Sering kali, kita temui di berbagai tempat, jual beli ketela pohon
alias singkong yang masih di bawah tanah. Ada seseorang yang memiliki kebun
singkong berhektar-hektar. Lalu, tanpa mencabutinya satu per satu, pemilik
kebun menjual singkongnya dengan taksiran. Dengan melihat batang yang tampak di
atas permukaan tanah dan mencabut beberapa batang pohong singkong di beberapa
sisi kebun tersebut, seorang pakar taksir bisa mengetahui berat singkong per
batang, sehingga bisa diketahui berat keseluruhan singkong yang ada di kebun
tersebut. Transaksi jual beli lalu dilakukan dengan dasar taksiran tersebut.
Bolehkah jual beli semacam ini?
Ada dua pendapat ulama dalam hal ini.
Syafi’iyyah dan para ulama bermazhab Hanbali menilai jual beli
semacam ini sebagai jual beli yang tidak sah, karena jual beli ini dinilai
sebagai jual beli gharar yang terlarang.
Alasannya, bagian dari tanaman yang ada di dalam tanah tidaklah diketahui
kondisinya secara pasti, sehingga ini tergolong gharar yang
terlarang.
Di sisi lain, para ulama bermazhab Hanafi, Maliki, dan salah satu
pendapat Imam Ahmad menilai sahnya jual beli ini. Inilah pendapat yang dinilai
tepat oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Utsaimin.
Alasan pendapat yang memperbolehkan adalah bahwa para taksir mampu
mengetahui kondisi tanaman yang ada di dalam tanah, dengan melihat daun dan
kondisi batang yang ada di atas tanah.
Perlu diketahuinya sisi bagian barang yang dijual itu berbeda-beda
antara satu barang dengan barang yang lain. Jika sebagian sisi barang itu
diketahui sedangkan sisi yang lain tidak diketahui, dan upaya untuk menampakkan
bagian yang tersembunyi adalah suatu hal yang sulit dan memberatkan, maka
barang tersebut boleh diperjualbelikan meski ada bagian yang tidak diketahui.
Contohnya adalah jual beli rumah tanpa perlu melihat kondisi pondasinya.
Walhasil, gharar yang
terdapat dalam jual beli ini adalah gharar yang
ringan dan tidak mungkin dihindari. Gharar dengan
kriteria semacam ini tidaklah termasuk gharar yang
terlarang. Dengan demikian, jual beli di atas adalah jual beli yang sah,
sebagaimana hukum asal jual beli, dan tidak ada alasan kuat untuk melarangnya.
Kesimpulannya, pendapat yang benar adalah pendapat kedua, sehingga
jual beli di atas adalah jual beli yang sah berdasarkan alasan-alasan yang
telah dikemukakan.
Referensi: Ighatsah Al-Jumu’, hlm. 90–91.
0 komentar:
Posting Komentar