Suatu ketika, setelah selesai shalat di masjid dekat rumah, ada
salah satu jemaah masjid yang mendekati saya. Beliau hendak bertanya tentang
status hukum transaksi yang beliau lakukan. Penanya adalah seorang yang
berprofesi sebagai tukang servis komputer. Beliau menceritakan bahwa ada sebuah
kantor yang mengajukan penawaran kerja sama.
Bentuk kerja samanya adalah pihak kantor setiap bulannya
menyerahkan sejumlah uang untuk biaya perawatan semua komputer yang ada. Dengan
adanya uang tersebut maka Penanya bertanggung jawab atas segala masalah
komputer di tempat tersebut, termasuk di dalamnya adalah peranti komputer yang
memang perlu diganti. Demikianlah kurang lebih pertanyaan yang beliau ajukan
kepada saya. Jawaban singkat telah saya berikan kepada Penanya dan dalam
tulisan ini terdapat uraian panjang terkait permasalahan di atas.
Selain kasus tersebut, sering kali, setelah kita menyervis motor
di sebuah bengkel, pihak bengkel memberi garansi kerusakan motor, seminggu
lamanya. Apakah hal ini termasuk asuransi yang haram ataukah tidak? Norma-norma
agama terkait hal ini akan Anda jumpai dalam tanya jawab di bawah ini.
*
Pertanyaan, “Terlintas tanda tanya dalam benakku, apa perbedaan
antara asuransi konvensional (asuransi profit) dengan transaksi ‘perawatan’ (akad
shiyanah). Yang aku maksudkan dengan akad ‘perawatan’ adalah, misalnya, aku
adalah seorang kepala dari sebuah kantor pemerintahan–departemen perdagangan,
misalnya–aku mengadakan transaksi dengan suatu pihak untuk merawat fasilitas
kantor. Andaikan per tahun kuberikan kepada pihak tersebut uang sebenar satu
juta real, misalnya, dengan kompensasi mengecek dan memperbaiki instalasi
listrik dan jaringan pipa air. Uang tersebut untuk biaya servis, dan terkadang
biaya pembelian suku cadang juga menjadi tanggung jawab pihak perawat.
Semisal itu pula yang terjadi dalam transaksi ‘perawatan komputer’
untuk perusahaan-perusahaan besar atau bank. Aku berharap gambaran permasalahan
yang aku sampaikan sudah jelas. Jika akad di atas adalah akad yang dibolehkan
lalu apa bedanya dengan asuransi konvensional?”
Jawaban, “Transaksi shiyanah –alias
‘perawatan’– adalah sebuah transaksi baru yang memiliki banyak bentuk. Oleh
karena itu, kita tidak bisa memberikan hukum umum untuk semua bentuk transaksi
ini. Yang benar, ada transaksi ‘perawatan’ yang diperbolehkan dan ada yang
haram.
Berikut ini bentuk-bentuk transaksi ‘perawatan’ yang terkenal dan
penjelasan mengenai status hukumnya.
Pertama, pihak penjual suatu produk memberikan jaminan perawatan secara
berkala atau saat ada masalah terkait produk tersebut. Tanggung jawab pihak
penjual, dalam hal ini, boleh jadi hanya sekadar menanggung biaya servis dan
boleh jadi pula plus mengganti peranti/suku cadang yang rusak. Hukum transaksi
semisal ini adalah boleh. Pihak penjual produk diperbolehkan untuk menaikkan
harga produknya sebagai kompensasi untuk pelayanan ini.
Kedua, perawatan tidak dilakukan oleh pihak penjual suatu produk, namun
oleh pihak lain. Pihak ini bertanggung jawab menyervis secara berkala–boleh
jadi pekanan, boleh jadi pula bulanan–sebagai kompensasi dari sejumlah uang
yang diberikan oleh pemilik barang. Ketika transaksi ditandatangani, jumlah
barang yang ingin diservis dan dirawat telah diketahui. Demikian pula, bentuk
’perawatan’ yang disepakati telah ditentukan. Transaksi ini hanya berlaku untuk
jangka waktu tertentu.
