Segala puji bagi Allah,
shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabatnya dan
orang-orang yang mengikuti petunjuk mereka hingga akhir zaman.
Dalam pemanfaatan hasil
sembelihan qurban, seringkali kali kita saksikan beberapa hal yang dinilai
kurang tepat menurut kacamata syari’at. Beberapa pelanggaran dalam ibadah ini
sering terjadi, mungkin saja karena belum sampainya ilmu kepada orang yang
melakukan ibadah qurban. Dalam tulisan kali ini -dengan taufik dan pertolongan
Allah-, kami berusaha menjelaskan bagaimana pemanfaatan hasil sembelihan qurban
yang tepat yang sesuai dengan tuntunan syari’at, juga bagaimanakah penilaian
syariat terhadap praktek kaum muslimin saat ini dalam hal jual kulit hasil
sembelihan qurban. Semoga Allah memberi kemudahan dan memberi taufik bagi siapa saja
yang membaca risalah ini.
Pemanfaatan Hasil Sembelihan
Qurban yang Dibolehkan
Allah Ta’ala berfirman,
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya
mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang
Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah
sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan
orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (QS. Al Hajj: 28)
Dalam hadits dari Salamah
bin Al Akwa’ radhiyallahu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« مَنْ ضَحَّى مِنْكُمْ فَلاَ يُصْبِحَنَّ بَعْدَ ثَالِثَةٍ وَفِى بَيْتِهِ مِنْهُ شَىْءٌ » . فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ نَفْعَلُ كَمَا فَعَلْنَا عَامَ الْمَاضِى قَالَ « كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا فَإِنَّ ذَلِكَ الْعَامَ كَانَ بِالنَّاسِ جَهْدٌ فَأَرَدْتُ أَنْ تُعِينُوا فِيهَا »
”Barangsiapa di antara kalian
berqurban, maka janganlah ada daging qurban yang masih tersisa dalam rumahnya
setelah hari ketiga.” Ketika datang tahun berikutnya, para sahabat
mengatakan, ”Wahai Rasulullah, apakah kami harus melakukan sebagaimana tahun
lalu?” Maka beliau menjawab, ”(Adapun sekarang), makanlah
sebagian, sebagian lagi berikan kepada orang lain dan sebagian lagi simpanlah.
Pada tahun lalu masyarakat sedang mengalami paceklik sehingga aku berkeinginan
supaya kalian membantu mereka dalam hal itu.”[1]
Jika kita melihat dalam
hadits di atas, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam memerintahkan pada shohibul qurban untuk memakan daging qurban,
memberi makan pada orang lain dan menyimpan daging qurban yang ada. Namun
apakah perintah di sini wajib? Jawabnya, perintah di sini tidak wajib.
Alasannya, perintah ini datang setelah adanya larangan. Dan berdasarkan kaedah
Ushul Fiqih, ”Perintah setelah adanya larangan adalah kembali ke hukum sebelum
dilarang.[2]” Hukum makan dan menyimpan daging qurban sebelum adanya larangan
tersebut adalah mubah. Sehingga hukum shohibul qurban memakan daging qurban,
memberi makan pada orang lain dan menyimpannya adalah mubah.
Ibnu Hajar Al Asqolani
dalam Fathul Bari mengatakan,
وَقَوْله ” كُلُوا وَأَطْعِمُوا ” تَمَسَّكَ بِهِ مَنْ قَالَ
بِوُجُوبِ الْأَكْل مِنْ الْأُضْحِيَّة ، وَلَا حُجَّة فِيهِ لِأَنَّهُ أَمْر
بَعْد حَظْر فَيَكُون لِلْإِبَاحَةِ
”Sebagian orang yang berpendapat bahwa shohibul qurban wajib memakan
sebagian daging qurbannya beralasan dengan perintah Nabi –shallallahu ’alaihi
wa sallam- ”makanlah dan berilah makan” dalam hadits di atas. Namun sebenarnya
mereka tidak memiliki dalil yang jelas. Karena perintah tersebut datang setelah
adanya larangan, maka dihukumi mubah (boleh).”
