Maaf, saya mau bertanya… Apa kita tidak boleh mendoakan orang lain
selain muslim yang hidup ataupun sudah meninggal? Sebab pernah teman berkata
jangan doakan mereka karena tidak akan di ijabah… Terimakasih.
Jawaban:
Waalaikum salam warohmatulloh wabarokatuh…
Alhamdulillahi wakafa… was sholatu wassalamu ala rosulihil
musthofa… wa ala aalihi wa shohbihi wa maniqtafa… amma ba’du:
Mendoakan orang kafir, bisa diperinci menjadi empat:
PERTAMA: Mendoakan agar mereka mendapatkan hidayah.
Para Ulama telah sepakat (Ijma’) akan bolehnya hal ini,
diantara dalilnya adalah hadits berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَدِمَ الطُّفَيْلُ وَأَصْحَابُهُ
فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ دَوْسًا قَدْ كَفَرَتْ وَأَبَتْ، فَادْعُ
اللَّهَ عَلَيْهَا! فَقِيلَ: هَلَكَتْ دَوْسٌ! فَقَالَ: اللَّهُمَّ اهْدِ دَوْسًا
وَائْتِ بِهِمْ!ـ
Abu Huroirah -rodliallohu anhu- mengatakan: (Suatu hari)
At-Thufail dan para sahabatnya datang, mereka mengatakan: “ya Rosululloh,
Kabilah Daus benar-benar telah kufur dan menolak (dakwah Islam), maka doakanlah
keburukan untuk mereka! Maka ada yg mengatakan: “Mampuslah kabilah Daus”. Lalu
beliau mengatakan: “Ya Allah, berikanlah hidayah kepada Kabilah Daus,
dan datangkanlah mereka (kepadaku). (HR. Bukhori 2937 dan Muslim 2524, dg redaksi
dari Imam Muslim)
Hadits berikut juga menunjukkan bolehnya mendoakan agar mereka
mendapatkan hidayah:
عَنْ أَبِي مُوسَى رضي الله عنه، قَالَ: كَانَ الْيَهُودُ
يَتَعَاطَسُونَ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْجُونَ
أَنْ يَقُولَ لَهُمْ يَرْحَمُكُم اللَّهُ، فَيَقُولُ: يَهْدِيكُمُ اللَّهُ
وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ
Abu Musa -rodliallohu anhu- mengatakan: “Dahulu Kaum Yahudi biasa
berpura-pura bersin di dekat Nabi -shollallohu alaihi wasallam-, mereka
berharap beliau mau mengucapkan doa untuk mereka “yarhamukalloh (semoga Allah
merahmati kalian)”, maka beliau mengatakan doa: “yahdikumulloh wa
yushlihabalakum (semoga Allah memberi hidayah kepada kalian, dan
memperbaiki keadaan kalian)” (HR. Tirmidzi 2739 , dan yg lainnya, dishohihkan
oleh Syeikh Albani)
KEDUA: Mendoakan kebaikan dalam perkara dunia.
Hal ini dibolehkan karena adanya contoh dari Rosululloh -shollallohu
alaihi wasallam-… lihatlah dalam hadits di atas, beliau mendoakan kepada
Kaum Yahudi:
يَهْدِيكُمُ اللَّهُ وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ
“Semoga Allah memberi kalian hidayah, dan memperbaiki
keadaan kalian”
Ada juga ikrar (persetujuan) Rosulullah –shollallohu alaihi
wasallam– dalam hal ini:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الخُدْرِيِّ قَالَ: بَعَثَنَا رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَرِيَّةٍ فَنَزَلْنَا بِقَوْمٍ،
فَسَأَلْنَاهُمُ القِرَى فَلَمْ يَقْرُونَا، فَلُدِغَ سَيِّدُهُمْ فَأَتَوْنَا
فَقَالُوا: هَلْ فِيكُمْ مَنْ يَرْقِي مِنَ العَقْرَبِ؟ قُلْتُ: نَعَمْ أَنَا،
وَلَكِنْ لاَ أَرْقِيهِ حَتَّى تُعْطُونَا غَنَمًا، قَالُوا: فَإِنَّا نُعْطِيكُمْ
ثَلاَثِينَ شَاةً، فَقَبِلْنَا فَقَرَأْتُ عَلَيْهِ: الحَمْدُ لِلَّهِ سَبْعَ
مَرَّاتٍ، فَبَرَأَ وَقَبَضْنَا الغَنَمَ، قَالَ: فَعَرَضَ فِي أَنْفُسِنَا
مِنْهَا شَيْءٌ فَقُلْنَا: لاَ تَعْجَلُوا حَتَّى تَأْتُوا رَسُولَ اللهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَيْهِ ذَكَرْتُ لَهُ
الَّذِي صَنَعْتُ، قَالَ: وَمَا عَلِمْتَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ؟ اقْبِضُوا الغَنَمَ
وَاضْرِبُوا لِي مَعَكُمْ بِسَهْمٍ
Abu Said al-Khudri mengatakan: (Suatu saat) Rosululloh
-shollallohu alaihi wasallam- menugaskan kami dalam Sariyyah (pasukan kecil),
lalu kami singgah di suatu kaum, dan kami meminta mereka agar menjamu kami tapi
mereka menolaknya. Lalu pemimpin mereka terkena sengatan hewan, maka mereka
mendatangi kami, dan mengatakan: “Adakah diantara kalian yg bisa meruqyah
sakit karena sengatan Kalajengking?”. Maka ku jawab: “Ya, aku bisa, tapi
aku tidak akan meruqyahnya kecuali kalian memberi kami kambing”. Mereka
mengatakan: “Kami akan memberikan 30 kambing kepada kalian”. Maka kami menerima
tawaran itu, dan aku bacakan kepada (pemimpin)nya surat Alhamdulilah sebanyak 7
kali, maka ia pun sembuh, dan kami terima imbalan (30) kambing.
Abu Sa’id mengatakan: Lalu ada sesuatu yg mengganjal di hati kami
(dari langkah ini), maka kami mengatakan: “Jangan tergesa-gesa (dg imbalan
kambing ini), sampai kalian mendatangi Rosululloh -shollallohu alaihi
wasallam-.
Abu sa’id mengatakan: Maka ketika kami mendatangi beliau, aku
menyebutkan apa yg telah kulakukan. Beliau mengatakan: “Dari mana kau tahu,
bahwa (Alfatihah) itu Ruqyah?, ambillah kambingnya dan berilah aku bagian
darinya”. (HR. Tirmidzi [2063] dg redaksi ini, kisah ini juga diriwayatkan di
dalam shohih Bukhori [2276] dan shohih Muslim [2201]).
Hadits ini menjelaskan bolehnya kita me-ruqyah orang
kafir agar sakitnya sembuh, dan ini merupakan bentuk dari tindakan mendoakan
kebaikan untuk mereka dalam urusan dunia.
Diantara dalil dalam masalah ini adalah dibolehkannya kita
menjawab salamnya orang kafir, walaupun bolehnya hanya sebatas “wa’alaikum“,
sebagaimana sabda Nabi –shollallohu alaihi wasallam-:
إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَهْلُ الكِتَابِ فَقُولُوا: وَعَلَيْكُمْ
“Jika seorang Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) mengucapkan salam
kepada kalian, maka jawablah dg ucapan: “Wa’alaikum“. (HR. Bukhori
[5788], dan Muslim [4024])
Ada juga contoh dari salah seorang Sahabat Nabi dalam masalah ini:
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ الْجُهَنِيِّ: أَنَّهُ مَرَّ بِرَجُلٍ
هَيْئَتُهُ هَيْئَةُ مُسْلِمٍ، فَسَلَّمَ فَرَدَّ عَلَيْهِ: وَعَلَيْكَ وَرَحْمَةُ
اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ. فَقَالَ لَهُ الْغُلَامُ: إِنَّهُ نَصْرَانِيٌّ! فَقَامَ
عُقْبَةُ فَتَبِعَهُ حَتَّى أَدْرَكَهُ. فَقَالَ: إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ
وَبَرَكَاتَهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ، لَكِنْ أَطَالَ اللَّهُ حَيَاتَكَ،
وَأَكْثَرَ مالك، وولدك
Uqbah bin Amir al-Juhani -rodhiallohu anhu- menceritakan: bahwa
dia pernah berpapasan dg seseorang yg gayanya seperti muslim, lalu orang
tersebut memberi salam kepadanya, maka ia pun menjawabnya dengan ucapan:
“wa’alaika wa rohmatulloh wabarokatuh”… Maka pelayannya mengatakan padanya: Dia
itu seorang nasrani!… Lalu Uqbah pun beranjak dan mengikutinya hingga ia
mendapatkannya, maka ia mengatakan: “Sesungguhnya rahmat dan berkah Allah itu
untuk Kaum Mukminin, akan tetapi semoga Allah memanjangkan umurmu, dan
memperbanyak harta dan anakmu” (HR. Bukhori dalam kitabnya Adabul Mufrod
1/430, dan dihasankan oleh Syeikh Albani)
Banyak ulama yg memberi batasan: bahwa orang kafir yg didoakan
kebaikan, harus bukan dalam kategori kafir harbi (yakni kafir
yg memerangi Kaum Muslimin)… Dan ini sangatlah tepat… Syeikh Albani -rohimahulloh- mengatakan:
ولكن لا بد أن يلاحظ الداعي أن لا يكون الكافر عدواً للمسلمين
Akan tetapi, orang yg mendoakan kebaikan harus memperhatikan,
bahwa orang kafir tersebut bukanlah musuh (perang) bagi Kaum Muslimin. (Ta’liq
Kitab Adab Mufrod 1/430).
