Bolehkah Berdoa Minta Kaya?
Berdoa Minta Kaya
Assalamualaikum, Akhi.
Saya pernah membaca artikel seorang ustadz di internet yg intinya melarang seorang muslim berdoa meminta kaya. Beliau mengancam dg surat Al Isyro ayat 18. Bagaimana sejatinya hukum berdoa meminta kaya? Haramkah? Atau sekedar dibenci (makruh)?
Sedangkan Rosululloh ShollaAllahu alaihi wa sallam sendiri mendoakan Annas bin malik supaya kaya dan banyak keturunan Mohon penjelasan dari Akhi. Jazakallah khoiron katsir
Saya pernah membaca artikel seorang ustadz di internet yg intinya melarang seorang muslim berdoa meminta kaya. Beliau mengancam dg surat Al Isyro ayat 18. Bagaimana sejatinya hukum berdoa meminta kaya? Haramkah? Atau sekedar dibenci (makruh)?
Sedangkan Rosululloh ShollaAllahu alaihi wa sallam sendiri mendoakan Annas bin malik supaya kaya dan banyak keturunan Mohon penjelasan dari Akhi. Jazakallah khoiron katsir
Dari Asror
Wa alaikumus salam
Bismillah was shalatu was
salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Pertama, kita perlu memahami
bahwa sesungguhnya, harta semata, tidaklah tercela. Karena harta bisa
dimanfaatkan untuk kebaikan, juga untuk kejahatan. Dalam hal ini, harta berada
pada posisi netral. Disamping itu, syariat islam mengakui peran dan fungsi
harta yang sangat penting bagi kehidupan manusia.
Ada dua ayat dalam al-Quran,
menyebut harta dengan kata ’khoir’ yang artinya kebaikan,
1. Firman Allah,
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ
أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ
وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ
Diwajibkan atas kamu, apabila
seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) kematian, jika ia meninggalkan
harta yang banyak, agar berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara
ma’ruf (QS. Al-Baqarah: 180)
Kita bisa perhatikan, dalam
ayat ini Allah menyebut harta yang banyak dengan kata khoiran.
2. Firman Allah,
وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ
لَشَدِيدٌ
”Dan manusia sangat cinta
kepada al-khoir.”
Makna kata al-khoir adalah maal
(harta). [Tafsir Zadul Masir, 4/482].
Harta disebut al-khoir, yang
artinya kebaikan, karena dengan adanya harta, orang bisa melakukan berbagai
kebaikan dengan petunjuk Allah.
Demikian pula, terdapat
beberapa hadis, dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji harta
yang digunakan untuk kebaikan. Dalam hadis dari Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نِعْمَ الـمَالُ الصَّالِـح مَعَ
الرَّجُل الصَّالِـح
“Sebaik-baik harta adalah harta
yang berada di tangan orang sholeh.” (HR. Ibnu Hibban 3210 dan dishahihkan
Syuaib al-Arnauth).
Oleh karena itu, memiliki harta
tidaklah tercela. Selama harta itu tidak untuk dikuasai sendiri, apalagi
digunakan untuk masiat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا بَأْسَ بِالْغِنَى لِمَنِ
اتَّقَى
”Tidak masalah memiliki
kekayaan, bagi orang yang bertaqwa.” (HR. Ahmad 23228, Ibnu Majah 2141, dan
dihasankan Syuaib al-Arnauth).
Kedua, kekayaan yang sejati
Kekayaan yang sejati adalah
merasa cukup lahir dan bain. Dalam arti, seseorang mendapatkan rizki yang
mencukupi kebutuhan hidupnya, dan dia tidak mengharapkan apa yang ada di tangan
orang lain.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam berdoa untuk menjadi orang kaya. Dan permitaan kaya yang beliau inginkan
bukan banyak harta, namun keadaan cukup, sehingga tidak mengharapkan apa yang
dimiliki orang lain.
Diantara doa beliau, disebutkan
dalam hadis dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam berdoa,
اللهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ
الْهُدَى وَالتُّقَى، وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى
”Ya Allah, aku memohon
kepada-Mu petunjuk, ketaqwaan, terjaga kehormatan, dan kekayaan.” (HR. Muslim
2721).
An-Nawawi menjelaskan makna
kata ’kaya’ dalam doa ini,
والغنى هنا غنى النفس والاستغناء
عن الناس وعما في أيديهم
”Kaya di sini adalah kaya jiwa,
tidak membutuhkan bantuan orang lain, dan tidak mengharapkan harta yang ada di
tangan mereka” (Syarh Shahih Muslim, 17/41)
Hal ini bisa dipahami, karena
beliau juga berdoa agar rizki beliau cukup untuk makan,
اللَّهُمّ اجْعَل رِزْقَ آل
مُحَمّدٍ قُوتًا
“Ya Allah, jadikanlah rezeki
untuk keluarga Muhammad adalah sebatas untuk kebutuhan pokoknya.” (HR. Muslim
1055, Turmudzi 2361, dan yang lainnya).
Kamudian, secara bahasa, lawan
dari kata al-ghina (kaya) adalah al-faqr, yang secara bahasa artinya
membutuhkan. Sehingga sebanyak apapun harta seseorang, sementara dia masih
terus merasa membutuhkan apa yang bukan miliknya, berarti dia masih fakir.