Dalam hadits ini kita juga
mengetahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
melarang menyimpan daging qurban lebih dari tiga hari. Hal itu agar umat Islam
pada saat itu menshodaqohkan kelebihan daging qurban yang ada. Namun larangan
tersebut kemudian dihapus. Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas menghapus larangan tersebut dan menyebutkan
alasannya. Beliau bersabda,
« كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ لُحُومِ
الأَضَاحِى فَوْقَ ثَلاَثٍ لِيَتَّسِعَ ذُو الطَّوْلِ عَلَى مَنْ لاَ طَوْلَ لَهُ
فَكُلُوا مَا بَدَا لَكُمْ وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا ». قَالَ وَفِى الْبَابِ
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ وَعَائِشَةَ وَنُبَيْشَةَ وَأَبِى سَعِيدٍ وَقَتَادَةَ بْنِ
النُّعْمَانِ وَأَنَسٍ وَأُمِّ سَلَمَةَ. قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ بُرَيْدَةَ
حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ.
“Dulu aku melarang kalian dari menyimpan daging qurban lebih dari
tiga hari agar orang yang memiliki kecukupan memberi keluasan kepada orang yang
tidak memiliki kecukupan. Namun sekarang, makanlah semau kalian, berilah makan,
dan simpanlah.”[3] Setelah menyebutkan hadits ini, At Tirmidzi mengatakan,
وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ
النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- وَغَيْرِهِمْ.
“Hadits ini telah diamalkan oleh para ulama dari sahabat Nabi
dan selain mereka.”
Apakah Mesti Ada Pembagian 1/3
– 1/3?
Syaikh Abu Malik
dalam Shahih Fiqh Sunnah memberikan keterangan,
“Kebanyakan ulama menyatakan bahwa orang yang berqurban disunnahkan bersedekah
dengan sepertiga hewan qurban, memberi makan dengan sepertiganya dan
sepertiganya lagi dimakan oleh dirinya dan keluarga. Namun riwayat-riwayat tersebut sebenarnya adalah riwayat yang
lemah. Sehingga yang lebih tepat hal ini dikembalikan pada keputusan
orang yang berqurban (shohibul qurban). Seandainya ia ingin sedekahkan seluruh
hasil qurbannya, hal itu diperbolehkan. Dalilnya, dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhu,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – أَمَرَهُ أَنْ يَقُومَ
عَلَى بُدْنِهِ ، وَأَنْ يَقْسِمَ بُدْنَهُ كُلَّهَا ، لُحُومَهَا وَجُلُودَهَا
وَجِلاَلَهَا ] فِى الْمَسَاكِينِ[ ، وَلاَ يُعْطِىَ فِى جِزَارَتِهَا شَيْئًا
Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam memerintahkan dia untuk mengurusi unta-unta hadyu. Beliau memerintah
untuk membagi semua daging qurbannya, kulit dan jilalnya (kulit yang ditaruh
pada punggung unta untuk melindungi dari dingin) untuk orang-orang miskin. Dan
beliau tidak diperbolehkan memberikan bagian apapun dari qurban itu kepada
tukang jagal (sebagai upah).[4]”[5] Dalam hadits ini terlihat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai
menyedekahkan seluruh hasil sembelihan qurbannya kepada orang miskin.
Al Lajnah Ad Da-imah
(Komisi Fatwa di Saudi Arabia) mengatakan, “Hasil sembelihan qurban
dianjurkan dimakan oleh shohibul qurban. Sebagian lainnya diberikan kepada
faqir miskin untuk memenuhi kebutuhan mereka pada hari itu. Sebagian lagi
diberikan kepada kerabat agar lebih mempererat tali silaturahmi. Sebagian lagi
diberikan pada tetangga dalam rangka berbuat baik. Juga sebagian lagi diberikan
pada saudara muslim lainnya agar semakin memperkuat ukhuwah.”[6]
Dalam fatwa lainnya, Al
Lajnah Ad Da-imah menjelaskan bolehnya pembagian hasil sembelihan qurban tadi
lebih atau kurang dari 1/3. Mereka menjelaskan, “Adapun daging hasil sembelihan
qurban, maka lebih utama sepertiganya dimakan oleh shohibul qurban;
sepertiganya lagi dihadiahkan pada kerabat, tetangga, dan sahabat dekat; serta
sepertiganya lagi disedekahkan kepada fakir miskin. Namun jika lebih/ kurang
dari sepertiga atau diserahkan pada sebagian orang tanpa lainnya (misalnya
hanya diberikan pada orang miskin saja tanpa yang lainnya, pen), maka itu juga
tetap diperbolehkan. Dalam masalah ini ada kelonggaran.”[7]
Intinya, pemanfaatan hasil
sembelihan qurban yang dibolehkan adalah:
1. Dimakan oleh shohibul qurban.
2. Disedekahkan kepada faqir miskin untuk memenuhi kebutuhan mereka.
3. Dihadiahkan pada kerabat untuk mengikat tali silaturahmi, pada
tetangga dalam rangka berbuat baik dan pada saudara muslim lainnya agar
memperkuat ukhuwah.