KETIGA: Mendoakan agar dosa mereka diampuni, setelah mereka mati
dalam keadaan kafir.
Para ulama telah sepakat (Ijma’) bahwa hal ini diharamkan:
قال النووي رحمه الله : وأما الصلاة على الكافر والدعاء له بالمغفرة
فحرام بنص القرآن والإجماع
Imam Nawawi -rohimahulloh- mengatakan: “Adapun menyolati orang
kafir, dan mendoakan agar diampuni dosanya, maka ini merupakan perbuatan haram,
berdasarkan nash Alqur’an dan Ijma’. (al-Majmu’ 5/120).
وقال ابن تيمية رحمه الله: إن الاستغفار للكفار لا يجوز بالكتاب
والسنَّة والإجماع
Ibnu Taimiyah -rohimahulloh- juga mengatakan: Sesungguhnya
memintakan maghfiroh untuk orang-orang kafir tidak dibolehkan, berdasarkan
Alqur’an, Hadits, dan Ijma’. (Majmu’ul Fatawa 12/489)
Dan dalil paling tegas dalam masalah ini adalah firman Allah ta’ala:
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا
لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ
أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman,
memintakan ampun (kepada Allah) untuk orang-orang musyrik, walaupun orang-orang
musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya
orang-orang musyrik itu adalah penghuni (neraka) Jahim. (at-Taubah: 113)
KEEMPAT: Mendoakan agar diampuni dosanya ketika mereka masih
hidup.
Hal ini dibolehkan dg Dalil hadits berikut:
قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بن مسعود: كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَحْكِي نَبِيًّا مِنْ الْأَنْبِيَاءِ ضَرَبَهُ
قَوْمُهُ فَأَدْمَوْهُ وَهُوَ يَمْسَحُ الدَّمَ عَنْ وَجْهِهِ وَيَقُولُ
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِقَوْمِي فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
Abdullah bin Mas’ud mengatakan: “Seakan-akan aku sekarang melihat
Nabi -shollallohu alaihi wasallam- bercerita tentang seorang Nabi, yg dipukul
oleh kaumnya hingga bercucur darah, dan ia mengusap darah tersebut dari
wajahnya, tp ia tetap mengatakan: “Ya Allah, ampunilah kaumku, karena
sesungguhnya mereka itu tidak tahu”. (HR. Bukhori 3477).
