Larangan Mengambil Keuntungan
Bismillah
was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Kita lanjutkan untuk
membahas larangan yang ketiga, tidak boleh mengambil keuntungan tanpa
menanggung resiko kerugian.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَلاَ رِبْحُ مَا لَمْ تَضْمَنْ
“Tidak
boleh mendapat keuntungan tanpa menanggung resiko kerugian.” (HR. Ahmad 6671, Abu Daud 3506,
Turmudzi 1279 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).
Anjuran
Mendapat Keuntungan ketika Jual Beli
Mendapatkan keuntungan
dalam jual beli, hukum asalnya dibolehkan. Bahkan setiap pedagang dimotivasi
untuk mendapat keberkahan dalam aktivitas bisnisnya. Diantara bentuk keberkahan
itu adalah mendapat keuntungan.
Dari Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا
لَمْ يَفْتَرِقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا
وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ بَيْعِهِمَا
Penjual
dan pembeli masing-masing memiliki hak pilih (khiyar) selama keduanya belum
berpisah. Bila keduanya berlaku jujur dan saling terus terang, maka keduanya
akan memperoleh keberkahan dalam transaksi tersebut. Sebaliknya, bila mereka
berlaku dusta dan saling menutup-nutupi, niscaya akan hilanglah keberkahan bagi
mereka pada transaksi itu” (HR. Bukhari 2079 dan Muslim
1532).
Adanya larangan untuk
mengambil keuntungan berarti pengecualian. Keluar dari hukum asal. Sehingga ini
sifatnya terbatas, karena termasuk pengecualian.
Dalam hadis ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seorang pelaku bisnis
mengambil keuntungan, ketika keuntungan itu tidak diimbangi dengan adanya dhiman (resiko kerugian).
Sehingga, di sini
sifatnya pengecualian. Karena bertentangan dengan hukum asal dalam bisnis, yang
berorientasi untuk mendapatkan keuntungan.
Pertama, apa itu dhiman?
تحمل تبعة الهلاك والتعيّب
“Tanggungan karena
resiko kerusakan dan cacat pada barang.”
Sehingga makna
keuntungan tanpa menanggung resiko kerugian berarti mengambil keuntungan dalam
jual beli, sebelum dia di posisi menanggung resiko kerusakan atau cacat barang.
Kedua, mengambil keuntungan tanpa
menanggung resiko kerugian, dalam hadis ini dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sehingga jual belinya tidak sah. Dan larangan ini hakekatnya adalah melindungi
hak konsumen maupun pedagang. Dengan cara ini, akan mennutup setiap celah
terjadinya sengketa antara penjual dan pembeli.
Ibnul Qoyim
mengatakan,
والنهي عن ربح ما لم يضمن قد أشكل
على بعض الفقهاء علته وهو من محاسن الشريعة
Larangan mengambil
keuntungan tanpa menanggung resiko kerugian, sebagian ulama kesulitan mengalami
illahnya. Padahal ini bagian dari kesempurnaan kebaikan syariat. (Hasyiyah ‘ala
Aunil Ma’bud, Ibnul Qoyim, 9/298).
Ketiga, bentuk-bentuk mengambil
keuntungan tanpa menanggung resiko rugi
[1] Jual beli makanan
sebelum terjadi serah terima
Ulama sepakat jual
beli ini dilarang. Berdasarkan keterangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ
يَبِعْهُ حَتَّى يَقْبِضَهُ
“Siapa
yang membeli makanan, janganlah dia menjualnya sampai dia terima.” (HR. Bukhari 2133 & Muslim
3915).
Imam Turmudzi
membawakan keterangan dari Ishaq bin Rahuyah,
قال إسحاق بن راهويه: قلت لأحمد
وعن بيع ما لم تضمن قال لا يكون عندى إلا فى الطعام ما لم تقبض
Ishaq bin Rahuyah
pernah mengatakan,
“Saya bertanya kepada Ahmad tentang menjual barang tanpa
menanggung resiko rugi? Jawab beliau, “Hadis ini tidak berlaku selain untuk
jual beli makanan yang belum diserah terimakan.” (Sunan at-Turmudzi, 5/140).
[2] Jual beli barang
selain makanan sebelum terjadi serah terima.
Ulama berbeda
pendapat, apakah larangan dalam hadis ini berlaku untuk semua makanan ataukah
tidak.
Pendapat pertama, ini berlaku untuk jual beli
barang yang memungkinkan untuk diserah-terimakan dengan cara taufiyah. Yang
dimaksud taufiyah, barang yang dibeli telah ditimbang atau ditakar, sehingga
memungkinkan bagi pembeli untuk menerimanya.
Dalilnya adalah
keterangan dalam hadis lain bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli makanan sebelum
diserah-terimakan. Yang itu dipahami, bahwa selain makanan tidak berlaku hukum
di atas.
Dan alasan mengapa
makanan dilarang dalam hal ini, karena makanan tidak mungkin bisa
di-serah-terimakan sebelum ditakar.
Sanggahan:
Cara pendalilan ini
kurang tepat. Karena penyebutan makanan di hadis, bukan pembatasan hukum. Namun
karena transaksi makanan itu yang paling dominan di waktu itu. Bahkan Ibnu
Abbas radhiyallahu
‘anhuma sendiri
menegaskan bahwa itu tidak hanya berlaku untuk makanan.