Bolehkah Memberikah Hasil
Sembelihan Qurban pada Orang Kafir?
Al Lajnah Ad Da-imah
(Komisi Fatwa di Saudi Arabia) pernah diajukan pertanyaan: Bolehkah daging
qurban hasil sembelihan atau sesuatu yang termasuk sedekah diserahkan pada
orang kafir?
Jawaban ulama yang duduk di
Al Lajnah Ad Da-imah: “Orang kafir boleh diberi hewan hasil sembelihan qurban,
asalkan ia bukan kafir harbi (yaitu bukan
kafir yang diajak perang) …. Dalil hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah: 8). Alasan lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
memerintahkan pada Asma’ binti Abi Bakr agar menyambung hubungan baik dengan
ibunya padahal ibunya adalah seorang musyrik sebagaimana diriwayatkan oleh Al Bukhari[8].”[9]
Kesimpulan: Memberikan
hasil hewan qurban kepada orang kafir (asalkan bukan kafir harbi) dibolehkan
karena status hewan qurban sama dengan sedekah atau hadiah. Dan kita
diperbolehkan memberikan sedekah maupun hadiah kepada siapa saja termasuk orang
kafir. Sedangkan pendapat yang melarang adalah pendapat yang tidak kuat karena
tidak berdalil.
Pemanfaatan Hasil Sembelihan
Qurban yang Terlarang
Ada dua bentuk pemanfaatan
hasil sembelihan qurban yang terlarang, yaitu [1] Menjual sebagian dari hasil
sembelihan qurban dan [2] Memberi upah pada jagal dari hasil sembelihan qurban.
Berikut penjelasannya.
Larangan pertama: Menjual sebagian dari hasil sembelihan qurban baik berupa kulit,
wol, rambut, daging, tulang dan bagian lainnya.
Dalil terlarangnya hal ini
adalah hadits Abu Sa’id, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
وَلاَ تَبِيعُوا لُحُومَ الْهَدْىِ وَالأَضَاحِىِّ فَكُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَاسْتَمْتِعُوا بِجُلُودِهَا وَلاَ تَبِيعُوهَا
“Janganlah menjual hewan hasil sembelihan hadyu[10] dan sembelian udh-hiyah (qurban).Tetapi makanlah,
bershodaqohlah, dan gunakanlah kulitnya untuk bersenang-senang, namun jangan
kamu menjualnya.” Hadits ini adalah hadits yang dho’if (lemah).[11]
Walaupun hadits di atas
dho’if, menjual hasil sembelihan qurban tetap terlarang. Alasannya, qurban
disembahkan sebagai bentuk taqorrub pada Allah yaitu mendekatkan diri pada-Nya sehingga tidak
boleh diperjualbelikan. Sama halnya dengan zakat. Jika harta zakat kita telah
mencapai nishob (ukuran minimal dikeluarkan zakat) dan telah memenuhi haul
(masa satu tahun), maka kita harus serahkan kepada orang yang berhak menerima
tanpa harus menjual padanya. Jika zakat tidak boleh demikian, maka begitu pula
dengan qurban karena sama-sama bentuk taqorrub pada Allah. Alasan lainnya lagi adalah kita tidak
diperkenankan memberikan upah kepada jagal dari hasil sembelihan qurban
sebagaimana nanti akan kami jelaskan.[12]
Dari sini, tidak tepatlah
praktek sebagian kaum muslimin ketika melakukan ibadah yang satu ini dengan
menjual hasil qurban termasuk yang sering terjadi adalah menjual kulit. Bahkan
untuk menjual kulit terdapat hadits khusus yang melarangnya. Dari Abu Hurairah,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ فَلاَ أُضْحِيَّةَ لَهُ
“Barangsiapa menjual kulit hasil sembelihan qurban, maka tidak ada
qurban baginya.”[13] Maksudnya, ibadah qurbannya tidak ada nilainya.
Larangan menjual hasil
sembelihan qurban adalah pendapat para Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad. Imam
Asy Syafi’i mengatakan, “Binatang qurban termasuk nusuk (hewan yang disembelih
untuk mendekatkan diri pada Allah). Hasil sembelihannya boleh dimakan, boleh
diberikan kepada orang lain dan boleh disimpan. Aku tidak menjual sesuatu dari
hasil sembelihan qurban (seperti daging atau kulitnya, pen). Barter antara
hasil sembelihan qurban dengan barang lainnya termasuk jual beli.”[14]
Sedangkan Imam Abu Hanifah
berpendapat dibolehkannya menjual hasil sembelihan qurban, namun hasil
penjualannya disedekahkan.[15] Akan tetapi, yang lebih selamat dan lebih tepat, hal
ini tidak diperbolehkan berdasarkan larangan dalam
hadits di atas dan alasan yang telah disampaikan. Wallahu a’lam.
