Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam
kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Beberapa kesempatan yang lalu kami telah mengangkat pembahasan
hadiah bagi si buah hati (serial pertama), yaitu mengenai tahnik (mengunyah makanan manis di saat bayi itu lahir). Sekarang
kami akan mengutarakan pembahasan lainnya yaitu memberi nama terbaik bagi si
buah hati. Pembahasan ini insya Allah masih berlanjut pada posting selanjutnya.
Semoga bermanfaat.
Urgensi Pemberian Nama Terbaik
Nama dalam bahasa Arab disebut dengan isim. Makna isim bisa jadi adalah ‘alamat(tanda). Isim juga bisa bermakna as samuu (sesuatu yang tinggi). Sehingga isim(nama) adalah tanda yang tertinggi (mencolok) pada seseorang.
Dengan nama inilah akan membedakan seseorang dan lainnya. Di
antara maksud inilah para ulama bersepakat (berijma’) tentang wajibnya
pemberian nama pada laki-laki dan perempuan.[1] Sehingga tidak boleh seseorang pun di muka bumi ini yang
tidak memiliki nama. Karena jika tidak punya nama, bagaimana bisa membedakannya
dari manusia lainnya.
Karena pentingnya seseorang memiliki nama, sampai-sampai para
pakar hadits ketika menemukan hadits terdapat seorang perowi yang mubham (tidak dikenal namanya), mereka pun mendhoifkan hadits
tersebut sampai diketahui jelas siapa nama perowi tersebut.
Di antara urgensi pemberian nama terbaik disebabkan nama dapat
membawa pengaruh pada orang yang diberi nama. Oleh karena itu, orang Arab
mengatakan,
لِكُلِّ مُسَمَّى مِنْ اِسْمِهِ
نَصِيْبٌ
“Setiap orang akan mendapatkan pengaruh dari nama yang diberikan
padanya.”
Ini menunjukkan bahwa jika nama yang diberikan adalah nama yang
terbaik, maka atsarnya (pengaruhnya) pun baik. Oleh karenanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammenyatakan
bahwa nama yang terbaik adalah ‘Abdullah karena nama tersebut menunjukkan
penghambaan murni pada Allah. Begitu pula, dalam beberapa hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
memberi nama dengan nama yang buruk seperti ‘Ashiyah (wanita yang bermaksiat, dengan huruf ‘ain dan shod), Hazn (sedih) dan Zahm (sempit).
Intinya, nama begitu pengaruh dalam diri orang yang diberi nama.
Coba bayangkan bagaimana jika seorang anak diberi nama dengan Hazn (sedih), pasti ia akan jadi orang yang terus-terusan
bersedih karena mengingat namanya tersebut. Itulah urgensi penting dalam
pemberian nama bagi si buah hati.
Pengaruh lainnya lagi, dari nama terbaik, seseorang dapat
mengetahui bagaimanakah orang tuanya. Orang tuanya dapat diketahui dari nama
anaknya, apakah ortunya itusholih atau tholih (lawan dari sholih). Sebagaimana orang arab pun
mengatakan,
مِنْ اِسْمِكَ أَعْرِفُ أَبَاكَ
“Dari namamu, aku bisa mengetahui bagaimanakah ayahmu.”
Dari nama yang baik pula, seseorang bisa menyebarkan kebaikan.
Lihatlah bagaimana jika seseorang diberi nama “Musa”. Dari nama ini, setiap
orang yang mendengar nama tersebut bisa mengingat bagaimanakah sifat dan akhlaq
mulia dari Nabi Musa ‘alaihis salam. Oleh karena itu, pemberian nama yang baik di sini termasuk
menyebar sunnah hasanah di tengah-tengah umat. Maksud kami ini sebagaimana
disebutkan dalam hadits,
مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ
سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا
“Barangsiapa yang memulai mengerjakan perbuatan baik dalam Islam,
maka dia akan memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mencontoh perbuatan
itu.” (HR. Muslim no. 1017)[2]
Inilah di antara urgensi memberi nama yang baik.
Waktu Terbaik dalam Pemberian Nama
Mengenai waktu terbaik dalam pemberian nama dapat kita lihat
dalam hadits-hadits berikut.
