Assalamu ‘alaikum. Ustadz, kalau saya membeli padi pada saat panen
(harganya murah) untuk dijual lagi di kemudian hari setelah harganya stabil
(harga naik kembali), boleh tidak? Apa dalilnya? Jazakallahu khairan.
(08x71669xxxx)
Jawaban:
Wa’alaikumussalam. Alhamdulillah. salawat
dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan
shahabatnya.
Membeli barang di saat harga barang murah atau di musim panen
adalah suatu hal yang biasa dilakukan oleh para pedagang. Setelah membeli,
biasanya mereka tidak segera menjualnya, namun menanti saat yang tepat untuk
melakukan penjualan, yaitu ketika permintaan pasar terhadap barang telah
membaik dan harga pun meningkat. Dengan cara ini, pedagang bisa memperoleh keuntungan.
Bahkan, inilah inti dan roh dari perdagangan: membeli dengan harga murah dan
menjual dengan harga mahal.
Bila pedagang dilarang membeli dan menyimpang barang di musim
panen, pelarangan ini tentu menyusahkan masyarakat. Betapa tidak, pada musim
panen, mayoritas petani menjual hasil tanamnya guna memenuhi kebutuhan mereka.
Bila pedagang dilarang membeli, kecuali dalam jumlah yang harus ia jual
kembali, tentu larangan tersebut menyusahkan kedua belah pihak. Akibatnya,
pedagang tidak sudi membeli, kecuali dalam jumlah kecil, dan bila ini
dibiarkan, harga barang hasil panen akan semakin hancur; para petani terus
melakukan penjualan, namun pedagang menahan diri dari pembelian. Bila kondisi
ini telah terjadi, tentu pihak yang dirugikan pertama kali ialah para petani.
Adapun larangan untuk memonopoli, atau yang disebut “ihtikar (احتكار)”, maka maksudnya ialah ‘membeli barang dengan
tujuan untuk memengaruhi pergerakan pasar’. Dengan demikian, ia
membeli dalam jumlah yang (sangat) besar, sehingga mengakibatkan stok barang di
pasaran menipis atau langka. Akibatnya, masyarakat terpaksa memperebutkan
barang tersebut dengan cara menaikkan penawaran.
Upaya memengaruhi harga pasar, dengan pembelian besar-besaran
kemudian menimbunnya, yang semacam inilah yang disebut dengan “ihtikar (احتكار)” atau monopoli yang diharamkan.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
“(Terkait) hadis yang berbunyi, ‘Tidaklah ada orang yang menimbun melainkan ia
telah berbuat dosa,’ penimbunan adalah perbuatan yang dapat menyusahkan
masyarakat luas. Karenanya, Anda tidak dilarang untuk menimbun barang yang
tidak menyusahkan masyarakat.” (I’lamul Muwaqqi’in,
3:183)
Al-Qadhi Iyadh rahimahullah menegaskan,
“Alasan larangan penimbunan ialah untuk menghindarkan segala hal yang
menyusahkan umat Islam secara luas. Segala hal yang menyusahkan mereka wajib
dicegah. Dengan demikian, bila pembelian suatu barang di suatu negeri
menyebabkan harga barang menjadi mahal dan menyusahkan masyarakat luas maka itu
wajib dicegah, demi menjaga kepentingan umat Islam. Pendek kata, kaidah ‘menghindarkan segala hal yang menyusahkan‘ adalah
pedoman dalam masalah ini (penimbunan barang).” (Ikmalul Mu’lim,
5:161)
Jawaban dari Ustadz Dr. Muhammad Arifin Baderi, M.A.
Sumber: Majalah Al-Furqon, edisi 10,
no. 113, tahun ke-10, Jumadil Ula 1432 H/April 2011 M.
Dinukil oleh www.ibnuabbaskendari.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar