Pikirkan Sebelum Mengkafirkan!!!
Pikirkan Sebelum
Mengkafirkan!!!
Pembahasan ini sangat penting untuk diulas, khususnya pada zaman
sekarang, zaman penuh dengan fitnah. Sesungguhnya pengkafiran terhadap
seseorang bukanlah masalah ringan seperti membalik telapak tangan, melainkan
masalah yang sangat ketat aturannya dalam Islam. Sebab, “pengkafiran terhadap
seseorang” berdampak pada hukum-hukum yang banyak, seperti halalnya darah,
perceraian, tidak saling mewarisi, kekal di neraka, dan sebagainya. Terlebih lagi,
pemikiran takfir (mengkafirkan) secara sembarangan
inilah merupakan pos utama yang mengantarkan pelakunya menuju peledakan dan
pengeboman.1
Namun, aneh bin ajaib, masih banyak di antara saudara kita yang
sembrono dalam masalah ini. Dengan berani, dia mengkafirkan saudaranya. Bahkan
tak tanggung-tanggung, mereka pun mengkafirkan para ulama dan pemerintah dengan
hanya bermodalkan semangat dan hawa nafsu, bukan ilmu dan kehati-hatian(!).
Berikut ini, penjelasan singkat tentang masalah takfir, supaya
menjadi pelita bagi kita dalam menyikapi fitnah ideologi asal vonis kafir ini.
Semoga bermanfaat.
Definisi
kufur
Kufur secara
bahasa artinya menyembunyikan dan menutupi (Mu’jam Maqayis Lughah, Ibnu Faris, 5/191). Disebut
demikian karena pelakunya telah menutupi kebenaran dan menutupi nikmat Allah
dengan keengganannya untuk mengikuti ajakan Allah dan rasul-Nya.
Adapun secara istilah, kufur adalah lawan kata keimanan. Asy-Syaikh
Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Definisikufur yang
bisa mencakup macam-macam, bentuk serta jenis-jenisnya adalah pengingkaran atas
segala apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau
pengingkaran atas sebagiannya.” (al-Irsyad ila Ma’rifatil Ahkam hlm. 203–204)
Macam-macam
kufur
Berdasarkan penelitian para ulama terhadap dalil-dalil tentang
masalah ini, dapat disimpulkan bahwa kufur terbagi menjadi dua macam2:
1.
Kufur ashghar (kecil)
Yaitu kekufuran yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama
Islam, seperti kufur nikmat yang disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala:
وَضَرَبَ اللهُ مَثَلاً قَرْيَةً كَانَتْ ءَامِنَةً مُطْمَئِنَّةً
يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِّن كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللهِ
فَأَذَاقَهَا اللهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ
Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri
yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah
dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah.
Karena itu, Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan,
disebabkan apa yang selalu mereka perbuat. (QS an-Nahl [16]: 112)
Seperti juga pembunuhan yang disebut sebagai kekufuran dalam
hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ
كُفْرٌ
“Mencela seorang muslim itu bentuk kefasikan dan membunuhnya
termasuk bentuk kekufuran.” (HR al-Bukhari: 48 dan Muslim: 230)
2. Kufur akbar
(besar)
Yaitu kekufuran yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam.
Inilah yang menjadi pembahasan kita di sini. Adapun patokannya adalah seperti
yang dikatakan asy-Syaikh Sulaiman ibn Sahman, “Ketahuilah bahwa kekufuran yang
mengeluarkan seorang dari Islam dan menjadikan pelakunya sebagai orang kafir
adalah mengingkari apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dari Allah karena kesombongan, dan penentangan berupa nama dan sifat
Allah, perbuatan, dan hukum-Nya yang asalnya adalah tauhid yang tiada sekutu
bagi-Nya. Semua ini sangat bertentangan dengan iman.” (Minhaj Ahlil Haq wal Ittiba’ hlm. 11)
Kufur ini terbagi menjadi lima macam sesuai dengan perbedaan
sikap manusia terhadap dakwah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam, yaitu: Kufur Takdzib (pendustaan), Kufur Syak (keraguan),Kufur Imtina’ wal Istikbar (keangkuhan), Kufur I’radh (berpaling), Kufur Nifaq (kemunafikan).
(Madarij Salikin,
Ibnul Qayyim, 1/416–417)
Perlu juga diketahui bahwa kufur bisa dengan keyakinan,
perkataan, dan perbuatan:
1. Keyakinan; seperti
keyakinan adanya sekutu bagi Allah dalam penciptaan dan pengaturan, atau sekutu
dalam ibadah seperti do’a kepada selain Allah, menyembelih, nadzar, atau sujud
kepada selain Allah, meyakini Allah punya anak atau istri, membolehkan zina,
khamar, dan lain-lain.
2. Ucapan; seperti
mencela Allah, rasul-Nya, malaikat-Nya, dan agama Islam.