Memang Hadits ini tidak tegas mengatakan bahwa Nabi yg mendoakan
ampunan tersebut adalah Nabi Muhammad –shollallohu alaihi wasallam-…
Namun ada riwayat lain yg tegas mengatakan bahwa doa tersebut juga diucapkan
oleh Nabi kita Muhammad –shollallohu alaihi wasallam– kepada kaumnya yg
masih kafir:
عن سهل بن سعد قال: شهدت النبي – صلى الله عليه وسلم – حين كُسِرت
رباعِيتُهُ وجُرح وجهه وهُشمت البيضة على رأسه، وإني لأعرف من يغسل الدم عن وجهه،
ومن ينقل عليه الماء، وماذا جعل على جرحه حتى رقأ الدم؛ كانت فاطمة بنت محمد رسول
الله – صلى الله عليه وسلم – له تغسل الدم عن وجهه، وعلي- رضي الله عنه- ينقل
الماء إليها في مِجنَّةٍ، فلما غسلت الدم عن وجه أبيها أحرقت حصيراً، حتى إذا صارت
رماداً أخذت من ذلك الرماد، فوضعته على وجهه حتى رقأ الدم، ثم قال يومئذ: اشتد غضب
الله على قوم كلموا وجه رسول الله – صلى الله عليه وسلم. ثم مكث ساعة، ثم قال:
اللهم! اغفر لقومي؛ فإنهم لا يعلمون
Sahal bin sa’ad mengatakan: Aku telah menyaksikan Nabi
-shollallohu alaihi wasallam- saat gigi serinya patah, wajahnya terluka, dan
helm perang di kepalanya pecah… sungguh aku juga tahu siapa yg mencuci darah
dari wajahnya, siapa yg mendatangkan air kepadanya, dan apa yg ditempatkan
dilukanya hingga darahnya mampet… Adalah Fatimah putri Muhammad utusan Allah yg
mencuci darah dari wajah, dan Ali -rodliallohu anhu- yg mendatangkan air dalam
perisai… maka ketika Fatimah mencuci darah dari wajah ayahnya, dia membakar
tikar, sehingga ketika telah menjadi abu, ia mengambil abu itu, lalu menaruhnya
di wajah beliau, hingga darahnya mampet… ketika itu beliau mengatakan: “Telah
memuncak kemurkaan Allah atas kaum yg melukai wajah Rosulullah”… lalu beliau
diam sebentar, dan mengatakan: “Ya Allah ampunilah kaumku, karena
sesungguhnya mereka itu tidak tahu”. (HR. Tobaroni, dan Syeikh Albani dalam
Silsilah Shohihah [7/531] mengatakan: Sanadnya Hasan atau Shohih).
Diantara dalil dalam masalah ini adalah Mafhum Mukholafah dari
firman Allah berikut:
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا
لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ
أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ (*) وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ
لِأَبِيهِ إِلَّا عَنْ مَوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ
أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَأَوَّاهٌ حَلِيمٌ
Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman,
memintakan ampun (kepada Allah) untuk orang-orang musyrik, walaupun orang-orang
musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka,
bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni (neraka) jahim. Dan
permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain
hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu.
Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah,
maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang
yang sangat lembut hatinya lagi penyantun. (at-Taubah: 113-114)
Ayat ini mengaitkan “larangan memintakan ampun untuk Kaum
Musyrikin”, dg keadaan “sesudah jelas bagi mereka bahwa orang-orang musyrik itu
adalah penghuni neraka”. Sehingga sebelum jelas menjadi penghuni neraka, boleh
di mintakan ampun… Dan telah shohih dari Ibnu Abbas, bahwa
maksud dari firman Allah yg artinya: “Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa
bapaknya itu adalah musuh Allah” adalah “setelah mati dalam keadaan kufur”.
Sehingga sebelum kematiannya, masih boleh dimintakan ampun.
Berikut Atsar dari Ibnu Abbas tersebut:
عن سعيد بن جبير قال : توفى أبو رجل ، وكان يهوديا ، فلم يتبعه ابنه
، فذكر ذلك لابن عباس ، فقال ابن عباس : وما عليه، لو غسله ، واتبعه ، واستغفر له
ما كان حيا… ثم قرأ ابن عباس (فلما تبين له أنه عدو لله تبرأ منه) * يقول : لما
مات على كفره
Sa’id bin Jubair mengatakan: Ada salah seorang ayah meninggal, dan
dia seorang yahudi, sehingga putranya (yg muslim) tidak mengikuti (jenazah)nya,
lalu hal itu diceritakan kepada Ibnu Abbas, maka beliau mengatakan: “Tidak
sepatutnya ia melakukannya, (alangkah baiknya) apabila ia memandikannya,
mengikuti (jenazah)nya, dan memintakan ampun baginya ketika masih hidup…
kemudian Ibnu Abbas membaca ayat (yg artinya): “Maka, tatkala jelas bagi
Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, ia pun berlepas diri darinya”,
maksudnya: “ketika ia mati dalam keadaan kafir”. (Mushonnaf Abdurrozzaq 6/39).