Catatan penting yang perlu
diperhatikan: Pembolehan menjual hasil sembelihan qurban oleh Abu Hanifah
adalah ditukar dengan barang karena seperti ini masuk kategori pemanfaatan
hewan qurban menurut beliau. Jadi beliau tidak memaksudkan jual beli di sini
adalah menukar dengan uang. Karena menukar dengan uang secara jelas merupakan
penjualan yang nyata. Inilah keterangan dari Syaikh Abdullah Ali Bassam
dalam Tawdhihul Ahkam[16] dan Ash Shon’ani dalam Subulus Salam[17]. Sehingga tidak tepat menjual kulit atau bagian lainnya, lalu
mendapatkan uang sebagaimana yang dipraktekan sebagian panitia qurban saat ini.
Mereka sengaja menjual kulit agar dapat menutupi biaya operasional atau untuk
makan-makan panitia.
Mengenai penjualan hasil
sembelihan qurban dapat kami rinci:
1. Terlarang menjual daging qurban (udh-hiyah atau pun hadyu) berdasarkan
kesepakatan (ijma’) para ulama.[18]
2. Tentang menjual kulit qurban, para ulama berbeda pendapat:
Pertama: Tetap terlarang. Ini pendapat mayoritas ulama berdasarkan hadits
di atas. Inilah pendapat yang lebih kuat karena berpegang dengan zhahir hadits (tekstual hadits) yang melarang menjual kulit
sebagaimana disebutkan dalam riwayat Al Hakim. Berpegang pada pendapat ini
lebih selamat, yaitu terlarangnya jual beli kulit secara mutlak.
Kedua: Boleh, asalkan ditukar dengan barang (bukan dengan uang). Ini
pendapat Abu Hanifah. Pendapat ini terbantah karena menukar juga termasuk jual
beli. Pendapat ini juga telah disanggah oleh Imam Asy Syafi’i dalam Al Umm (2/351). Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Aku tidak suka
menjual daging atau kulitnya. Barter hasil sembelihan qurban dengan barang lain
juga termasuk jual beli.” [19]
Ketiga: Boleh secara mutlak. Ini pendapat Abu Tsaur sebagaimana
disebutkan oleh An Nawawi[20]. Pendapat ini jelas lemah karena bertentangan dengan zhahir hadits yang melarang menjual kulit.
Sebagai nasehat bagi yang
menjalani ibadah qurban: Hendaklah kulit tersebut diserahkan secara cuma-cuma kepada
siapa saja yang membutuhkan, bisa kepada fakir miskin atau yayasan sosial.
Setelah diserahkan kepada mereka, terserah mereka mau manfaatkan untuk apa.
Kalau yang menerima kulit tadi mau menjualnya kembali, maka itu dibolehkan.
Namun hasilnya tetap dimanfaatkan oleh orang yang menerima kulit qurban
tadi dan bukan dimanfaatkan oleh shohibul qurban atau panitia qurban (wakil shohibul qurban).
Larangan kedua: Memberi upah pada jagal dari hasil sembelihan qurban.
Dalil dari hal ini adalah
riwayat yang disebutkan oleh ‘Ali bin Abi Tholib,
أَمَرَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ أَقُومَ عَلَى
بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لاَ
أُعْطِىَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ « نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا ».
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mengurusi unta-unta qurban beliau. Aku
mensedekahkan daging, kulit, dan jilalnya (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari
dingin). Aku tidak memberi sesuatu pun dari hasil sembelihan qurban
kepada tukang jagal. Beliau bersabda, “Kami akan memberi upah kepada tukang
jagal dari uang kami sendiri”.”[21]
Dari hadits ini, An
Nawawi rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh memberi tukang jagal sebagian hasil
sembelihan qurban sebagai upah baginya. Inilah pendapat ulama-ulama Syafi’iyah,
juga menjadi pendapat Atho’, An Nakho’i, Imam Malik, Imam Ahmad dan Ishaq.”[22]
Namun sebagian ulama ada
yang membolehkan memberikan upah kepada tukang jagal dengan kulit semacam Al
Hasan Al Bashri. Beliau mengatakan, “Boleh memberi jagal upah dengan
kulit.” An Nawawi lantas menyanggah pernyataan tersebut, “Perkataan
beliau ini telah membuang sunnah.”[23]
Sehingga yang tepat, upah jagal bukan diambil dari hasil sembelihan qurban.