3. Perbuatan; seperti
sujud kepada patung, kuburan, matahari, rembulan, membuang mushaf ke tempat
sampah, dan sejenisnya.3
Perbedaan
kufur akbar dengan kufur ashghar
Ada beberapa perbedaan antara keduanya:
1. Kufur besar mengeluarkan pelakunya dari agama Islam dan
membatalkan amal perbuatan. Adapun kufur kecil tidak mengeluarkan pelakunya
dari agama Islam dan tidak membatalkan amal perbuatan, tetapi berkurang sesuai
dosanya dan terancam siksa.
2. Kufur besar menjadikan pelakunya kekal di neraka. Adapun
kufur kecil tidak menjadikannya kekal di neraka, bahkan bisa jadi Allah
mengampuninya sehingga tidak masuk neraka.
3. Kufur besar menghalalkan darah dan harta pelakunya. Adapun
kufur kecil tidak menghalalkan darah dan harta pelakunya.
4. Kufur besar menjadikan adanya permusuhan nyata antara
pelakunya dan kaum mukminin. Adapun kufur kecil maka masih berhak mendapatkan
kecintaan kaum mukminin sesuai dengan keimanan yang ada pada dirinya. (Kitab Aqidah Tauhid hlm. 84 oleh Dr. Shalih ibn Fauzan
al-Fauzan)
Sejarah
pemikiran takfir
Sejarah pemikiran ini kembali kepada suatu kelompok bernama
Khawarij yang cikal bakalnya sudah ada sejak zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Hadits-hadits tentang ini banyak sekali4,
di antaranya:
عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ قَالَ: بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقْسِمُ قَسْمًا أَتَاهُ ذُوْ الْحُوَيْصِرَةِ
وَهُوَ رَجُلٌ مِنْ بَنِيْ تَمِيْمٍ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ اعْدِلْ! قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: «وَيْلَكَ وَمَنْ يَعْدِلْ إِنْ لَمْ أَعْدِلْ؟
قَدْ خِبْتُ وَخَسِرْتُ إِنْ لَمْ أَعْدِلْ». فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: «إِنَّ مِنْ ضِئْضِئِ هٰذَا قَوْمَا
يَقْرَأُوْنَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ، يَقْتُلُوْنَ أَهْلَ
الإِسْلَامِ وَيَدَعُوْنَ أَهْلَ الأَوْثَانِ، يَمْرُقُوْنَ مِنَ الإِسْلَامِ كَمَا
يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ. لَئِنْ أَدْرَكْتُهُمْ لأَقْتُلَنَّهُمْ قَتْلَ
عَادٍ».
Abu Sa’id al-Khudri Radhiallahu’anhu berkata, “Tatkala kami
berada di sekitar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang waktu itu
tengah membagi suatu pembagian, tiba-tiba datanglah Dzul Huwaishirah, seorang
laki-laki dari Bani Tamim, seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, berbuatlah adil!’
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Celaka kamu, siapa yang
akan berbuat adil bila aku tidak berbuat adil?! Sungguh merugi diriku bila aku
tidak berbuat adil.’ … Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda,
‘Akan muncul dari sumber orang ini suatu kaum yang membaca al-Qur’an, tetapi
tak sampai pada tenggorokan mereka, mereka membunuh orang Islam dan membiarkan
penyembah patung, mereka keluar dari Islam sebagaimana keluarnya anak panah
dari busurnya. Seandainya aku menjumpai mereka, sungguh akan aku bunuh mereka
seperti kaum Ad.’” (HR al-Bukhari: 6933 dan Muslim: 1064–1066)
Pemikiran takfir tanpa dalil muncul pada sejarah umat ini pada
waktu yang cukup dini, yaitu dengan pemberontakan yang dilakukan oleh Khawarij
kepada Khalifah Ali ibn Abi Thalib Radhiallahu’anhu pada tahun 37 H pasca
keputusan dua hakim pada Perang Shiffin. Mereka (kaum Khawarij) mengingkari Ali
Radhiallahu’anhu, mengkafirkan beliau dan dua hakim serta orang-orang yang
setuju dengan keputusan tersebut. (al-Farqu Bainal Firaq hlm. 74–76 dan Majmu’ Fatawa 13/208)
Oleh karena itulah, para ulama menyebutkan bahwa “mengkafirkan
pelaku dosa besar” merupakan bid’ah yang pertama kali muncul pada umat ini.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Oleh karenanya, harus hati-hati
terhadap pengkafiran kaum muslimin karena dosa, sebab hal itu adalah bid’ah
yang pertama kali muncul dalam Islam, sehingga mereka mengkafirkan kaum
muslimin dan menghalalkan darah dan harta mereka.” (Majmu’ Fatawa 13/31)
Pemikiran Khawarij ini pun akhirnya menular kepada
kelompok-kelompok lainnya seperti Rafidhah, Qadariyyah, Jahmiyyah, dan
lain-lain dari kelompok-kelompok tersesat. Pemikiran ini menjadi tanda yang
menonjol bagi kebanyakan kelompok bid’ah.