Dari Anas bin Malik, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
وُلِدَ لِىَ اللَّيْلَةَ غُلاَمٌ
فَسَمَّيْتُهُ بِاسْمِ أَبِى إِبْرَاهِيمَ
“Semalam telah lahir anakku dan kuberi nama seperti ayahku yaitu
Ibrahim.” (HR. Muslim no. 2315)
Dari Abu Musa, ia mengatakan,
وُلِدَ لِى غُلاَمٌ ، فَأَتَيْتُ
بِهِ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – فَسَمَّاهُ إِبْرَاهِيمَ ، فَحَنَّكَهُ
بِتَمْرَةٍ ، وَدَعَا لَهُ بِالْبَرَكَةِ ، وَدَفَعَهُ إِلَىَّ ، وَكَانَ أَكْبَرَ
وَلَدِ أَبِى مُوسَى .
“Anak laki-lakiku lahir, kemudian aku membawanya kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau lalu memberinya nama Ibrahim, beliau
menyuapinya dengan kunyahan kurma dan mendoakannya dengan keberkahan, setelah
itu menyerahkannya kepadaku.” Ibrahim adalah anak tertua Abu Musa.” (HR. Bukhari
no. 5467, 6198 dan Muslim no. 2145)
Dari Samurah bin Jundub bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ
بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى
“Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya
pada hari ketujuhnya, dicukur rambutnya dan diberi nama.” (HR. Abu Daud no. 2838, An Nasai no. 4220, Ibnu Majah nol.
3165, Ahmad 5/12. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dari hadits Abu Musa di atas, Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa Abu Musa
bersegera membawa bayinya yang baru lahir kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu
ditahnik setelah diberi nama sebelumnya. Dalil ini menunjukkan bahwa bersegera
dalam pemberian nama pada si buah hati itu lebih baik, dan tidak mesti menunggu
pemberian nama pada hari ketujuh.”[3]
Al Baihaqi mengatakan, “Hadits yang membicarakan pemberian nama
pada si buah hati di hari kelahiran lebih shahih daripada hadits yang menunjukkan pemberian nama pada hari
ketujuh.”[4]
Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah dalam kitabnya Tasmiyatul Mawlud mengatakan, “Terdapat dalam sunnah Nabi shalllallahu
‘alaihi wa sallam bahwa pemberian nama itu ada tiga waktu:
1. Di hari kelahiran,
2. Sampai hari ketiga dari hari kelahiran,
3. Di hari ketujuh dari kelahiran,
Perbedaan ini adalah perbedaan variatif dan dalam hal ini ada
kelonggaran untuk memilih salah satunya.”[5]
Apa yang disebutkan oleh Syaikh Bakr Abu Zaid sama halnya dengan
yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Tuhfatul Mawdud[6]. Namun sebagaimana kata Ibnu Hajar di atas, dalam pemberian
nama lebih cepat itu lebih baik yaitu lebih bagus memberi nama pada hari
pertama. Wallahu a’lam.
Pemberian Nama dan Nasab Menjadi Hak Ayah (Bukan Ibu)
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,”Mengenai pemberian nama menjadi hak ayah itu tidak
ada perselisihan di antara para ulama. Hadits-hadits sebelumnya (yang
membicarakan tentang pemberian nama, pen) juga menunjukkan akan hal ini. ”
Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Sebagaimana tidak ada perselisihan bahwa
ayah yang berhak memberi nama, maka tidak ada perselisihan pula mengenai
masalah anak dipanggil dengan nama ayahnya bukan dengan nama ibunya. Sehingga
anak tersebut dipanggil dengan fulan bin fulan (dan bukan fulan bin fulanah,
pen). Di antara dalil yang menunjukkan hal ini, firman Allah Ta’ala,
ادْعُوهُمْ لِآَبَائِهِمْ هُوَ
أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ
“Panggilah mereka dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka.” (QS. Al Ahzab: 5). Anak hanyalah mengikuti ibunya dalam
masalah merdeka atau budak. Sedangkan ia tetap mengikuti ayahnya dalam nasab
dan dalam pemberian nama.” [7]
Dalil lain yang dapat kita lihat adalah hadits dari Ibnu Umar,
dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا جَمَعَ اللَّهُ
الأَوَّلِينَ وَالآخِرِينَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرْفَعُ لِكُلِّ غَادِرٍ لِوَاءٌ
فَقِيلَ هَذِهِ غَدْرَةُ فُلاَنِ بْنِ فُلاَنٍ
“Apabila Allah mengumpulkan orang-orang yang terdahulu dan orang-orang
yang terakhir kelak di hari Kiamat, maka akan dikibarkan bendera bagi setiap
pengkhianat, lalu dikatakan, ‘Ini adalah bendera si fulan bin fulan’.” (HR. Muslim no. 1735). Hadits ini menunjukkan bahwa seseorang
akan dipanggil pada hari kiamat dengan nama bapak mereka (fulan bin fulan),
bukan nama ibu mereka (fulan bin fulanah).
