Renungan yang sangat berharga
untuk kali ini,
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ
وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ
الْمُحْسِنِينَ
“(yaitu) orang-orang yang
menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang
yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebajikan..”
(QS. Ali Imran: 134)
Ada tiga sifat mulia yang
hendaknya dimiliki setiap muslim dari ayat di atas.
Pertama:
Rajin Bersedekah
Ia dalam keadaan susah dan
lapang, sehat dan sakit serta dalam setiap kondisi tetap berusaha untuk
bersedekah.
Kata Ibnul Jauzi rahimahullah dalam Zaad Al-Masiir (1: 460), Ibnu ‘Abbas berkata
bahwa mereka berinfak baik dalam keadaan susah maupun lapang. Sedangkan maksud
ayat adalah mereka tetap bersedekah dan tidak lupa untuk bersedekah saat dalam
keadaan lapang. Ketika susah pun, mereka tetap bersedekah. Artinya, lepas dari
mereka sifat pelit.
Kata Syaikh ‘Abdurrahman bin
Nashir As-Sa’di rahimahullah, “Saat sulit tetap sedekah, saat
lapang juga bersedekah. Jika berada dalam keadaan lapang, ia perbanyak
sedekahnya. Jika dalam keadaan sulit, ia tetap berbuat baik walau sedikit.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hlm. 148)
Dalam ayat lainnya disebutkan mengenai
balasan dari orang yang rajin sedekah,
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ بِاللَّيْلِ
وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا
خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Orang-orang yang menafkahkan
hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan,
maka mereka mendapat pahala di sisi Rabbnya. Tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 274)
Ada motivasi untuk bersedekah
dalam keadaan sehat yaitu disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah, ia berkata
bahwa ada seseorang yang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ الصَّدَقَةِ أَعْظَمُ أَجْرًا
قَالَ أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ ، تَخْشَى الْفَقْرَ وَتَأْمُلُ
الْغِنَى ، وَلاَ تُمْهِلُ حَتَّى إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ قُلْتَ لِفُلاَنٍ
كَذَا ، وَلِفُلاَنٍ كَذَا ، وَقَدْ كَانَ لِفُلاَنٍ
“Wahai Rasulullah, sedekah yang
mana yang lebih besar pahalanya?” Beliau menjawab, “Engkau bersedekah pada saat
kamu masih sehat disertai pelit (sulit mengeluarkan harta), saat kamu takut
menjadi fakir, dan saat kamu berangan-angan menjadi kaya. Dan janganlah engkau
menunda-nunda sedekah itu hingga apabila nyawamu telah sampai di tenggorokan,
kamu baru berkata, “Untuk si fulan sekian dan untuk fulan sekian, dan harta itu
sudah menjadi hak si fulan.”
(Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 1419 dan Muslim
no. 1032).
Yang dimaksud keadaan sehat di
sini adalah dalam keadaan tidak tertimpa sakit. Adapun pelit atau syahih yang
dimaksud adalah pelit ditambah punya rasa tamak.
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan bahwa orang pelit itu
ketika dalam keadaan sehat jika ia berbaik hati bersedekah dalam keadaan sehat
seperti itu, maka terbuktilah akan benarnya niatnya dan besarnya pahala yang
diperoleh. Hal ini berbeda dengan orang yang bersedekah saat menjelang akhir
hayat atau sudah tidak ada harapan lagi untuk hidup, maka sedekah ketika itu
masih terasa kurang berbeda halnya ketika sehat. (Syarh Shahih Muslim, 7: 112)
Ada juga keutamaan bersedekah
dalam keadaan susah. Dari Abu Hurairah dan ‘Abdullah bin Hubsyi Al Khots’ami,
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya sedekah mana yang
paling afdhol. Jawab beliau,
جَهْدُ الْمُقِلِّ
“Sedekah dari orang yang serba
kekurangan.” (HR. An-Nasa’I,
no. 2526. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Hadits di atas ada beberapa
tafsiran. Ada ulama yang mengatakan maksudnya adalah keutamaan sedekah saat
susah. Ada yang mengatakan bahwa sedekah tersebut dilakukan dalam keadaan hati
yang senantiasa “ghina” yaitu penuh kecukupan. Ada juga
yang mengatakan maksudnya adalah bersedekah dalam keadaan miskin dan sabar
dengan kelaparan. (Lihat ‘Aun Al-Ma’bud, 4: 227)
Dalam hadits disebutkan,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَبَقَ دِرْهَمٌ مِائَةَ أَلْفِ دِرْهَمٍ
قَالُوا وَكَيْفَ قَالَ كَانَ لِرَجُلٍ دِرْهَمَانِ تَصَدَّقَ بِأَحَدِهِمَا
وَانْطَلَقَ رَجُلٌ إِلَى عُرْضِ مَالِهِ فَأَخَذَ مِنْهُ مِائَةَ أَلْفِ دِرْهَمٍ
فَتَصَدَّقَ بِهَا
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Satu dirham dapat mengungguli
seratus ribu dirham“.
Lalu ada yang bertanya, “Bagaimana itu bisa terjadi wahai Rasulullah?” Beliau
jelaskan, “Ada seorang yang memiliki dua
dirham lalu mengambil satu dirham untuk disedekahkan. Ada pula seseorang
memiliki harta yang banyak sekali, lalu ia mengambil dari kantongnya seratus
ribu dirham untuk disedekahkan.”