Pemikiran ini juga masih berkembang hingga sekarang di
tengah-tengah umat, khususnya para pemuda dan para aktivis yang terpengaruh
dengan pemikiran-pemikiran Khawarij. Akibatnya, menyebarlah di tengah-tengah
mereka pemahaman tentang kafirnya pemimpin dan para pejabatnya. Bahkan mereka
sampai berani mengkafirkan para ulama kaum muslimin!! Lebih parah lagi, di
antara mereka ada yang berani mengkafirkan semua masyarakat Islam di bumi ini
tanpa terkecuali!! (Dinukil dari at-Takfir wa Dhawabituhu,
Dr. Ibrahim ibn Amir ar-Ruhaili, hlm. 4–6)
Hal ini sesuai dengan hadits:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا
قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْل: «يَنْشَأُ نَشْأٌ يَقْرَأُوْنَ الْقُرْآنَ لَا
يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ كُلَّمَا خَرَجَ فَرْقٌ قُطِعَ حَتَّى يَخْرُجَ فِيْ
أَعْرَاضِهِمْ الدَّجَّالُ».
Ibnu Umar Radhiallahu’anhuma berkata, “Saya mendengar Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Akan muncul suatu kelompok yang membaca
al-Qur’an tetapi tak sampai pada tenggorokan mereka. Setiap kali muncul, mereka
dibasmi habis sehingga keluar pada pasukan mereka, Dajjal.’” (Hasan.
Diriwayatkan Ibnu Majah: 174 dan dihasankan al-Albani dalam ash-Shahihah: 2455.)
Hadits di atas menjelaskan dengan sangat gamblang bahwa kelompok
Khawarij akan terus muncul pada setiap masa hingga akhir zaman. Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah (Majmu’
Fatawa 28/496)
berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan dalam banyak
hadits bahwa mereka akan tetap muncul hingga zaman Dajjal. Kaum muslimin telah
bersepakat bahwa Khawarij bukan terbatas hanya pada pasukan tersebut saja.”
Syaikh al-Albani juga membuat suatu bab untuk hadits ini dengan ucapan beliau
“Terus-menerusnya kemunculan Khawarij”. (Silsilah Ahadits ash-Shahihah 5/582 No. 2455)
Demikianlah sunnatullah pada kelompok Khawarij dan yang meniti
jalan mereka, yaitu bermunculan kemudian ditepis, baik oleh ilmu dan hujjah
para ulama, atau dengan ancaman para penguasa, atau dengan kedua-duanya. (al-Iraq fi Ahadits wa Atsaril
Fitan 1/62–63 dan at-Tahdzibul Hasan hlm.
28–29 oleh Syaikhuna Masyhur ibn Hasan Salman)
Sikap
manusia dalam menyikapi takfir
Syari’at Islam dibangun di atas sikap tengah-tengah sebagaimana
ditegaskan oleh para ulama ahli fiqih dan ushul. Termasuk di antaranya adalah
dalam masalah takfir ini. Al-Imam Ibnu Abil Izzi al-Hanafi berkata,
“Ketahuilah—semoga Allah merahmatimu—bahwa masalah mengkafirkan dan tidak
mengkafirkan merupakan fitnah dan ujian yang besar, banyak perpecahan dan
perbedaan pendapat dan hawa nafsu. Dan manusia dalam masalah ini ada dua
golongan tersesat dan satu yang tengah-tengah.” (Syarh Aqidah Thahawiyyah 2/432–433)
Jadi, dalam masalah ini, terdapat tiga golongan:
Pertama: Golongan yang berlebihan dalam mengkafirkan manusia
sehingga mereka memvonis kafir dengan gegabah—tanpa ilmu dan tanpa
kehati-hatian—terhadap seorang muslim yang telah bersyahadat dan menjalankan
kewajiban agama seperti shalat, puasa, dan sebagainya. Inilah sikap kelompok
Khawarij yang sudah muncul sejak zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
Khulafa’urrasyidin. Dan kelompok ini masih terus ada hingga sekarang, terutama
di kalangan para pemuda yang jahil dan sok pintar. Mereka mengkafirkan kaum
muslimin yang menyelisihi mereka dan menghalalkan darah mereka.
Penyebab penyimpangan mereka adalah karena mereka tidak
memadukan dalil-dalil yang ada tentang kekufuran. Mereka tidak membedakan
antara kufur besar dan kecil, padahal kekufuran itu ada dua macam, besar dan
kecil, sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil yang banyak sekali.
Kedua: Golongan yang meremehkan dalam masalah ini. Mereka
melarang vonis kafir secara mutlak terhadap seorang yang telah bersyahadat,
sekalipun dia murtad, mengaku nabi, mengingkari kewajiban shalat, dan sebagainya.
Ini adalah kelompok Murji’ah yang mengatakan bahwa iman itu
hanya sekadar dalam hati, sedangkan amal perbuatan bukanlah termasuk bagian
iman. Karenanya, menurut mereka seorang muslim tidak akan kafir sekalipun
melakukan apa saja, karena kemaksiatan itu tidak membahayakan iman seorang.
Mereka berdalil dengan dalil-dalil tentang keluasan rahmat Allah
dan janji Allah untuk mengampuni hambaNya. Demikianlah, mereka berdalil dengan
suatu dalil tetapi melalaikan dalil-dalil lainnya.
Ketiga: Golongan yang tengah-tengah. Mereka tidak mengkafirkan
secara asal-asalan, tetapi juga tidak melarang pengkafiran secara mutlak.
