Beri
Sedekah pada Pengemis yang Pura-Pura Miskin, Bolehkah?
Bolehkah kita beri sedekah pada
pengemis yang pura-pura miskin?
Hukumi
Seseorang Sesuai Lahiriyah
Ingatlah kita hanya punya tugas
menghukumi seseorang sesuai lahiriyah yang kita lihat, karena tak bisa
menerawang isi hatinya. Pelajaran ini bisa kita ambil dari kisah Usamah bin
Zaid berikut ini.
Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus kami ke daerah Huraqah
dari suku Juhainah, kemudian kami serang mereka secara tiba-tiba pada pagi hari
di tempat air mereka. Saya dan seseorang dari kaum Anshar bertemu dengan
seorang lelakui dari golongan mereka. Setelah kami dekat dengannya, ia lalu
mengucapkan laa ilaha illallah. Orang dari sahabat Anshar menahan diri dari
membunuhnya, sedangkan aku menusuknya dengan tombakku hingga membuatnya
terbunuh.
Sesampainya di Madinah, peristiwa
itu didengar oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau bertanya
padaku,
« يَا أُسَامَةُ أَقَتَلْتَهُ بَعْدَ مَا قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ
اللَّهُ » قُلْتُ كَانَ مُتَعَوِّذًا . فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى
تَمَنَّيْتُ أَنِّى لَمْ أَكُنْ أَسْلَمْتُ قَبْلَ ذَلِكَ الْيَوْمِ
“Hai Usamah, apakah kamu
membunuhnya setelah ia mengucapkan laa ilaha illallah?” Saya berkata, “Wahai
Rasulullah, sebenarnya orang itu hanya ingin mencari perlindungan diri saja,
sedangkan hatinya tidak meyakini hal itu.” Beliau bersabda lagi, “Apakah engkau membunuhnya
setelah ia mengucapkan laa ilaha illallah?” Ucapan itu terus menerus diulang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga saya mengharapkan bahwa
saya belum masuk Islam sebelum hari itu.” (HR. Bukhari no. 4269 dan Muslim no.
96)
Dalam riwayat Muslim disebutkan,
lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَقَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَقَتَلْتَهُ قَالَ
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّمَا قَالَهَا خَوْفًا مِنَ السِّلاَحِ. قَالَ
أَفَلاَ شَقَقْتَ عَنْ قَلْبِهِ حَتَّى تَعْلَمَ أَقَالَهَا أَمْ لاَ فَمَازَالَ
يُكَرِّرُهَا عَلَىَّ حَتَّى تَمَنَّيْتُ أَنِّى أَسْلَمْتُ يَوْمَئِذٍ
“Bukankah ia telah mengucapkan
laa ilaha illallah, mengapa engkau membunuhnya?” Saya menjawab, “Wahai
Rasulullah, ia mengucapkan itu semata-mata karena takut dari senjata.” Beliau
bersabda, “Mengapa engkau tidak belah saja hatinya hingga engkau dapat
mengetahui, apakah ia mengucapkannya karena takut saja atau tidak?” Beliau
mengulang-ngulang ucapan tersebut hingga aku berharap seandainya aku masuk
Islam hari itu saja.”
Ketika menyebutkan hadits di
atas, Imam Nawawi menjelaskan bahwa maksud dari kalimat “Mengapa engkau tidak
belah saja hatinya hingga engkau dapat mengetahui, apakah ia mengucapkannya
karena takut saja atau tidak?” adalah kita hanya dibebani dengan menyikapi seseorang dari lahiriyahnya
dan sesuatu yang keluar dari lisannya. Sedangkan hati, itu bukan
urusan kita. Kita tidak punya kemampuan menilai isi hati. Cukup
nilailah seseorang dari lisannya saja (lahiriyah saja). Jangan tuntut lainnya.
Lihat Syarh Shahih Muslim, 2: 90-91.
Setiap Orang
Akan Diganjar Sesuai yang Ia Niatkan
Coba ambil pelajaran dari hadits
berikut.