Urutan pertama: Nama Abdullah dan Abdurrahman
Dalam ktab Al Adzkar, Imam An Nawawi Asy Syafi’i rahimahullah menyebutkan Bab “Penjelasan nama yang paling dicintai oleh Allah”. Lantas beliau bawakan dua hadits berikut ini.
Dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَحَبَّ أَسْمَائِكُمْ
إِلَى اللَّهِ عَبْدُ اللَّهِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ
“Sesungguhnya nama kalian yang paling dicintai di sisi Allah adalah
‘Abdullah dan ‘Abdurrahman.”(HR. Muslim no. 2132)
Dari Jabir bin ‘Abdillah, ia berkata,
وُلِدَ لِرَجُلٍ مِنَّا غُلاَمٌ
فَسَمَّاهُ الْقَاسِمَ فَقُلْنَا لاَ نَكْنِيكَ أَبَا الْقَاسِمِ وَلاَ كَرَامَةَ
. فَأَخْبَرَ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ « سَمِّ ابْنَكَ عَبْدَ
الرَّحْمَنِ »
“Seorang laki-laki di antara kami ada yang memiliki anak, kemudian
dia memberi nama “Al Qasim”. Maka kami berkata, “Kami tidak akan menjuluki kamu
dengan Abu Al Qasim dan kami tidak akan memuliakannya. Lalu orang tersebut
memberitahukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka beliau bersabda,
“Berilah anakmu nama Abdurrahman.” (HR. Bukhari no. 6186)
Kedua nama ini memiliki keunggulan dari segi:
Pertama: Nama ini mengandung sifat penghambaan yang khusus antara hamba
dan Allah dibanding dengan nama-nama (yang bersandar pada asmaul husna)
lainnya. Karena nama ‘Abdullah mengandung sifat ubudiyah (penghambaan dalam
ibadah) dan ini hanya ada kaitannya antara Allah dan hamba. Begitu pula nama
‘Abdurrahman mengandung sifat ubudiyah (penghambaan) karena sifat Ar Rahman
adalah sifat rahmat yang khusus antara hamba dan Allah.[9]
Kedua: Nama berupa penghambaan yang terdapat dalam kedua nama
tersebut dikhususkan dalam Al Qur’an dari nama-nama terbaik lainnya. Semisal
dapat ayat-ayat berikut,
وَأَنَّهُ لَمَّا قَامَ عَبْدُ اللَّهِ يَدْعُوهُ كَادُوا يَكُونُونَ عَلَيْهِ لِبَدًا
“Dan bahwasanya tatkala Abdullah (yaitu hamba Allah,
Muhammad) berdiri menyembah-Nya (mengerjakan ibadat), hampir saja
jin-jin itu desak mendesak mengerumuninya.” (QS. Al
Jin: 19)
وَعِبَادُ
الرَّحْمَنِ الَّذِينَ
يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا
سَلَامًا
“Dan ‘Ibadurrahman (hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang) itu
(ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila
orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang
mengandung) keselamatan.” (QS. Al Furqon: 63)
قُلِ
ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى
“Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama
yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang
terbaik)” (QS. Al Isro’: 110)
Ketiga: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi nama pada anak
pamannya (Al ‘Abbas) dengan nama Abdullah.
Urutan kedua: Nama bentuk penghambaan pada asmaul husna lainnya.
Urutan ketiga: Nama para Nabi dan Rasul Allah
Seperti Adam, Nuh, Musa, Ibrahim, Isa dan Muhammad, yang intinya
ada 25 nama Nabi yang disebutkan dalam Al Qur’an.
Dari Al Mughirah bin Syu’bah ia berkata, “Ketika aku mendatangi
kota Najran, para penduduknya bertanya kepadaku: Sesungguhnya kalian membaca
“Wahai saudara Harun”. Padahal Musa hidup sebelum Isa berjarak beberapa tahun.