Mereka tidak mengkafirkan secara umum tanpa memperhatikan syarat dan
kaidah-kaidah dalam masalah ini. Mereka berbaik sangka kepada seorang muslim
yang menampakkan agama Islam. Namun, apabila ada di antara mereka yang
melakukan kekufuran lalu terpenuhi semua persyaratan untuk mengkafirkannya
serta hilang segala penghalangnya maka mereka tidak pengecut untuk
mengkafirkannya.
Inilah jalan kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah, yang
tengah-tengah di antara golongan pertama (Khawarij) dan golongan kedua
(Murji’ah). Khawarij berlebih-lebihan dalam takfir, sedangkan Murji’ah
meremehkan dalam takfir. Mereka menggabung antara dalil-dalil tentang ancaman
dan dalil-dalil tentang janji dan rahmat Allah. Kita memohon kepada Allah agar
menjadikan kita termasuk golongan ini hingga maut menjemput kita.5
Jangan
gegabah memvonis kafir
Pengkafiran bukanlah masalah yang mudah, melainkan masalah yang
sangat berat risikonya dan amat berbahaya. Pengkafiran juga berdampak pada
hukum-hukum yang sangat banyak baik masalah akhirat maupun dunia, seperti
ancaman pedih baginya berupa laknat, murka, terhapusnya amal, tidak diampuni,
kekal di neraka. Demikian juga hukum-hukum dunia seperti cerai dengan istri,
dihukum bunuh, tidak ada hak waris, haram dishalati, tidak boleh dikubur di
pekuburan kaum muslimin, dan hukum-hukum lainnya yang dijelaskan dalam
kitab-kitab fiqih.
Mengingat begitu berbahaya pengkafiran ini, Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam memperingatkan kepada kita agar jangan tergesa-gesa dalam
memvonis kafir dengan ancaman beliau yang sangat berat. Berikut ini beberapa
hadits beliau:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «أَيُّمَا
رَجُلٍ قَالَ لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ. فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا». وَفِيْ رِوَايَةِ مُسْلِمٍ: «إِذَا
كَفَّرَ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا».
Dari Abdullah ibn Umar Radhiallahu’anhuma bahwasanya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang yang mengatakan kepada
saudaranya ‘wahai kafir’ dan ternyata tidak, maka akan kembali kepada salah
satu di antara keduanya.” Dalam riwayat Muslim dengan lafazh, “Barang siapa
mengkafirkan saudaranya maka akan kembali kepada salah satunya.” (HR
al-Bukhari: 6104 dan Muslim: 111)
عَنْ أَبِى ذَرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ
سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «لَا
يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلًا بِالْفُسُوقِ، وَلَا يَرْمِيهِ بِالْكُفْرِ، إِلَّا
ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ، إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذٰلِكَ».
Dari Abu Dzar Radhiallahu’anhu bahwa beliau mendengar Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang menuduh orang lain
dengan kefasikan dan kekufuran kecuali akan kembali kepada dirinya kalau
ternyata yang dituduh tidak demikian.” (HR al-Bukhari: 6045)
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِذَا
قَالَ الرَّجُلُ لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهِ أَحَدُهُمَا».
Dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu bahwasanya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang mengatakan kepada
saudaranya ‘wahai kafir’ maka akan kembali kepada salah satunya.” (HR
al-Bukhari: 6103)
Berdasarkan hadits-hadits ini, para ulama pun telah
memperingatkan kepada kita semua agar jangan tergesa-gesa dan jangan gegabah
dalam mengkafirkan kaum muslimin.
