Fiqh Pemberian Nama dan Hal-Hal yang Terkait dengannya
Urgensi Pemberian Nama Kepada
Bayi
Para ulama telah menegaskan kewajibannya tentang
memberikan nama, bahkan mereka telah sepakat (ijma’) tentang hal
tersebut. Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata :
واتفقوا
أن التسمية للرجال والنساء فرض
“Para ulama sepakat bahwasannya memberi nama kepada
laki-laki dan perempuan adalah wajib” [Maraatibul-Ijma’, hal. 153].
Nama adalah lafadh dimana seseorang dipanggil
dengannya. Islam memberikan perhatian sangat besar terhadap masalah ini, hingga
Allah pun menegaskan hal ini dalam Al-Qur’an :
يَا
زَكَرِيَّا إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلامٍ اسْمُهُ يَحْيَى لَمْ نَجْعَلْ لَهُ مِنْ
قَبْلُ سَمِيًّا
“Wahai Zakaria, sesungguhnya Kami
memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya,
yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia” [QS. Maryam : 7].
Hingga kelak di hari kiamat, manusia akan dipanggil
dengan nama yang mereka dipanggil dengannya semasa di dunia.
عن أبي
الدرداء قال: قال رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم: "إنكم تُدعون يوم القيامة
بأسمائكم وأسماء آبائكم فأحسنوا أسماءكم".
Dari Abu Dardaa’, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :“Sesungguhnya kalian akan
dipanggil pada hari kiamat dengan nama kalian dan nama bapak-bapak kalian. Maka
baguskanlah nama-nama kalian” [HR.
Abu Dawud no. 4948, Ad-Daarimiy no. 2736, Al-Baihaqi 9/306, dan yang lainnya.
Sanad hadits ini dla’if karena adanya inqitha’, namun maknanya benar].
Keterkaitan Nama dengan
Pemiliknya
Nash-nash syari’at telah menjelaskan keterkaitan nama
dengan pemiliknya. Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
عن بن عمر
قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم أسلم سالمها الله وغفار غفر الله لها وعصية
عصت الله ورسوله
“Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhuma ia berkata : Telah
bersabda Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Aslam (- nama orang -), semoga Allah
mendamaikan hidupnya; Ghifaar (-
nama orang -), semoga Allah mengampuninya; dan ‘Ushayyah (- nama orang -) telah durhaka kepada Allah dan
Rasul-Nya” [HR. Al-Bukhari
no. 3513, Muslim no. 2518, Ahmad no. 4702, dan yang lainnya].
Demikian pula nama yang ada pada diri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
yaitu Ahmad dan Muhammad; dimana dua-duanya mengandung makna ‘terpuji’. Dan
beliaushallallaahu ‘alaihi wa sallam memang
mempunyai sifat-sifat terpuji dalam ‘aqidah, akhlaq, dan segala hal yang
ternisbat kepada beliau.
Namun sebaliknya, kita dapat melihat beberapa musuh
Allah seperti Abu Lahab yang nama aslinya adalah ‘Abdul-‘Izza. Kunyah Abu Lahab[1] ini sangat pas dengan dirinya, yang
akhirnya ia ditempatkan ke dasar neraka, terbakar oleh lidah api yang
menyala-nyala akibat kedurhakaannya. Begitu pula dengan Abu Jahal.
Al-Imam Ibnu-Qayyim rahimahullah berkata :
ومن تأمل
السنة وجد معاني في الأسماء مرتبطة بها حتى كأن معانيها مأخوذة منها وكأن الأسماء
مشتقة من معانيها........ وإذا أردت أن تعرف تأثير الأسماء في مسمياتها. فتأمل
حديث سعيد بن المسيب عن أبيه عن جده قال أتيت إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال
ما اسمك قلت حزن فقال أنت سهل قال لا أغير اسما سمانيه أبي قال ابن المسيب فما
زالت تلك الحزونة فينا بعد رواه البخاري في صحيحه والحزونة الغلظة
“Barangsiapa yang mengamati sunnah, niscaya ia akan
menemukan bahwa nama-nama yang ada berhubungan dengan pemiliknya yang
seakan-akan ia memang diambil darinya sesuai dengan karakternya…… Apabila
engkau ingin mengetahui
bagaimana nama-nama itu bisa mempengaruhi pemiliknya, maka perhatikanlah hadits
Sa’id bin Al-Musayyib, dari bapaknya, dari kakeknya, ia berkata : “Aku pernah
menghadap Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Beliau bertanya
: “Siapakah namamu ?”. Aku
menjawab : “NamakuHuzn”. Beliau bersabda : “(Gantilah), namamu menjadi Sahl
(=mudah)”. Aku berkata : “Aku tidak akan menukar nama yang telah diberikan
oleh bapakku”. Ibnul-Musayyib berkata : “Sejak saat itu, sifat kasar senantiasa
ada dalam keluarga kami”. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya. Makna al-huzuunah/huzn adalah al-ghildhah (=kasar)” [Tuhfatul-Mauduud
bi-Ahkaamil-Mauluud oleh
Ibnul-Qayyim, hal. 84-85, tahqiq : ‘Abdul-Mun’im ‘Aaniy; Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah,
Cet. 1/1403].
Waktu Pemberian Nama
Ada dua pendapat ternukil dalam permasalahan ini yang
mempunyai landasan dalil :
1. Dilakukan pada hari ketujuh setelah kelahirannya.
Pendapat ini
didasarkan pada hadits :
كل
غلام رهينة بعقيقته تذبح عنه يوم سابعه ويحلق ويسمى
”Setiap
anak tergadai dengan ’aqiqahnya yang
disembelih pada hari ketujuh dari kelahirannya, dicukur (rambutnya), dan diberi
nama” [HR. Abu Dawud no. 2837-2838; At-Tirmidzi
no. 1522; An-Nasa’i no. 4220; Ibnu Majah no. 3165; Ahmad 5/7,12,17,22; dan yang
lainnya; shahih].
Berkata Al-Imam
Al-Baghawiy rahimahullah :
واستحب
غير واحد من أهل العلم أن لا يسمى الصبي قبل السابعة، روي ذلك عن الحسن، وبه قال
مالك
“Banyak ulama
berpendapat disunnahkannya untuk tidak menamai anak sebelum hari ketujuh
kelahirannya. Diriwayatkan hal itu dari Al-Hasan, dan dengannya Malik
berpendapat” [Syarhus-Sunnah, 11/269, tahqiq & takhrij : Syu’aib
Al-Arna’uth; Al-Maktab Al-Islamiy, Cet. 2/1403 H].
2. Dilakukan pada hari pertama atau sebelum hari ketujuh
dari waktu kelahirannya.
Pendapat ini
didasarkan pada hadits :
عَنْ
أَبِيْ مُوْسَى رَضِىَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ قَالَ وُلِدَ لِيْ غُلامٌ فَأَتَيْتُ
بِهِ النَّبِيَّ صَلى الله عليه وسلم فَسَمَّاهُ إِبْرَاهِيْمَ فَحَنَّكَهُ
بِتَمْرَةٍ وَدَعَا لَهُ بِاْلبَرَكَةِ وَدَفَعَهُ إِلَيَّ
Dari Abi Musa radliyallaahu ta’ala ’anhu ia berkata : ”Telah lahir seorang
anakku. Maka aku membawanya ke hadapan Nabi shallallaahu
’alaihi wa sallam dan beliau
menamainya Ibrahiim. Maka kemudian beliau men-tahnik-nya dengan kurma
dan mendoakan barakah untuknya. Kemudian beliau menyerahkannya padaku” [HR.
Al-Bukhari no. 5467, 6198; Muslim no. 2145; dan yang lainnya].
عن
أنس بن مالك. قال: ......فولدت غلاما. فقال لي أبو طلحة: احمله حتى تأتي به النبي
صلى الله عليه وسلم. فأتى به النبي صلى الله عليه وسلم. وبعثت معه بتمرات. فأخذه
النبي صلى الله عليه وسلم فقال (أمعه شيء؟) قالوا: نعم. تمرات. فأخذها النبي صلى
الله عليه وسلم فمضغها. ثم أخذها من فيه. فجعلها في في الصبي. ثم حنكه، وسماه
عبدالله.
Dari Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu, ia berkata
: ….”Maka Ummu Sulaim melahirkan seorang bayi laki-laki. Lalu Abu Thalhah
mengatakan kepada Anas : “Bawalah bayi ini kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam”.
Maka aku (Anas) bawa bayi tersebut kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan berbekal dua butir kurma.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam mengambil bayi itu
sambil bertanya :“Apakah ada makanan yang dibawa ?”. Orang-orang
menjawab : “Ya, dua butir kurma”. Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam mengambil
kurma tersebut dan mengunyahnya. Lalu beliau ambil dari mulut beliau, kemudian
beliau suapkan ke dalam mulut bayi itu dan beliau memberinya nama ‘Abdullah”
[HR. Al-Bukhari no. 5467, 6198; Muslim no. 2145; Abu Dawud no. 4951; dan yang
lainnya].
