihak
ketiga) sudah membayar utang tersebut.
Syarat bagi muhal ‘alaih (pihak ketiga) adalah:
1. Baligh dan berakal.
2. Ada persetujuan (ridha) dari muhal ‘alaih, menurut Mazhab Hanafi. Sedangkan mazhab lainnya (Maliki, Syafi’i dan Hanbali) tidak mempersyaratkan hal ini karena dalam akad al-hiwalah, muhal ‘alaih dipandang sebagai objek akad. Dengan demikian, “persetujuan” bukan merupakan syarat sah al-hiwalah.
1. Baligh dan berakal.
2. Ada persetujuan (ridha) dari muhal ‘alaih, menurut Mazhab Hanafi. Sedangkan mazhab lainnya (Maliki, Syafi’i dan Hanbali) tidak mempersyaratkan hal ini karena dalam akad al-hiwalah, muhal ‘alaih dipandang sebagai objek akad. Dengan demikian, “persetujuan” bukan merupakan syarat sah al-hiwalah.
Syarat yang diperlukan bagi utang yang dialihkan adalah:
1. Sesuatu yang dialihkan itu sudah berbentuk utang-piutang yang sudah pasti.
2. Apabila pengalihan utang itu dalam bentuk al-hiwalah al-muqayyadah, semua ulama fikih sepakat bahwa baik utang muhil kepada muhal maupun utang muhal ‘alaih kepada muhil harus sama jumlahnya dan kualitasnya.
1. Sesuatu yang dialihkan itu sudah berbentuk utang-piutang yang sudah pasti.
2. Apabila pengalihan utang itu dalam bentuk al-hiwalah al-muqayyadah, semua ulama fikih sepakat bahwa baik utang muhil kepada muhal maupun utang muhal ‘alaih kepada muhil harus sama jumlahnya dan kualitasnya.
Jika antara kedua utang tersebut terdapat perbedaan jumlah
(berlaku untuk utang dalam bentuk uang) atau perbedaan kualitas (berlaku untuk
utang dalam bentuk barang) maka al-hiwalah tidak
sah.
Akan tetapi, apabila pengalihan itu dalam bentuk al-hiwalah al-muthlaqah maka–menurut Mazhab
Hanafi–kedua utang tersebut tidak mesti sama, baik jumlah maupun kualitasnya.
Mazhab Syafi’i menambahkan bahwa kedua utang tersebut harus sama
pula waktu jatuh temponya. Jika tidak sama maka tidak sah.
F. Konsekuensi akad al-hiwalah
1. Mayoritas ulama berpendapat bahwa kewajiban muhil untuk membayar utang kepada muhal, dengan sendirinya, menjadi terlepas (bebas).
Adapun menurut sebagian ulama Mazhab Hanafi, kewajiban tersebut masih tetap ada
selama pihak ketiga belum melunasi utangnya kepada muhal.
2. Akad al-hiwalah menyebabkan lahirnya hak bagi muhal untuk menuntut pembayaran utang kepada muhal ‘alaih.
3. Mazhab Hanafi, yang membenarkan terjadinya al-hiwalah al-muthlaqah, berpendapat bahwa jika akad al-hiwalah al-muthlaqah terjadi karena inisiatif dari muhil maka hak dan kewajiban antara muhil dan muhal ‘alaih–yang mereka tentukan ketika melakukan akad utang-piutang sebelumnya–masih tetap berlaku, khususnya jika jumlah utang-piutang antara ketiga pihak tidak sama.
2. Akad al-hiwalah menyebabkan lahirnya hak bagi muhal untuk menuntut pembayaran utang kepada muhal ‘alaih.
3. Mazhab Hanafi, yang membenarkan terjadinya al-hiwalah al-muthlaqah, berpendapat bahwa jika akad al-hiwalah al-muthlaqah terjadi karena inisiatif dari muhil maka hak dan kewajiban antara muhil dan muhal ‘alaih–yang mereka tentukan ketika melakukan akad utang-piutang sebelumnya–masih tetap berlaku, khususnya jika jumlah utang-piutang antara ketiga pihak tidak sama.
G. Akad al-hiwalah berakhir
Akad al-hiwalah berakhir jika
terjadi hal-hal berikut:
1. Salah satu pihak yang melakukan akad tersebut membatalkan akad al-hiwalah, sebelum akad itu berlaku secara tetap.
2. Muhal melunasi utang yang dialihkan kepada muhal ‘alaih.
3. Muhal meninggal dunia, sedangkan muhal ‘alaih merupakan ahli waris yang mewarisi harta muhal.
4. Muhal ‘alaih menghibahkan atau menyedekahkan harta–yang merupakan utang dalam akad hiwalah–tersebut kepada muhal.
5. Muhal membebaskan muhal ‘alaih dari kewajibannya untuk membayar utang yang dialihkan tersebut.
6. Menurut Mazhab Hanafi, hak muhal tidak dapat dipenuhi karena pihak ketiga mengalami pailit (bangkrut) atau wafat dalam keadaan pailit. Adapun menurut Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, selama akad al-hiwalah sudah berlaku tetap karena persyaratan sudah dipenuhi, akad al-hiwalah tidak dapat berakhir dengan alasan pailit.
1. Salah satu pihak yang melakukan akad tersebut membatalkan akad al-hiwalah, sebelum akad itu berlaku secara tetap.
2. Muhal melunasi utang yang dialihkan kepada muhal ‘alaih.
3. Muhal meninggal dunia, sedangkan muhal ‘alaih merupakan ahli waris yang mewarisi harta muhal.
4. Muhal ‘alaih menghibahkan atau menyedekahkan harta–yang merupakan utang dalam akad hiwalah–tersebut kepada muhal.
5. Muhal membebaskan muhal ‘alaih dari kewajibannya untuk membayar utang yang dialihkan tersebut.
6. Menurut Mazhab Hanafi, hak muhal tidak dapat dipenuhi karena pihak ketiga mengalami pailit (bangkrut) atau wafat dalam keadaan pailit. Adapun menurut Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, selama akad al-hiwalah sudah berlaku tetap karena persyaratan sudah dipenuhi, akad al-hiwalah tidak dapat berakhir dengan alasan pailit.
H. Akad al-hiwalah yang terlarang
Ada beberapa bentuk akad al-hiwalah (pengalihan
utang) yang melanggar aturan syariat yang biasa terjadi di tengah masyarakat,
di antaranya:
1. Menjual utang tak tertagih
Hal ini sering dilakukan oleh seseorang atau suatu lembaga
keuangan, dengan cara menjual utang yang sulit tertagih. Biasanya, jual beli
utang dilakukan dengan nilai yang lebih rendah dari nilai utang yang tak
tertagih.
Misalnya, A mempunyai piutang sebesar 10 juta pada B. Piutang A
yang ada pada B sulit tertagih sehingga A menjual piutangnya ke C sebesar 8
juta. Dengan demikian, C mendapat keuntungan 2 juta, meskipun piutang belum
pasti bisa tertagih. Ini jelas riba karena dalam akad murabahah (jual beli) harus ada objek (barang atau
jasa) yang diperjualbelikan, sedangkan dalam hal ini, yang diperjualbelikan
adalah piutang. Padahal, piutang tidak boleh dijadikan objek yang bisa
mendatangkan manfaat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Dilarang (tidak boleh) melakukan transaksi salaf bersamaan dengan
transaksi jual beli.” (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dan
Ibnu Majah; dinilai hasan oleh
Al-Albani)
Yang dimaksud “salaf” ialah ‘piutang’.
Diriwayatkan dari shahabat Ubay bin Ka’ab, Ibnu
Mas’ud, dan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhum bahwa
mereka semua melarang setiap piutang yang mendatangkan manfaat karena piutang
adalah suatu akad yang bertujuan untuk memberikan uluran tangan (pertolongan).
Oleh karena itu, bila pemberi piutang mempersyaratkan suatu manfaat, berarti
akad piutang tersebut telah keluar dari tujuan utamanya.” [7]
2. Menjual giro
Menjual giro (cek mundur) sering juga dilakukan oleh seeorang
ketika dia membutuhkan uang yang bisa didapatkan segera sebelum tanggal
pencairan giro. Dia menjual giro itu di bawah nilai yang tertera dalam giro
tersebut. Ini jelas riba karena sama dengan “jual beli piutang” atau piutang
dijadikan objek yang bisa mendatangkan manfaat.
Misalnya, A mempunyai giro dengan nilai 5 juta, dan itu bisa
dicairkan pada tanggal 30 Februari 2011. Kemudian, sepuluh hari sebelum
pencairan, yaitu tanggal 20 Februari 2011, giro tersebut dijual kepada B
senilai 4 juta. Dengan demikian, B mempunyai untung sebesar 1 juta yang bisa
dia cairkan pada tanggal 30 Februari 2011.
Dalam akad seperti ini, ribanya sudah tumpang tindih. Gironya saja
sudah riba karena mengandung gharar (ketidakjelasan);
apakah pasti bisa cair atau tidak. Bisa jadi, ketika pencairan, ternyata giro
itu kosong. Sudah gironya mengandung gharar,
diperjualbelikan pula!
Demikian penjelasan tentang hukum al-hiwalah (oper
kredit/pengalihan utang) dalam fikih Islam. Semoga menjadi tambahan ilmu yang
bermanfaat bagi kita semua. Amin.
==
Catatan kaki:
[7] Al-Muhadzdzab, karya Imam Asy-Syairazi Asy-Syafi’i, 1:304.
Catatan kaki:
[7] Al-Muhadzdzab, karya Imam Asy-Syairazi Asy-Syafi’i, 1:304.
Dipublikasikan ulang dari majalah Pengusaha Muslim, rubrik “Fikih Kontemporer”, dengan penyuntingan tata bahasa oleh
redaksi www.PengusahaMuslim.com.
0 komentar:
Posting Komentar