Al-Imam asy-Syaukani berkata, “Ketahuilah bahwa menghukumi
seorang muslim bahwa dia keluar dari agama Islam menuju kekafiran, tidaklah
pantas dilakukan seorang muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir,
kecuali dengan bukti yang lebih terang dari matahari. Sebab, telah shahih dari
sejumlah sahabat bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang
siapa mengatakan kepada saudaranya »wahai kafir«, maka akan kembali kepada
salah satu di antaranya.’ Dalam hadits-hadits ini terdapat peringatan keras
dari tergesa-gesa dalam mengkafirkan.” (Sailul Jarrar 4/578)
Abdullah Abu Buthain berkata, “Kesimpulannya, wajib atas setiap
orang yang menasihati dirinya supaya tidak berbicara dalam masalah ini, kecuali
dengan ilmu dan bukti dari Allah. Dan hendaknya dia berwaspada dari
mengeluarkan seorang dari Islam dengan sekadar pemahamannya dan akalnya, karena
mengeluarkan seorang atau memasukkannya termasuk perkara agama yang sangat
agung. Setan telah menggelincirkan banyak manusia dalam masalah ini.” (ad-Durar as-Saniyyah 10/374–375)
Marilah kita merenungi sebuah hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang semoga bisa menjadi pelajaran dan renungan bagi kita semua akan
bahayanya masalah ini:
قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «كَانَ
رَجُلَانِ فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ مُتَآخِيَيْنِ فَكَانَ أَحَدُهُمَا يُذْنِبُ
وَالآخَرُ مُجْتَهِدٌ فِي الْعِبَادَةِ فَكَانَ لَا يَزَالُ الْمُجْتَهِدُ يَرَى
الآخَرَ عَلَى الذَّنْبِ فَيَقُولُ أَقْصِرْ. فَوَجَدَهُ يَوْمًا عَلَى ذَنْبٍ فَقَالَ لَهُ
أَقْصِرْ فَقَالَ خَلِّنِي وَرَبِّي أَبُعِثْتَ عَلَىَّ رَقِيبًا فَقَالَ وَاللهِ
لَا يَغْفِرُ اللهُ لَكَ أَوْ لَا يُدْخِلُكَ اللهُ الْجَنَّةَ. فَقُبِضَ أَرْوَاحُهُمَا فَاجْتَمَعَا عِنْدَ
رَبِّ الْعَالَمِينَ فَقَالَ لِهٰذَا الْمُجْتَهِدِ أَكُنْتَ بِي عَالِمًا أَوْ
كُنْتَ عَلَى مَا فِي يَدِي قَادِرًا وَقَالَ لِلْمُذْنِبِ اذْهَبْ فَادْخُلِ
الْجَنَّةَ بِرَحْمَتِي وَقَالَ لِلآخَرِ اذْهَبُوا بِهِ إِلَى النَّارِ». قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ وَالَّذِي نَفْسِي
بِيَدِهِ لَتَكَلَّمَ بِكَلِمَةٍ أَوْبَقَتْ دُنْيَاهُ وَآخِرَتَهُ.
Abu Hurairah Radhiallahu’anhu berkata: Saya mendengar Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dahulu ada dua orang di Bani Isra’il
yang bersaudara, salah satunya suka berbuat dosa dan yang lainnya rajin
beribadah. Saudaranya yang ahli ibadah setiap melihat saudaranya yang suka
berdosa maka dia menasihatinya, ‘Berhentilah kamu.’ Pada suatu saat, dia
mendapatinya melakukan dosa lalu menasihatinya tetapi saudaranya yang berdosa
mengatakan, ‘Biarkanlah diriku dengan Rabbku, apakah kamu diutus untuk
mengawasiku?’ Maka saudaranya berkata, ‘Demi Allah, Allah tidak akan mengampuni
dosamu atau tidak akan memasukkanmu ke surga.’ Akhirnya, keduanya dibangkitkan
ruh keduanya maka keduanya berkumpul di sisi Rabb semesta alam, lalu Allah
mengatakan kepada yang rajin ibadah, ‘Apakah kamu lebih tahu daripada Aku?
Apakah kamu memiliki kekuasaan apa yang berada pada Tangan-Ku.’ Dan Allah
berfirman kepada yang berdosa, ‘Pergilah kamu dan masuklah ke surga dengan
sebab rahmat-Ku’ dan mengatakan untuk saudaranya yang lain, ‘Seretlah dia ke
neraka.’” Abu Hurairah Radhiallahu’anhu berkata, “Demi Dzat yang jiwaku berada
di Tangan-Nya, sungguh dia telah mengucapkan suatu ucapan yang menyengsarakan
dunia dan akhiratnya.” (HR Abu Dawud: 4901 dan dihasankan oleh al-Albani dalam
takhrij Syarh ath-Thahawiyyah hlm. 319 karya Ibnu Abil Izzi
al-Hanafi, terbitan Maktab Islami)
Mengkafirkan
ulama dan umara
Para ulama dan umara adalah golongan yang dimuliakan oleh Allah,
sebagaimana dalam firman-Nya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا
الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kamu. (QS an-Nisa’ [4]: 59)
Para ulama mengatakan bahwa ulil amri mencakup dua golongan,
yaitu ulama dan penguasa.6
Begitu banyak dalil-dalil yang menganjurkan kita untuk
memuliakan para ulama dan umara dalam hal bukan maksiat, karena hal itu
mengandung kemaslahatan yang banyak bagi manusia. Namun, bagaimanakah kiranya
jika mereka dilecehkan, dihina, bahkan dikafirkan?!! Tentu ini lebih berbahaya
dan dampaknya sangat mencekam. Sebab mengkafirkan ulama dan umara memiliki dua
dampak negatif yang besar; dampak negatif dari segi syar’i dan kemasyarakatan:
Pertama: Dampak negatif dari segi syar’i, karena ulama yang dicap
kafir tidak akan dipercaya lagi oleh manusia, atau minimal adalah diragukan
kredibilitas mereka. Dengan demikian, pada hakikatnya orang yang mengkafirkan
ulama tersebut berarti menghancurkan syari’at Islam, sebab syari’at Islam itu
diambil dari para ulama para ahli waris nabi, sedangkan yang diwariskan oleh
para nabi bukanlah dinar dan dirham, melainkan ilmu. (HR Abu Dawud: 3641,
at-Tirmidzi: 2682, Ibnu Majah: 223; dishahihkan oleh al-Albani)7
Kedua: Dampak kemasyarakatan, karena apabila pemerintah telah
dianggap kafir maka akan terjadi kerusakan, kekacauan, dan pemberontakan yang
tidak diketahui kesudahannya kecuali oleh Allah.
