Assalam mu’alaikum ustad
Urtad saya mau tanya, saya punya temen perempuan dia di paksa menikah dia dah blng gak mau tp trs d srh menikah dngan pilihan ibuknya trs terpaksa dia menikah setelah menikah dia merasa benci ama suaminya dan dia melihat suaminya aja males dan dia tidak mau di sentuh suaminya dan dia ingin cerai tp dia takut kl nama kluarganya jelek di mata tetanganya
pertanya’an saya ustad
1. apakah pernikahan itu sah apa tidak
2. apakah temen saya berdosa karena membenci suaminya
3. apakah yang hrs di lakukan temenen saya
4. apakah orang tuwanya berdosa karena menjodohkan anaknya
Urtad saya mau tanya, saya punya temen perempuan dia di paksa menikah dia dah blng gak mau tp trs d srh menikah dngan pilihan ibuknya trs terpaksa dia menikah setelah menikah dia merasa benci ama suaminya dan dia melihat suaminya aja males dan dia tidak mau di sentuh suaminya dan dia ingin cerai tp dia takut kl nama kluarganya jelek di mata tetanganya
pertanya’an saya ustad
1. apakah pernikahan itu sah apa tidak
2. apakah temen saya berdosa karena membenci suaminya
3. apakah yang hrs di lakukan temenen saya
4. apakah orang tuwanya berdosa karena menjodohkan anaknya
Dari Ari Wawan
Jawaban:
Wa ‘alaikumus salam
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Alhamdulillah, kasus ini sudah mulai menghilang. Jejak nasib siti nurbaya,
ternyata tidak menular. Meskipun masih ada beberapa korban kedzaliman wali
orang tua, yang terkadang dilatar belakangi sifat tamak orang tua terhadap
harta anaknya.
Kita bisa mencatat beberapa hal mengenai kasus ini,
Pertama, haram bagi wali seorang wanita untuk memaksanya menikah
dengan lelaki yang tidak dia cintai. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan
tentang tugas wali terhadap putrinya sebelum menikah,
لَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ
“Gadis tidak boleh dinikahkan sampai dia dimintai izin.” (HR.
Bukhari 6968 & Muslim 1419).
Hadis ini dipahami para ulama berlaku untuk semua gadis dan semua
wali. Karena itu, Imam Bukhari memberi judul hadis ini dengan pernyataan,
باب لا يُنكح الأبُ وغيره البكرَ والثَّيِّبَ ، إلا برضاهما
Ayah maupun wali lainnya tidak boleh menikahkan seorang gadis
maupun janda, kecuali dengan keridhaannya. (Shahih Bukhari, bab ke-41).
Memaksa anak perempuan untuk menikah dengan lelaki yang tidak
dicintai, sejatinya kedzaliman. Dari mana si wanita bisa merasakan kebahagiaan,
sementara dia harus bersama orang yang tidak dia cintai. Karena tujuan utama
menikah adalah untuk mewujudkan kebahagiaan kedua belah pihak. Kedua pasangan
suami istri. Bukan kebahagiaan orang tua.
Karena itu, Syaikhul Islam menganggap sangat aneh adanya
kasus pemaksaan dalam pernikahan. Beliau mengatakan,
وأمَّا تزويجها مع كراهتها للنكاح ، فهذا مخالف للأصول والعقول ،
والله لم يُسوِّغ لوليها أن يُكرهها على بيع أو إجارة إلا بإذنها ، ولا على طعام ،
أو شراب ، أو لباس ، لا تريده ، فكيف يكرهها على مباضعة ومعاشرة من تكره مباضعته !
، ومعاشرة من تكره معاشرته !.
والله قد جعل بين الزوجين مودةً ورحمة ، فإذا كان لا يحصل إلا مع
بغضها له ونفورها عنه ، فأيُّ مودةٍ ورحمةٍ في ذلك !!
“Menikahkan anak
perempuan padahal dia tidak menyukai pernikahan itu, adalah tindakan yang
bertentangan dengan prinsip agama dan logika sehat. Allah tidak pernah
mengizinkan wali wanita untuk memaksanya dalam transaksi jual beli, kecuali
dengan izinnya. Demikian pula, ortu tidak boleh memaksa anaknya untuk makan
atau minum atau memakai baju, yang tidak disukai anaknya. Maka bagaimana
mungkin dia tega memaksa anaknya untuk berhubungan dan bergaul dengan lelaki
yang tidak dia sukai berhubungan dengannya. Allah menjadikan rasa cinta dan
kasih sayang diantara pasangan suami istri. Jika pernikahan ini terjadi dengan
diiringi kebencian si wanita kepada suaminya, lalu dimana ada rasa cinta dan
kasih sayang??” (Majmu’ Fatawa, 32/25).
Kedua, status pernikahan
Ketika orang tua memaksa putrinya untuk menikah, maka status
pernikahan tergantung kepada kerelaan pengantin wanita. Jika dia rela dan
bersedia dengan pernikahannya maka akadnya sah. Jika tidak rela, akadnya batal.
Buraidah bin Hashib radhiyallahu ‘anhu menceritakan,
Ada seorang wanita yang mengadukan sikap ayahnya kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia mengatakan,
“Ayahku memaksa aku menikah dengan keponakannya. Agar dia terkesan
lebih mulia setelah menikah denganku.”
Kata sahabat Buraidah, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan
urusan pernikahan itu kepada si wanita.”
Kemudian wanita ini mengatakan,
قَدْ أَجَزْتُ مَا صَنَعَ أَبِي ، وَلَكِنْ أَرَدْتُ أَنْ تَعْلَمَ
النِّسَاءُ أَنْ لَيْسَ إِلَى الْآبَاءِ مِنْ الْأَمْرِ شَيْءٌ
Sebenarnya aku telah merelakan apa yang dilakukan ayahku. Hanya
saja, aku ingin agar para wanita mengetahui bahwa ayah sama sekali tidak punya
wewenang memaksa putrinya menikah. (HR. Ibn Majah 1874, dan dishahihkan oleh
al-Wadhi’I dalam al-Shahih al-Musnad, hlm. 160).
Dan ketika si wanita tidak bersedia dan tidak rela dengan
pernikahannya, dia tidak boleh untuk berduaan dengan suaminya, demikian pula
sebaliknya, suami tidak boleh meminta istrinya untuk berduaan bersamanya. Ini
berlaku selama dia tidak ridha dengan pernikahannya.
Ketiga, sekalipun dia tidak ridha, tapi tidak otomatis pisah
Dalam arti, perpisahan harus dilakukan melalui ucapan talak yang
dilontarkan suami atau istri menggugat ke Pengadilan, untuk dilakukan fasakh.
Mengingat ada sebagian ulama yang menilainya sebagai pernikahan yang sah.
Sehingga yang bisa dilakukan wanita ini, meminta suaminya
untuk mengucapkan kata cerai. Atau dia mengajukan ke pengadilan agar diceraikan
hakim (fasakh).
Ada pertanyaan yang diajukan kepada Lajnah Daimah,
“Bagaimana hukum islam untuk wanita yang dinikahkan paksa
ortunya.”
Jawaban Lajnah,
إذا لم ترض بهذا الزواج ، فترفع أمرها إلى المحكمة ، لتثبيت العقد أو
فسخه
“Jika dia tidak rela dengan pernikahannya, dia bisa mengajukan
masalahnya ke pengadilan, untuk ditetapkan apakah akadnya dilanjutkan ataukah
difasakh.” (Fatwa Lajnah, 18/126)
Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan
Pembina Konsultasisyariah.com)
0 komentar:
Posting Komentar