Al-Imam Ath-Thahawiy rahimahullah berkata :
وَأَنَّ
الَّذِي كَانَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي
ابْنِهِ إبْرَاهِيمَ وَفِي عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ مِنْ تَسْمِيَتِهِ
إيَّاهُمَا قَبْلَ يَوْمِ سَابِعِهِمَا وَقَبْلَ ذَبْحِ عَقِيقَةٍ عَلَى كُلِّ
وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَنْهُ بِأَنَّهَا لَمْ يُنْسَخْ أَنْ يَكُونَ يَوْمَ سَابِعِهِ
كَانَ طَارِئًا عَلَى ذَلِكَ وَنَاسِخًا لَهُ فَكَانَ أَوْلَى مِمَّا كَانَ
قَبْلَهُ مِمَّا يُخَالِفُهُ
“Pemberian nama yang
dilakukan oleh Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallamkepada putranya Ibrahim dan ‘Abdullah bin Thalhah sebelum
hari ketujuh dan sebelum disembelihnya nasikah (‘aqiqah) bagi
masing-masingnya, karena kedua riwayat ini sebagai penghapus hukum (bagi
riwayat yang menyebutkan penetapan waktu tasmiyyah/pemberian
nama pada hari ketujuh), maka hal ini lebih utama dari apa-apa yang
menyelisihinya” [Musykilul-Aatsaar oleh
Ath-Thahawiy, 1/456].
Yang benar, waktu pemberian nama adalah fleksibel.
Perkataan Ath-Thahawirahimahullah tidaklah
dapat diterima karena dua-duanya merupakan sunnah yang tsabitdari beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Klaim mansukh tentu saja harus diletakkan
apabila masih memungkinkan untuk dijamak. Apalagi dua pendapat tersebut
tidaklah bertentangan, namun hanya menunjukkan keragaman saja. Seseorang boleh
memberikan nama pada waktu kelahirannya ataupun menundanya hingga hari ketujuh
dari kelahirannya. Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah memberikan satu bab dalamShahih-nya
– yang sekaligus menunjukkan pendapatnya dalam hal ini :
باب تسمية
المولود غَداةَ يولَدُ لمن لم يَعقَّ عنه، وتحنيكهِ
“Bab : Pemberian nama bagi bayi segera setelah
kelahirannya bagi anak yang tidak diaqiqahi, dan men-tahnik-nya”.
Al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkomentar atas perkataan
Al-Bukhari di atas :
وهو جمع
لطيف لم أره لغير البخاري
“Ini adalah cara penggabungan makna yang sangat
teliti, dan belum ada yang berpendapat seperti ini selain Al-Bukhari” [Fathul-Baariy,
9/588].
Namun, perkataan Al-Bukhari di atas juga perlu untuk
dicermati kembali karena pemberian nama setelah kelahirannya tidaklah mesti dipersyaratkan
bagi anak yang tidak diaqiqahi. Hal itu dikarenakan hadits Anas bin Malik
ataupun hadits Abu Musaradliyallaahu ‘anhuma di atas tidaklah menunjukkan hal
itu. Barangkali setelah dinamai oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam Abu Musa dan Abu Thalhah
menyembelih kambing bagi anaknya di hari ketujuh.
Al-Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata :
إن
التسمية لما كانت حقيقتها تعريف الشيء المسمى لأنه إذا وجد وهو مجهول الاسم لم يكن
له ما يقع تعريفه به فجاز تعريفه يوم وجوده وجاز تأخير التعريف إلى ثلاثة أيام
وجاز إلى يوم العقيقة عنه ويجوز قبل ذلك وبعده والأمر فيه واسع
“Sesungguhnya tasmiyyah (pemberian nama) iu pada
hakekatnya berfungsi untuk menunjukkan identitas penyandang nama, karena jika
ia didapati tanpa nama berarti tidak memiliki identitas yang dengannya ia bisa
dikenali. Oleh karena itu, identitasnya boleh diberikan pada hari kelahirannya,
boleh juga ditunda pada hari ketiga, atau pada hari aqiqahnya. Boleh juga
sebelum atau sesudah hari ‘aqiqahnya. Oleh karena itu, perkara ini adalah luas/lapang”
[Tuhfatul-Mauduud, hal. 79].
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata :
وأما
التسمية فإن كان الاسم قد أعد من قبل الولادة فلتكن التسمية عند الولادة لأن النبي
صلى الله عليه وعلى آله وسلم دخل على أهله ذات يوم وقال ولد لي الليلة ولد وسميته
إبراهيم وإن كانت التسمية لم تعد فلتكن في اليوم السابع عند ذبح العقيقة وينبغي
للإنسان أن يحسن اسم ابنه واسم ابنته وأحب الأسماء إلى الله أعني أسماء الذكور عبد
الله وعبد الرحمن
“Adapun perkara pemberian nama (tasmiyyah),
apabila nama anak telah dipersiapkan sebelum kelahirannya, hendaklah pemberian
nama dilakukan pada hari kelahirannya. Hal itu dikarenakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa ‘alaa
aalihi wa sallam pernah masuk
ke rumah istrinya pada suatu hari, dan bersabda : “Pada suatu malam aku dianugerahi
seorang anak laki-laki dan aku namai ia dengan Ibrahim”. Namun bila nama
tersebut belum dipersiapkan (sebelum kelahiran), hendaklah ia menamai anak itu
pada hari ketujuh saat penyembelihan hewan ‘aqiqah. Sudah sepatutnya bagi
seseorang untuk membaikkan dalam pemberian nama bagi anak-anaknya. Nama paling
dicintai oleh Allah – yaitu bagi anak laki-laki – adalah ‘Abdullah dan
‘Abdurrahman” [Fataawaa Nuur ‘alad-Darb, juz 8].
Faktor-Faktor Penting ketika
Memilih dan Memberikan Nama
1. Nama tersebut diambil dari nama-nama orang shalih dari
kalangan para nabi, rasul, dan orang shalih lainnya. Maksudnya untuk
mendekatkan diri kepada Allah ta’aladengan
cara mencintai dan menghidupkan nama mereka, serta melaksanakan apa yang
dicintai Allah dengan memilih nama-nama para wali-Nya yang telah membawa
agama-Nya.
2. Nama yang singkat, hurufnya sedikit, serta mudah
diucapkan dan dihapal.
3. Maknanya bagus, sesuai dengan kondisi orangnya, derajat,
agama, dan martabatnya.
Nama-Nama yang Paling
Baik
Apabila diurutkan, nama-nama yang paling baik dan
disunnahkan untuk diberikan kepada anak Adam berdasarkan nash adalah :
1. ‘Abdullah dan ‘Abdurrahman.
Nama ini adalah nama
yang paling dicintai oleh Allah ta’ala berdasarkan hadits :
عن
ابن عمر قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إن أحب أسمائكم إلى الله عبد
الله وعبد الرحمن
Dari Ibnu ‘Umar ia
berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya nama yang paling
dicintai oleh Allah adalah ‘Abdullah dan ‘Abdurrahman” [HR. Muslim no. 2132, Abu Dawud no.
4949, At-Tirmidzi no. 2833, Al-Haakim no. 7719, Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa 9/309, dan yang lainnya].
Di kalangan shahabat
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam terdapat sekitar 300
orang yang bernama ‘Abdullah.
2. Nama yang menunjukkan penghambaan diri terhadap salah
satu nama-nama Allah, seperti ‘Abdul-‘Aziz, ‘Abdul-Malik, ‘Abdurrahiim, dan
yang lainnya.
Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata :
واتفقوا
على استحسان الاسماء المضافة الى الله عز وجل كعبد الرحمن وما أشبه ذلك
“Para ulama sepakat
tentang baiknya nama-nama yang disandarkan kepada Allah‘azza wa jalla seperti ‘Abdurrahman dan yang
serupa dengannya”.
3. Nama para Nabi dan Rasul, sebab mereka adalah
orang-orang yang menjadi pilihan Allah agar menjadi panutan bagi manusia.
عن يوسف بن عبد الله بن سلام رضي الله
عنهما قال : سماني النبي صلى الله عليه وسلم يوسف وأقعدني على حجره ومسح على رأسي
Dari Yusuf bin
‘Abdillah bin Salaam radliyallaahu
‘anhu, ia berkata : “Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam menamaiku Yusuf, mendudukkanku di
pangkuannya, dan mengusap-usap kepalaku” [HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul-Mufrad no. 838; shahih].
عن
أنس بن مالك قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم "ولد لي الليلة غلام.
فسميته باسم أبي إبراهيم
Dari Anas bin Maalik
ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam : “Pada suatu malam aku dianugerahi
seorang anak laki-laki dan aku namai ia dengan nama bapakku, Ibrahim” [HR. Muslim no. 2315, Ibnu Hibban no.
2902, dan yang lainnya].
عن
أنس قال: .....قال رسول الله صلى الله عليه وسلم (تسموا باسمي ولا تكنوا بكنيتي).
Dari Anas ia berkata
: Telah bersabda Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam :“Pakailah
nama dengan namaku (yaitu : Muhammad), namun jangan berkunyah dengan kunyahku” [HR. Al-Bukhari no. 2120, 2121, 3537;
Muslim no. 2131; Ibnu Majah no. 3737; dan yang lainnya].
Tanbih
!!
Sebagian orang ada
yang memakruhkan untuk menamai anak-anak mereka dengan nama para nabi dengan
dasar atsar berikut :
عن
أمير المؤمنين عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال : " لا تسموا أحداً باسم نبي
"
Dari
Amiirul-Mukminiin ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu
‘anhu, ia berkata : “Janganlah kalian menamai seorang pun dengan nama para
nabi” [HR. Thabaraniy - lihat Fathul-Baariy,
10/572].
Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan :
وإنما
كره عمر ذلك، لئلا يسبب أحد المسمى بذلك فأراد تعظيم الاسم يبتذل في ذلك
“Hanya saja ‘Umar
membenci hal tersebut (penamaan dengan nama Nabi), agar seseorang tidak mencaci
pemilik nama tersebut. Ia bermaksud untuk mengagungkan nama para Nabi supaya
tidak dihinakan” [Fathul-Baariy, 10/579]
Al-Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata :
قال
أبو بكر بن أبي شيبة في باب ما يكره من الأسماء حدثنا الفضل بن دكين عن أبي جلدة
عن أبي العالية تفعلون شرا من ذلك تسمون أولادكم أسماء الأنبياء ثم تلعنونهم وأصرح
من ذلك ما حكاه أبو القاسم السهيلي في الروض فقال وكان من مذهب عمر بن الخطاب
كراهة التسمي بأسماء الأنبياء
“Telah berkata Abu
Bakr bin Abi Syaibah dalam Baab Nama-Nama yang Dibenci/Dimakruhkan : Telah
menceritakan kepada kami Al-Fadhl bin Dakiin, dari Jildah, dari Abul-‘Aaliyah : “Kalian melakukan hal yang lebih
buruk dari itu. Kalian telah menamai anak-anak kalian dengan nama para nabi,
namun kemudian kalian melaknatnya”. Dan yang lebih jelas dari hal itu
adalah apa yang dihikayatkan oleh Abul-Qaasim As-Suhailiy dalam kitab Ar-Raudl, ia berkata : Di
antara madzhab ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu
‘anhu adalah memakruhkan nama
para nabi” [Tuhfatul-Mauduud, hal. 89].
Kemudian beliau rahimahullah menjelaskan alasan ‘Umar :
وصاحب
هذا القول قصد صيانة أسمائهم عن الابتذال
“Pemilik perkataan
ini (yaitu ‘Umar) bertujuan untuk menjaga nama para nabi dari penghinaan”.
Apa yang dilakukan
‘Umar ini bukanlah hujjah dalam melarang pemakaian nama para nabi dan rasul.
Karena telah shahih hadits-hadits sebagaimana di atas tentang kebolehannya.
4. Nama orang-orang shalih dari kalangan kaum muslimin.
عن
المغيرة بن شعبة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (إنهم كانوا يسمون
بأنبيائهم والصالحين قبلهم).
Dari Syu’bah bin
Al-Mughiirah ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya mereka dahulu memakai
nama para nabi dan orang-orang shalih sebelum mereka” [HR. Muslim no. 2135].
Dalam
hal ini, para shahabat adalah penghulu orang-orang shalih setelah para nabi dan
rasul bagi kaum muslimin. Berbeda dengan kaum Syi’ah Rafidlah yang membenci
mereka, dan bahkan melarang menamai anak-anak mereka dengan nama
Khulafaur-Rasyidin selain ‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu
‘anhum.
Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu pernah menegaskan tentang hal ini
:
إن
الله نظر في قلوب العباد فوجد قلب محمد صلى الله عليه وسلم خير قلوب العباد
فاصطفاه لنفسه فابتعثه برسالته ثم نظر في قلوب العباد بعد قلب محمد فوجد قلوب
أصحابه خير قلوب العباد فجعلهم وزراء نبيه يقاتلون على دينه
“Sesungguhnya Allah melihat hati hamba-hamba-Nya dan Allah
mendapati hati Nabi Muhammad shallallaahu
‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik hati manusia. Maka
Allah pilih Nabi Muhammad shallallaahu
‘alaihi wa sallam sebagai utusan-Nya. Allah memberikan
kepadanya risalah, kemudian Allah melihat dari seluruh hati hamba-hamba-Nya
setelah Nabi-Nya, maka didapati bahwa hati para shahabat merupakan hati yang
paling baik sesudahnya. Maka Allah jadikan mereka sebagai pendamping Nabi-Nya
yang mereka berperang atas agama-Nya.” [HR.
Ahmad 1/379 no. 3600; hasan].
Shahabat paling utama adalah Abu Bakr, kemudian ‘Umar,
‘Utsman, dan ‘Ali.
Dan inilah shahabat
Az-Zubair bin Al-‘Awwaam radliyallaahu
‘anhu yang menamai
anak-anaknya – yang berjumlah sembilan orang – dengan nam-nama sebagiansyuhadaa’ Badr : ‘Abdullah, Al-Mundzir, ‘Urwah,
Hamzah, Ja’far, Mush’ab, ‘Ubaidah, Khaalid, dan ‘Umar.
5. Nama yang mengandung kebaikan dan sesuai dengan sifat
yang sesuai dengan orangnya.
عن
أبي وهب الجشمي قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ... وأصدقها حارث وهمام
Dari Abu Wahb Al-Jusyamiy
ia berkata : Telahbersabda Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam : “…..Nama yang paling benar adalah
Haarits dan Hamaam” [HR. Abu
Dawud no. 4950 dan Ahmad 3/345 no. 19054; shahih – lihat selengkapnyatakhrij hadits ini dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 904 dan 1040].
Nama-Nama yang Dimakruhkan
Makruh seseorang memberikan nama dengan :
1. Nama yang mengandung arti keberkahan atau yang
menimbulkan rasa optimistis.
Fungsinya agar tidak
menimbulkan ganjalan hati ketika mereka dipanggil sementara itu yang
bersangkutan tidak berada di tempat, sehingga akan dijawab : “Tidak ada”.
Misalnya nama : Aflah
(=beruntung), Naafi’ (=bermanfaat), Rabaah (=keuntungan), Yasaar (=kemudahan),
dan lain-lain.
Hal itu sebagaimana
tercantum dalam sebuah hadits shahih :
عن
سمرة بن جندب. قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم (أحب الكلام إلى الله أربع:
سبحان الله، والحمد لله، ولا إله إلا الله، والله أكبر. لا يضرك بأيهن بدأت. ولا
تسمين غلامك يسارا، ولا رباحا، ولا نجيحا، ولا أفلح، فإنك تقول: أثم هو؟ فلا يكون.
فيقول: لا).
Dari Samurah bin
Jundub ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam : “Perkataan yang paling dicintai
oleh Allah ada empat : Subhaanallaah, alhamdulillah, laa ilaaha illallaah, dan
allaahu akbar. Tidak masalah yang mana di antara kalimat itu akan engkau mulai.
Dan janganlah engkau namai anakmu dengan Yasaar, Rabaah, Najiih, dan Aflah.
Sebab, engkau nanti akan bertanya : ‘Apakah ia ada di tempat ?’. Jika ternyata
tidak ada, maka akan dijawab : ‘Tidak ada’” [HR. Muslim no. 2137; Ahmad 5/10 no.
20119, 5/21 20257; dan Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa 9/306].
Maksud hadits ini
adalah jika orang tersebut bernama Rabaah (=beruntung), lantas ada seseorang
yang mencarinya : “Apakah Rabaah ada di rumah ?”. Jika tidak ada, maka akan
dijawab : “Rabaah tidak ada di rumah” ( = keberuntungan tidak ada di rumah).
Oleh sebab itulah nama ini dimakruhkan.
عن
ابن عباس. قال: كانت جويرية اسمها برة. فحول رسول الله صلى الله عليه وسلم اسمها
جويرية. وكان يكره أن يقال: خرج من عند برة
Dari Ibnu ‘Abbas ia
berkata : “Dulunya Juwairiyyah bernama Barrah (=kebaikan). Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menggantinya dengan Juwairiyyah.
Beliau tidak suka jika dikatakan : “Beliau telah keluar dari Barrah (=kebaikan)[2]”
[HR. Muslim no. 2140].
Catatan : Nama Barrah
ini juga tidak diperbolehkan karena mengandung tazkiyyahterhadap diri sendiri
sebagaimana akan dijelaskan pada nomor 2.
Al-Imam Ibnu Qayyim
berkata :
وفي
معنى هذا مبارك ومفلح وخير وسرور ونعمة وما أشبه ذلك فإن المعنى الذي كره له النبي
صلى الله عليه وسلم التسمية بتلك الأربع موجود فيها فانه يقال أعندك خير أعندك
سرور أعندك نعمة فيقول لا فتشمئز القلوب من ذلك وتتطير به وتدخل في باب المنطق المكروه
“Yang termasuk dalam
makna ini, seperti nama Mubaarak, Muflih, Khair, Suruur, Ni’mah, dan yang
sejenisnya. Makna yang tidak disukai Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam pada empat
nama itu juga terkandung dalam nama-nama di atas. Apabila ditanyakan : ‘Apakah
Khair (=kebaikan) ada bersamamu ?. Apakah Suruur (=kebahagiaan) ada bersamamu
?. Apakah Ni’mah (=nikmat) ada bersamamu ?’. Jika dijawab : ‘Tidak ada’ – tentu
saja jawaban tersebut mengandung kesan yang sangat tidak baik. Terkesan seperti
ucapan sial, dan bahkan termasuk dalam katagori ucapan yang tidak disukai” [Tuhfatul-Mauduud,
hal. 82].
2. Nama yang mengandung tazkiyyah (pujian)
terhadap diri sendiri.
Misalnya nama :
Barrah (=wanita yang baik dan berbakti) dan Mubaarak (=orang yang diberkahi) –
padahal boleh jadi ia tidak seperti itu.
عن
أبي هريرة : أن زينب كان اسمها برة، فقيل: تزكي نفسها، فسماها رسول الله صلى الله
عليه وسلم زينب.
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Zainab dulu bernama
Barrah. Maka pernah dikatakan padanya : “Ia telah men-tazkiyyah-i
(menganggap suci) dirinya sendiri”. Maka Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam merubah namanya menjadi Zainab
[HR. Al-Bukhari no. 6192, Muslim no. 2141, Ibnu Majah no. 3732, Ibnu Hibbaan
no. 5830, dan yang lainnya].
Termasuk dalam hal
ini adalah nama Iman – sebagaimana banyak dipakai oleh
orang Indonesia.[3]
Allah ta’ala telah berfirman :
فَلا
تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
“Maka
janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang
orang yang bertakwa” [QS.
An-Najm : 32].