Oleh karenanya, kita harus waspada terhadap pemikiran seperti
ini dan hendaknya mengingatkan orang yang berpemikiran rusak tersebut. Katakan
kepadanya, “Jika Anda menilai bahwa seorang alim melakukan kekufuran maka
hubungilah dia dan berdialoglah dengannya tentang masalah tersebut agar
masalahnya jelas.”8
Syarat
dan penghalang takfir
Termasuk kaidah fiqih yang sangat berharga ialah bahwa sesuatu
hukum tidak sempurna kecuali apabila terpenuhi syarat-syaratnya dan hilang
segala penghalangnya. Contoh penerapan kaidah ini banyak sekali, baik dalam
wudhu, shalat, pernikahan, jual beli, dan sebagainya.9 Di antaranya juga adalah masalah
takfir yang menjadi topik pembahasan kita kali ini.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Pengkafiran memiliki
syarat-syarat dan penghalang. Maka pengkafiran secara mutlak tidak mengharuskan
pengkafiran secara individu orang, kecuali apabila terpenuhi syarat dan hilang
segala penghalangnya. Hal yang menunjukkan hal ini bahwa al-Imam Ahmad dan
mayoritas para imam yang sering mengatakan secara umum bahwa barang siapa
mengatakan atau melakukan ini kafir, namun mereka tidak mengkafirkan kebanyakan
orang yang mengatakan ucapan tersebut.” (Majmu’ Fatawa 12/487)
Oleh karenanya, sangat penting kita mengetahui masalah ini agar
kita mengetahui betapa ketatnya masalah ini:
1.
Baligh dan berakal
Hal ini berdasarkan dalil bahwa anak kecil dan orang yang tidak
berakal, diangkat pena dari mereka, sebagaimana dalam hadits:
«رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى
يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى
يَعْقِل».
“Pena diangkat dari tiga golongan: dari orang tidur hingga
bangun, anak kecil hingga dewasa, dan orang gila hingga sadar.” (HR Ahmad:
24694, Ibnu Majah: 2041, al-Hakim 2/67 dan dishahihkan al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil 2/5)
Hadits ini menunjukkan gugurnya beban dari tiga golongan
tersebut. Dan dari hadits ini pula para ulama mengambil kaidah ushul yang
populer, bahwa baligh dan berakal adalah syarat taklif (beban hukum).10
Para ulama juga menilai bahwa baligh dan berakal adalah syarat
untuk menghukumi seorang tertentu dengan kekafiran. Sebab itu, mereka tidak
menganggap murtadnya anak kecil dan orang gila.11
2.
Sengaja
Ini juga merupakan syarat yang penting. Adapun jika seseorang
salah bicara atau berbuat tanpa kesengajaan dan kemauan dari dirinya, baik
karena terpaksa, sangat takut, sangat gembira, dan sebagainya, maka tidak bisa
dikafirkan.
Dalil tentang “terpaksa” ialah firman Allah:
مَن كَفَرَ بِاللهِ مِن بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ
وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِاْلإِيمَانِ وَلَكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا
فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمُُ
Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia
mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya
tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa). Akan tetapi, orang yang
melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan
baginya adzab yang besar. (QS an-Nahl [16]: 106)
Dalil tentang “karena sangat gembira” adalah kisah yang
dibawakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Allah lebih bergembira
dengan taubat hamba-Nya daripada gembiranya seorang yang berada di tengah pada
pasir lalu kehilangan hewan tunggangan yang membawa perbekalan safarnya, lalu
dia beristirahat dalam keadaan putus asa, ternyata tiba-tiba hewannya datang
kembali. Melihat hal itu, karena sangat gembiranya dia mengatakan, “Ya Allah,
Engkau adalah hambaku dan aku adalah rabb-Mu”, dia salah berucap karena sangat
gembiranya. (HR al-Bukhari: 2747 dan Muslim 4/2104)
Lihatlah orang ini, dia mengatakan bahwa Allah adalah hambanya
dan dia adalah rabb-nya Allah. Bukankah ini adalah suatu kekufuran? Namun,
tatkala dia mengatakan hal itu di luar kesadarannya, maka hal itu dimaafkan.
Al-Qadhi Iyadh berkata, “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa apa yang
dikatakan oleh seseorang di luar kesadarannya baik karena gembira atau lalai
maka tidaklah berdosa.” (Ikmalul Mu’lim 8/245)
Dalil tentang “sangat takut” adalah kisah yang diceritakan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seorang yang mengatakan, “Jika aku telah
meninggal maka bakarlah aku, kemudian tumbuklah halus-halus, lalu buanglah ke
lautan. Kalau memang Allah Subhanahu wa Ta’ala membangkitkanku, maka Dia akan
menyiksaku dengan siksaan yang tidak pernah ada di alam ini.” Akhirnya, mereka
pun melaksanakan wasiat tersebut. Tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala
membangkitkannya, Allah Subhanahu wa Ta’ala bertanya kepadanya, “Apa yang
membuatmu melakukan ini?” Jawabnya, “Aku takut kepada-Mu.” Lantas Allah
mengampuninya. (HR al-Bukhari: 6481 dan Muslim: 2756)
Lihatlah orang ini, dia mengingkari kemampuan Allah untuk
membangkitkan hamba setelah kematian. Bukankah ini adalah suatu kekufuran?!