Maka ketika aku datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, aku menanyakan hal itu kepada beliau, dan beliau pun menjawab,
إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَمُّونَ
بِأَنْبِيَائِهِمْ وَالصَّالِحِينَ قَبْلَهُمْ
“Dulu mereka memberi nama dengan nama-nama para Nabi mereka dan
orang-orang shaleh dari kaum sebelum mereka.” (HR.
Muslim no. 2135)
Dalil lainnya adalah bolehnya memiliki nama seperti nama
“Muhammad”, nama Nabi kita. Bahkan nama inilah yang terbaik dari nama para Nabi
‘alaihimus salamlainnya[12]. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَسَمَّوْا بِاسْمِى وَلاَ
تَكَنَّوْا بِكُنْيَتِى
“Berilah nama dengan namaku (Muhammad) dan janganlah kalian
berkunyah dengan kunyahku (Abul Qosim)”. (HR. Bukhari no. 6187 dan Muslim no.
2134)
An Nawawi membawakan hadits-hadits di atas dalam Bab “Larangan
berkunyah dengan Abul Qosim dan penjelasan mengenai nama-nama yang
disunnahkan.” Hal ini menunjukkan bahwa nama para Nabi dan Rasul adalah di
antara nama terbaik yang bisa digunakan.
An Nawawi dalam Syarh Muslim menjelaskan, “Dari hadits ini sekelompok ulama berdalil
bahwa bolehnya memberi nama dengan nama para Nabi ‘alaihimus salaam, bahkan ini
adalah ijma’ (kesepakatan) ulama. Kecuali Umar bin Khottob yang berpendapat
agak sedikit berbeda dalam hal ini.”[13]
Urutan keempat: Nama orang sholeh
Dalil hal ini sudah disebutkan sebelumnya dalam hadits Al
Mughirah bin Syu’bah. Yang paling baik digunakan adalah nama para sahabat
karena merekalah generasi terbaik dari umat ini. Seutama-utama dari mereka
adalah para Khulafaur Rosyidin, yaitu Abdullah (Abu Bakr), ‘Umar, ‘Utsman, dan
‘Ali.
Untuk anak perempuan bisa menggunakan nama istri-istri
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (Ummahatul Mukminin). Menurut pendapat yang
kuat, istri yang dinikahi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada 11[14] :
1. Khadijah binti Khuwailid;
2. Saudah binti Zum’ah;
3. Aisyah binti Abu Bakar Ash Shidiq;
4. Hafshoh binti Umar bin Al Khaththab;
5. Zainab binti Khuzaimah;
6. Ummu Salamah Hindun binti Abu Umayyah;
7. Zainab binti Jahsy bin Rayyab;
8. Juwairiyyah binti Al Harits;
9. Ummu Habibah Romlah binti Abu Sufyan;
10. Shofiyah binti Huyai bin Akhthab;
Sebagai contoh yang menggunakan nama sahabat adalah anak-anak Az
Zubair bin Al ‘Awam. Beliau menamakan sembilan anaknya dengan nama para sahabat
yang mengikuti perang Badar. Anak-anaknya tersebut diberi nama:
1. ‘Abdullah
2. Al Mundzir
3. ‘Urwah
4. Hamzah
5. Ja’far
6. Mush’ab
7. ‘Ubaidah
8. Kholid
Urutan kelima: Nama lainnya yang memenuhi syarat dan adab
Syarat dalam pemberian nama sebagai berikut:
Syarat Pertama: Menggunakan bahasa Arab.
Dari sini, menunjukkan terlarangnya menggunakan nama-nama bukan
Arab seperti Joseph, Robert, Markus, Julia dan Diana.
Syarat Kedua: Memiliki susunan dan makna yang bagus.
Sehingga dari sini tidak boleh menggunakan nama makruh dan
terlarang. Begitu juga terlarang menggunakan nama yang mengandung celaan dan
mengandung tazkiyah (menetapkan kesucian dirinya). Oleh karena itu, nama
semacam ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai
merubahnya.
Ath Thobari rahimahullah mengatakan, “Tidak sepantasnya seseorang memakai nama
dengan nama yang jelek maknanya atau menggunakan nama yang mengandung tazkiyah (menetapkan kesucian dirinya), dan tidak boleh pula dengan
nama yang mengandung celaan. Seharusnya nama yang tepat adalah nama yang
menunjukkan tanda bagi seseorang saja dan bukan dimaksudkan sebagai hakikat
sifat. Akan tetapi, dihukumi makruh jika seseorang bernama dengan nama yang
langsung menunjukkan sifat dari orang yang diberi nama. Oleh karena itu, Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengganti beberapa nama ke nama yang benar-benar
menunjukkan sifat orang tersebut. Beliau melakukan semacam itu bukan maksud
melarangnya, akan tetapi untuk maksud ikhtiyar (menunjukkan pilihan yang lebih baik).”[17]
Adab dalam pemberian nama yang sebisa mungkin dilakukan:
Pertama: Menggunakan nama sesuai urutan terbaik yang telah kami
jelaskan di awal.
Kedua: Menggunakan nama yang terdiri dari huruf yang jumlahnya
sedikit.
Ketiga: Menggunakan nama yang mudah diucapkan di lisan.
Keempat: Memudahkan orang yang mendengar untuk mengingatnya.
Kelima: Menggunakan nama yang cocok dengan orang yang diberi nama dan
tidak keluar dari kebiasaan yang dipakai dalam agamanya atau masyarakat
sekitarnya.[18]
Dari penjelasan adab tambahan ini menunjukkan bahwa nama yang
kurang bagus adalah nama yang terdiri dari banyak kata seperti: Andika Syarifudin Guntur Prasetyo,Linggar Simping Pembayun Retno Utami. Nama ini kurang disukai karena orang-orang akan beranggapan
bahwa satu nama ini terdiri dari beberapa orang. Inilah sisi kurang bagusnya
untuk nama-nama semisal itu.
Insya Allah, untuk pembahasan ini kami masih lanjutkan dalam
tulisan selanjutnya yaitu mengenai nama yang haram dan makruh untuk digunakan.
Semoga Allah mudahkan.
Semoga pembahasan ini bermanfaat bagi siapa saja yang menanti
buah hatinya. Semoga Allah beri keberkahan.
Diselesaikan di waktu ‘Ashar, 11 Jumadil Awwal 1431 H
(25/04/2010), Panggang-GK.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
[1] Marootibul Ijma’, hal. 154.
[2] Hadits ini dibawakan oleh An Nawawi dalam Bab “Dorongan
untuk sedekah meskipun dengan setengah biji kurma atau kalimat yang baik”, juga
pada Bab “Barangsiapa membuat contoh yang baik atau yang jelek, atau mengajak
pada yang petunjuk atau kesesatan.”
[3] Fathul Baari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 9/588, Darul
Ma’rifah, Beirut, 1379
[4] Fathul Baari, 9/589.
[5] Tasmiyatul Mawlud, Syaikh Bakr bin ‘Abdillah Abu Zaid,
hal. 28, Darul ‘Ashimah, cetakan ketiga, tahun 1416 H
[6] Lihat Tuhfatul Mawdud, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Bab VIII,
pasal pertama, Maktabah Darul Bayan, 1391 H
[7] Tuhfatul Mawdud, hal. 135.
[8] Kami urutkan berdasarkan penyebutan Syaikh Bakr Abu Zaid
dalam kitabnya “Tasmiyatul Mawlud”.
[9] Faedah dari Al Futuhaat Ar Robbaniyah ‘alal
Adzkar An Nawawiyah, Ibnu ‘Allan Asy Syafi’i, 6/72, Darul Kutub Al ‘Imiyyah,
cetakan pertama, tahun 1424 H.
[10] Faedah dari Tasyimatul Mawlud, hal. 32-33.
[11] Lihat Tasyimatul Mawlud, hal. 33-34.
[12] Lihat Tasyimatul Mawlud, hal. 36.
[13] Syarh Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 14/117, Dar Ihya’
At Turots, cetakan kedua, 1392.
[14] Sebagaimana hal ini disebutkan dalam kitab Shiroh Nabi, Ar
Rohiqul Makhtum.
[15] Mereka inilah para wanita yang pernah dinikahi Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa sallam dan beliau hidup bersama mereka. Ada dua orang
yang meninggal dunia semasa beliau masih hidup yaitu Khadijah dan Zainab binti
Khuzaimah, yang berarti beliau meninggal dunia dengan meninggalkan sembilan
janda.
[16] Lihat Tasmiyatul Mawlud, hal. 38.
[17] Dinukil dari Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 10/577,
Darul Ma’rifah, 1379.
0 komentar:
Posting Komentar