Sesungguhnya segala keresahan dan kesedihan yang dialami kaum
muslimin adalah ujian dari Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ
وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا ، إِلاَّ
كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Jika ada yang menimpa seorang muslim, baik berupa rasa
capek, sakit, kebingunan, kesedihan, kezhaliman orang lain, kesempitan hati,
sampai duri yang menancap di badannya maka Allah akan jadikan semua itu sebagai
penghapus dosa-dosanya.” (HR. Bukhari)
Mengingat hadis ini, sikap selanjutnya terkait kenaikan BBM:
dilihat dari sudut pAndang takdir, kenaikan BBM adalah musibah yang datang dari
Allah Subhanahu wa Ta’ala, untuk menguji kaum muslimin, sekaligus
menjadi penghapus dosa mereka. Keresahan yang mereka alami, hakikatnya adalah
penghapus dosa yang pernah mereka lakukan. Siapa yang bersabar dan meniti jalan
kebenaran maka Allah akan hapuskan dosa-dosanya dan akan Allah berikan jalan keluar
terbaik.
Allah berfirman,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ
مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Siapa yang bertakwa kepada Allah, maka akan Allah berikan
jalan keluar. Allah akan berikan rezeki dari jalur yang tidak mereka perhitungkan..”
(QS. At-Thalaq: 2–3)
Dalam memahami konsep musibah, sikap yang harus kita kedepankan
adalah menuduh pribadi kita sebagai sumber masalahnya. Masing-masing individu
menuding dirinya bahwa bisa jadi musibah ini disebabkan karena perbuatan
maksiat yang pernah kita lakukan. Sebagaimana yang Allah firmankan,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ
وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Segala bentuk musibah yang menimpa kalian, semuanya
disebabkan ulah tangan (maksiat) kalian. Dan Allah telah memberi ampunan untuk
banyak dosa.” (QS. As-Syuro: 30)
Ibnu katsir mengatakan,
أي:مهما أصابكم أيُّها الناس من المصائب فإنما هو عن سيئات تقدمت
لكم
“Maksud ayat, musibah apapun yang menimpa kalian – wahai manusia
– semuanya disebabkan maksiat yang kalian lakukan.” (Tafsir Ibn Katsir,
2:207)
Setelah kita memahami hal ini, sikap selanjutnya yang harus kita
lakukan adalah memperbanyak taubat dan memohon ampunan kepada Allah. Sembari
berharap agar Allah mengampuni kita dan memberikan penyelesaian terbaik bagi
semuanya. Karena alasan inilah, para ulama selalu mengembalikan adanya musibah
dengan nasihat taubat. Dikisahkan, dulu ada seorang ulama yang menerima
pengaduan dari masyarakat; Harga-harga barang pada naik. Beliau lalu
menasihatkan,
أنزلوها بالاسغفار
“Turunkan harga dengan banyak istighfar.”
Nasihat beliau ini didasari firman Allah di surat Nuh,
اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا ( ) يُرْسِلِ
السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا ( ) وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ
وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا
“Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha
Pengampun-, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan
membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan
mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10 – 12)
Ayat ini merupakan jaminan, orang yang banyak memohon ampunan,
akan Allah lapangkan rezeki dan keturunannya. Tapi perlu Anda catat
tebal-tebal, ini hanya bisa dipahami dengan bahasa iman. Selama seseorang masih
mengedepankan logika, selama itu pula dia akan kesulitan untuk menerimanya.
Contoh nyata penerapan adab ini, diterapkan Nabi Yunus, di saat
beliau berada dalam kegelapan perut ikan. Nabi Yunus merengek, memohon ampun
kepada Allah,
فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ
سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ
“Dia menyeru dalam kegelapan, dengan mengucapkan: Laa ilaaha
illaa anta, subhaanak. Innii kuntu minad dzaalimiin. (Tidak ada Tuhan yang
berhak disembah selain Engkau, Maha Suci Engkau. Sesungguhnya aku termasuk
orang yang zhalim).” (QS. Al-Anbiya: 87)
Adab selanjutnya, tetap jaga hati untuk husnu-zhan kepada Allah
Apapun yang menimpa diri Anda, jangan sampai menggiring Anda
untuk berburuk sangka kepada Allah. Karena sekalipun itu musibah, hakikatnya
Allah hendak memberikan kebaikan bagi Anda. Dengan musibah ini, Allah hendak
menghapuskan dosa Anda, dan dengan musibah ini Allah hendak meninggikan derajat
Anda. Jadi, apapun yang Allah berikan kepada Anda, hakikatnya untuk kebaikan Anda.
Perhatikan motivasi yang diberikan sahabat Ibnu Mas’ud berikut,
والذي لا إله غيرُه، ما أعطي عبدٌ مؤمن شيئاً خيرا من حسن الظن
بالله عز وجل. والذي لا إله غيره، لا يحسن عبد بالله عز وجل الظن إلا أعطاه الله
عز وجل ظنه، ذلك بأنَّ الخير في يده
“Demi Allah, Dzat yang tidak ada tuhan yang berhak disembah
selain Dia. Tidak ada pemberian untuk hamba beriman yang lebih baik dari pada
husnu-zhan kepada Allah. Demi Allah, jika seorang hamba berbaik sangka kepada
Allah, maka pasti Allah akan memberikan sesuai persangkaannya. Karena semua
kebaikan ada di tangan Allah.” (HR. Ibnu Abid Dunya)
Bagaimana agar bisa disebut husnu-zhan kepada Allah? Caranya,
paksa hati Anda untuk meyakini bahwa ujian yang saat ini sedang menimpa Anda
adalah penghapus dosa Anda. Jaga hati dan lisan baik-baik, jangan sampai
mengucapkan sesuatu yang mengundang murka Allah. Hindari perasaan, Allah tidak
adil, Allah zhalim, Allah mengurangi jatah rezekiku, dimana kemurahan Allah,…
dst. Hindari.., jangan sampai kita benci ketetapan Allah. Hadis dari Anas bin
Malik radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“عِظَمُ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ، وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا
أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ
فَلَهُ السُّخْطُ”
“Besarnya balasan itu sebanding dengan besarnya ujian.
Sesungguhnya, apabila Allah mencintai seseorang maka Dia akan memberikan ujian
kepadanya. Siapa yang ridha, dia akan mendapatkan ridha Allah dan siapa yang
benci, dia akan mendapatkan kebencian Allah.” (HR. Turmudzi, Ibn Majah, dan
dishahihkan Al-Albani)
Al-Mubarokfuri menjelaskan, “Siapa yang membenci ujian yang
datang dari Allah, tidak rela terhadap ketetapan dari-Nya maka dia akan
mendapatkan kemurkaan dari Allah dan siksa yang menyakitkan. Sebagai balasan
terhadap sikap dia menentang takdir.” (Tuhfatul Ahwadzi, 7:65)
Termasuk bagian dari sikap husnu-zhan kepada Allah adalah
memperbanyak berdoa dan berharap, agar Allah memberikan jalan keluar terbaik
baginya. Dia tidak bosan-bosan untuk bersimpuh di hadapan Rabnya, meminta dan
memohon agar Allah memberikan jalan keluar terbaik baginya. Inilah sikap yang
dicontohkan para nabi, ketika mendapatkan ujian dari Allah, disamping berusaha
untuk sabar dalam menerima ujian ini. Perhatikan Nabi Ayyub, di saat tumpukan
musibah dunia yang menimpanya, beliau mengadu kepada Allah:
أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
“Sesungguhnya aku sedang tertimpa musibah, dan Engkau Dzat
yang sangat belas kasihan.” (QS. Al-Anbiya: 83)
Apa doa yang harus kita baca?
Kita bisa membaca semua doa yang isinya kebaikan. Setelah kita memohon ampunan kepada Allah, berdoalah memohon kebaikan untuk dunia dan akhirat. Kita bisa berdoa dengan bahasa Indonesia atau bahasa apa pun yang bisa Anda pahami.
Kita bisa membaca semua doa yang isinya kebaikan. Setelah kita memohon ampunan kepada Allah, berdoalah memohon kebaikan untuk dunia dan akhirat. Kita bisa berdoa dengan bahasa Indonesia atau bahasa apa pun yang bisa Anda pahami.
Adab penting!
Hindari, menyebut-nyebut kenaikan harga di depan tamu Anda atau teman Anda.
Hindari, menyebut-nyebut kenaikan harga di depan tamu Anda atau teman Anda.
Abul Aina’ menceritakan,
“Suatu ketika ada seseorang yang bertamu di rumah temannya. Ketika itu sedang musim paceklik. Si tuan rumah sering sekali menyebut-nyebut kenaikan harga. Mendengar hal ini, si tamu lantas mengangkat tangannya dan mengatakan, ‘Bukan termasuk sikap terhormat, menyebut-nyebut kenaikan harga di depan tamu, ketika sedang menghidangkan makanan!’ Tuan rumah kemudian minta maaf, dan memohon kepada tamu agar memakan hidangannya. Namun si tamu tidak menyentuhnya sama sekali, kemudian dia pergi keesokan harinya.” (Adab Muwakalah, Hal. 7)
“Suatu ketika ada seseorang yang bertamu di rumah temannya. Ketika itu sedang musim paceklik. Si tuan rumah sering sekali menyebut-nyebut kenaikan harga. Mendengar hal ini, si tamu lantas mengangkat tangannya dan mengatakan, ‘Bukan termasuk sikap terhormat, menyebut-nyebut kenaikan harga di depan tamu, ketika sedang menghidangkan makanan!’ Tuan rumah kemudian minta maaf, dan memohon kepada tamu agar memakan hidangannya. Namun si tamu tidak menyentuhnya sama sekali, kemudian dia pergi keesokan harinya.” (Adab Muwakalah, Hal. 7)
Allahu a’lam
Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)
Artikel www.KonsultasiSyariah.com
Artikel www.KonsultasiSyariah.com
Artikel sebelumnya:
0 komentar:
Posting Komentar