Setelah kita mengetahui beberapa kewajiban zakat dan kapan waktu
penunaiannya. Saat ini rumaysho.com akan menyajikan bahasan beberapa
golongan yang berhak menerima zakat. Kita akan memulai dari golongan pertama
dan kedua yaitu fakir miskin. Tulisan ini akan menyebutkan beberapa kriteria
fakir dan miskin. Juga ada keterangan, zakat tidak boleh diberikan pada orang
yang mampu bekerja atau orang kaya.
Golongan yang berhak menerima zakat (mustahiq) ada 8
golongan sebagaimana telah ditegaskan dalam Al Qur’an Al Karim pada ayat
berikut,
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ
وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ
وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ
وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk [1] orang-orang
fakir, [2] orang-orang miskin, [3] amil zakat, [4] para mu’allaf yang dibujuk
hatinya, [5] untuk (memerdekakan) budak, [6] orang-orang yang terlilit utang,
[7] untuk jalan Allah dan [8] untuk mereka yang sedang dalam perjalanan,
sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana” (QS. At Taubah: 60). Ayat ini dengan jelas
menggunakan kata “innama” yang memberi makna hashr (pembatasan).
Ini menunjukkan bahwa zakat hanya diberikan untuk delapan golongan tersebut,
tidak untuk yang lainnya.[1]
Golongan pertama dan kedua: fakir dan miskin.
Fakir dan miskin adalah golongan yang tidak mendapati sesuatu yang
mencukupi kebutuhan mereka.
Para ulama berselisih pendapat manakah yang kondisinya lebih parah
antara fakir dan miskin. Ulama Syafi’iyah dan Hambali berpendapat bahwa fakir
itu lebih parah dari miskin. Alasan mereka karena dalam ayat ini Allah menyebut
fakir lebih dulu dahulu setelah itu menyebut miskin. Ulama lainnya berpendapat
miskin lebih parah dari fakir.[2]
Adapun batasan dikatakan fakir menurut ulama Syafi’iyah dan
Malikiyah adalah orang yang tidak punya harta dan usaha yang dapat memenuhi
kebutuhannya. Seperti kebutuhannya, misal sepuluh ribu rupiah tiap harinya,
namun ia sama sekali tidak bisa memenuhi kebutuhan tersebut atau ia hanya dapat
memenuhi kebutuhannya kurang dari separuh. Sedangkan miskin adalah orang yang
hanya dapat mencukupi separuh atau lebih dari separuh kebutuhannya, namun tidak
bisa memenuhi seluruhnya.[3]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin memberikan gambaran
perbedaan antara fakir dan miskin, “Kita bisa memperkirakan batasan fakir dan
miskin dengan melihat pada gaji bulanan. Jika gaji dalam setahun adalah sebesar
5000 riyal (Rp.12,5 jt), sedangkan kebutuhannya 10.000 riyal (Rp.25 jt), dalam
kondisi ini seseorang dianggap miskin. Karena ia hanya mampu memenuhi separuh
dari kebutuhannya. Jika gaji dalam setahun 4000 riyal (Rp.10 jt), sedankan
kebutuhannya dalam setahun 10.000 riyal (Rp.25 jt), dalam kondisi ini ia
dianggap fakir. Begitu pula ketika seseorang tidak memiliki pekerjaaan, maka ia
dianggap fakir.”[4]
Orang yang berkecukupan tidak boleh diberi zakat
Orang yang berkecukupan sama sekali tidak boleh diberi zakat,
inilah yang disepakati oleh para ulama. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ حَظَّ فِيهَا لِغَنِىٍّ
Apa standarnya orang kaya yang tidak boleh mengambil zakat?
Standarnya, ia memiliki kecukupan ataukah tidak. Jika ia memiliki
harta yang mencukupi diri dan orang-orang yang ia tanggung, maka tidak halal
zakat untuk dirinya. Namun jika tidak memiliki kecukupan walaupun hartanya
mencapai nishob, maka ia halal untuk mendapati zakat. Oleh karena itu,
boleh jadi orang yang wajib zakat karena hartanya telah mencapai nishob, ia
sekaligus berhak menerima zakat. Demikian pendapat mayoritas ulama yaitu ulama
Malikiyah, Syafi’iyah dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad.[6]
Apa standar kecukupan?