(Syarh Shahih Muslim, 7/140)
Ketiga, Boleh berdoa minta
kekayaan
Dari keadaan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, kita mendapat kesimpulan bahwa inti dari
kekayaan adalah hidup yang cukup. Memiliki harta yang mencukupi kebutuhan pokok
hidupnya dan keadaan hati yang tidak mengharapkan apa yang dimiliki orang lain.
Pertanyaanya, bolehkah kita
meminta harta berlebih dari kebutuhan kita?
Terdapat bebrapa dalil yang
menunjukkan bahwa seorang muslim, boleh memiliki banyak harta, dan itu tidak
tercela selama dia gunakan untuk kebaikan.
Diantaranya sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam,
لا بَأْسَ بِالْغِنَى لِمَنِ
اتَّقَى
”Tidak masalah memiliki
kekayaan, bagi orang yang bertaqwa.” (HR. Ahmad 23228, Ibnu Majah 2141, dan
dihasankan Syuaib al-Arnauth).
Kemudian, beliau juga memuji
harta yang dipegang oleh orang sholeh,
نِعْمَ الـمَالُ الصَّالِـح مَعَ
الرَّجُل الصَّالِـح
“Sebaik-baik harta adalah harta
yang berada di tangan orang sholeh.” (HR. Ibnu Hibban 3210 dan dishahihkan
Syuaib al-Arnauth).
Dalam hadis lain, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan pembagian manusia berdasarkan harta,
Dari Abu Kabsyah al-Anmari
radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَثَلُ هَذِهِ الْأُمَّةِ مَثَلُ
أَرْبَعَةِ نَفَرٍ: رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالًا وَعِلْمًا، فَهُوَ يَعْمَلُ بِهِ
فِي مَالِهِ يُنْفِقُهُ فِي حَقِّهِ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ عِلْمًا وَلَمْ
يُؤْتِهِ مَالًا، فَهُوَ يَقُولُ: لَوْ كَانَ لِي مِثْلُ مَالِ هَذَا، عَمِلْتُ
فِيهِ مِثْلَ الَّذِي يَعْمَلُ ” قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” فَهُمَا فِي الْأَجْرِ سَوَاءٌ ” ” وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ
مَالًا وَلَمْ يُؤْتِهِ عِلْمًا، فَهُوَ يَخْبِطُ فِيهِ يُنْفِقُهُ فِي غَيْرِ
حَقِّهِ، وَرَجُلٌ لَمْ يُؤْتِهِ اللهُ مَالًا وَلَا عِلْمًا، فَهُوَ يَقُولُ:
لَوْ كَانَ لِي مَالٌ مِثْلُ هَذَا، عَمِلْتُ فِيهِ مِثْلَ الَّذِي يَعْمَلُ ”
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” فَهُمَا فِي
الْوِزْرِ سَوَاءٌ
“Permisalan umat ini seperti
empat kelompok manusia:
a. Seseorang yang Allah beri
harta dan ilmu agama, maka dia beramal dengan hartanya sesuai ilmunya, dia infakkan
hartanya sesuai kewajibannya.
b. Seseorang yang Allah beri
ilmu, tapi tidak Allah beri harta. Dia berkata, ”Andai aku punya harta seperti
dia (kelompok pertama), niscaya aku akan berbuat seperti yang dia lakukan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam memberi catatan,
”Mereka berdua mendapatkan
pahala yang sama.”
c. Seseorang yang Allah beri
harta, namun tidak Allah beri ilmu. Dia menghabiskan hartanya dan dia keluarkan
hartanya pada tempat yang bukan haknya.”
d. Seseorang yang tidak Allah
beri harta dan tidak pula ilmu. Maka dia berangan-angan, ”Andai aku punya harta
seperti dia (kelompok ketiga), niscaya aku akan berbuat seperti orang itu.”
lalu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam memberi catatan,
”Mereka berdua mendapatkan dosa
yang sama.”
(HR. Ahmad 18024, Ibn Majah
4228, dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).
Anda bisa perhatikan, ketika
seseorang tidak memilliki kelebihan harta, kemudian dia berharap memiliki
kelebihan harta agar bisa beramal sholeh dengan hartanya, tidak Allah
sia-siakan dan tetap Allah beri pahala.
Rasulullah bahkan mengizinkan
kita untuk melakukan hasad kepada dua jenis manusia. Artinya kita mengharapkan
apa yang dimiliki oleh dua jenis manusia itu,
لاَ حَسَدَ إِلَّا فِي
اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي
الحَقِّ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الحِكْمَةَ فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
”Tidak ada hasad kecuali pada
dua orang:
Orang yang Allah beri harta,
dan dia habiskan harta itu untuk kebaikan.
Orang yang Allah beri ilmu, dia memutuskan perkara berdasarkan ilmunya dan dia juga mengajarkan ilmunya.” (HR. Bukhari 73, Muslim 816, dan yang lainnya)
Orang yang Allah beri ilmu, dia memutuskan perkara berdasarkan ilmunya dan dia juga mengajarkan ilmunya.” (HR. Bukhari 73, Muslim 816, dan yang lainnya)
Dengan demikian, tidak masalah
seorang muslim berharap dan berdoa agar menjadi orang kaya, dengan catatan, dia
memiliki tekad kuat kekayaan itu tidak hanya dia nikmati sendiri dan tidak dia
gunakan untuk maksiat. Namun kekayaan itu dia gunakan untuk mendukung kebaikan
dan dakwah di jalan Allah.
Allahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar