70.000
Orang yang Masuk Surga Tanpa Siksa
“Tujuh puluh ribu orang dari umatku akan masuk
surga tanpa hisab. Mereka adalah orang-orang yang tidak minta diruqyah, tidak
beranggapan sial dan mereka selalu bertawakkal pada Rabbnya.”
Hadits ini disebutkan oleh Syaikh
Muhammad At Tamimi dalam Kitab Tauhid ketika membahas keutamaan menyempurnakan
tauhid akan masuk surga tanpa hisab dan tanpa siksa.
Yang dimaksud menyempurnakan
tauhid (tahqiq tauhid) adalah dengan meninggalkan kesyirikan baik syirik besar
dan syirik kecil, meninggalkan perbuatan bid’ah, dan meninggalkan maksiat.
(Lihat At Tamhid li Syarh Kitabit Tauhid,
hal. 56).
Syaikh Sulaiman At Tamimi
menjelaskan bahwa yang dimaksud merealisasikan tauhid adalah tidak ada di hati
seseorang sesuatu selain Allah, tidak ada keinginan pada apa yang Allah
haramkan, selalu patuh pada perintah Allah. Itulah bukti dari merealisasikan
kalimat laa ilaha illallah. (Lihat Taisir Al ‘Azizil Hamid,
1: 253).
Baik kita sekarang lihat hadits
panjang yang dimaksud. Hushain bin ‘Abdurrahman –rahimahullah–
berkata,
كُنْتُ
عِنْدَ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ فَقَالَ أَيُّكُمْ رَأَى الْكَوْكَبَ الَّذِي
انْقَضَّ الْبَارِحَةَ قُلْتُ أَنَا ثُمَّ قُلْتُ أَمَا إِنِّي لَمْ أَكُنْ فِي
صَلَاةٍ وَلَكِنِّي لُدِغْتُ قَالَ فَمَاذَا صَنَعْتَ قُلْتُ اسْتَرْقَيْتُ قَالَ
فَمَا حَمَلَكَ عَلَى ذَلِكَ قُلْتُ حَدِيثٌ حَدَّثَنَاهُ الشَّعْبِيُّ فَقَالَ
وَمَا حَدَّثَكُمْ الشَّعْبِيُّ قُلْتُ حَدَّثَنَا عَنْ بُرَيْدَةَ بْنِ حُصَيْبٍ
الْأَسْلَمِيِّ أَنَّهُ قَالَ لَا رُقْيَةَ إِلَّا مِنْ عَيْنٍ أَوْ حُمَةٍ
فَقَالَ قَدْ أَحْسَنَ مَنْ انْتَهَى إِلَى مَا سَمِعَ وَلَكِنْ حَدَّثَنَا ابْنُ
عَبَّاسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ عُرِضَتْ
عَلَيَّ الْأُمَمُ فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ وَمَعَهُ الرُّهَيْطُ وَالنَّبِيَّ
وَمَعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلَانِ وَالنَّبِيَّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ إِذْ رُفِعَ
لِي سَوَادٌ عَظِيمٌ فَظَنَنْتُ أَنَّهُمْ أُمَّتِي فَقِيلَ لِي هَذَا مُوسَى
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَوْمُهُ وَلَكِنْ انْظُرْ إِلَى الْأُفُقِ
فَنَظَرْتُ فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيمٌ فَقِيلَ لِي انْظُرْ إِلَى الْأُفُقِ الْآخَرِ
فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيمٌ فَقِيلَ لِي هَذِهِ أُمَّتُكَ وَمَعَهُمْ سَبْعُونَ
أَلْفًا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ ثُمَّ نَهَضَ
فَدَخَلَ مَنْزِلَهُ فَخَاضَ النَّاسُ فِي أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْخُلُونَ
الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ فَقَالَ بَعْضُهُمْ فَلَعَلَّهُمْ
الَّذِينَ صَحِبُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ
بَعْضُهُمْ فَلَعَلَّهُمْ الَّذِينَ وُلِدُوا فِي الْإِسْلَامِ وَلَمْ يُشْرِكُوا
بِاللَّهِ وَذَكَرُوا أَشْيَاءَ فَخَرَجَ عَلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا الَّذِي تَخُوضُونَ فِيهِ فَأَخْبَرُوهُ
فَقَالَ هُمْ الَّذِينَ لَا يَرْقُونَ وَلَا يَسْتَرْقُونَ وَلَا يَتَطَيَّرُونَ
وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ فَقَامَ عُكَّاشَةُ بْنُ مِحْصَنٍ فَقَالَ ادْعُ
اللَّهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ فَقَالَ أَنْتَ مِنْهُمْ ثُمَّ قَامَ رَجُلٌ