Ibnu Abbas ketika
meriwayatkan hadis larangan menjual makanan sebelum di-serah-terima-kan, beliau
mengatakan,
وَأَحْسِبُ كُلَّ شَىْءٍ
بِمَنْزِلَةِ الطَّعَامِ
“Saya
menduga, semua barang sama seperti makanan.” (HR. Muslim 3915 & Ahmad
2482)
Pendapat
kedua, bahwa
larangan ini berlaku untuk semua barang dagangan.
Mereka beralasan
dengan riwayat Ibnu Abbas di atas.
Disamping itu,
larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersifat umum.
Dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu,
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- نَهَى أَنْ تُبَاعَ السِّلَعُ حَيْثُ تُبْتَاعُ حَتَّى يَحُوزَهَا
التُّجَّارُ إِلَى رِحَالِهِمْ
Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang barang dagangan dijual di
tempat dia dibeli, sampai pedagang memindahkanya ke tempat mereka. (HR. Abu
Daud 3501 dan dihasankan al-Albani)
Dan insyaaAllah
pendapat kedua ini yang lebih kuat.
Kapan
Tanggung Jawab Dhiman Berpindah ke Pembeli?
Ada dua pendapat
dalam hal ini,
Pertama, tanggung
jawab resiko barang berpindah sejak terjadi qabdh (serah terima). Sebelum serah
terima, tanggung jawab resiko barang ada di tangan penjual.
Kedua, tanggung
jawab resiko barang berpindah ketika sudah tamakkun min al-qabdh,
memungkinkan untuk diserah terimakan. Jika barang sudah memungkinkan untuk
diambil, sementara pembeli tidak mengambilnya, maka resiko bukan tanggung jawab
penjual. Hanya saja, barang tidak boleh dijual sebelum terjadi serah terima.
Ini pendapat Imam
Ibnu Utsaimin.
Hikmah
Larangan Mengambil Keuntungan Tanpa Menanggung Resiko Rugi
[1] Mewujudkan keadilan.
Karena islam adalah agama yang mengajarkan sikap adil. Dan termasuk kedzaliman
ketika tanggung jawab resiko kerugian ada di tangan seseorang, sementara
keuntungannya dimiliki orang lain.
[2] Mengambil
keuntungan tanpa ada resiko kerugian, mirip dengan riba. Sehingga larangan ini,
hakekatnya menutup celah terjadinya riba. Dan ciri khas riba, adanya keuntungan
tanpa resiko rugi. Sementara jual beli tanpa ada resiko rugi, jadinya hanya
kamuflase. Tujuan utamanya bukan barang.
[3] Jual beli dengan
tanpa memperhatikan serah terima, memungkinkan seseorang untuk melakukan
trading virtual. Seperti Futures Contract.. barang bukan tujuan utama
transaksi. Semua diwakili surat virtual. Memungkinkan orang rugi besar atau
untung besar dalam waktu yang sangat singkat.
Praktek Mengambil
Keuntungan Tanpa Resiko Rugi
Pertama, Murabahah bank syariah
Salah satu skema bank
syariah dalam pembiayaan adalah murabahah lil amir bis syira.
Ketika ada nasabah
yang membutuhkan rumah atau kendaraan, nasabah melakukan transaksi dengan bank.
Nasabah diminta bayar DP 10% atau tergantung kesepakatan. Sampai titik ini,
rumah masih atau kendaraan masih menjadi milik penjual. Kemudian bank melakukan
pembelian secara tunai ke penjual, selanjutnya nasabah membayar cicilan dengan
harga yang disepakati.
Yang bisa kita
pastikan, bank sama sekali tidak memiliki rumah atau kendaraan itu ketia dia
menjualnya. Ataupun kalau dia telah membelinya, kendaraan tidak dipindahkan ke
bank baru dijual ke nasabah, tapi kendaraan langsung dikirim dari dealer ke
nasabah setelah dilunasi bank. Sehingga resiko barang, hannya berlaku di pihak
dealer dan nasabah. Bank sama sekali lepas tangan.
Sementara bank
mendapatkan keuntungan dengan jumlah cicilan yang melebihi harga barang.
Dalam kasus ini,
transaksi yang dilakukan bank hukumnya terlarang, karena,
Pertama, bank menjual
barang yang bukan miliknya
Kedua, bank
mendapatkan keuntungan tanpa menanggung resiko kerugian sama sekali.
Ketiga, mengarah pada
kamuflase jual beli. yang itu merupakan pengelabuhan terhadap transaksi riba.
Kedua, Futures Contract
Ini perdagangan dunia
maya yang marak terjadi. Tujuan pemeran perdagangan sama sekali bukan untuk
jual beli barang, bukan untuk mendapatkan barang. Semua diwakili surat
berharga. Orang beli crude oil (minyak mentah) sekian barel, dia sama sekali
tidak pernah melihat barangnya.
Ada juga yang membeli
emas sekian gram, hanya diberi surat berharga tanda kepemilikan.
Komoditas bisa dijual
belikan mengikuti perkembangan harga. Sehingga tujuan utama trading ini bukan
barang, tapi uang.
Kita bisa lihat, ada
pemain yang untung besar dan tak jarang yang langsung bangkrut.
Allahu
a’lam.
Referensi:
·
Artikel: [ربح
ما لم
يضمن] https://uqu.edu.sa/page/ar/93223749
·
Resensi Disertasi: [ربح
ما لم
يُضمَن: دراسة
تأصيليّة تطبيقيّة]
http://fiqh.islammessage.com/NewsDetails.aspx?id=3894
Ditulis
oleh Ustadz Ammi Nur Baits









0 komentar:
Posting Komentar