Kecukupan yang dimaksud adalah kecukupan pada kebutuhan primer,
yaitu pada makan, minum, tempat tinggal, juga segala yang mesti ia penuhi tanpa
bersifat boros atau tanpa keterbatasan. Kebutuhan yang dimaksud di sini adalah
baik kebutuhan dirinya sendiri dan orang-orang yang ia tanggung nafkahnya.
Inilah pendapat mayoritas ulama.[7]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin menerangkan, “Kecukupan
yang dimaksud bukan hanya kecukupan individu, bahkan termasuk pula kecukupan
orang yang ditanggung nafkahnya. Kebutuhan yang menjadi standar kecukupan bukan
hanya makan, minum, tempat tinggal, pakaian, bahkan termasuk pula kebutuhan
biologis, yaitu menikah. Jika seseorang butuh akan nikah dan ia sudah cukup
berada dalam hal makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal, akan tetapi ia
tidak memiliki sesuatu sebagai maharnya, maka ia boleh diberikan zakat untuk
maksud tersebut walaupun jumlahnya banyak. Begitu pula bagi seorang
penuntut ilmu, jika ia sudah cukup berada dalam hal makan, minum, tempat
tinggal dan pakaian, namun ia sebagai penuntut ilmu butuh akan berbagai buku,
maka ia juga boleh diberi zakat untuk keperluan buku yang ia butuhkan.”[8]
Bolehkah memberi zakat kepada fakir miskin yang mampu mencari
nafkah?
Jika fakir dan miskin mampu bekerja dan mampu memenuhi kebutuhannya
serta orang-orang yang ia tanggung atau memenuhi kebutuhannya secara sempurna,
maka ia sama sekali tidak boleh mengambil zakat. Alasannya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ حَظَّ فِيهَا لَغَنِىٍّ وَلاَ لِذِى مِرَّةٍ مُكْتَسِبٍ
“Tidak ada satu pun bagian zakat untuk orang yang berkecukupan dan
tidak pula bagi orang yang kuat untuk bekerja.”[9]
Dalam hadits yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
لاَ تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِىٍّ وَلاَ لِذِى مِرَّةٍ سَوِىٍّ
“Tidak halal zakat bagi orang yang berkecukupan, tidak pula bagi
orang yang kuat lagi fisiknya sempurna (artinya: mampu untuk bekerja, pen)”[10]
Berapa kadar zakat yang diberikan kepada fakir dan miskin?
Besar zakat yang diberikan kepada fakir dan miskin adalah sebesar
kebutuhan yang mencukupi kebutuhan mereka dan orang yang mereka tanggung dalam setahun dan tidak boleh ditambah lebih
daripada itu. Yang jadi patokan di sini adalah satu tahun karena umumnya zakat
dikeluarkan setiap tahun. Alasan lainnya adalah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menyimpan
kebutuhan makanan keluarga beliau untuk setahun. Barangkali pula jumlah yang
diberikan bisa mencapai ukuran nishob zakat.
Jika fakir dan miskin memiliki harta yang mencukupi sebagian
kebutuhannya namun belum seluruhnya terpenuhi, maka ia bisa mendapat jatah
zakat untuk memenuhi kebutuhannya yang kurang dalam setahun.[11]
-bersambung insya Allah-
@ KSU, Riyadh, KSA, 4 Rajab 1433 H
[1] Lihat Al Mawsu’ah Al
Fiqhiyah, 23: 312.
[2] Lihat Al Mawsu’ah Al
Fiqhiyah, 23: 312-313.
[3] Lihat Al Mawsu’ah Al
Fiqhiyah, 23: 313.
[4] Syarhul Mumti’, 6:
220.
[5] HR. Al Baihaqi dalam
Sunan Al Kubro, 6: 351. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
Lihat Al Irwa’ no. 876.
[6] Lihat Al Mawsu’ah Al
Fiqhiyah, 23: 313-314.
[7] Lihat Al Mawsu’ah Al
Fiqhiyah, 23: 316.
[8] Syarhul Mumti’, 6:
221.
[9] HR. Al Baihaqi dalam
Sunan Al Kubro, 6: 351. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
Lihat Al Irwa’ no. 876.
[10] HR.
Abu Daud no. 1634, An Nasai no. 2597, At Tirmidzi no. 652, Ibnu Majah no. 1839
dan Ahmad 2: 164 . Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat
Al Irwa’ no. 877. Lihat Syarh Sunan Ibni Majah, As Suyuthi dkk, Asy Syamilah 1:
132.
[11] Lihat
Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 23: 316-317.
0 komentar:
Posting Komentar