Dari Abu Yazid Ma’an bin Yazid
bin Al-Akhnas radhiyallahu ‘anhum, -ia, ayah dan kakeknya termasuk
sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, di mana Ma’an berkata bahwa
ayahnya yaitu Yazid pernah mengeluarkan beberapa dinar untuk niatan sedekah.
Ayahnya meletakkan uang tersebut di sisi seseorang yang ada di masjid
(maksudnya: ayahnya mewakilkan sedekah tadi para orang yang ada di masjid,
-pen). Lantas Ma’an pun mengambil uang tadi, lalu ia menemui ayahnya dengan
membawa uang dinar tersebut. Kemudian ayah Ma’an (Yazid) berkata, “Sedekah itu
sebenarnya bukan kutujukan padamu.” Ma’an pun mengadukan masalah tersebut
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَكَ مَا نَوَيْتَ يَا يَزِيدُ ، وَلَكَ مَا أَخَذْتَ
يَا مَعْنُ
“Engkau dapati apa yang engkau
niatkan wahai Yazid. Sedangkan, wahai Ma’an, engkau boleh mengambil apa yang
engkau dapati.” (HR. Bukhari no.
1422)
Dari hadits ini, Ibnu Hajar
Al-Asqalani berkata, “Orang yang bersedekah akan dicatat pahala sesuai yang ia
niatkan baik yang ia beri sedekah secara lahiriyah pantas menerimanya ataukah
tidak.” (Fath Al-Bari, 3: 292)
Hal di atas sesuai pula dengan
hadits Umar, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى
“Dan setiap orang akan
mendapatkan apa yang ia niatkan.”
(HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)
Misal, ada pengemis yang mengetok
pintu rumah kita, apakah kita memberinya sedekah ataukah tidak? Padahal nampak
secara lahiriyah, dia miskin. Jawabannya, tetap diberi. Kalau pun kita keliru
karena di balik itu, bisa jadi ia adalah orang yang kaya raya, tetap Allah
catat niat kita untuk bersedekah. Sedangkan ia mendapatkan dosa karena
memanfaatkan harta yang sebenarnya tak pantas ia terima.
Begitu pula kalau ada yang
menawarkan proposal pembangunan masjid. Secara lahiriyah atau zhahir yang
nampak, kita tahu yang sodorkan proposal memang benar-benar butuh. Lalu kita
berikan bantuan. Bagaimana kalau dana yang diserahkan disalahgunakan? Apakah
kita tetap dapat pahala? Jawabannya, kita mendapatkan pahala sesuai niatan baik
kita. Sedangkan yang menyalahgunakan, dialah yang mendapatkan dosa.
Subhanallah … Mulia sekali
syariat Islam ini.
Jangan
Manjakan Pengemis dan Pengamen Jalanan
Kami hanya nasehatkan jangan
manjakan pengemis apalagi pengemis yang malas bekerja seperti yang berada di
pinggiran jalan. Apalagi dengan mengamen, melantunkan nyanyian musik yang haram
untuk didengar. Kebanyakan mereka malah tidak jelas agamanya, shalat juga tidak.
Begitu pula sedikit yang mau perhatian pada puasa Ramadhan yang wajib. Carilah
orang yang shalih yang lebih berhak untuk diberi, yaitu orang yang miskin yang
sudah berusaha bekerja namun tidak mendapatkan penghasilan yang mencukupi
kebutuhan keluarganya.
Dari Abu Hurairah, ia berkata,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِى تَرُدُّهُ الأُكْلَةُ
وَالأُكْلَتَانِ ، وَلَكِنِ الْمِسْكِينُ الَّذِى لَيْسَ لَهُ غِنًى وَيَسْتَحْيِى
أَوْ لاَ يَسْأَلُ النَّاسَ إِلْحَافًا
“Namanya miskin bukanlah orang
yang tidak menolak satu atau dua suap makanan. Akan tetapi miskin adalah orang
yang tidak punya kecukupan, lantas ia pun malu atau tidak meminta dengan cara
mendesak.” (HR. Bukhari no.
1476)
Wallahu waliyyut taufiq. Hanya
Allah yang memberi taufik.
—
0 komentar:
Posting Komentar