3. Nama yang berhubungan dengan hawa nafsu.
Nama ini biasanya
banyak diberikan kepada anak-anak perempuan, seperti : Ahlaam (=impian), Ariij
(=harum semerbak), ‘Abiir (=bau harum/parfum), Ghaadah (=gadis yang lembut),
Fitnah (=yang mempunyai daya tarik), Nihaad (=gadis yang montok buah dadanya),
Wishaal (=berhubungan badan), Faatin (=mempesona), Syaadiyah, Syaadiy
(=biduanita), dan yang lainnya.
4. Nama yang mengandung kesan jelek, baik dalam lafadh
ataupun makna.
Misalnya nama : Harb
(=perang), Murrah (=pahit), Kalb (=anjing), Hayyah (=ular), Jahsy (=kasar),
Baghal (=keledai), dan yang lainnya.
Al-Imam Ath-Thabari rahimahullah berkata :
لا
تنبغي التسمية باسم قبيح المعنى، ولا باسم يقتضي التزكية له، ولا باسم معناه السب.
ولو كانت الأسماء إنما هي أعلام للأشخاص لا يقصد بها حقيقة الصفة، لكن وجه الكراهة
أن يسمع سامع بالاسم فيظن أنه صفة للمسمى، فلذلك كان صلى الله عليه وسلم يحول
الاسم إلى ما إذا دعي به صاحبه كان صدقا، وقد غير رسول الله صلى الله عليه وسلم
عدة أسماء،
“Tidak sepantasnya
memberikan nama dengan nama yang mengandung makna buruk, nama mengandung tazkiyyah (pujian) terhadap diri sendiri,
dan nama yang mengandung celaan – sekalipun hanya sekedar untuk pengenal bagi
seseorang, tidak dimaksudkan untuk hakekatnya. Tetap saja ada sisi
kemakruhannya, yaitu ketika nama itu disebutkan dan orang yang mendengarkan
mengira bahwa sifat tersebut memang ada pada si pemilik nama. Oleh karena itu
Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah
mengganti nama-nama tersebut dengan nama yang sesuai dengan orangnya” [Fathul-Baariy 10/577 – lihat pula Silsilah Ash-Shahiihah 1/427].
Ada riwayat yang
menyebutkan bahwa ‘Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu
‘anhupernah berkomentar terhadap seseorang yang bernama Khabbiyyah (yang
mengandung makna “menyembunyikan barang”) bin Kunaaz (yang mengandung makna
“mengumpulkan barang/harta”) : “Kami tidak mempunyai hajat dengannya, karena
dia telah ‘menyembunyikan barang’ dan bapaknya telah ‘mengumpulkannya’ –
sebagaimana terdapat dalam kitab Al-Mu’talafu
wal-Mukhtalaf 4/1965 oleh
Ad-Daaruquthniy.
5. Nama orang-orang fasiq, seperti para pelawak,
pelukis/pematung, pemusik, dan yang sejenisnya.
6. Nama yang menunjukkan dosa dan maksiat.
Misalnya nama :
Dhaalim bin Sarraaq (=orang lalim anaknya pencuri). Ada sebuah riwayat
bahwasannya ‘Utsmaan bin Abil-‘Ash penah membatalkan pelantikan seorang
pejabatnya saat mengetahui bahwa ia mempunyai nama itu. Hal itu sebagaimana
terdapat dalam kitab Al-Ma’rifah
wat-Taariikh 3/201 oleh
Al-Fasawiy.
7. Nama orang-orang yang dhalim/sewenang-wenang dan
diktator.
Misalnya nama :
Fir’aun, Qaaruun, Haamaan, Abrahah, dan yang lainnya.
8. Nama dengan kata benda, atau mashdar dan shifat
musyabbah (yang
menunjukkan paling) yang disandarkan kepada diin (agama)
atau Islaam.
Misalnya nama :
Nuuruddiin (=cahaya agama), Dliyaa’uddin (=penerang agama), atau Saiful-Islam
(=pedang Islam). Hal ini disebabkan besarnya kedudukan katadien dan Islaam dalam syari’at. Menggabungkan sebuah
nama dengan dua kata ini mengarah pada klaim dusta. Oleh sebab itu sebagian
ulama mengharamkan[4],
namun jumhur mengatakan makruh.
Adalah An-Nawawi rahmahullahu ta’ala membenci laqab (julukan) Muhyiddin yang disandarkan
kepada. Begitu pula Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullaahu ta’ala yang membenci laqab : Taqiyyuddin, dimana beliau
berkata : {لكن أهلي لقبوني بذلك فاشتهر} “Namun keluargaku lah yang memberi laqab kepadaku, yang dengan itu menjadi
masyhur”.
Nama jenis ini juga
termasuk nama yang mengandung tazkiyyah terhadap diri sendiri sebagaimana
dijelaskan pada nmor 2 di atas.
9. Nama yang terdiri dari dua kata dobel.
Misalnya nama :
Muhammad Ahmad, Muhammad Sa’iid, dan yang lainnya. Penamaan seperti ini tidak
dikenal dari ulama salaf, dimana hal ini hanya muncul dari kalangan orang-orang
belakangan.
10. Nama-nama malaikat.
Sebagian ulama
membenci penamaan seseorang dengannama-nama malaikat, seperti Jibriil,
Miikaaiil, Israafiil. Adapun menamakan anak perempuan dengan nama malaikat,
maka sangat jelas keharamannya. Sebab, hal itu menyerupai orang-orang musyrikin
yang meyakini baha para malaikat itu adalah anak-anak perempuan Allah ta’ala.
11. Nama surat-surat yang ada dalam Al-Qur’an.
Misalnya nama :
Yaasiin dan Thaahaa. Adapun yang disebutkan oleh sebagian orang awam bahwa
Yaasiin dan Thaahaa termasuk nama Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam, maka ini adalahkeyakinan yang keliru. Hal ini
sebagaimana ditegaskan oleh Ibnul-Qayyim rahimahullah dalam Tuhfatul-Mauduud hal. 88.
12. Nama orang-orang ‘Ajam yang sulit diucapkan oleh lisan
orang ‘Arab.
Misalnya nama :
Niifiin, Dony, Bambang, dan lain-lain.
Nama-Nama yang Diharamkan
Diharamkan bagi seseorang memberikan nama dengan :
1. Nama yang mengandung penghambaan kepada selain Allah.
Para ulama telah
sepakat tentang keharamannya.
عن
هانئ بن يزيد رضي الله عنه : ....وسمع النبي صلى الله عليه وسلم يسمون رجلا منهم
عبد الحجر فقال النبي صلى الله عليه وسلم : ( ما اسمك ؟ ) قال : عبد الحجر قال : (
لا أنت عبد الله )
Dari Haani bin Yaziid radliyallaahu ‘anhu : “…Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallammendengar
mereka memanggil salah seorang di antara mereka dengan nama ‘Abdul-Hajar
(=hamba batu). Lalu Nabi shalallaahu
‘alaihi wa sallam bertanya :“Siapakah
namamu ?”. Laki-laki itu menjawab : “’Abdul-Hajar”. Beliau bersabda :“Gantilah
namamu dengan ‘Abdullah (=hamba Allah)” [Al-Adabul-Mufrad no. 811; shahih].
Dari sini muncul
kekeliruan dalam menisbatkan penghambaan terhadap nama-nama yang dianggap
sebagai nama Allah, padahal bukan nama Allah; seperti : ‘Abdul-Mu’iz,
‘Abdus-Sattar, ‘Abdul-Ma’buud, dan yang lainnya.
2. Nama-nama Allah.
Seperti memberi nama
dengan nama : Ar-Rahmaan, Al-Khaaliq, Al-‘Aziiz, Ar-Rahiim, dan yang
semisalnya.
Allah ta’ala berfirman :
هَلْ
تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا
“Apakah
engkau mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patutu disembah)” [QS. Maryam : 65].
Yaitu tidak seorang
pun yang berhak menyandang nama yang serupa dengan namanya, yaitu Ar-Rahmaan
[lihat Tafsir Al-Qurthubiy 11/130].
Masih dalam riwayat
Haani bin Yaziid radliyallaahu
‘anhu sebagaimana di atas :
فسمعهم
النبي صلى الله عليه وسلم وهم يكنونه بأبي الحكم فدعاه النبي صلى الله عليه وسلم
فقال : ( إن الله هو الحكم وإليه الحكم فلم تكنيت بأبي الحكم ؟ ) قال : لا ولكن
قومي إذا اختلفوا في شيء أتوني فحكمت بينهم فرضي كلا الفريقين قال : ( ما أحسن هذا
) ثم قال : ( مالك من الولد ؟ ) قلت : لي شريح وعبد الله ، ومسلم بنو هانئ ، قال :
( فمن أكبرهم ؟ ) قلت : شريح قال : ( فأنت أبو شريح )
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendengar ada di antara mereka
yang berkunyah Abul-Hakam. Maka Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam memanggilnya
dan bersabda : “Sesungguhnya
Allah itu adalah Al-Hakam, dan Dial ah yang berhak menetapkan hukum. Apakah
engkau berkunyah Abul-Hakam ?”. Ia
menjawab : “Tidak. Namun kaumku bila berselisih pada satu permasalahan, mereka
mendatangiku. Kemudian aku menghukumi apa yang mereka perselisihkan itu, dan
akhirnya mereka ridla dengan keputusanku itu. Beliau bersabda : “Betapa baik apa yang kamu lakukan
itu”. Beliau melanjutkan : “Apakah
engkau memiliki anak ?”. Aku menjawab : “Ada tiga orang : Syuraih,
‘Abdullah, dan Muslim - Bani Haani”. Beliau bertanya : “Siapa yang paling besar/tua di
antara mereka ?”. Aku menjawab : Syuraih”. Beliau bersabda : “Gantilah kunyahmu dengan Abu
Syuraih”.
