Saya pernah diberi payung
dan merchandise lainnya dari sebuah bank. Bolehkah saya manfaatkan?
Jawab:
Bismillah was shalatu was
salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Ada beberapa kemungkinan
ketika kita mendapat hadiah dari bank.
Pertama, karena kita memiliki tabungan di bank
Ketika anda menyetorkan
uang anda di bank, pihak bank berhak untuk memanfaatkan uang itu, sesuai
keinginannya. Sekalipun tanpa meminta izin nasabah. Meskipun bank memberikan
jaminan, kapanpun nasabah mengambil uangnya, pihak bank siap untuk mengucurkan
dananya.
Karena pihak bank berhak
untuk memanfaatkan uang itu, maka hakekat dari rekening tabungan di bank adalah
utang. Bank mendapatkan utang dari nasabah. Di bank-bank Saudi, produk tabungan
diistilahkan dengan Hisab al-Jari (Rekening
giro). Dan secara status, sama persis seperti skema rekening bank di Indonesia.
Dalam juklak panduan
perbank-kan syariah yang dikeluarkan AAOIFI (lembaga internasional
standardisasi produk perbankan syariah) dalam Bab: Al-Qardh, dinyatakan,
حقيقة
الحسابات الجارية أنها قروض؛ فتتملكها المؤسسة ويثبت مثلها في ذمتها
“Al-Hisabat Al-Jariyah
(Rekening giro), hakikatnya adalah qardh, di mana Lembaga keuangan syariah
memiliki dana yang disimpan dalam rekening giro dan menjamin dana tersebut
dalam tanggungannya.” (al-Ma’ayir Asy-Syar’iyyah, hlm.
271)
Mengingat rekening tabungan
yang ada di bank adalah utang maka hadiah yang diberikan bank statusnya hadiah
karena utang. Dan itu termasuk riba yang terlarang. Karena dalam islam, kita
tidak diizinkan untuk mendapat manfaat dari utang sedikitpun.
al-Baihaqi menyebutkan
riwayat pernyataan sahabat Fudhalah bin Ubaid radhiallahu ‘anhu,
كُلُّ
قَـرضٍ جَرَّ مَنفَـعَـةً فَهُوَ رِباً
“Setiap piutang yang
memberikan keuntungan, maka (keuntungan) itu adalah riba.” (Sunan as-Sughra, 4/353).
Al-Khalil mengatakan,
“وحرم هديته”، والمعنى أن
من عليه الدين يحرم أن يهدي لصاحب الدين هدية ويحرم على صاحب الدين قبولها
Dalam Mkhtashar Khalil
dinyatakkan, “Haram menerima hadiah dari debitor ke kreditor”
Maknanya, bahwa siapa yang
memiliki utang ke orang lain (misal, ke si A), maka terlarang baginya
memberikan hadiah kepada kreditor (si A), dan haram bagi si A untuk
menerimanya. (Syarh Mukhtashar Khalil – al-Kharsyi, 16/301).
Keterangan lain,
disampaikan Syaikhul Islam,
فنهى
النبي صلى الله عليه وسلم المقرض عن قبول هدية المقترض قبل الوفاء، لأن المقصود
بالهدية أن يؤخر الاقتضاء وإن كان لم يشترط ذلك
Larangan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bagi orang yang menghutangi untuk menerima hadiah sebelum
pelunasan, karena tujuan memberi hadiah adalah agar masa pelunasan bisa
ditunda, meskipun dia tidak mempersyaratkan hal itu. (al-Fatawa al-Kubro,
6/160).
Kita sangat memahami, bank
memberikan hadiah semacam ini, sebagai bentuk terima kasih atas dana yang
disetorkan nasabah kepadanya. Dengan demikian, payung dari bank atau
merchandise lainnya, jika diberikan karena anda menjadi nasabah bank, tidak
boleh diterima.
Kedua, hadiah dari bank, namun bukan karena keberadaan rekening kita di
bank, bukan pula karena kerja sama yang menguntungkan bank. Namun murni
pemberian bank. Misalnya, karena kita bertetangga dengan bank, lalu pihak bank
memberikan makanan atau hadiah lainnya. Atau makanan ringan, seperti permen dan
air minum yang disediakan bank untuk semua yang berkunjung ke kantornya.
Aturan dalam masalah ini
kembali kepada hukum menerima pemberian dari orang yang penghasilannya riba.
Sebagian ulama membolehkan
untuk menerimanya, meskipun ada juga yang keras melarangnya..
Diantara yang tegas
melarang adalah Ibnu Rusyd al-Jadd – kakeknya Ibnu Rusyd penulis Bidayah al-Mujtahid.
Ketika membahas masalah harta haram, beliau mengatakan,
وسواء
كان له مال سواه أو لم يكن لا يحل أن يشتريه منه إن كان عرضا، ولا يبايعه فيه إن
كان عينا، ولا يأكل منه إن كان طعاما، ولا يقبل شيئا من ذلك هبة… ومن فعل شيئا من
ذلك وهو عالم كان سبيله سبيل الغاصب في جميع أحواله
Baik dia memliki harta
lain, atau tidak punya selain harta itu, tidak halal baginya untuk melakukan
jual beli denganya, baik barang dagangan atau benda lainnya. Tidak boleh
mengkonsumsi makanannya, atau menerima sedikitpun dari hibahnya… siapa yang
melakukannya, sementara dia telah tahu – bahwa itu riba – maka kebiasaannya
seperti kebiasaan orang yang suka ghasab. (Fatawa Ibnu Rusyd, 1/645).
Sementara ulama yang
membolehkan, diantaranya Imam Ibnu Utsaimin. Beliau berdalil dengan aktivitas
muamalah yang terjadi antara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabat, dengan orang-orang yahudi di sekitar Madinah. Sementara banyak
diantara orang yahudi itu yang pekerjaannya sebagai rentenir bagi penduduk
Madinah di masa sebelum islam datang. (Tafsir Surat al-Baqarah, Ibnu Utsaimin).
Dan insyaaAllah inilah yang
lebih mendekati kebenaran.
Allahu a’lam
Dijawab oleh Ustadz Ammi
Nur Baits (Dewan Pembina PengusahaMuslim.com)
0 komentar:
Posting Komentar