Sibuk
Memikirkan ‘Aib Sendiri
Segala puji bagi Allah, Rabb
yang telah menunjuki jalan pada bersihnya hati. Sungguh beruntung orang yang
mau mensucikan hatinya. Sungguh merugi orang yang mengotori hatinya. Shalawat
dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Mengapa diri ini selalu
menyibukkan diri dengan membicarakan aib orang lain, sedangkan ‘aib besar yang
ada di depan mata tidak diperhatikan. Akhirnya diri ini pun sibuk menggunjing,
membicarakan ‘aib saudaranya padahal ia tidak suka dibicarakan. Jika
dibanding-bandingkan diri kita dan orang yang digunjing, boleh jadi dia lebih
mulia di sisi Allah. Demikianlah hati ini seringkali tersibukkan dengan hal
yang sia-sia. Semut di seberang lautan seakan nampak, namun gajah di pelupuk
mata seakan-akan tak nampak, artinya aib yang ada di diri kita sendiri jarang
kita perhatikan.
‘Aibmu Sendiri yang Lebih
Seharusnya Engkau Perhatikan
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
يبصر
أحدكم القذاة في أعين أخيه، وينسى الجذل- أو الجذع – في عين نفسه
“Salah seorang dari kalian dapat
melihat kotoran kecil di mata saudaranya tetapi dia lupa akan kayu besar yang
ada di matanya.”
[Semut di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk mata tak nampak, pen].[1]
Wejangan Abu Hurairah ini amat
bagus. Yang seharusnya kita pikirkan adalah ‘aib kita sendiri yang begitu
banyak. Tidak perlu kita bercapek-capek memikirkan ‘aib orang lain, atau bahkan
menceritakan ‘aib saudara kita di hadapan orang lain. ‘Aib kita, kitalah yang
lebih tahu. Adapun ‘aib orang lain, sungguh kita tidak mengetahui seluk beluk
hati mereka.
Anggap Diri Kita Lebih Rendah
Dari Orang Lain
‘Abdullah Al Muzani mengatakan,
إن
عرض لك إبليس بأن لك فضلاً على أحد من أهل الإسلام فانظر، فإن كان أكبر منك فقل قد
سبقني هذا بالإيمان والعمل الصالح فهو خير مني، وإن كان أصغر منك فقل قد سبقت هذا
بالمعاصي والذنوب واستوجبت العقوبة فهو خير مني، فإنك لا ترى أحداً من أهل الإسلام
إلا أكبر منك أو أصغر منك.
“Jika iblis memberikan was-was
kepadamu bahwa engkau lebih mulia dari muslim lainnya, maka perhatikanlah. Jika
ada orang lain yang lebih tua darimu, maka seharusnya engkau katakan, “Orang tersebut telah lebih
dahulu beriman dan beramal sholih dariku, maka ia lebih baik dariku.” Jika ada orang lainnya yang
lebih muda darimu, maka seharusnya engkau katakan, “Aku telah lebih dulu bermaksiat
dan berlumuran dosa serta lebih pantas mendapatkan siksa dibanding dirinya,
maka ia sebenarnya lebih baik dariku.” Demikianlah sikap yang seharusnya engkau perhatikan ketika
engkau melihat yang lebih tua atau yang lebih muda darimu.”[2]
Mengapa Sibuk Membicarakan ‘Aib
Orang Lain?
Jika kita memperhatikan nasehat-nasehat
di atas, maka sungguh kita pasti tak akan ingin menggunjing orang lain karena
‘aib kita sendiri terlalu banyak. Itulah yang kita tahu.
Menceritakan ‘aib orang lain
tanpa ada hajat sama sekali, inilah yang disebut dengan ghibah.
Karena ghibah artinya membicarakan ‘aib orang lain sedangkan ia tidak ada di
saat pembicaraan. ‘Aib yang dibicarakan tersebut, ia tidak suka diketahui oleh
orang lain.