Hukum transaksi ini adalah boleh namun bersyarat. Transaksi jenis
kedua ini, pada hakikatnya, adalah transaksi ijarah –alias
‘jual jasa’–. Syarat diperbolehkannya transaksi di atas adalah pihak ’perawat’
tidak bertanggung jawab untuk menanggung biaya penggantian [eranti/suku cadang
yang rusak. Jadi, biaya peranti/suku cadang ditanggung oleh pemilik barang.
Akan tetapi, jika peranti/suku cadang yang diganti itu nilainya
remeh yang biasanya tidak masuk perhitungan atau telah menjadi hukum tidak
tertulis di masyarakat bahwa barang semacam itu adalah konsekuensi logis dari
sebuah servis, kondisi ini tidaklah menghalangi kita untuk tetap mengatakan
bolehnya transaksi ini.
Ketiga, di samping servis berkala pihak ‘perawat’ berkewajiban
menanggung biaya penggantian peranti/suku cadang yang rusak dengan peranti/suku
cadang yang baru.
Hukum dari transaksi jenis ketiga ini adalah haram karena
transaksi ini mengandung gharar (baca: gambling) yang besar. Sehingga transaksi ini pada
hakekatnya adalah transaksi untung untungan.
Boleh jadi harga peranti/suku cadang yang baru itu ternyata
berlipat-lipat dibandingkan biaya ’perawatan’. Boleh jadi pula ternyata tidak
ada yang peranti/suku cadang dari barang tersebut yang perlu diganti.
Pemilik barang dalam kondisi ini boleh jadi untung, boleh jadi
‘buntung’. Inilah tolak ukur taruhan yang haram.
Pemilik barang itu untung jika barangnya ternyata mendapatkan
peranti/suku cadang baru dengan harga yang jauh lebih besar dibandingkan uang
yang diberikan kepada pihak perawat. Namun boleh jadi buntung mana kala
barangnya ternyata tidak perlu mendapatkan penggantian peranti/suku cadang.
Sehingga hilanglah sia-sia uang yang diserahkan kepada pihak perawat.
Model ketiga ini serupa dengan asuransi konvensional yang hukumnya
haram.
Keempat, servis tidak bersifat berkala namun jika barang yang menjadi
objek transaksi mengalami kerusakan. Ketika ada kerusakan maka pihak perawat
dipanggil untuk datang namun jika tidak terjadi kerusakan maka pihak perawat
sama sekali tidak pernah datang padahal dia telah mendapatkan sejumlah uang
sebagai biaya perawatan untuk setiap bulannya.
Hukum dari bentuk keempat ini adalah haram karena mengandung unsur
taruhan yang haram. Pemilik barang itu diuntungkan jika barangnya sering rusak
namun dia rugi jika tenyata barangnya jarang rusak.
Berikut ini beberapa fatwa terkait dengan transaksi ‘perawatan’.
Keputusan Majma Al-Fiqh Al-Islami, yang bernaung di bawah OKI, no.
103 (11:6) setelah mengadakan pertemuan di Manama, Bahrain, pada tahun 1419 H
atau 1998 M.
Para ulama yang duduk di Majma Al-Fiqh Al-Islami memutuskan
sebagai berikut:
‘Pertama, transaksi shiyanah atau
perawatan adalah transaksi baru yang bersifat berdiri sendiri. Pada transaksi
ini, berlaku berbagai ketentuan umum terkait dengan transaksi, sehingga hukum
yang berlaku untuk transaksi ini berbeda-beda, tergantung bentuknya.
Transaksi shiyanah adalah
transaksi profit yang menyebabkan satu pihak berkewajiban untuk mengecek dan
menyervis barang tertentu. Servis ini boleh jadi berkala, boleh jadi tidak.
Transaksi ini berlaku selama jangka waktu tertentu, dengan
pemberian kompensasi finansial yang telah disepakati. Pihak perawat boleh jadi
menanggung biaya servis saja atau servis plus peranti/suku cadang.