(HR. An-Nasa’i no. 2527 dan Imam Ahmad 2: 379. Syaikh Al-Albani mengatakan
bahwa hadits ini hasan). Hadits ini menunjukkan
keutamaan sedekah dari orang yang susah dibanding dengan orang yang memiliki
harta melimpah.
Kedua:
Menahan Amarah
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir
As-Sa’di rahimahullah berkata, jika ada yang ingin
mengobarkan amarah sampai dalam hati penuh dendam, inginnya membalas dengan
perkataan dan perbuatan, maka mereka yang dipuji dalam ayat ini tidak
mempraktikkan apa yang diinginkan hawa nafsu mereka. Mereka berusaha menahan
amarah. Mereka berusaha sabar ketika disakiti oleh orang lain. (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hlm. 148)
Dalam puasa pun kita diajarkan
untuk bisa menahan amarah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ ، فَلاَ
يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ ، فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ ، أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ
إِنِّى امْرُؤٌ صَائِمٌ
“Jika salah seorang dari kalian
sedang berpuasa, maka janganlah berkata-kata kotor, dan jangan pula bertindak
bodoh. Jika ada seseorang yang mencelanya atau mengganggunya, hendaklah
mengucapkan: sesungguhnya aku sedang berpuasa.” (HR. Bukhari, no. 1904;
Muslim, no. 1151)
Lihatlah balasan untuk orang yang
ingin mencela kita sehingga bisa membangkitkan amarah adalah dengan sabar dan
balas dengan tutur kata yang baik.
Ibnu Batthal mengatakan,
“Ketahuilah bahwa tutur kata yang baik dapat menghilangkan permusuhan dan
dendam kesumat. Lihatlah firman Allah Ta’ala,
ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي
بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ
“Tolaklah (kejelekan itu) dengan
cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada
permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS. Fushilat: 34-35). Menolak
kejelekan di sini bisa dengan perkataan dan tingkah laku yang baik.” (Syarh Al-Bukhari,
17: 273)
Keutamaan menahan marah
disebutkan dalam hadits dari Mu’adz bin Anas, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَظَمَ غَيْظًا – وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ
يُنْفِذَهُ – دَعَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُءُوسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللَّهُ مِنَ الْحُورِ مَا شَاءَ
“Siapa yang dapat menahan
marahnya padahal ia mampu untuk meluapkannya, maka Allah akan memanggilnya di
hadapan para makhluk pada hari kiamat sehingga orang itu memilih bidadari
cantik sesuka hatinya.”
(HR. Abu Daud no. 4777 dan Ibnu Majah no. 4186. Al-Hafizh Abu Thahir
mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)
Orang yang kuat bukanlah orang
yang pandai bergelut. Yang kuat, itulah yang kuat menahan marahnya. Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ
الَّذِى يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Yang namanya kuat bukanlah
dengan pandai bergelut. Yang disebut kuat adalah yang dapat menguasai dirinya
ketika marah.” (HR. Bukhari, no.
6114; Muslim, no. 2609)
Ketiga:
Mudah Memaafkan
Yang dimaksud di sini adalah
mudahkan memaafkan orang yang menyakiti kita dengan perkataan dan perbuatan.
Memaafkan itu lebih utama dari sekedar menahan amarah. Memaafkan itu berarti
tidak ingin membalas dan tetap berbuat baik pada yang berbuat jahat pada kita.
Tentu yang mudah memaafkan adalah orang yang memiliki akhlak yang luar biasa.
Tentu yang diharap dari memaafkan di sini adalah pahala di sisi Allah, bukan
balasan dari manusia. Allah Ta’ala berfirman,
فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ
“Maka barang siapa memaafkan dan
berbuat baik maka pahalanya di sisi Allah.” (QS. Asy-Syura: 40). Demikian dijelaskan oleh Syaikh As-Sa’di
dalam Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hlm. 148.
Orang yang pemaaf yang tidak mau
membalas dipuji oleh Rasul dalam hadits saat beliau memberikan wasiat pada
Jabir bin Sulaim,
وَإِنِ امْرُؤٌ شَتَمَكَ وَعَيَّرَكَ بِمَا يَعْلَمُ
فِيكَ فَلاَ تُعَيِّرْهُ بِمَا تَعْلَمُ فِيهِ فَإِنَّمَا وَبَالُ ذَلِكَ عَلَيْهِ
“Jika ada seseorang yang
menghinamu dan mempermalukanmu dengan sesuatu yang ia ketahui ada padamu, maka
janganlah engkau membalasnya dengan sesuatu yang engkau ketahui ada padanya.
Akibat buruk biarlah ia yang menanggungnya.” (HR. Abu Daud, no. 4084; Tirmidzi, no. 2722. Al-Hafizh Abu
Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Al-Hafizh Ibnu Hajar menyatakan
bahwa hadits ini shahih).
Intinya semua yang dicontohkan di
atas adalah bentuk berbuat ihsan (berbuat baik) pada sesama.
Hanya Allah yang memberi taufik
untuk meraih tiga akhlak mulia di atas.
—
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Rumaysho.Com, Channel Telegram @RumayshoCom,
@DarushSholihin, @UntaianNasihat, @RemajaIslam
0 komentar:
Posting Komentar