3. Nama Malikul-Muluk, Sulthaanus-Salaathiin, dan Syaahin
Syaah.
عن
أبي هريرة، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال (إن أخنع اسم عند الله رجل تسمى ملك
الأملاك)
زاد ابن أبي شيبة في روايته (لا مالك إلا الله عز وجل).
قال الأشعثي: قال سفيان: مثل شاهان شاه.
زاد ابن أبي شيبة في روايته (لا مالك إلا الله عز وجل).
قال الأشعثي: قال سفيان: مثل شاهان شاه.
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
beliau bersabda : “Sesungguhnya
nama yang paling hina di sisi Allah adalah Malikul-Amlaak (=Raja Diraja)”.
Pada riwayat Ibnu Abi
Syaibah terdapat tambahan : “Tidak
ada Raja selain Allah”.
Al-A’masy berkata :
“Hal yang semisal dengan itu adalah nama Syaahaan-Syaah” [HR. Al-Bukhari no.
6205-6206, Muslim no. 2143, dan yang lainnya].
4. Nama Sayyidun-Naas,
Sayyidul-Kul, Sittul-Kul, dan yang sejenisnya.
Hal yang sama,
diharamkan pula memberi nama dengan nama Sayyidu
Waladi Adam untuk selain
Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam.
5. Nama berhala yang disembah selain Allah.
Misalnya nama :
Latta, ‘Uzza, Manath, Isaaf, Naailah, Hubal, Buddha, Syiwa, dan yang lainnya.
6. Nama orang-orang Arab yang merupakan ciri khas orang
kafir.
Misalnya nama :
Petrus, Pieter, Georgeus, George, Paulus, dan yang semisal. Menamakan seseorang
dengan nama-nama ini merupakan perbuatan mem-bebek dan tasyabbuh terhadap kuffar.
عن
بن عمر قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ومن تشبه بقوم فهو منهم
Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhaa ia berkata : Telah bersabda
Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Dan barangsiapa menyerupai suatu
kaum, maka ia termasuk kaum tersebut” [HR.
Ahmad 2/50 no. 5114-5115, 2/92 no. 5667].
7. Nama-nama iblis, jin, dan syaithan.
Misalnya nama :
Khinzab, ‘Ifrit, dan semisalnya.
Sangat Dianjurkan untuk
Merubah/Mengganti Nama-Nama yang Buruk
Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam menyenangi
nama-nama yang bagus/baik dan membenci nama-nama yang buruk. Termasuk sunnah
dalam hal ini adalah merubah nama-nama yang buruk dan diganti dengan nama-nama
yang bagus/baik.
عن ابن
عمر؛ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم غير اسم عاصية، وقال (أنت جميلة).
Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhuma : Bahwasannya
Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah mengganti
nama ‘Aashiyyah (=pelaku maksiat), dan bersabda :“Namamu
Jamiilah (indah)” [HR. Muslim
no. 2139].
عن أسامة
بن أخدريٍّ : أن رجلاً يقال له أصرم كان في النفر الذين أتوا رسول اللّه صلى اللّه
عليه وسلم، فقال رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم: "ما اسمك؟" قال: أنا
أصرم، قال: "بل أنت زرعة".
Dari Usamah bin Akhdariy : Bahwasannya seorang
laki-laki bernama Ashram (=tandus) dan ia termasuk salah seorang yang datang
menghadap Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Lalu Rasululah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bertanya : “Siapakah namamu ?”. Ia
menjawab : “Ashram”. Maka beliau bersabda : “Gantilah
namamu dengan Zur’ah (=subur)” [HR.
Abu Dawud 4954 dan Al-Haakim no. 7729, ; shahih].
عن هانئ
بن هانئ عن على رضي الله عنه قال : لما ولد الحسن سميته حربا فجاء رسول الله صلى
الله عليه وسلم فقال أروني ابني ما سميتموه قال قلت حربا قال بل هو حسن فلما ولد
الحسين سميته حربا فجاء رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال أروني ابني ما سميتموه
قال قلت حربا قال بل هو حسين فلما ولد الثالث سميته حربا فجاء النبي صلى الله عليه
وسلم فقال أروني ابني ما سميتموه قلت حربا قال بل هو محسن قال سميتهم بأسماء ولد
هارون شبر وشبير ومشبر
Dari Haani’ bin Haani’, dari ‘Ali radliyallaahu ‘anhu, ia berkata
: Ketika Al-Hasan lahir, aku member nama Harb. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang dan bersabda : “Coba bawa kemari cucuku, dan
siapakah namanya ?”. Aku berkata : “Harb”. Beliau bersabda : “Gantilah namanya Hasan”.
Ketika Al-Husain lahir, aku pun kembali menamainya Harb. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang dan bersabda : “Coba bawa kemari cucuku, dan
siapakah namanya ?”. Aku berkata : “Harb”. Beliau bersabda : “Gantilah namanya Husain”.
Ketika anakku yang ketiga lahir, kembali aku namakan Harb. Kemudian Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang dan bersabda :“Coba bawa
kemari cucuku, dan siapakah namanya ?”. Aku berkata : “Harb”. Beliau
bersabda : “Gantilah namanya
Muhsin”. Beliau meneruskan : “Sesungguhnya
aku memberi nama mereka dengan nama anak-anak Harun, yaitu Syabbar, Syabiir,
dan Musyabbir” [HR. Ahmad 1/98
no. 769, Haakim no. 4773, Al-Baihaqi 6/166, dan yang lainnya; hasan].
Al-Imam Abu Dawud rahimahullah berkata :
وغيَّر
النبي صلى اللّه عليه وسلم اسم العاص وعزيز وعتلة وشيطان والحكم وغراب وحباب وشهاب
فسماه هشاماً، وسمى حرباً سلماً، وسمى المضطجع المنبعث، وأرضاً تسمى عَفِرَةَ
سماها خضرة، وشعب الضلالة سماه شعب الهدى، وبنو الزِّنية سماهم بني الرشدة، وسمى
بني مغوية بني رشدة.
قال أبو داود: تركت أسانيدها للاختصار.
قال أبو داود: تركت أسانيدها للاختصار.
“Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam mengubah
nama Al-‘Aash, ‘Aziiz, ‘Atlah, Syaithaan, Al-Hakam, Ghuraab, Hubaab, dan
Syihaab dan menggantinya dengan nama Hisyaam. Beliau mengganti nama Harb
menjadi Silm dan Al-Mudlthaji’ menjadi Al-Munba’its. Begitu pula beliau
mengganti nama tempat di muka bumi yang bernama ‘Afirah menjadi Khadlirah,
Syi’abudl-Dlalaalah menjadi Syi’abul-Hudaa, Banu Az-Zinyah menjadi Banu
Ar-Risydah, dan Banu Mughwiyyah menjadi Banu Rusydah”. Abu Dawud berkata : Aku
buang sanad-sanadnya untuk memperingkas” [Shahih Sunan Abi Daawud 3/217; Maktabah Al-Ma’aarif, Cet.
1/1419 H].
Larangan Memberikan Laqab (Gelar) yang Jelek
Allah ta’ala berfirman :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا
خَيْرًا مِنْهُمْ وَلا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ
وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ بِئْسَ الاسْمُ
الْفُسُوقُ بَعْدَ الإيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman
janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka
(yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula
wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi
wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang
mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu
panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah
(panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka
mereka itulah orang-orang yang dhalim” [QS. Al-Hujuraat : 11].
عن أبي
جبيرة بن الضحاك قال : فينا نَزلتْ - في بنى سلمة - ( وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ
) قال : قَدِمَ عَلينَا
رسولُ الله صلى الله عليه وسلم وليسَ مِنَّا رَجُلٌ إلا لَه اسمَانِ ، فَجَعَل
النَّبيُ صلى الله عليه وسلم يَقولُ : ( يَا فُلان ) فَيقولُونَ يا رسول الله
إِنَّهُ يَغضَبُ مِنهُ
Dari Abu Jubairah bin Adl-Dlahhaak ia berkata :
“Firman Allah ta’ala : walaa tanaabazuu bil-alqaab turun kepada kami dan Bani Salamah”.
Ia kembali berkata : “Ketika Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam mengunjungi
kami, tidaklah seorang pun di antara kami melainkan mempunyai dua nama. Lalu
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallambersabda : “Wahai
Fulan”. Maka mereka berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ia marah
(dipanggil dengan nama itu”[5] [HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul-Mufrad no. 330, Abu Dawud no. 4962, Ibnu
Majah no. 3741, dan yang lainnya; shahih].
Haram hukumnya memberikan laqab (gelar) yang buruk dan saling
memanggil dengannya. Jika laqab tersebut mengandung pujian (yang
tidak berlebihan) dan orang tersebut menyukainya, maka diperbolehkan. Ini dapat
dibuktikan dari perbuatan Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam yang
memberikan laqab (gelar) kepada beberapa orang
shahabat, seperti Amiinul-Ummah kepada Abu ‘Ubaidah, Dzul-Janaahainkepada Ja’far bin
Abi Thaalib, dan yang lainnya radliyallaahu
‘anhum.
Al-Imam An-Nawawiy rahimahullah berkata :
واتفق
العلماء على تحريم تلقيب الإِنسان بما يكره، سواء كان له صفة؛ كالأعمش، والأجلح، والأعمى، والأعرج، والأحول،
والأبرص، والأشج، والأصفر، والأحدب، والأصمّ، والأزرق، والأفطس، والأشتر، والأثرم،
والأقطع، والزمن، والمقعد، والأشلّ، أو كان صفة لأبيه أو لأمه أو غير ذلك مما
يَكره. واتفقوا على جواز ذكره بذلك على جهة التعريف لمن لا يعرفه إلا بذلك.