آخَرُ فَقَالَ ادْعُ اللَّهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ فَقَالَ سَبَقَكَ بِهَا
عُكَّاشَةُ
“Saya pernah bersama Sa’id bin
Jubair lalu dia berkata, ‘Siapa di antara kalian yang melihat bintang jatuh
semalam?‘ Aku menjawab, ‘Aku’. Kemudian aku berkata, ‘Tapi aku tidak sedang
mengerjakan shalat. Aku terbangun karena aku disengat (binatang).’ Sa’id lalu
berkata, “Lantas apa yang kamu perbuat?‘ Aku menjawab, ‘Aku meminta untuk
diruqyah.’ Sa’id bertanya, ‘Apa yang alasanmu sampai meminta diruqyah? ‘ Aku
menjawab, ‘Sebuah hadits yang Asy Sya’bi ceritakan kepadaku.’ Sa’id bertanya
lagi, ‘Apa yang diceritakan Asy Sya’bi kepada kalian.’ Aku menjawab, ‘Dia telah
menceritakan kepada kami dari Buraidah bin Hushaib Al Aslami, bahwa dia
berkata, “Tidak ada ruqyah kecuali disebabkan oleh penyakit ‘ain dan racun
(sengatan binatang berbisa).” Maka Sa’id pun menjawab, “Sungguh
sangat baik orang melaksanakan dalil yang telah ia dengar.” Hanya saja Ibnu
Abbas telah menceritakan kepada kami dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau bersabda,
“Telah ditampakkan
padaku semua umat. Aku melihat seorang nabi yang hanya memiliki beberapa
pengikut (3 sampai 9 orang). Ada juga nabi hanya memiliki satu atau dua orang
pengikut saja. Bahkan ada nabi yang tidak memiliki pengikut sama sekali.
Tiba-tiba diperlihatkan kepadaku sekumpulan orang, maka aku menyangka bahwa
mereka adalah umatku. Ada yang berkata padaku, ‘Mereka adalah Nabi Musa ‘alaihis salam dan pengikutnya. Tetapi lihatlah ke
ufuk.’ Lalu aku pun memandang, ternyata ada kumpulan kaum yang besar yang
berwarna hitam (yakni saking banyaknya orang kelihatan dari jauh). Lalu
dikatakan lagi kepadaku, ‘Lihatlah ke ufuk yang lain.’ Ternyata di sana juga
terdapat kumpulan kaum yang besar yang berwarna hitam. Dikatakan kepadaku, ‘Ini adalah umatmu dan bersama
mereka ada tujuh puluh ribu orang yang akan memasuki surga tanpa dihisab dan
disiksa‘.”
Setelah menceritakan itu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bangkit lalu masuk ke dalam
rumahnya. Orang-orang lalu memperbincangkan mengenai mereka yang akan
dimasukkan ke dalam surga tanpa dihisab dan tanpa disiksa. Sebagian dari mereka
berkata, “Mungkin mereka adalah orang-orang yang selalu bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Ada pula yang mengatakan, “Mungkin mereka adalah orang-orang yang dilahirkan
dalam Islam dan tidak pernah melakukan perbuatan syirik terhadap Allah.” Mereka
mengemukakan pendapat masing-masing. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menemui mereka, lalu
beliau bertanya, “Apa yang telah kalian perbincangkan?” Mereka pun
menerangkannya kepada beliau. Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mereka
adalah orang-orang yang tidak meruqyah, tidak meminta untuk diruqyah, tidak
melakukan thiyaroh (beranggapan sial) dan hanya kepada Allah mereka bertawakal.”
‘Ukkasyah bin Mihshan berdiri
lalu berkata, “Berdoalah kepada Allah agar aku termasuk
bagian dari mereka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Engkau
termasuk bagian dari mereka.” Kemudian ada lagi yang berdiri dan
berkata, “Berdoalah kepada Allah agar aku termasuk bagian dari mereka.”
Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ukkasyah
telah mendahuluimu.” (HR. Bukhari no. 5752 dan Muslim no. 220)
Dalam riwayat Bukhari disebutkan,
هُمْ
الَّذِينَ لَا يَتَطَيَّرُونَ وَلَا يَسْتَرْقُونَ وَلَا يَكْتَوُونَ وَعَلَى
رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Mereka itu tidak melakukan
thiyaroh (beranggapan sial), tidak meminta untuk diruqyah, dan tidak
menggunakan kay (pengobatan dengan besi panas), dan hanya kepada Rabb
merekalah, mereka bertawakkal.” (HR. Bukhari no. 5752)
Faedah dari hadits di atas:
1- Hushain bin ‘Abdurrahman
khawatir jika orang-orang menyangka ia melakukan shalat malam ketika melihat
bintang. Ia tidak mau dinilai melakukan ibadah saat itu padahal ia tidak
melakukannya. Inilah yang menunjukkan keutamaan salafush sholeh dan menunjukkan
bagaimana keikhlasan pada diri mereka. Mereka berusaha menjauhkan diri dari
riya’. Mereka tidak mau mengatakan bahwa ia telah melakukan seperti ini dan
seperti itu supaya orang-orang sangka ia adalah wali Allah. Ada yang memakai
biji tasbih di leher atau sengaja membawa tasbih di tangannya ketika berjalan,
supaya orang-orang sangka ia sedang berdzikir. Dan memang memamerkan biji
tasbih di leher ketika jalan lebih cenderung pada riya’ (ingin memamerkan
amalan).
2- Hushain ketika tersengat
kalajengking mengambil pilihan untuk meminta diruqyah karena ia punya pegangan
dalil dari Asy Sya’bi (‘Amir bin Syarohil Al Hamdani Asy Sya’bi) dari Buraidah
bin Al Hushaib. Dalilnya mengatakan bahwa tidak ada ruqyah yang lebih manjur
kecuali pada penyakit ‘ain (mata
dengki) atau pada humah(sengatan kalajengking). Ini menunjukkan bahwa
boleh meminta diruqyah dalam hal seperti ini, namun ada jalan yang lebih baik
sebagaimana disebutkan oleh Sa’id bin Jubair.
3- Ketika Sa’id bin Jubair
meminta dalil pada Hushain kenapa ia meminta diruqyah, ini menunjukkan bahwa
para ulama salaf dahulu sudah biasa saling menanyakan dalil atas pendapat yang
mereka anut. Saling bertanya ilmiah ini adalah kebiasaan yang baik yang patut
dicontoh, “Apa dalil Anda dalam masalah ini?”
4- Al Khottobi mengatakan bahwa
maksud hadits “Tidak ada ruqyah kecuali disebabkan oleh penyakit ‘ain dan racun
(sengatan binatang berbisa)” yaitu tidak ada ruqyah yang lebih mujarab kecuali
pada ‘ain dan humah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri
pernah meruqyah dan diruqyah. (Lihat Ma’alimus Sunan, 4: 210 danMasyariqul Anwar, 1:
366).
Yang dimaksud ‘ain adalah pandangan tidak suka dari orang
yang hasad. Sedangkan humah adalah
sengatan kalajengking dan semacamnya.
5- Sa’id bin Jubair mengatakan,
“Sungguh sangat baik orang melaksanakan dalil yang telah ia dengar”. Ini
menunjukkan bahwa jika seseorang telah mengamalkan ilmu yang telah sampai
padanya, maka itu sudah disebut baik karena ia telah melakukan kewajibannya.
Beda halnya dengan orang yang beramal dilandasi kebodohan atau tidak
mengamalkan ilmunya, maka ia jelas berdosa.
6- Perkataan Sa’id bin Jubair
juga menunjukkan baiknya adab salaf dalam menyampaikan ilmu dan bagaimana
menyatakan pendapatnya dengan lemah lembut. Lalu Sa’id menunjukkan pada Hushain
tentang manakah cara yang lebih baik ditempuh, padahal apa yang dilakukan oleh
Hushain masih boleh.
7- Siapa yang telah mengamalkan
dalil dari Allah dan Rasul-Nya sudah disebut baik, bukan hanya sekedar berdiam
pada perkataan ulama madzhab.
8- Hadits yang disampaikan
pertama yaitu tidak ada ruqyah yang lebih mujarab kecuali pada ‘ain dan humah
dan hadits kedua dari Ibnu ‘Abbas tentang orang-orang yang meninggalkan meminta
ruqyah tidaklah kontradiksi atau bertentangan.
9- Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam ditampakkan umat yang disebutkan dalam hadits adalah saat peristiwa Isra’
Mi’raj.
10- Ada Nabi yang pengikutnya
banyak, ada nabi yang pengikutnya sedikit. Ini menunjukkan bahwa tidak
selamanya jumlah pengikut yang banyak menunjukkan atas kebenaran. Yang jadi
patokan kebenaran bukanlah jumlah, namun diilihat dari pedoman mengikuti Al
Qur’an dan hadits, siapa pun dia dan di mana pun dia berada.
11- Sekelompok orang yang
disebutkan dalam hadits, yang dimaksud adalah jumlah orang yang banyak yang
dilihat dari jauh.
12- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyaksikan umat Nabi Musa yang begitu
banyak, itu menunjukkan keutamaan Musa dan pengikutnya.
13- Lalu dilihat lagi sekelompok
umat yang besar yang itu adalah umatnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di tengah-tengah umat
Muhammad terdapat 70.000 orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa siksa.
Mereka itulah orang-orang yang mentahqiq tauhid atau merealisasikan tauhid
dengan benar.
14- Umat Muhammad bisa terbedakan
dari umat lainnya karena dilihat dari bekas wudhu mereka. Umat Muhammad nampak
bekas wudhu mereka pada wajah, tangan dan kaki mereka. Hal ini ditunjukkan
dalam hadits riwayat Muslim,
إِنَّ
أُمَّتِى يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ غُرًّا مُحَجَّلِينَ مِنْ أَثَرِ
الْوُضُوءِ
“Sesungguhnya umatku datang pada
hari kiamat dalam keadaan wajah, tangan dan kakinya bercahaya karena bekas
wudhu” (HR. Muslim no. 246).
15- Ada 70.000 orang
yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab. Dalam riwayat lain disebutkan
bahwa setiap 1000 dari 70.000 tadi ada 70.000 lagi. Dari Abu Umamah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ia berkata,
وَعَدَنِى
رَبِّى عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يُدْخِلَ الْجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِى سَبْعِينَ أَلْفاً
بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلاَ عَذَابٍ مَعَ كُلِّ أَلْفٍ سَبْعُونَ أَلْفاً
“Rabbku ‘azza wa jalla telah
menjajikan padaku bahwa 70.000 orang dari umatku akan dimasukkan surga tanpa
hisab dan tanpa siksa. Setiap 1000 dari jumlah tersebut terdapat 70.000 orang
lagi.” (HR. Ahmad 5: 268. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa
hadits ini shahih dan
sanad hadits ini hasan). Berarti berdasarkan hadits ini ada 4.900.000
orang yang dimaksud.
16- Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan ada 70.000
orang dari umatnya yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa siksa, lalu beliau
masuk rumah. Para sahabat pun berbincang-bincang siapakah orang-orang yang
dimaksud tersebut. Ini menunjukkan bahwa boleh berdiskusi ilmiah dalam masalah
ilmu untuk mengambil faedah dan mendapatkan kebenaran.
17- Apa yang mereka diskusikan
menunjukkan bagaimana dalamnya ilmu para sahabat. Mereka mengetahui bahwa untuk
menggapai keutamaan tersebut harus dengan beramal. Itu pun menunjukkan semangat
mereka dalam kebaikan.
18- Sifat pertama dari 70.000
orang tersebut adalah tidak meminta diruqyah. Dalam riwayat Muslim disebutkan
“laa yarqun”, artinya tidak meruqyah. Tambahan tidak meruqyah di sini keliru
karena orang yang meruqyah adalah orang yang berbuat baik. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya tentang
ruqyah, beliau bersabda,
مَنِ
اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَفْعَلْ
“Siapa yang mampu di antara kalian
untuk memberi kemanfaatan pada saudaranya, maka lakukanlah“(HR.
Muslim no. 2199).
‘Auf bin Malik berkata,
كُنَّا
نَرْقِى فِى الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ تَرَى فِى
ذَلِكَ فَقَالَ « اعْرِضُوا عَلَىَّ رُقَاكُمْ لاَ بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ
تَكُنْ شِرْكًا »
“Kami dahulu pernah meruqyah di
masa jahiliyah, kami berkata, “Wahai Rasulullah bagaimana pendapatmu tentang
ruqyah yang kami lakukan?” Beliau bersabda, “Tunjukkan ruqyah kalian. Yang
namanya ruqyah tidaklah mengapa selama tidak ada kesyirikan di dalamnya.”
(HR. Abu Daud no. 3886, shahih kata
Syaikh Al Albani).
Alasan lainnya, meruqyah orang
lain tidaklah masalah karena Jibril pernah meruqyah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
begitu pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meruqyah para sahabatnya.
19- Perbedaannya jelas antara
orang yang meruqyah dan orang yang meminta diruqyah. Orang yang meminta
diruqyah cenderung hatinya bergantung pada selain Allah. Adapun orang yang
meruqyah orang lain adalah orang yang berbuat baik.
20- Sifat 70.000 orang tersebut
yang lainnya adalah tidak meminta diruqyah. Namun pengobatan kay yaitu
penyembuhan luka dengan besi panas asalnya boleh. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus dokter pada
Ubay bin Ka’ab untuk mengobati lukanya dengan cara kay.