Namun, dia melakukannya karena sangat takutnya kepada Allah, maka Allah
mengampuninya.
3.
Sampai hujjah padanya
Ini adalah syarat yang penting. Adapun jika orang tersebut jahil
(bodoh) maka tidak dikafirkan. Dalil tentang masalah ini banyak sekali. Di
antaranya ialah permintaan para sahabat agar dibuatkan untuk mereka dzatu anwath guna
mengharap berkah dan i’tikaf di sana sebagaimana kaum musyrikin, namun Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengkafirkan mereka yang meminta tersebut.
Hal ini sangat jelas menunjukkan bahwa orang jahil diberi udzur sampai tegak
hujjah padanya. Mereka adalah generasi terbaik yang hidup pada zaman Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas, bagaimana kiranya dengan selain mereka
yang lebih jahil dan jauh dari zaman Nabi?! (ad-Durr an-Nadhid hlm.
9)
Al-Imam adz-Dzahabi berkata, “Seorang tidak berdosa kecuali
setelah dia mengetahui hukumnya dan ditegakkan hujjah padanya. Allah Maha
lembut dan kasih sayang. Allah berfirman:
وَمَاكُنَّا مُعَذَّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً
Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang
rasul. (QS al-Isra’ [17]: 15)
Para sahabat ketika di Habasyah, telah turun wahyu kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa kewajiban dan larangan. Namun, beliau
tidak menyampaikannya kepada mereka melainkan setelah beberapa bulan. Mereka
pada saat itu diberi udzur sampai datang dalil kepada mereka. Demikian pula,
orang yang tidak mengetahui diberi udzur sehingga dia mendengarkan dalilnya. Wallahu A’lam.” (al-Kaba’ir hlm.
12)
4.
Bukan karena takwil
Maksud dari syarat ini ialah bahwa ada sebagian orang yang sudah
mengerti dalil tetapi dia mengartikan makna lain yang tidak benar sehingga dia
terjatuh dalam kesalahan tanpa sadar.
Dalil tentang hal ini adalah kisah Mu’adz ibn Jabal
Radhiallahu’anhu yang sujud kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apa ini, wahai Mu’adz?”
Dia menjawab, “Saya datang ke Syam dan saya dapati mereka sujud kepada
pendeta-pendeta mereka, maka saya ingin melakukan hal itu kepada dirimu, wahai
Nabi.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan
lakukan hal itu, karena seandainya saya boleh memerintahkan orang untuk sujud
kepada selain Allah, niscaya saya akan memerintahkan seorang istri untuk sujud
kepada suaminya.” (HR Ibnu Majah: 1853, Ahmad 32/145 dan dishahihkan al-Albani
dalam Silsilah ash-Shahihah: 1203)
Dalam hadits ini, Mu’adz telah sujud kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan sujud kepada selain Allah adalah suatu
kekufuran yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam.12 Namun, tatkala perbuatan Mu’adz
Radhiallahu’anhu tersebut disebabkan oleh takwil, yakni dia menganggap hal itu
adalah sebagai bentuk penghormatan dan pengagungan kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan
mengkafirkannya, melainkan hanya melarangnya saja dan menjelaskan bahwa sujud
itu tidak boleh diperuntukkan kepada selain Allah.13
Siapakah
yang berhak mengkafirkan?
Setelah membaca penjelasan di atas, dapat kita pahami bahwa
mengkafirkan itu tidak mudah dan sembarangan. Kita harus memahami
kaidah-kaidah, syarat-syarat, dan penghalang-penghalangnya.
Oleh karena itu, masalah (pengkafiran) ini harus diserahkan
kepada ahli ilmu yang kuat dan paham akan al-Qur’an dan sunnah serta
kaidah-kaidah masalah ini. Mereka (ahli ilmu)lah yang dapat menghukumi secara
adil dan berdasarkan ilmu, bukan asal-asalan dan berdasarkan hawa nafsu.
Asy-Syaikh Dr. Shalih ibn Fauzan al-Fauzan berkata, “Tidak boleh
berbicara tentang masalah ini selain orang yang memiliki ilmu dan pengetahuan
sehingga dia tidak mengkafirkan kecuali orang yang dikafirkan Allah dan
rasul-Nya disebabkan melakukan salah satu pembatal di antara pembatal-pembatal
keislaman yang disepakati oleh ulama. Oleh karenanya, seorang muslim harus
berilmu terlebih dahulu sebelum berbicara dan tidak berbicara kecuali di atas
ilmu. Sebab, jika tidak demikian lalu dia mengkafirkan seorang muslim, maka dia
telah melakukan dua tindak kriminal yang sangat berbahaya:
Pertama: Mengatakan tentang Allah tanpa dasar ilmu, padahal Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللهِ كَذِبًا أَوْ كَذَّبَ
بِئَايَاتِهِ إِنَّهُ لاَيُفْلِحُ الظَّالِمُونَ
Dan siapakah yang lebih zhalim (aniaya) daripada orang yang
membuat-buat suatu kedustaan terhadap Allah, atau mendustakan ayat-ayat-Nya?