“Para ulama sepakat diharamkannya memberikan laqab (gelar) pada seseorang dengan
gelar yang ia benci, baik gelar tersebut diambil dari sifatnya seperti : Al-A’masy (si rabun), Al-Ajlah (si botak), Al-A’maa (si buta), Al-A’raj (si pincang), Al-Ahwal (si juling),Al-Abrash (yang mengidap penyakit kusta), Al-Asyaj (yang kepalanya luka), Al-Ashfar(si kuning), Al-Ahdab (si bungkuk), Al-Asham (si bisu), Al-Azraq (si biru), Al-Afthasy (si pesek), Al-Asytar (si cacat), Al-Asyram (si sumbing), Al-Aqtha’ (si buntung), Az-Zaman(si pengidap penyakit
yang tidak akan sembuh), Al-Maq’ad (yang selalu duduk), dan Al-Asyal (si lumpuh); atau menjulukinya
dengan sifat ibu atau bapaknya atau julukan lainnya yang tidak ia senangi.
Namun para ulama sepakat tentang kebolehan memberikan laqab (julukan) seperti itu jika
seseorang tidak dikenal melainkan denganlaqab tersebut” [Al-Adzkaar oleh An-Nawawiy, 2/342; Maktabah
Nizaari Mushthafa Al-Baaz, Cet. 1/1417 H].
Memberi Kunyah kepada Anak Kecil
Diperbolehkan memberikan kunyah kepada anak keci, sebagaimana
tertera dalam hadits :
عن أنس بن
مالك قال كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أحسن الناس خلقا وكان لي أخ يقال له
أبو عمير قال أحسبه قال كان فطيما قال فكان إذا جاء رسول الله صلى الله عليه وسلم
فرآه قال أبا عمير ما فعل النغير قال فكان يلعب به
Dari Anas bin Maalik radliyallaahu
‘anhu, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam adalah
orang yang paling baik akhlaqnya. Dan aku mempunyai saudara laki-laki yang
dipanggil Abu ‘Umair yang aku kira waktu itu sedang disapih. Apabila Rasulullahshallallaahu
‘alaihi wa sallam datang dan
melihatnya, beliau menyapanya : “Wahai
Abu ‘Umair, apa yang terjadi pada An-Nughair (si burung pipit kecil) ?”. Waktu itu ia sedang bermain dengan nughair” [HR. Al-Bukhari no.
6129,6203; Muslim no. 2150; Abu Dawud no. 4969; At-Tirmidzi no. 333,1989; Ibnu
Majah no. 3720; Ibnu Hibbaan no. 2308, 2506; dan yang lainnya].
Boleh Ber-Kunyah Walaupun Belum/Tidak Mempunyai Anak
Mari kita simak hadits Shuhaib berikut ini :
قال عمر
لصهيب : أي رجل أنت , لولا خصال ثلاث فيك ! قال : و ما هن ? قال : اكتنيت و
ليس لك ولد , و انتميت إلى العرب و أنت من الروم , و فيك سرف في الطعام . قال :
أما قولك : اكتنيت و لم يولد لك , فإن رسول الله صلى الله عليه وسلم كناني
أبا يحيى , و أما قولك : انتميت إلى العرب و لست منهم , و أنت رجل من الروم . فإني
رجل من النمر بن قاسط فسبتني الروم من الموصل بعد إذ أنا غلام عرفت نسبي , و
أما قولك : فيك سرف في الطعام , فإني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول
: خياركم من أطعم الطعام
‘Umar pernah berkata kepada Shuhaib : “Engkau
adalah laki-laki yang sempurna, jika saja tidak ada tiga hal pada dirimu”.
Shuhaib berkata : “Apakah itu ?”. ‘Umar menjawab : “(1) Engkau memakai kunyah padahal engkau tidak mempunyai
anak, (2) engkau menggolongkan diri ke dalam bangsa ‘Arab padahal engkau orang
Romawi, dan (3) padamu ada kelebihan makanan”. Shuhaib berkata : “Adapun
ucapanmu - engkau memakai kunyah padahal engkau tidak mempunyai anak -
, sesungguhnya Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam memberiku kunyah Abu Yahyaa. Adapun ucapanmu –
engkau menggolongkan diri ke dalam bangsa ‘Arab padahal engkau orang Romawi - ,
maka sebenarnya aku laki-laki dari An-Namr bin Qaasith. Lalu orang Rowawi dari
Al-Mushil menawanku, ketika itu aku adalah anak kecil yang telah tahu nasabku.
Adapun ucapanmu – padamu ada kelebihan makanan - , maka aku telah mendengar
Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
: “Sebaik-baik kalian adalah
orang yang memberi makanan” [HR.
Ibnu Majah no. 3738, Ahmad 6/16 no. 23971, Al-Haakim no. 5701, dan yang lainnya
– lihat Silsilah Ash-Shahiihah 1/109-111 no. 44].
Setelah membawakan hadits ini Asy-Syaikh Al-Albani
berkata :
مشروعية
الاكتناء , لمن لم يكن له ولد , بل قد صح في البخاري و غيره أن النبي صلى
الله عليه وسلم كنى طفلة صغيرة حينما كساها ثوبا جميلا فقال لها : هذا سنا يا
أم خالد , هذا سنا يا أم خالد " . و قد هجر المسلمون لاسيما
الأعاجم منهم هذه السنة العربية الإسلامية , فقلما تجد من يكتني منهم و لو
كان له طائفة من الأولاد , فكيف من لا ولد له ? و أقاموا مقام هذه
السنة ألقابا مبتدعة, مثل : الأفندي , و البيك , و الباشا , ثم السيد , أو
الأستاذ , و نحو ذلك مما يدخل بعضه أو كله في باب التزكية المنهي عنها في
أحاديث كثيرة . فليتنبه لهذا .
“Disyari’atkannya berkunyah bagi orang yang belum
memiliki anak. Bahkan telah shahih dalam kitab Shahih Al-Bukhari dan selainnya bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberi kunyah pada gadis kecil ketika beliau
memakaikan baju kepadanya. Beliau berkata kepada anak itu : “Ini bagus wahai Ummu Khaalid, ini
bagus wahai Ummu Khaalid”. Kaum muslimin, terlebih lagi orang-orang ajam
(non-‘Arab) dari kalangan mereka telah meninggalkan sunnah ‘Arabiyyah
Islamiyyah ini. Maka jarang sekali engkau dapatkan dari mereka yang memakai kunyah walaupun ia memiliki banyak anak. Lalu
bagaimana lagi keadaannya orang yang tidak mempunyai anak ? (tentu lebih jauh
dari ber-kunyah). Mereka menggantikan tempat sunnah ini dengan
gelar-gelar yang mereka ada-adakan seperti Al-Affandi, Al-Beik, Al-Baasyaa,
As-Sayyid, Al-Ustadz, dan yang semisalnya dari gelar-gelar yang sebagian atau
seluruhnya masuk dalam bab tazkiyyah yangdilarang dalam banyak hadits. Maka
perhatikanlah ini !!” [Silsilah Ash-Shahiihah, 1/110-111].
Catatan : Khusus dua gelar – yaitu Al-Ustadz dan
As-Sayyid – yang disebutkan Asy-Syaikh Al-Albani di atas memerlukan perincian.
Untuk gelar Al-Ustadz, apabila ini diberikan kepada yang berhak sebagai satu
penghormatan, maka tidak mengapa. Banyak nukilan dari ulama salaf tentang ini.
Misalnya saja Al-Imam Ibnu Khuzaimahrahimahullah dalam Shahih-nya no. 312 mengatakan :
أخبرنا الأستاذ أبو عثمان إسماعيل بن عبد
الرحمن الصابوني أخبرنا أبو
طاهر.....
“Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Ustaadz Abu ‘Utsmaan Ismaa’iil bin
‘Abdirrahman Ash-Shaabuuniy : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Thaahir….”.
Al-Imam An-Nawawiy berkata dalam Syarh Shahih Muslim :
وفيه قول
الأستاذ أبي إسحاق الاسفرايني الذي قدمناه في الفصول أنه لا يحتج به،
“Dan di padanya terdapat perkataan Al-Ustaadz Abu Ishaaq Al-Isfiraayiniy yang telah
kami sebutkan terdahulu dalam Al-Fushuul bahwasannya ia tidak berhujjah
dengannya”.
Dan masih banyak yang lainnya.
Adapun tentang gelar As-Sayyid, maka akan dibahas pada
uraian selanjutnya insya Allah.
Ber-kunyah dengan Abul-Qaasim
Tentang pemakaian kunyah Abul-Qasim, terjadi khilaf di antara
ulama’.
1. Asy-Syafi’iyyah dan Adh-Dhahiriyyah berpendapat tidak
bolehnya berkunyah Abul-Qaasim secara mutlak, baik nama orang yang bersangkutan
Muhammad, Ahmad, atau yang lainnya. Hal ini didasarkan oleh sabda Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam:
تسموا
باسمي ولا تكنوا بكنيتي
“Pakailah
nama dengan namaku dan jangan kalian berkunyah dengan kunyahku”[HR.
Al-Bukhari no. 2120,2121,3537; Muslim no. 2131; Abu Dawud no. 4965; At-Tirmidzi
no. 2841; Ibnu Majah no. 3736; Al-Baihaqi dalam Al-Kabiir 9/388; dan yang lainnya].
