Penukaran
Uang Lebaran
Bismillah was shalatu was salamu
‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Allah mengingatkan kepada orang
yang beriman, agar setiap kali terjadi benturan antara aturan syariat dengan
tradisi, mereka harus mengedepankan aturan syariat.
Alah berfirman,
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ
بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ
وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Demi Tuhanmu, mereka (pada
hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara
yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka
sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya.” (QS. an-Nisa: 65).
Dalam ilmu hukum, kita diajarkan,
jika hukum yang lebih rendah bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi, maka
hukum yang lebih tinggi harus dikedepankan.
Hukum syariat datang dari Allah,
sementara hukum tradisi buatan manusia. Secara usia, di tempat kita, hukum
syariat lebih tua, dia ditetapkan 14 abad silam. Sementara tradisi, umumnya
datang jauh setelah itu.
Secara hierarki, hukum syariat
jauh lebih tinggi. Karena Allah yang menetapkan.
Karena itulah, tradisi yang
melanggar syariat, tidak boleh dipertahankan. Sekalipun itu tradisi pribumi.
Tukar-menukar Uang
Dalam kajian ekonomi islam, kita
diperkenalkan dengan istilah barang ribawi (ashnaf
ribawiyah). Dan barang ribawi itu ada 6: emas, perak, gandum
halus, gandum kasar, kurma, dan garam.
Keenam benda ribawi ini
disebutkan dalam hadis dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ
بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ
بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ
هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
“Jika emas dibarter dengan emas,
perak ditukar dengan perak, gandum bur (gandum halus) ditukar dengan gandum
bur, gandum syair (kasar) ditukar dengan gandum syair, korma ditukar dengan
korma, garam dibarter dengan garam, maka takarannya harus sama dan tunai. Jika
benda yang dibarterkan berbeda maka takarannya boleh sesuka hati kalian asalkan
tunai” (HR.
Muslim 4147).
Dalam riwayat lain, Dari Abu Said
al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ
بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ
بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ
أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ
“Jika emas ditukar dengan emas,
perak ditukar dengan perak, gandum ditukar dengan gandum, sya’ir (gandum kasar)
ditukar dengan sya’ir, kurma ditukar dengan kurma, dan garam ditukar dengan
garam, takaran atau timbangan harus sama dan dibayar tunai. Siapa menambah atau
meminta tambahan, maka ia telah melakukan transaksi riba. Baik yang mengambil
maupun yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Ahmad 11466 & Muslim
4148)
Juga disebutkan dalam riwayat
dari Ma’mar bi Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau
mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«الطَّعَامُ بِالطَّعَامِ مِثْلاً بِمِثْلٍ ». قَالَ وَكَانَ
طَعَامُنَا يَوْمَئِذٍ الشَّعِيرَ.
“Jika makanan dibarter dengan
makanan maka takarannya harus sama”. Ma’mar mengatakan,
“Makanan pokok kami di masa itu adalah gandum syair” (HR. Muslim 4164).
Berdasarkan hadis di atas,
Dari keenam benda ribawi di atas,
ulama sepakat, barang ribawi dibagi 2 kelompok:
[1] Kelompok 1:
Emas dan Perak. Diqiyaskan dengan
kelomok pertama adalah mata uang dan semua alat tukar. Seperti uang kartal di
zaman kita.
[2] Kelompok 2:
Bur, Sya’ir, Kurma, & Garam.
Diqiyaskan dengan kelompok kedua adalah semua bahan makanan yang bisa disimpan
(al-qut al-muddakhar). Seperti
beras, jagung, atau thiwul.
Aturan
Baku yang Berlaku
Dari hadis di atas, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan ketentuan
Pertama, Jika tukar menukar itu
dilakukan untuk barang yang sejenis,
Ada 2 syarat yang harus dipenuhi,
wajib sama dan tunai. Misalnya: emas dengan emas, perak dengan perak, rupiah
dengan rupiah, atau kurma jenis A dengan kurma jenis B, dst. dalam hadis
di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, harus
مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ
takarannya harus sama, ukurannya
sama dan dari tangan ke tangan (tunai).
