Pertanyaan:
Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh
Ustadz mau tanya, apakah ada hadits yang menyatakan bahwa derajat orang yang suka tahlilan lebih rendah dari pada seorang pelacur?
Ustadz mau tanya, apakah ada hadits yang menyatakan bahwa derajat orang yang suka tahlilan lebih rendah dari pada seorang pelacur?
(0274- 7829942)
Jawab:
Wa’alaikumus salam wa rahmatullah wa barakatuh
Wa’alaikumus salam wa rahmatullah wa barakatuh
Sampai saat ini kami belum menjumpai hadits Nabi yang isinya
sebagaimana yang ditanyakan. Namun mungkin yang dimaksudkan adalah perkataan
seorang tabiin bernama Sufyan ats Tsauri:
قال وسمعت يحيى بن يمان يقول سمعت سفيان يقول : البدعة أحب إلى إبليس
من المعصية المعصية يتاب منها والبدعة لا يتاب منها
Ali bin Ja’d mengatakan bahwa dia mendengar Yahya bin Yaman
berkata bahwa dia mendengar Sufyan (ats Tsauri) berkata, “Bid’ah itu lebih
disukai Iblis dibandingkan dengan maksiat biasa. Karena pelaku maksiat itu
lebih mudah bertaubat. Sedangkan pelaku bid’ah itu sulit bertaubat”
(Diriwayatkan oleh Ibnu Ja’d dalam Musnadnya no 1809 dan Ibnul
Jauzi dalam Talbis Iblis hal 22).
Faktor terpenting yang mendorong seseorang untuk bertaubat
adalah merasa berbuat salah dan merasa berdosa. Perasaan ini banyak
dimiliki oleh pelaku kemaksiatan tapi tidak ada dalam hati orang yang gemar
dengan bid’ah. Oleh karena itu, bagaimana mungkin seorang pelaku bid’ah
bertaubat ketika dia tidak merasa salah bahkan dia merasa mendapat pahala dan
mendekatkan diri kepada Allah dengan bid’ah yang dia lakukan.
Mungkin berdasarkan perkataan Sufyan ats Tsauri ini ada orang yang
berkesimpulan bahwa orang yang melakukan bid’ah semisal tahlilan itu lebih
rendah derajatnya dibandingkan yang melakukan maksiat semisal melacurkan diri.
Muhammad bin Husain al Jizani ketika menjelaskan poin-poin
perbedaan antara maksiat dan bid’ah mengatakan, “Oleh karena itu maksiat
memiliki kekhasan berupa ada perasaan menginginkan bertaubat dalam diri pelaku
maksiat. Ini berbeda dengan pelaku bid’ah. Pelaku bid’ah hanya semakin mantap
dengan terus menerus melakukan kebid’ahan karena dia beranggapan bahwa amalnya
itu mendekatkan dirinya kepada Allah, terlebih para pemimpin kebid’ahan besar.
Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah,
أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآَهُ حَسَنًا
“Maka Apakah orang yang dijadikan (syaitan) menganggap baik
pekerjaannya yang buruk lalu Dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan
orang yang tidak ditipu oleh syaitan)?” (Qs. Fathir:8)
Sufyan ats Tsauri mengatakan, “Bid’ah itu lebih disukai Iblis
dibandingkan dengan maksiat biasa. Karena pelaku maksiat itu lebih mudah
bertaubat. Sedangkan pelaku bid’ah itu sulit bertaubat”.
Dalam sebuah atsar (perkataan salaf) Iblis berkata, “Kubinasakan
anak keturunan Adam dengan dosa namun mereka membalas membinasakanku dengan
istighfar dan ucapan la ilaha illallah. Setelah kuketahui hal tersebut maka
kusebarkan di tengah-tengah mereka hawa nafsu (baca:bid’ah). Akhirnya mereka
berbuat dosa namun tidak mau bertaubat karena mereka merasa sedang berbuat
baik” [lihat al Jawab al Kafi 58, 149-150 dan al I’tisham 2/62].
Oleh karena itu secara umum bid’ah itu lebih berbahaya
dibandingkan maksiat. Hal ini dikarenakan pelaku bid’ah itu merusak agama.
Sedangkan pelaku maksiat sumber kesalahannya adalah karena mengikuti keinginan
yang terlarang. [al Jawab al Kafi hal 58 dan lihat Majmu
Fatawa 20/103].
Ketentuan ini hanya bernilai benar dan berlaku jika tidak ada
indikator dan kondisi yang menyebabkan berubahnya status sebuah maksiat atau
bid’ah.
Di antara contoh untuk indikator dan kondisi yang dimaksudkan
adalah sebagai berikut. Sebuah penyimpangan baik berbentuk maksiat atau bid’ah
akan besar dosanya jika dilakukan secara terus menerus, diiringi sikap meremehkan,
anggapan kalau hal itu dibolehkan, dilakukan secara terang terangan atau sambil
mengajak orang lain untuk melakukannya. Demikian pula sebuah maksiat atau
bid’ah itu nilai dosanya berkurang jika dilakukan sambil sembunyi-sembunyi,
tidak terus menerus atau penyesalan dan taubat.
Contoh lain untuk indikator adalah sebuah penyimpangan itu semakin
besar dosanya jika bahaya yang ditimbulkannya semakin besar. Penyimpangan yang
merusak prinsip-prinsip pokok agama itu dosanya lebih besar dari pada yang
merusak hal-hal parsial dalam agama. Demikian pula, sebuah penyimpangan yang
merusak agama itu lebih besar dosanya dibandingkan penyimpangan yang sekedar
merusak jiwa.
Ringkasnya, ketika kita akan membandingkan bid’ah dengan maksiat maka kita
harus memperhatikan situasi dan keadaan, menimbang manfaat dan bahaya dari
komparasi tersebut dan memikirkan efek yang mungkin terjadi di kemudian hari
dari pembandingan tersebut.
Penjelasan mengenai bahaya bid’ah dan ungkapan hiperbola untuk
menunjukkan betapa ngerinya bid’ah sepatutnya tidaklah menyebabkan-pada saat
ini atau di kemudian hari-sikap meremehkan dan menyepelekan maksiat.
Sebaliknya, penjelasan mengenai bahaya maksiat dan ungkapan hiperbola untuk menunjukkan betapa ngerinya maksiat sepatutnya tidaklah menyebabkan-pada saat ini atau di kemudian hari-sikap meremehkan dan menyepelekan bid’ah.” (Qawaid Ma’rifah al Bida’ hal 31-33, cetakan Dar Ibnul Jauzi Saudi Arabia).
Sebaliknya, penjelasan mengenai bahaya maksiat dan ungkapan hiperbola untuk menunjukkan betapa ngerinya maksiat sepatutnya tidaklah menyebabkan-pada saat ini atau di kemudian hari-sikap meremehkan dan menyepelekan bid’ah.” (Qawaid Ma’rifah al Bida’ hal 31-33, cetakan Dar Ibnul Jauzi Saudi Arabia).
Penjelasan di atas sangat perlu dilakukan oleh setiap orang yang
ingin mengingatkan orang lain akan bahaya bid’ah supaya kita menjadi sebab
terbukanya pintu-pintu keburukan tanpa kita sadari.
0 komentar:
Posting Komentar