Segala puji bagi Allah. Shalawat dan
salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Ini adalah salah satu permasalahan dalam jual beli dan sering
terjadi di tengah-tengah kita. Contoh kasusnya adalah si M membeli motor dari
pihak A secara tidak tunai, lalu ketika masih belum selesai pelunasan ia
menjualnya lagi pada pihak B secara tunai. Apakah jual beli semacam ini
dibolehkan?
Syaikh Shaleh Al-Fauzan hafizhahullah sangat
menekankan bahwa ada dua jual beli yang mesti dibedakan yaitu jual beli
tawarruq dan jual beli ‘inah. Intinya, maksud beliau hafizhohullah, dua macam
jual beli tersebut berbeda.[Syaikh Shaleh Al-Fauzan terangkan hal ini dalam Durus
Fiqih Kitab "Al Muntaqa” (19 Muharram 1432 H).]
Berikut kami jelaskan dua macam jual beli tersebut. Semoga
manfaat.
Definisi Jual Beli Tawarruq
Yang dimaksud jual beli tawarruq secara
istilah adalah membeli suatu barang secara tidak tunai kemudian menjualnya lagi
dengan tunai pada orang lain (bukan pada penjual pertama) dengan harga yang lebih
murah dari harga saat dibeli.
Contoh: Ahmad membeli motor secara kredit (dengan kredit yang
halal tentunya)[<[Di sini kami maksudkan kredit yang halal, karena ada bentuk kredit
motor yang bermasalah (yang mengandung riba). Lihat bahasan rumaysho.com di
sini:
http://rumaysho.com/hukum-islam/muamalah/2816-kredit-lewat-pihak-ketiga-bank.html]dari pihak A seharga 15 juta. Kemudian masih dalam tempo
pelunasan utang, Ahmad sudah menjual motor tersebut pada pihak B dengan harga
lebih murah, yaitu 13 juta.
Jadi, sebenarnya maksud Ahmad adalah ia butuh uang 13 juta. Namun,
ia hanya punya uang untuk cicil motor sebesar 1 juta. Jadi ia membeli motor
dengan uang cicilan 1 juta tadi, lalu masih dalam waktu pelunasan kredit, ia
jual motor itu lagi pada pihak B dengan harga lebih murah, 13 juta secara
kontan. Moga paham dengan gambaran ini.
Istilah jual beli tawarruq cuma
kita temukan pada istilah pakar fiqih Hambali.
Ulama madzhab lainnya memasukkan pembahasan jual beli di atas pada pembahasan “bai’ al ‘inah” (jual beli ‘inah).
Defini Jual Beli ‘Inah
Ada beberapa definisi mengenai jual beli ‘inah yang disampaikan para ulama. Definisi yang
paling masyhur adalah seseorang menjual barang secara tidak tunai, kemudian ia
membelinya lagi dari pembeli tadi secara tunai dengan harga lebih murah.
Contoh: Sufyan menjual motor pada pihak A seharga 15 juta dan
pembayarannya dilunasi sampai dua tahun ke depan. Belum juga dilunasi oleh si
A, Sufyan membeli lagi motor tersebut dari si A dengan harga lebih rendah yaitu
13 juta, dengan dibayar kontan.
Sebenarnya yang terjadi adalah si A butuh uang 13 juta. Jual beli
motor hanyalah perantara namun maksudnya adalah untuk meminjam uang. Untuk
maksud peminjaman ini, Sufyan yang ingin meminjamkan uang pada si A,
menjualkan motor padanya. Lalu Sufyan beli lagi motor tadi dari si A dengan
harga lebih rendah dari penjualan. Sama saja maksudnya adalah Sufyan
meminjamkan uang pada si A 13 juta, nanti dikembalikan 15 juta, sedangkan motor
hanya untuk mengelabui saja.
Semoga paham dengan gambaran di atas.
Sehingga, dari sini sebenarnya yang terjadi pada jual beli ‘inah adalah utang dengan kedok jual beli dan
bermaksud mencari untung dari utang tersebut.
Padahal ada suatu kaedah para fuqaha yang ini
dibangun di atas dalil,
كُلُّ
قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبَا
“Setiap utang yang mendatangkan keuntungan, maka itu adalah riba.”
Padahal, dosa riba telah jelas disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَعَنَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ
وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba
(rentenir), orang yang menyerahkan riba (nasabah), pencatat riba (sekretaris)
dan dua orang saksinya.” Beliau mengatakan, “Mereka semua itu sama.” [H[HR.
Muslim no. 1598, dari Jabir]m> Maksud perkataan “mereka
semua itu sama”, Syaikh Shafiyurraahman Al-Mubarakfury mengatakan,
“Yaitu sama dalam dosa atau sama dalam beramal dengan yang haram. Walaupun
mungkin bisa berbeda dosa mereka atau masing-masing dari mereka dari yang
lainnya.”[<[Minnatul Mun’im fi Syarhi Shohihil Muslim, 3/64]entang dosa riba, lihat bahasan rumaysho.com di sini:
http://rumaysho.com/hukum-islam/muamalah/2620-memakan-satu-dirham-dari-hasil-riba-.html.
Hukum Jual Beli ‘Inah
Mengenai hukum jual beli ‘inah, para fuqaha berbeda pendapat dikarenakan penggambaran
jual beli tersebut yang berbeda-beda. Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam
Ahmad tidak membolehkan jual beli tersebut. Sedangkan –sebagaimana dinukil dari
Imam Asy Syafi’i rahimahullah-, beliau membolehkannya
karena beliau mungkin hanya melihat dari zhahir akad, menganggap sudah
terpenuhinya rukun dan tidak memperhatikan adanya niat di balik itu. Namun yang
tepat, jual beli ‘inah dengan gambaran
yang kami sebutkan di atas adalah jual beli yang diharamkan. Di antara
alasannya:
Pertama: Untuk menutup jalan pada transaksi riba. Jika jual beli ini
dibolehkan, itu sama saja membolehkan kita menukarkan uang 10 juta dengan 5
juta namun yang salah satunya tertunda. Ini sama saja riba.