Kedua, transaksi perawatan ini memiliki beragam bentuk. Di antara
bentuknya, yang telah diketahui secara pasti hukumnya, adalah sebagai berikut:
1. Akad perawatan yang tidak bercampur dengan akad yang lain. Pihak
perawat hanya menanggung biaya servis saja atau ditambah menanggung biaya ganti
peranti/suku cadang yang nilainya remeh yang biasanya tidak masuk dalam
hitungan biaya. Akad ini kita nilai sebagai akad ijarah –alias ‘jual jasa’–, sehingga akad ini
diperbolehkan secara syariat dengan syarat jasa yang diberikan jelas dan
besaran upahnya juga jelas.
2. Akad perawatan yang tidak bercampur dengan akad yang lain. Pihak
perawat menanggung biaya servis sedangkan pemilik baranglah yang menanggung
biaya penggantian peranti/suku cadang. Status hukum untuk transaksi ini semisal
dengan bentuk pertama.
Ketiga, garansi servis yang disepakati dalam transaksi jual beli dan
berlaku selama jangka waktu tertentu.
Dalam transaksi ini terdapat transaksi jual beli yang digabung
dengan perjanjian garansi servis. Transaksi semisal ini hukumnya boleh baik
garansi servis ini mencakup peranti/suku cadang atau pun tidak.
Keempat, transaksi perawatan yang dimasukkan dalam transaksi ijarah atau
sewa barang, boleh jadi perawatan itu menjadi tanggung jawab penyewa atau yang
menyewakan barang.
Transaksi ini terdiri dari transaksi sewa menyewa dan perjanjian
untuk merawat barang. Status hukum untuk transaksi ini perlu dirinci. Jika
perawatan tersebut terkait dengan kondisi barang –yang jika tidak diperbaiki
maka penyewa tidak bisa memanfaatkan barang yang dia sewa– maka perawatan
semacam ini adalah kewajiban pemilik barang alias pihak yang menyewakan, meski
tidak ada kesepakatan di awal mengenai hal ini. Tidak boleh membuat perjanjian
yang isinya membebani penyewa untuk bertanggung jawab atas perawatan barang
semisal ini.
Adapun jenis perawatan barang selainnya maka di dalamnya boleh
diadakan perjanjian untuk membebankan biaya perawatan barang tersebut, baik
kepada pihak yang menyewakan atau pun pihak yang menyewa, dengan syarat, bentuk
perawatan dijelaskan secara detail dalam perjanjian.
Ada beberapa bentuk transaksi perawatan lain, yang dalam hal ini,
Majma’ berpandangan untuk menunda keputusan tentangnya untuk lebih didalami dan
dikaji terlebih dahulu.
Kelima, sebuah syarat mutlak untuk semua bentuk transaksi perawatan
adalah adanya penjelasan yang detail mengenai bentuk jasa perawatan yang
dimaksudkan, sehingga tidak ada lagi kesamaran yang bisa menyebabkan timbulnya
konflik di kemudian hari. Demikian penjelasan tentang peranti/suku cadang yang
menjadi tanggung jawab pihak perawat serta besaran upah yang disepakati.’ (Majallah Al-Majma’, edisi 11, juz 2, hlm. 279)
Syekh Ibnu Jibrin mendapatkan pertanyaan sebagai berikut,
"Pemilik perusahaan jasa perawatan mobil bertanya mengenai transaksi ‘perawatan’
dengan bentuk sebagai berikut. Perusahaan jasa perawatan mobil bekerja sama
dengan pemilik showroom mobil second. Pihak jasa perawatan mengecek kondisi mobil
yang baru saja dibeli oleh pihak showroom lalu
memberi garansi dalam jangka waktu tertentu untuk mobil yang dalam kondisi
baik. Untuk ini pemilik showroom berkewajiban
untuk menyerahkan sejumlah uang sekali saja kepada pihak pemberi jasa perawatan
mobil. Dengan hal ini, pemilik showroom bisa
memberi garansi selama jangka waktu tersebut kepada pembeli mobil. Artinya jika
ada problem pada mobil tersebut maka pembeli bisa menuntut pemilik showroomuntuk memperbaiki mobil tersebut tanpa membayar
sepeser pun. Garansi ini berlaku jika ketika mogok pembeli mobil belum
memperbaikinya di tempat lain. Garansi ini tidak berlaku jika kerusakan mobil
dikarenaka sesuatu yang tidak diinginkan semisal kecelakaan lalu lintas.”