Namun shohibul qurban hendaknya menyediakan
upah khusus dari kantongnya sendiri untuk tukang jagal tersebut.
Demikian pembahasan kami
seputar pemanfaatan hasil sembelihan qurban yang terlarang dan yang
dibolehkan. Semoga Allah memudahkan kita beramal sholih dan menjauhkan dari
apa yang Dia larang. Semoga Allah memberikan kita petunjuk, sikap takwa,
keselamatan dan kecukupan.
Segala puji bagi Allah yang
dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna. Shalawat dan salam kepada
Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan siapa saja yang mengikuti petunjuk
mereka dengan baik hingga hari kiamat.
Al Faqir Ilallah: Muhammad Abduh Tuasikal
Pangukan, Sleman, 29
Dzulqo’dah 1430 H
[1] HR. Bukhari no. 5569 dan Muslim no. 1974.
[2] Inilah yang menjadi pendapat para ulama salaf. Lihat Ma’alim Ushul Fiqh, Muhammad bin Husain bin
Hasan Al Jizaniy, hal. 408-409, Dar Ibnul Jauzi, cetakan ketiga, tahun 1422 H.
[3] HR. Tirmidzi no. 1510, dari Sulaiman bin Buraidah, dari
ayahnya. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[4] HR. Bukhari no. 1717 dan Muslim no. 1317.
[6] Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’, soal kesembilan dari Fatwa no. 5612, 11/423-424, Mawqi’ Al
Ifta’. Fatwa ini ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz sebagai ketua,
Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi sebagai Wakil Ketua, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud dan
Syaikh ‘Abdullah bin Ghodyan sebagai Anggota.
[7] Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’, soal ketiga dari Fatwa no. 1997, 11/424-425, Mawqi’ Al Ifta’. Fatwa
ini ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz sebagai ketua, Syaikh
‘Abdur Rozaq ‘Afifi sebagai Wakil Ketua, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud sebagai
Anggota.
[8] Hadits selengkapnya lihat Shahih Al Bukhari no. 2620.
[9] Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’, soal kedua dari Fatwa no. 2752, 11/425-426, Mawqi’ Al Ifta’.
Fatwa ini ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz sebagai ketua, Syaikh
‘Abdur Rozaq ‘Afifi sebagai Wakil Ketua, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud dan Syaikh
‘Abdullah bin Ghodyan sebagai Anggota.
[10] Hadyu adalah binatang ternak (unta, sapi atau kambing) yang
disembelih oleh orang yang berhaji dan dihadiahkan kepada orang-orang miskin di
Mekkah.
[11] HR. Ahmad no. 16256, 4/15. Syaikh Syu’aib Al Arnauth
mengatakan bahwa sanad hadits ini dho’if (lemah). Ibnu Juraij yaitu ‘Abdul
Malik bin ‘Abdul ‘Aziz adalah seorang mudallis. Zubaid yaitu Ibnul Harits Al Yamiy sering meriwayatkan
dengan mu’an’an. Zubaid pun tidak pernah bertemu dengan salah seorang sahabat.
Sehingga hadits ini dihukumi munqothi’ (sanadnya terputus).
[13] HR. Al Hakim. Beliau mengatakan bahwa hadits ini shahih. Adz Dzahabi mengatakan bahwa dalam hadits ini terdapat Ibnu
‘Ayas yang didho’ifkan oleh Abu Daud. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini hasan. Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1088.
[14] Lihat Tanwirul ‘Ainain bi Ahkamil
Adhohi wal ‘Idain, hal. 373, Syaikh Abul Hasan Musthofa bin Isma’il As Sulaimani,
terbitan Maktabah Al Furqon, cetakan pertama, tahun 1421 H.
[16] Lihat Tawdhihul Ahkam min Bulughil
Marom, Syaikh ‘Abdullah Ali Bassam, 4/465, Darul Atsar, cetakan
pertama, tahun 1425 H.
[17] Lihat Subulus Salam Syarh Bulughul
Marom, Muhammad bin Isma’il Ash Shon’ani, 4/177, Darul Fikr, cetakan
tahun 1411 H.
[19] Lihat pendapat Imam Asy Syafi’i ini dalam Tanwirul ‘Ainain bi Ahkamil Adhohi wal ‘Idain, hal. 373.
[21] HR. Muslim no. 1317.
[23] Idem
0 komentar:
Posting Komentar