Sesungguhnya orang-orang yang zhalim tidak mendapat keberuntungan. (QS al-An’am
[6]: 21)
وَلاَتَقْفُ مَالَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ
وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلاَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati,
semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban. (QS al-Isra’ [17]: 36)
Kedua: Melakukan kejahatan kepada seorang muslim yang dia
kafirkan, sebab apabila dia mengkafirkan seorang muslim berarti dia harus
dipisah dari istrinya, tidak ada saling mewarisi, tidak dikubur di kuburan kaum
muslimin, dan sebagainya.
Oleh karenanya, seorang yang berbicara pada masalah ini harus
memiliki ilmu yang diambil dari para ulama rabbaniyyun yang kuat, bukan hanya
sekadar hafalan kitab atau menelaah kitab saja.” (at-Takfir wa Dhawabituhu hlm. 101–102)
Sebagai penutup, alangkah indahnya nasihat asy-Syaikh Muhammad
ibn Shalih al-Utsaimin tatkala berkata, “Hendaknya seorang manusia bersikap
hati-hati dari mengkafirkan orang yang tidak dikafirkan oleh Allah dan
rasul-Nya atau melontarkan permusuhan Allah kepada seorang yang bukan musuh
Allah dan rasul-Nya. Hendaknya dia menahan lidahnya karena lidah adalah sumber
bencana.” (Fatawa
fil Aqidah 2/754)
Oleh Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As-Sidawi
Lihat masalah pengeboman secara lebih terperinci dalam buku
kami, Pengeboman, Jihad atau Terorisme?, terbitan Pustaka Al
Furqon, Gresik.
Lihat Ta’zhim Qadri Shalah hlm. 343 oleh Muhammad ibn Nashr
al-Marwazi, Madarij Salikin 1/413–414 danHukmu Tarik Shalah hlm. 41–42 oleh Ibnu Qayyim
al-Jauziyyah.
3Lihat Hasyiyah I’anah Thalibin 4/203 Abu Bakar Syatha dan at-Takfir fi Dhau’i Sunnah hlm. 45–46 oleh Dr. Basim al-Jawabirah.
4Sebagian ulama menilai bahwa hadits-hadits mengenai
Khawarij mencapai derajat mutawatir. Al-Imam Ahmad ibn Hanbal (dalam Majmu’ Fatawa 3/2
79) berkata, “Telah shahih hadits tentang Khawarij dari sepuluh jalan.
Dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahih-nya dan
Bukhari sebagiannya.” Asy-Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab (Mukhtashar Sirah Rasul hlm. 498) berkata, “Telah mutawatir
hadits-hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ciri-ciri
Khawarij, kejelekan mereka serta anjuran memerangi mereka.”
Lihat Durusun fi Syarhi Nawaqidhil
Islam hlm. 22–24 oleh
Dr. Shalih ibn Fauzan al-Fauzan, Nawaqidhul Iman al-Qauliyyah
wal Fi’liyyah hlm.
197 oleh Dr. Abdul Aziz alu Abdil Lathif, Nawaqidhul Iman al-I’tiqadiyyah hlm. 201–309 oleh Dr. Muhammad
al-Wuhaibi.
6Lihat Tafsir ath-Thabari 5/93, Tafsir Ibnu Katsir 1/530, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 18/158, Risalah TabukiyyahIbnu Qayyim al-Jauziyyah hlm. 46.
Al-Imam Ibnu Rajab memiliki buku khusus tentang penjelasan
hadits ini berjudul Waratsatul Anbiya’ fi Syarhi
Hadits Abi Darda’.
Tulisan asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dalam surat kabar al-Muslimun, Edisi 593. Tanggal 28/1/1417 H
(14/6/1996 M), sebagaimana dalam Fitnah Takfir hlm. 69–70 oleh Ali ibn Husain Abu
Lauz.
Lihat al-Qawa’id wal Ushul Jami’ah karya as-Sa’di hlm. 33–35, Syarh Qawa’id as-Sa’diyyah karya asy-Syaikh Abdul Muhsin az-Zamil
hlm. 85–89, Syarh Manzhumah Qawa’id
Fiqhiyyah karya Dr. Abdul
Aziz al-’Uwaid hlm. 235–237.
Lihat al-Qawa’id wal Fawa’id
al-Ushuliyyah hlm. 33
oleh Ibnu Lahham dan al-Qawa’id wal Ushul Jami’ah hlm. 33 oleh as-Sa’di.
Lihat al-Ijma’ hlm. 122 oleh Ibnul Mundzir, al-Mughni 12/266
oleh Ibnu Qudamah.
Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 1/74
Lihat pembahasan ini dalam at-Takfir wa Dhawabituhu karya Dr. Ibrahim ar-Ruhaili hlm.
263–297.
Abiubaidah.com
0 komentar:
Posting Komentar