Dan jika dalam transaksi itu ada
kelebihan, statusnya riba. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan,
فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى
فِيهِ سَوَاءٌ
“Siapa menambah atau meminta
tambahan, maka ia telah melakukan transaksi riba. Baik yang mengambil maupun
yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.”
Kedua, jika barter dilakukan antar
barang yang berbeda, namun masih satu kelompok, syaratnya satu: wajib tunai.
Misal: Emas dengan perak. Boleh beda berat, tapi wajib tunai. Termasuk rupiah
dengan dolar. Sama-sama mata uang, tapi beda nilainya. Boleh dilakukan tapi
harus tunai.
Dalam hadis di atas, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menegaskan,
فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ
إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
Jika benda yang dibarterkan
berbeda maka takarannya boleh sesuka hati kalian asalkan tunai”
Terdapat kaidah,
إذا بيع ربوي بجنسه وجب التماثل والتقابض، وبغير جنسه وجب التقابض
فقط
Apabila barang ribawi ditukar
dengan yang sejenis, wajib sama dan tunai. Dan jika ditukar dengan yang tidak
sejenis, wajib tunai.
Ketiga, jika barter dilakukan untuk
benda yang beda kelompok. Tidak ada aturan khusus untuk ini. Sehingga boleh
tidak sama dan boleh tidak tunai. Misalnya, jual beli beras dengan dibayar uang
atau jual beli garam dibayar dengan uang. Semua boleh terhutang selama saling
ridha.
Tukar Menukar Uang Receh
Tukar menukar uang receh yang
menjadi tradisi di masyarakat kita, dan di situ ada kelebihan, termasuk riba.
Rp 100rb ditukar dengan pecahan Rp 5rb, dengan selisih 10rb atau ada
tambahannya. Ini termasuk transaksi riba. Karena berarti tidak sama, meskipun
dilakukan secara tunai.
Karena rupiah yang ditukar dengan
rupiah, tergolong tukar menukar yang sejenis, syaratnya 2: sama nilai dan
tunai. Jika ada tambahan, hukumnya riba.
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menegaskan,
فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى
فِيهِ سَوَاءٌ
“Siapa menambah atau meminta
tambahan, maka ia telah melakukan transaksi riba. Baik yang mengambil maupun
yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.”
Riba
tetap Riba, sekalipun Saling Ridha
Bagaimana jika itu dilakukan
saling ridha? Bukankah jika saling ridha menjadi diperbolehkan. Karena yang
dilarang jika ada yang terpaksa dan tidak saling ridha.
Dalam transaksi haram, sekalipun
pelakunya saling ridha dan ikhlas, tidak mengubah hukum. Karena transaksi ini
diharamkan bukan semata terkait hak orang lain. Tapi dia diharamkan karena
melanggar aturan syariat.
Orang yang melakukan transaksi
riba, sekalipun saling ridha, tetap dilarang dan nilainya dosa besar.
Transaksi jual beli khamr atau
narkoba, hukumnya haram, sekalipun pelaku transaksi saling ridha.
Bagaimana dengan firman Allah,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ
بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan saling ridha di antara kalian.” (QS. an-Nisa: 29)
Jawab:
Ayat ini kita yakini benar.
aturannya juga benar. Namun Saling ridha yang menjadi syarat halal transaksi
yang disebutkan dalam ayat ini, berlaku hanya untuk transaksi yang halal.
Seperti jual beli barang dan jasa. Sementara transaksi haram, seperti riba,
tidak berlaku ketentuan saling ridha. Karena semata saling ridha, tidak
mengubah hukum.
Itu
Upah Penukaran Uang
Ada yang beralasan, kelebihan itu
sebagai upah karena dia telah menukarkan uang di bank. Dia harus ngantri, harus
bawa modal, dst. jadi layak dapat upah.
Jelas ini alasan yang tidak
benar. Karena yang terjadi bukan mempekerjakan orang untuk nukar uang di bank.
tapi yang terjadi adalah transaksi uang dengan uang. Dan bukan upah penukaran
uang. Upah itu ukurannya volume kerja, bukan nominal uang yang ditukar.
Misalnya, Pak Bos meminta Paijo
menukarkan sejumlah uang ke bank. Karena tugas ini, Paijo diupah Rp 50 rb. Kita
bisa memastikan, baik Pak Bos menyerahkan uang 1 juta untuk ditukar atau 2
juta, atau 3 juta, upah yang diserahkan ke Paijo tetap 50 rb. Karena upah
berdasarkan volume kerja Paijo, menukarkan uang ini ke bank dalam sekali waktu.
Sementara kasus tukar menukar ini
niainya flat, setiap 100rb, harus ada kelebihan 10rb atau 5rb. Ini transaksi
riba, dan bukan upah.
Sayangi
Pahala Puasa Anda
Riba termasuk salah satu dosa
besar. Bahkan salah satu dosa yang diancam dengan perang oleh Allah.
Allah berfiman,
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ
Jika kalian tidak meninggalkan
riba, maka umumkan untuk berperang dengan Allah dan Rasul-Nya (al-Baqarah: 279)
Ibnu Abbas menjelaskan ayat ini,
يُقَالُ يَومَ القِيَامَةِ لِآكلِ الرِّبَا: خُذْ سِلَاحَكَ
لِلحَرْبِ
Besok di hari kiamat para pemakan
riba akan dipanggil, “Ambil senjatamu, untuk perang!” (Tafsir Ibnu Katsir,
1/716)
Dalam hadis, dosa riba
disetarakan seperti berzina dengan ibunya
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الرِّبَا ثَلَاثَةٌ وَسَبعُونَ بَابًا أَيسَرُهَا مِثْلُ أَنْ
يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّه
Riba itu ada 73 pintu. Pintu riba
yang paling ringan, seperti seorang lelaki yang berzina dengan ibunya. (HR. Hakim 2259 dan dishahihkan
ad-Dzahabi).
Karena itulah, para salaf
menyebut dosa riba lebih parah dari pada zina,
Ada pernyataan Ka’ab al-Ahbar,
دِرْهَمُ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ
سِتَّةٍ وَثَلاَثِينَ زَنْيَةً
Satu dirham riba yang dimakan
seseorang, sementara dia tahu, lebih buruk dari pada 36 kali berzina. (HR.
Ahmad 21957, dan ad-Daruquthni 2880)
Sementara dosa dan maksiat adalah
sumber terbesar kegagalan puasa manusia. Dosa merupakan sebab pahala yang kita
miliki berguguran. Ketika ramadhan kita penuh dengan dosa, puasa kita menjadi
sangat tidak bermutu. Bahkan sampai Allah tidak butuh dengan ibadah puasa yang
kita kerjakan.
Semacam inilah yang pernah
diingatkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis shahih riwayat Bukhari dan
yang lainnya, dari sahabat Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, bahwa beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ
حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Siapa yang tidak meninggalkan
ucapan dusta, dan semua perbuatan dosa, maka Allah tidak butuh dengan amalnya
(berupa) meninggalkan makanan dan minumannya (puasanya).” (HR. Bukhari 1903)
Ketika ada orang yang berzina di
malam ramadhan, apa yang bisa dibayangkan dengan nasib puasanya?
Bisa jadi hilang semua pahalanya.
Apa yang bisa anda bayangkan, ketika
orang melakukan transaksi riba, yang dosanya lebih sangar dari pada zina,
dilakukan terang-terangan di siang bolong ramadhan?
Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan
Pembina Konsultasisyariah.com)
0 komentar:
Posting Komentar