2. Sebagian ulama salaf berpendapat bahwa larangan
menggunakan kunyah Abul-Qaasim
hanyalah khusus bagi mereka yang bernama Muhammad atau Ahmad saja. Bagi yang
tidak bernama ini, maka boleh baginya ber-kunyah Abul-Qaasim.
Hal ini didasarkan oleh sabda Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam :
من
تسمى باسمي فلا يتكنى بكنيتي، ومن تكنى بكنيتي فلا يتسمى باسمي
“Barangsiapa
memiliki nama seperti namaku, maka jangan berkunyah dengan kunyahku. Dan
barangsiapa yang berkunyah dengan kunyahku, maka jangan ia memakai namaku” [HR. Abu Dawud no. 4966; Ahmad
2/455 no. 9863, 3/313 no. 14396; dan Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa 9/309].
Hadits ini munkar. Hadits ini diriwayatkan
oleh Jaabir dan Abu Hurairahradliyallaahu ‘anhuma. Dari jalan Jaabir,
maka status riwayatnya adalah munkar.Cacatnya
ada pada Abuz-Zubair, ia seorang mudallis yang meriwayatkan secara‘an’anah.
Selain itu, ia telah menyalahi tiga perawi tsiqah lainnya. Adapun dari Abu Hurairah,
maka ia lemah karena kelemahan Syariik. Ia seorang yang jelek hafalannya (sayyi’ul-hifdhiy).
Kesimpulannya, hadits
ini adalah dla’if sehingga tidak bisa dipakai untuk
berdalil.Wallaahu ‘alam.
عن
أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : لا تجمعوا بين اسمي وكنيتي فإني أنا
أبو القاسم الله عز وجل يعطي وأنا أقسم
Dari Abu Hurairah,
dari Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam, beliau bersabda :“Janganlah kalian mengumpulkan antara namaku
dan kunyahku. Karena sesungguhnya akulah Abul-Qasim. Allah ‘azza wa jalla lah
yang memberi dan akulah yang membagi” [HR.
Ahmad 2/433 no. 9596; Ibnu Hibban no. 5814, 5817; dan yang lainnya – shahih].
Hadits ini memberikan mafhum bahwa jika tidak mengumpulkan
antara nama dankunyah adalah
diperbolehkan.
3. Malikiyyah dan jumhur ulama mengatakan kebolehannya
secara mutlak. Adapun larangan dalam hadits telah mansukh dengan
dalil sabda Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam :
ما
الذي أحل اسمي وحرم كنيتي أو ما الذي حرم كنيتي وأحل اسمي
“Apakah
gerangan yang membolehkan memakai namaku, namun mengharamkan kunyahku ?” [HR. Abu Dawud no. 4968; Ahmad
6/135 no. 25084, 6/209 no. 25788; Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa 9/310,
Namun hadits ini adalah dla’if munkar. Cacatnya
terletak pada perawi Muhammad bin ‘Imraan Al-Hajabiy. Tidaklah ia diketahui
melainkan dari hadits ini saja.Nakarah (pengingkaran)
akan riwayat ini juga ditegaskan oleh Adz-Dzahabiy dalamAl-Miizaan 3/673. Di sini ia menyelisihi riwayat
Muhammad bin ‘Abdirrahman Al-Hajabiy. Lihat takhrij Asy-Syaikh Al-Arna’uth dalam Musnad Al-Imam Ahmad41/490-491.
Mereka juga
berpendapat bahwa kunyah Abul-Qaasim ini telah masyhur dan
ada semenjak dahulu tanpa adanya pengingkaran.
4. Ibnu Jarir yang berpendapat bahwa hadits tersebut tidak mansukh,
namun pelarangan yang terkandung dalam hadits hanyalah berderajat makruh saja. (bukan
haram).
5. Sebagian ulama berpendapat bahwa larangan itu hanya
berlaku di jaman Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam saja.
Adapun setelah beliau wafat, maka boleh berkunyah dengan Abul-Qaasim. Mereka
berdalil dengan riwayat :
عن
أنس بن مالك رضى الله تعالى عنه قال كان النبي صلى الله عليه وسلم في السوق فقال
رجل يا أبا القاسم فالتفت إليه النبي صلى الله عليه وسلم فقال إنما دعوت هذا فقال
النبي صلى الله عليه وسلم سموا باسمي ولا تكنوا بكنيتي
Dari Anas ia berkata
: Pernah Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam berada di
pasar. Tiba-tiba ada seorang laki-laki yang memanggil : ‘Hai, Abul-Qaasim !’.
Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam menoleh
kepadanya. Ia pun berkata kepada beliau : ‘Sesungguhnya aku hanya bermaksud
memanggil orang ini’. Maka Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Pakailah namaku, namun jangan
berkunyah dengan kunyahku” [HR.
Al-Bukhari no. 2120, 2121; Muslim no. 2131; Ibnu Majah no. 3737, Al-Baihaqi
dalam Al-Kubraa 9/308-309; dan yang lainnya].
Tarjih :
Yang terkuat di sini – wallaahu a’lam – adalah pendapat kedua yang
mengatakan haramnya berkunyah Abul-Qaasim bagi orang yang bernama Muhammad atau
Ahmad. Hal ini didukung oleh hadits :
عن جابر
بن عبد الله أن رجلا من الأنصار ولد له غلام فأراد أن يسميه محمدا فأتى النبي صلى
الله عليه وسلم فسأله فقال أحسنت الأنصار سموا باسمي ولا تكتنوا بكنيتي
Jabir berkata : Lahir anak laki-laki dari seorang
Anshar lalu ia beri nama Muhammad. Maka berkata Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Alangkah
bagusnya orang-orang Anshar. Mereka
menamakan dengan namaku dan tidak berkunyah dengan kunyahku. Hanya saja aku
adalah Qaasim (pembagi), aku membagi diantara kalian. Maka berilah nama dengan
namaku dan janganlah berkunyah dengan kunyahku” [HR. Muslim no. 2133].
Diperkuat lagi oleh hadits ‘Ali radliyallaahu ‘anhu :
عن علي بن
أبي طالب أنه قال : يا رسول الله أرأيت إن ولد لي بعدك أسميه محمدا وأكنيه بكنيتك
قال نعم قال فكانت رخصة لي
Dari ‘Ali bin Abi Thaalib ia berkata : “Wahai
Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika lahir seorang anak laki-laki bagiku
setelah engkau wafat yang aku
namai ia dengan Muhammad dan aku beri ia kunyah dengan kunyah-mu ?. Beliau menjawab : “Ya,
boleh”. ‘Ali berkata : “Hal itu merupakan rukhshah bagiku”. [HR. Abu Dawud no. 4967,
At-Tirmidzi no. 2843, Al-Baihaqi dalam Al-Kabiir 3/309, Abu Ya’la no. 303, dan yang
lainnya; shahih].
Perkataan ‘Ali : “Hal
itu merupakan rukhshah bagiku” mengandung
faedah bahwa asal keharaman bagi apa yang ‘Ali minta ijin dengannya kepada
Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam; yaitu memberi nama Muhammad dan memberikan kunyah Abul-Qaasim (kunyah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam)
kepada anaknya. Hal ini selaras dengan hadits : “Janganlah kalian mengumpulkan
antara namaku dan kunyahku”.
Ini merupakan pendapat pertengahan di antara
pendapat-pendapat yang disebutkan di atas.
Adapun perkataan ‘Ali : { بعدك} “setelah engkau wafat” ; mengandung faedah bahwa larangan
ber-kunyah dengan
Abul-Qaasim bagi orang yang bernama Muhammad/Ahmad hingga saat ini (tidak
terbatas pada waktu beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam saja).
Hukum Memberi Nama Sayyid
عن مطرِّف
قال: قال أبي: انطلقت في وفد بني عامر إلى رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم فقلنا:
أنت سيدنا، فقال: "السَّييِّد اللّه [تبارك وتعالى]" قلنا: وأفضلنا
فضلاً وأعظمنا طَوْلاً، فقال: "قولوا بقولكم أو بعض قولكم ، ولا يستجرينكم
الشيطان".
Dari Mutharrif, ia berkata : Telah berkata bapakku :
Aku dan Bani ‘Aamir pergi menghadap Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Kami berkata kepada beliau : “Engkau adalah Sayyid kami”. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “As-Sayyid itu hanyalah Allah
tabaaraka wa ta’aalaa”. Kami berkata : “Kami hanyalah ingin mengutamakan
dan mengagungkan orang yang memang punya keutamaan”. Beliaushallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Katakanlah dengan ucapanmu atau
sebagian ucapanmu itu.
Namun janganlah sampai kalian jadikan syaithan sebagai penolongnya”[HR.
Al-Bukhari dalam Al-Adabul-Mufrad no. 211; Abu Dawud no. 4806; Ahmad
no. 4/24 16350, 4/25 no. 16359; An-Nasa’iy dalam Al-Kubraa no. 10076; Ibnu ‘Asaakir 4/71; dan
Adl-Dliyaa’ no. 444 – shahih].
Sebagian ulama menggunakan hadits di atas sebagai
dalil tidak diperbolehkannya penggunaan kata Sayyid secara mutlak. Namun pendapat ini
perlu ditinjau kembali, karena ada beberapa riwayat yang menunjukkan
diperbolehkannya menyebut Sayyidkepada
seseorang. Diantaranya :
عن أبي
سعيد الخدري رضي الله عنه قال: لما نزلت بنو قريظة على حكم سعد، هو ابن معاذ، بعث
رسول الله صلى الله عليه وسلم، وكان قريبا منه، فجاء على حمار، فلما دنا قال رسول
الله صلى الله عليه وسلم: (قوموا إلى سيدكم)
Dari Abu Sa’id Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu : Ketika Banu Quraidhah
menyerahkan penetapan hukum kepada Sa’d bin Mu’adz, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallammengutusnya
agar menghadap kepada beliau, dimana posisinya tidak jauh dari beliau. Sa’d pun
datang dengan mengendarai keledai. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Berdirilah menuju Sayyid kalian…” [HR. Al-Bukhari no. 3043; Muslim no.
