Mengapa nikah beda agama dilarang? Agama kan hanya status
seseorang, apa kaitannya dengan keberlangsungan rumah tangga?
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Polemik nikah beda agama bukan polemik baru. Itu isu lama yang kembali
mencuat. Memang benar apa kata orang, sejarah akan mengulang kejadian
sebelumnya. Karena itu, kehadiran beberapa orang yang kembali meneriakkan
masalah ini, hanya membeo para moyangnya yang memiliki pemikiran yang sama.
Terkait pertanyaan yang anda sampaikan, ada beberapa catatan yang
bisa kita perhatikan,
Pertama, nikah beda agama tidak dilarang secara mutlak. Karena islam
membolehkan seorang lelaki muslim menikah dengan wanita ahli kitab – yahudi
atau nasrani – yang menjaga kehormatan dan bukan wanita nakal. Allah berfirman,
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ
الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ
قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ
وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ
Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan
kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang
menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan
wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang yang diberi kitab sebelum
kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya,
tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. (QS. Al-Maidah: 5)
Karena itu, mengatakan bahwa nikah beda agama dilarang dalam islam
secara mutlak tanpa pengecualian, jelas kesalahan dan kedustaan atas nama
syariat.
Kedua, bahwa agama tidak hanya status semata. Namun status yang
sekaligus menjadi ideologi seseorang. Bagi sebagian orang yang kurang peduli
dengan agama, menganggap bahwa agama hanya status. Tidak ada beda antara satu
agama dengan lainnya. Karena semuanya agama. Anda bisa katakan, ini prinsip
orang ateis atau agnotis, yang tidak memahami hakekat agama. Jelas prinsip yang
sangat tidak relevan dengan realita di lapangan.
Setiap manusia memiliki status. Agama, kewarganegaraan, suku,
bahasa, daerah, hingga usia. Sebagian dicantumkan di KTP, seperti agama,
daerah, dan usia. Dan semua orang bisa membedakan antara status agama dengan
status kewarganegaraan atau suku, bahasa, daerah atau usia. Semakin agung
statusnya, semakin kuat usaha seseorang untuk membelanya.
Bagi orang yang menilai agama paling agung, pembelaan dia terhadap
agama akan lebih besar dibandingkan pembelaan terhadap negara, suku, bahasa
atau daerah. Demikian pula, bagi orang yang menilai status kewarganegaraan
lebih penting, maka upaya pembelaannya akan banyak tercurah ke sana, dan begitu
seterusnya.
Anda akan lebih marah ketika suku anda dihina dari pada tanggal
kelahiran anda dihina. Karena anda menganggap, suku lebih mulia dari pada
tanggal lahir. Padahal keduanya sama-sama status manusia. Namun status yang
satu lebih mulia, dibanding status lainnya.
Sebagai bangsa bernegara, kita diarahkan agar tidak terlalu
menonjolkan sentimen kesukuan. Karena ini bisa mengancam persatuan bangsa.
Sebagai manusia beragama, islam juga menyuruh kita untuk tidak menonjolkan
sentimen kesukuan, kebangsaan. Karena bisa mengancam persaudaraan sesama
muslim. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut tindakan
membangkan suku dengan seruan jahiliyah. Beliau bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ ضَرَبَ الخُدُودَ، وَشَقَّ الجُيُوبَ، وَدَعَا
بِدَعْوَى الجَاهِلِيَّةِ
Bukan termasuk golonganku, orang yang menampar pipi, atau merobek
baju (ketika keluarganya meninggal), dan orang yang menghidupkan seruan
jahiliyah. (HR. Bukhari 1298 dan Muslim 103)
Di sini kita hanya hendak menggaris bawahi, bahwa agama bukan
semata status. Agama adalah ideologi. Manusia rela melakukan apapun demi
ideologinya. Hingga ada orang yang rela memakan kotoran tokoh agamanya, tidak
lain karena dorongan ideologi agama. Karena itu, jangan remehkan status agama.
Agama tidak hanya status, tapi ideologi.
Ketiga, kita menyadari bahwa beragama bagian dari hak semua
manusia. Bahkan ini diatur dalam undang-undang di tempat kita. Yang ini
menunjukkan bahwa founding fathers bangsa kita menghormati
entitas agama bagi masyarakatnya. Bagi orang yang memahami hakekat agama,
dia akan berusaha menjaga dan menghormatinya. Tidak menjadikannya bahan
permainan apalagi ditukar dengan dunia atau dengan cinta.
Anda bisa menilai, orang yang begitu mudah pindah agama, hanya
untuk bisa mendapatkan kepuasan perut, atau keluar dari islam hanya untuk
mendapatkan kepuasan di bawah perut, itu karena dia tidak memahami hakekat
agama. Tidak sejalan dengan prinsip yang dibangun para pewaris negeri ini.
Islam selalu mengajarkan kepada umatnya untuk memuliakan agamanya.
Memotivasi mereka untuk berusaha menjaganya agar tidak lepas darinya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ
وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan
dalam Keadaan beragama Islam. (QS. Ali Imran: 102)
Keempat, karena alasan ini semua, islam memberikan penjagaan kepada
umatnya, sehingga mereka tetap bisa mempertahankan agamanya. Atau mengajak orang
lain untuk menjadi lebih teratur hidupnya dengan masuk islam. Diantara aturan
itu, islam melarang wanita muslimah menikah dengan lelaki non muslim. Karena
pernikahan ini sangat mengancam keselamatan agamanya. Terlebih di negara yang
masih kental dengan pluralisme. Sangat rentan kelompok minoritas menindas
mayoritas.
Dan seperti ini realitas yang terjadi. Betapa banyak wanita
muslimah yang menjadi korban pemaksaan lelaki kafir untuk pindah agama.
Sementara negara tidak menjamin hal ini. Suami bisa bebas mengintimidasi istri
untuk keluar dan pindah agama. Terlebih umumnya wanita lemah mental. Dia bisa
dengan mudah menyerah dengan keadaan.
Dan sekali lagi, agama adalah ideologi. Bagian dari doktrin
ideologi, pemiliknya akan berusaha menyeret orang lain untuk memiliki ideologi
yang sama. Tidak mungkin suami yang kafir akan membiarkan istrinya muslimah
untuk beribadah dan melakukan ketaatan sesuai ajaran islam. Kecuali jika si
suami termasuk orang yang tidak berideologi.
Allah menyebutkan, orang-orang kafir, akan mengajak orang lain
untuk mengikuti kekafirannya,
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ
مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا
الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ
وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى
الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ
Janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
(dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka
mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan
izin-Nya. (QS. al-Baqarah: 221)
Memahami hal ini, mengajukan nikah beda agama tanpa batas, tidak
berbeda dengan upaya merusak ideologi agama. Bertentangan dengan tatanan para
leluhur bangsa yang menjunjung tinggi agama. Meskipun kehadiran mereka adalah
hal yang lumrah. Mengingat mereka bukan orang yang terdidik untuk menghormati
agama.
Allahu a’lam.
Dijawab oleh: Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan
Pembina Konsultasisyariah.com)
0 komentar:
Posting Komentar