Kedua: Larangan jual beli ‘inah disebutkan
dalam hadits,
إِذَا
تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ
بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ
يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
“Jika kalian berjual beli dengan cara ‘inah, mengikuti ekor sapi
(maksudnya: sibuk dengan peternakan), ridha dengan bercocok tanam (maksudnya:
sibuk dengan pertanian) dan meninggalkan jihad (yang saat itu fardhu ‘ain),
maka Allah akan menguasakan kehinaan atas kalian. Allah tidak akan mencabutnya
dari kalian hingga kalian kembali kepada agama kalian.” [<[HR. Abu Daud no. 3462. Lihat ‘Aunul Ma’bud, Muhammad Syamsul Haq
Al ‘Azhim Abadi Abuth Thoyyib, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, 9/242]p>
Hukum Jual Beli Tawarruq
Mayoritas ulama membolehkan jual beli tawarruq, terserah ia menamakannya dengan tawarruq (sebagaimana dalam madzhab Hambali), atau
ia menamakannya dengan istilah lain (bagi ulama selain Hanabilah). Alasan mereka yang membolehkan adalah
keumuman firman Allah Ta’ala,
وَأَحَلَّ
اللَّهُ البَيْعَ
“Allah menghalalkan jual beli.” (QS. Al-Baqarah: 275)
Alasan lainnya lagi adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
بِعِ
الْجَمْعَ بِالدَّرَاهِمِ ، ثُمَّ ابْتَعْ بِالدَّرَاهِمِ جَنِيبًا
“Janganlah kamu melakukannya, juallah semua kurma itu dengan dirham
kemudian beli dengan dirham pula.” [<[HR. Bukhari no. 4244, 4245 dan Muslim no. 1593, dari Abu Sa’id Al
Khudri dan Abu Hurairah.]adits ini dimaksudkan kalau Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak mengizinkan menukar langsung kurma kualitas bagus
dan kurma kualitas rendah dengan takaran yang berbeda, artinya harus takarannya
sama dan kontan. Sedangkan kalau kurma yang jelek kita jual dulu dan dapat
sejumlah uang, lalu kita beli kurma bagus, maka ini dibolehkan. Ini artinya jika
dalam satu transaksi tidak nampak bentuk dan maksud riba, maka tidak ada
masalah. Sama halnya dengan jual beli tawarruq, sama
sekali tidak ada bentuk riba di dalamnya. [ [ Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim melarang jual beli tawarruq.
Namun yang lebih tepat adalah penjelasan di atas.]p>
Penutup
Sungguh berbeda dua macam jual beli tersebut. Perbedaan keduanya
terlihat jelas. Jual beli ‘inah, kita menjual
dan membeli lagi pada pihak yang sama. Sedangkan jual beli tawarruq, membeli dan menjualnya pada pihak yang
berbeda. Sehingga dari sini jelas hukumnya berbeda. Jual beli ‘inah jelas mengandung trik riba.
Catatan yang perlu diperhatikan bagi orang yang ingin melaksanakan
transaksi tawarruq adalah:
1. Karena tawarruq ada
unsur utang piutang, maka seharusnya dilakukan dalam keadaan butuh sebagaimana
juga dalam hal berutang. [<[Baca tentang Bahaya Utang di rumaysho.com:
http://rumaysho.com/hukum-islam/muamalah/1739-bahaya-orang-yang-enggan-melunasi-hutangnya.html]r> 2. Hendaknya barang yang dijual (setelah sebelumnya dibeli
tidak tunai), benar-benar telah menjadi milik utuh si penjual, artinya
benar-benar ia miliki dan kuasai, bukan dikuasai atau berada di pihak lain.
[<[Lihat bahasan Ustadz Abu Mu’awiyah di sini:
http://al-atsariyyah.com/masalah-at-tawarruq.html]p>
Pembahasan tawarruq ini
juga menunjukkan bahwa barang yang sudah dibeli secara kredit sudah menjadi
milik pembeli seutuhnya. Coba lihat bagaimana kelirunya perkreditan yang ada di
negeri kita. Ketika kita membeli motor secara kredit, pihak perkreditan masih
menganggap bahwa motor tersebut tetap miliknya. Maka apa yang terjadi jika
sudah jatuh tempo pelunasan, motor masih belum dilunasi? Motor tersebut akan
ditarik dari pihak pembeli. Padahal yang tepat, motor yang sudah dibeli secata
kredit sudah jadi milik pembeli, bukan lagi milik penjual walaupun itu dibeli
secara tidak tunai (alias utang).
Pahami pembahasan riba lebih jauh di bahasan berikut:
Semoga bahasan ini bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi
ni’matihi tatimmush shalihaat.
Reference:
Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 14/147-148.
Faidah Durus Syaikh Shaleh Al-Fauzan (sesi
tanya jawab), pembahasan kitab Al-Muntaqa, Sabtu,
19 Muharram 1432 H.
Minnatul Minnah Syarh Shahih Muslim, Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri, Darus Salam, Riyadh,
cetakan pertama, 1420 H.
www.rumaysho.com
Prepared in Riyadh KSA, in the blessing morning, 20th
Muharram 1432 H (26/12/2010)
0 komentar:
Posting Komentar