Jawaban Ibnu Jibrin, ‘Menurut kami, transaksi tersebut –hukumnya–
tidak boleh karena transaksi tersebut termasuk dalam asuransi yang para ulama
memilih untuk melarangnya. Hal ini dikarenakan pemilik showroom menyerahkan sejumlah uang kepada pihak
jasa perawatan mobil baik pada kenyataannya mobil tersebut mengalami kerusakan
atau pun tidak. Jika mobil tersebut ternyata tidak mengalami kerusakan maka
berarti pihak jasa perawatan mobil mendapatkan uang dari pemilik showroom tanpa kompensasi apa pun dan tidak ada
sepeser pun yang dikembalikan, meski tidak ada yang perlu diperbaiki.
Sebaliknya, terkadang ternyata mobil tersebut sering mengalami
kerusakan. Dalam kondisi ini, pihak pemberi jasa perawatan mobil harus
mengeluarkan uang dalam jumlah yang sangat besar untuk memperbaiki mobil
tersebut, lebih besar daripada uang yang diberikan oleh pemilik showroom. Dalam kondisi ini, pihak pemberi jasa perawatan
mobil menjadi pihak yang dirugikan.
Di samping itu, transaksi ini menyebabkan banyak pemilik mobil
ugal-ugalan dalam berkendaraan dan menyopir mobilnya sambil kebut-kebutan.
Dampaknya, terjadi banyak kecelakaan yang menyebabkan kerusakan mobil. Jika mereka
diingatkan baik-baik agar tidak ugal-ugalan dalam berkendara, mereka beralasan
bahwa mobilnya itu memiliki garansi dalam jangka waktu tertentu, semisal
setahun atau lebih.
Berdasarkan penjelasan di atas maka kami katakan bahwa seharusnya
pemilik showroom mobil second (terpakai)
tersebut mengecek sendiri atau dengan membayar mekanik mobil-mobil yang hendak
dijual lalu memperbaiki hal-hal yang perlu diperbaiki baru menjualnya. Dalam
kondisi ini, tidaklah mengapa jika pemilik show room memberi garansi servis
kepada pembeli untuk jangka waktu tertentu dan untuk kerusakan tertentu. Namun,
garansi servis ini tidak berlaku jika kerusakan terjadi dikarenakan kecelakaan
lalu lintas atau semisalnya.’ (Fatwa Ibnu Jibrin, no. 816, dalam situs resmi
beliau, http://ibn-jebreen.com/ftawa.php?view=vmasal&subid=816&parent=]4193)
Jawaban Ibnu Jibrin di atas sesuai dengan bentuk keempat dari
bentuk transaksi perawatan. Adapun garansi yang beliau bolehkan di akhir
jawaban beliau adalah transaksi perawatan alias garansi servis yang diberikan
oleh penjual, dan ini adalah bentuk pertama dari transaksi perawatan yang telah
kami tegaskan bahwa hukumnya adalah boleh.
Walhasil, jelaslah bahwa bentuk-bentuk transaksi shiyanah –alias ‘perawatan’– itu ada yang
dibolehkan, dan itu merupakan bagian dari asuransi profit sehingga hukumnya
adalah haram.” (Diterjemahkan dengan beberapa peringkasan dari http://islamqa.com/ar/ref/140002)
Artikel www.PengusahaMuslim.com
0 komentar:
Posting Komentar