Keterangan tentang ghibah
dijelaskan dalam hadits berikut,
عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَتَدْرُونَ
مَا الْغِيبَةُ ». قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « ذِكْرُكَ
أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ». قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ
قَالَ « إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ
فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ
Dari Abu Hurairah, ia berkata,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya, “Tahukah kamu, apa itu ghibah?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ghibah adalah kamu membicarakan
saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.” Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah
menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang
saya ucapkan?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apabila benar apa yang kamu
bicarakan itu tentang dirinya, maka berarti kamu telah menggibahnya
(menggunjingnya). Namun apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka
berarti kamu telah menfitnahnya (menuduh tanpa bukti).”[3] Ghibah
dan menfitnah (menuduh tanpa bukti) sama dua keharaman. Namun untuk ghibah
dibolehkan jika ada tujuan yang syar’i yaitu dibolehkan dalam enam keadaan
sebagaimana dijelaskan oleh Yahya bin Syarf An Nawawi rahimahullah. Enam keadaan yang dibolehkan
menyebutkan ‘aib orang lain adalah sebagai berikut:
1. Mengadu
tindak kezholiman kepada penguasa atau pada pihak yang berwenang. Semisal
mengatakan, “Si Ahmad telah menzholimiku.”
2. Meminta
tolong agar dihilangkan dari suatu perbuatan mungkar dan untuk membuat orang
yang berbuat mungkar tersebut kembali pada jalan yang benar. Semisal meminta
pada orang yang mampu menghilangkan suatu kemungkaran, “Si Rahmat telah melakukan
tindakan kemungkaran semacam ini, tolonglah kami agar lepas dari tindakannya.”
3. Meminta
fatwa pada seorang mufti seperti seorang bertanya mufti, “Saudara kandungku
telah menzholimiku demikian dan demikian. Bagaimana caranya aku lepas dari
kezholiman yang ia lakukan.”
4. Mengingatkan
kaum muslimin terhadap suatu kejelekan seperti mengungkap jeleknya hafalan
seorang perowi hadits.
5. Membicarakan
orang yang terang-terangan berbuat maksiat dan bid’ah terhadap maksiat atau
bid’ah yang ia lakukan, bukan pada masalah lainnya.
6. Menyebut
orang lain dengan sebutan yang ia sudah ma’ruf dengannya seperti menyebutnya si
buta. Namun jika ada ucapan yang bagus, itu lebih baik.[4]
Adapun dosa ghibah dijelaskan
dalam firman Allah Ta’ala,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ
الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ
أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا
اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman,
jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan
janganlah mencari-cari keburukan orang. Jangan pula menggunjing satu
sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya
yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hujurat: 12)
Kata Ibnu Katsir rahimahullah,
“Ghibah diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama). Dan tidak ada
pengecualian dalam hal ini kecuali jika benar-benar jelas maslahatnya.”[5]
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Allah Ta’ala
memisalkan ghibah (menggunjing orang lain) dengan memakan bangkai seseorang.
Karena bangkai sama sekali tidak tahu siapa yang memakan dagingnya. Ini sama
halnya dengan orang yang hidup juga tidak mengetahui siapa yang menggunjing
dirinya. Demikianlah keterangan dari Az Zujaj.”[6]
Asy Syaukani rahimahullah kembali menjelaskan, “Dalam ayat
di atas terkandung isyarat bahwa kehormatan manusia itu sebagaimana dagingnya.
Jika daging manusia saja diharamkan untuk dimakan, begitu pula dengan
kehormatannya dilarang untuk dilanggar. Ayat ini menjelaskan agar seseorang
menjauhi perbuatan ghibah. Ayat ini menjelaskan bahwa ghibah adalah perbuatan
yang teramat jelek. Begitu tercelanya pula orang yang melakukan ghibah.”[7]
Jika kita sudah tahu demikian
tercelanya membicarakan ‘aib saudara kita –tanpa ada maslahat-, maka sudah
semestinya kita menjauhkan diri dari perbuatan tersebut. ‘Aib kita sebenarnya
lebih banyak karena itulah yang kita ketahui. Dibanding ‘aib orang lain,
sungguh kita tidak mengetahui seluk beluk dirinya.
Nasehat ini adalah nasehat untuk
diri sendiri karena asalnya nasehat adalah memang demikian. Ya Allah,
tunjukkanlah pada kami jalan untuk selalu memperbaiki jiwa ini. Amin Yaa Samii’um Mujiib.
Sore hari menjelang berbuka, 5
Ramadhan 1431 H (15 Agustus 2010)
Al Faqir Ilallah: Muhammad Abduh
Tuasikal
0 komentar:
Posting Komentar