Dan kesimpulan bolehnya memintakan ampun bagi orang-orang kafir
selama masih hidup ini, juga banyak dinyatakan oleh para ulama, diantaranya:
Imam At-Thobari –rohimahulloh-, beliau mengatakan dalam
tafsirnya:
وقد تأول قوم قول الله: {ما كان للنبي والذين آمنوا أن يستغفروا
للمشركين ولو كانوا أولى قربى}… الآية، أن النهي من الله عن الاستغفار للمشركين
بعد مماتهم، لقوله: {من بعد ما تبين لهم أنهم أصحاب الجحيم} وقالوا: ذلك لا يتبينه
أحد إلا بأن يموت على كفره، وأما هو حي فلا سبيل إلى علم ذلك، فللمؤمنين أن
يستغفروا لهم
Sekelompok ulama’ telah menafsiri firman Allah (yg artinya): Tidak
sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman, memintakan ampun (kepada
Allah) untuk orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum
kerabat(nya)… -hingga akhir ayat-; bahwa larangan dari Allah untuk memintakan
ampun bagi kaum musyrikin adalah setelah matinya mereka (dalam keadaan kafir),
karena firman-Nya (yg artinya): “sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya
orang-orang musyrik itu adalah penghuni (neraka) jahim”. Mereka mengatakan:
“alasannya, karena tidak ada yg bisa memastikan (bahwa dia ahli neraka),
kecuali setelah ia mati dalam kekafirannya, adapun saat ia masih hidup,
maka tidak ada yg bisa mengetahui hal itu, sehingga dibolehkan bagi Kaum
Mukminin untuk memintakan ampun bagi mereka. (Tafsir Thobari 12/26)
Dan inilah pendapat yg dipilih oleh beliau dalam tafsirnya. (lihat
Tafsir Thobari 12/28)
Imam Al-Qurtubi juga mengatakan dalam tafsirnya:
وَقَدْ قَالَ كَثِيرٌ مِنَ الْعُلَمَاءِ: لَا بَأْسَ أَنْ يَدْعُوَ
الرَّجُلُ لِأَبَوَيْهِ الْكَافِرَيْنِ وَيَسْتَغْفِرَ لَهُمَا مَا دَامَا
حَيَّيْنِ. فَأَمَّا مَنْ مَاتَ فَقَدِ انْقَطَعَ عَنْهُ الرَّجَاءُ فَلَا يُدْعَى
لَهُ. قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: كَانُوا يَسْتَغْفِرُونَ لِمَوْتَاهُمْ فَنَزَلَتْ
فَأَمْسَكُوا عَنِ الِاسْتِغْفَارِ وَلَمْ يَنْهَهُمْ أَنْ يَسْتَغْفِرُوا
لِلْأَحْيَاءِ حَتَّى يَمُوتُوا
Banyak ulama mengatakan: Tidak mengapa bagi seorang (muslim)
mendoakan kedua orang tuanya yg kafir, dan memintakan ampun bagi keduanya
selama mereka masih hidup. Adapun orang yg sudah meninggal, maka telah terputus
harapan (untuk diampuni dosanya). Ibnu Abbas mengatakan: “Dahulu orang-orang
memintakan ampun untuk orang-orang mati mereka, lalu turunlah ayat, maka mereka
berhenti dari memintakan ampun. Namun mereka tidak dilarang untuk
memintakan ampun bagi orang-orang yg masih hidup hingga mereka meninggal”.
(Tafsir Qurtubi 10/400)
Inilah pendapat paling kuat dalam masalah ini, karena bersandarkan
dalil dari Alqur’an, Hadits, dan Perkataan Shahabat… Karenanya banyak dari
kalangan ulama, memilih pendapat ini… Namun ada dua hal yg perlu
digaris bawahi di sini:
– Bahwa yg lebih afdhol adalah mendoakan orang yg
kafir agar diberikan hidayah masuk Islam… Karena inilah yg sering dilakukan
oleh Nabi –shollallohu alaihi wasallam-, dan inilah yg telah disepakati
bolehnya oleh para ulama.
– Ampunan yg sempurna tidak akan diberikan kepada orang kafir,
selama dia masih kafir… Sehingga arti dari doa meminta ampunan untuk mereka
adalah: ampunan dari sebagian dosa selain kesyirikan dan kekafirannya, atau
ampunan untuk semua dosanya dengan jalan diberi hidayah dahulu untuk masuk
Islam.
Sekian… wallohu ta’ala a’lam… dan semoga bermanfa’at.
washollallohu wasallama wabaaroka ala Nabiyyina Muhammadin, wa
‘ala aalihi wa shohbihi wa man tabi’ahum bi ihsanin, ila yaumiddin…
walhamdulillahi robbil alamin.
Artikel www.KonsultasiSyariah.com
0 komentar:
Posting Komentar