Hadits-hadits yang membicarakan
tentang pengobatan kay ada empat macam: (1) Nabi shallallahu melakukannya,
(2) beliau tidak suka dengan pengobatan kay, (3) beliau memuji orang yang tidak
dikay, (4) beliau melarang pengobatan kay. Yang beliau lakukan menunjukkan
bahwa kay itu boleh. Beliau tidak pada kay bukan berarti pengobatan kay itu
terlarang. Hadits yang menunjukkan beliau memuji orang yang meninggalkan kay
berarti meninggalkan kay lebih utama. Adapun hadits yang menyatakan beliau melarangnya
menunjukkan bahwa kay itu makruh. Jadi dalil-dalil yang ada tidak saling
bertentangan. Demikian kata Ibnul Qayyim dalamZaadul Ma’ad.
21- Sifat 70.000 orang tersebut
selanjutnya adalah mereka tidak bertathoyyur. Tathoyyur adalah beranggapan sial
dengan burung atau lainnya. Kalau di tengah-tengah kita misalnya menganggap
sial dengan bulan Suro.
22- Ibnul Qayyim mengatakan bahwa
sifat utama dari 70.000 orang tersebut terkumpul pada sifat tawakkal. Karena
tawakkal mereka yang sempurna, mereka tidak meminta diruqyah, tidak meminta
dikay, dan tidak beranggapan sial. Lihat Miftah Daris Sa’adah karya
Ibnu Qayyim Al Jauziyah.
23- Hadits yang dibicarakan saat
ini tidaklah menunjukkan untuk meninggalkan usaha atau sebab. Dan tawakkal itu
adalah cara yang utama untuk meraih sebab. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ
يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barangsiapa yang bertawakkal
pada Allah, Dialah yang mencukupinya.“(QS. Ath Thalaq: 3). Jadi
mereka punya enggan melakukan yang dimakruhkan yaitu meminta diruqyah dan
meminta dikay, mereka lebih memilih tawakkal daripada mengambil sebab yang
makruh tersebut.
24- Adapun mengambil
sebab dan berobat dengan cara yang tidak makruh, maka seperti itu boleh dan
tidak mencacati tawakkal. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا أَنْزَلَ
اللَّهُ دَاءً إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً
“Allah tidaklah menurunkan
penyakit melainkan menurunkan pula penawar (obatnya)” (HR. Bukhari
no. 5678).
25- ‘Ukkasyah bin
Mihshan adalah di antara 70.000 orang tersebut. Ia adalah di antara penunggang
kuda terbaik di kalangan Arab dahulu. Beliau mati syahid tahun 12 H ketika
berperang bersama Kholid bin Walid memerangi orang-orang yang murtad.
26- Hadits ini menunjukkan boleh
meminta do’a pada orang yang punya keutamaan yang lebih seperti yang dilakukan
oleh Ukkasyah pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
27- Lantas orang berikutnya
setelah ‘Ukkasyah ingin meminta lagi pada Nabi agar berdo’a pada Allah supaya
ia juga termasuk dalam 70.000 golongan tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Engkau sudah kedahuluan
oleh ‘Ukkasyah”. Ini adalah cara Nabi supaya yang lainnya tidak meminta seperti
itu lagi. Ini menunjukkan kelemah lembutan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan akhlak beliau yang baik.
28- Orang yang meminta kedua
kalinya bukanlah munafik dengan dua alasan: (a) para sahabat Nabi asalnya
bukanlah orang munafik, (2) orang yang meminta seperti itu pada Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam– berarti yakin akan
benarnya Rasul dan itu tidak muncul dari orang munafik.
29- Boleh menolak sesuatu dengan
cara yang terlihat seperti berbohong, namun maksudnya tidak demikian.
Faedah-faedah di atas diambil
dari kitab Taisir Al ‘Azizil Hamid karya Syaikh Sulaiman At Tamimi, yang
merupakan kitab penjelasan pertama, paling lengkap dan memuaskan dari kitab
tauhid Syaikh Muhammad At Tamimi.
—
Referensi:
At Tamhid li Syarh Kitabit
Tauhid, Syaikh Sholih bin
‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad Alu Syaikh, terbitan Darul Imam Al Bukhari, cetakan
pertama, tahun 1433 H.
Taisir Al ‘Azizil Hamid fii
Syarh Kitabit Tauhid,
Syaikh Sulaiman bin Abdillah bin Muhammad bin ‘Abdil Wahhab, terbitan Darush
Ash Shomi’i, cetakan kedua, tahun 1429 H.
Diselesaikan di Bekasi Timur,
Jatimulya, Jl. Cemara 1, di rumah paman tercinta, 15 Safar 1435 H, 07:40 WIB
0 komentar:
Posting Komentar