1768; Abu Dawud no. 5215; dan Ahmad 3/22 no. 11184 3/71 no. 11698].
عن أبي
بكرة قال : رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم على المنبر، والحسن بن علي إلى
جنبه، وهو يقبل على الناس مرة وعليه أخرى، ويقول: (إن ابني هذا سيد، ولعل الله أن
يصلح به بين فئتين عظيمتين من المسلمين).
Dari Abu Bakrah ia berkata : Aku pernah melihat
Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam berdiri di
atas mimbar, sedangkan Al-Hasan berada di sampingnya. Beliau menghadap kepada
orang-orang sekali, dan di kali lain beliau menghadap kepada Al-Hasan. Hingga
beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : “Sesungguhnya anakku ini adalah
Sayyid (pemimpin). Semoga melalui perantaraannya Allah akan mendamaikan dua
kelompok besar kaum muslimin” [HR.
Al-Bukhari no. 2704 dan Ahmad 5/44 no. 20466, 5/51 20535]
Cara mengkompromikan hadits-hadits di atas adalah
membawa dalil pelarangan memberikan/menggunakan nama Sayyid apabila menggunakan alif dan laam (yaitu As-Sayyid), namun diperbolehkan
jika tidak menggunakan alif-laam (yaitu Sayyid) jika disandarkan kepada
kaum tertentu atau negara tertentu. Seperti : Sayyidul-Qaum,Sayyid
Ahli Balad, dan yang lainnya. Panggilan As-Sayyid (dengan alif laam) hanya khusus
diperuntukkan kepada Allah. Wallaahu
a’lam.
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata ketika menjelaskan QS.
Aali ‘Imraan ayat 39 :
ففيه
دلالة على جواز تسمية الإنسان سيدا كما يجوز أن يسمى عزيزا أو كريما…
“Ayat di atas menunjukkan diperbolehkannya menamakan
seseorang dengan Sayyid sebagaimana diperbolehkan untuk memberikan nama ‘Aziiz, Kariim,….” [Tafsir
Al-Qurthubiy, 4/77, tahqiq : Hisyaam Samiir Al-Bukhariy; Daar
‘Aalamil-Kutub, Cet. Thn. 1423 H].
Kebolehan ini ditambahkan syarat, jika memang orang
tersebut layak dan pantas menerima nama/julukan tersebut. Dilarang memberikan
gelar atau memanggil orang fasiq, penggemar maksiat, atau ahli bid’ah.
عن عبد
الله بن بريدة عن أبيه رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (
لا تقولوا للمنافق سيد ن فإنه إن يك سيدكم فقد أسخطتم ربكم عز وجل )
Dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari bapaknya radliyallaahu ‘anhu, ia berkata
: Telah bersabda Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam : “Janganlah kalian memanggil orang
munafiq dengan panggilan Sayyid (tuan). Karena sekalipun ia seorang tuan kalian
(dalam hal-hal urusan dunia), tapi kalian telah membuat marah Rabb kalian ‘azza
wa jalla” [HR. Al-Bukhari
dalam Al-Adabul-Mufrad no. 760, Abu Dawud no. 4977, dan
Ahmad 5/346-347; shahih].
Memberi Nama atau Memanggil
kepada Seseorang/Anak dengan Nama Allah Seperti Kariim, ‘Aziiz, Lathiif, dan yang
Semisal
Berikut penjelasan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah :
التسمي
بأسماء الله عز وجل يكون على وجهين الوجه الأول أن يحلى بال أو يقصد بالاسم ما دل
عليه من صفة ففي هذه الحال لا يسمى به غير الله كما لو سميت أحداً بالعزيز والسيد
والحكيم وما أشبه ذلك فإن هذا لا يسمى به غير الله لأن أل هذه تدل على لمح الأصل
وهو المعنى الذي تضمنه هذا الاسم وكذلك إذا قصد بالاسم وإن لم يكن محلا بال إذا
قصد بالاسم معنى الصفة فإنه لا يسمى به ولهذا غير النبي صلى الله وسلم كنية أبي
الحكم التي تكنى بها لأن أصحابه يتحاكمون إليه فقال النبي عليه الصلاة والسلام إن
الله هو الحكم وإليه الحكم ثم كناه بأكبر أبنائه شريح كناه بأبي شريح فدل ذلك على
أنه إذا تسمى أحد باسم من أسماء الله ملاحظا بذلك معنى الصفة التي تضمنها هذا
الاسم فإنه يمنع لأن هذه التسمية تكون مطابقة تماما لأسماء الله سبحانه وتعالى أما
الوجه الثاني فهو أن يتسمى باسم غير محلا بال ولا مقصود ولا مقصود به معنى الصفة
فهذا لا بأس به مثل الحكم وحكيم ومن أسماء بعض الصحابة حكيم بن حزام الذي قال له
النبي عليه الصلاة والسلام لا تبع ما ليس عندك وهذا دليل على إنه إذا لم يقصد
بالاسم معنى الصفة فإنه لا بأس به لكن في مثل جبار لا ينبغي أن يتسمى به وإن كان
لم يلاحظ الصفة وذلك لأنه قد يؤثر في نفس المسمى فيكون معه جبروت وعلو واستكبار
على الخلق فمثل هذه الأشياء التي قد تؤثر على صاحبها ينبغي للإنسان أن يتجنبها
والله أعلم.
“Memberi nama dengan nama Allah ‘azza wa jalla memiliki dua sisi :
Pertama, Penyebutan nama
dengan menggunakan huruf alif dan laam atau bertujuan dengan pemberian nama
itu untuk menunjukkan sifat yang terkandung dalam nama tersebut; maka yang
demikian tidak diperbolehkan diberikan kepada selain Allah. Seperti halnya
engkau memberikan nama kepada seseorang dengan nama Al-‘Aziiz, As-Sayyid, Al-Hakiim, dan yang
seruap dengan itu. Lasannya karena dengan adanya penambahan Alif dan Laam berarti menunjukkan kepada asal
dari makna yang terkandung dalam nama tersebut.
Begitu juga jika bertujuan untuk menunjukkan sifat,
walaupun tidak menggunakan alif
laam. Nama seperti ini tidak boleh diberikan kepada selain Allah. Oleh
karena itu Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengganti kunyah Abul-Hakam karena teman-temannya
selalu meminta putusan hukum kepadanya. Nabi ‘alaihish-shalaatu
was-salaam : “Sesungguhnya Allah adalah Al-Hakam
dan hanya Dia-lah yang berhak enetapkan hukum”. Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberinya kunyahdengan nama anaknya yang
paling besar yang bernama Syuraih. Ini menunjukkan apabila seseorang memiliki
nama dengan salah satu nama Allah yang mengandung makna sifat (sengaja
disesuaikan dengan sifat, pekerjaan, atau keadaan), maka hal itu dilarang oleh
syari’at. Sebab, dengan begitu ada kesan mencocok-cocokkan (berusaha
menyesuaikan) antara nama dengan penyandaran.
Kedua,
menamai dengan nama-nama Allah tanpa didahului oleh huruf alif dan laam, serta tidak bermaksud
menyesuaikan dengan makna sifat yang terkandung dalam nama tersebut. Hal ini
diperbolehkan seperti nama : Al-Hakam dan Hakiim. Di antara shahabat ada yang
benama Hakiim bin Hizaam, salah seorang shahabat yang Rasulullah ‘alaihish-shalaatu was-salaam pernah berkata kepadanya : “Janganlah engkau menjual sesuatu
yang bukan milikmu”. Hadits tersebut menunjukkan bolehnya memakai nama
tersebut selama penamaan itu tidak bermaksud untuk menetapkan makna sifat yang
terkadung di dalamnya. Tetapi, ada nama Allah lainnya yang tidak pantas untuk
dijadikan sebagai nama manusia seperti Jabbar,
meskipun tidak bermaksud untuk menetapkan makna sifat yang terkandung dalam
nama tersebut. Karena bisa jadi nama itu mempengaruhi diri orangnya sehingga
dirinya menjadi orang yang sombong, angkuh, dan takabbur terhadap orang lain.
Oleh karena itu, sepantasnya seorang muslim tidak memakai nama seperti ini. Wallaahu a’lam [Fataawaa Nuur ‘alad-Darb, juz
1].
Apa yang dijelaskan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
tentang kebolehan menggunakan nama Allah jika tanpa di awali alif dan laam dikuatkan oleh firman Allah ta’ala :
لَقَدْ
جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ
عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya telah datang
kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu,
sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan
(Rauf) lagi penyayang (Rahiim) terhadap orang-orang mukmin” [QS. At-Taubah : 128].
Pada ayat di atas Allah ta’ala telah menisbatkan sebagian
nama-Nya – sekaligus sifat-Nya – kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
yaitu Rauf dan Rahiim (dengan tanpa huruf alif dan laam).
Wallaahu ta’ala a’lam.
Selesai ditulis oleh Abul-Jauzaa’ di Ciomas Permai,
Rabi’uts-Tsaniy 1430 – dikumpulkan dari beberapa sumber (Ibnul-Qayyim, Bakr Abu
Zaid, Ahmad Al-‘Isawiy, Ibnu ‘Utsaimin, Salim Asy-Syibliy, Muhammad Khalifah
Ar-Rabbah, dll).
[2] Yaitu
setelah beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam mengunjungi
rumahnya atau memberikan giliran hari kepadanya.
من
صفة أهل الحق ممن ذكرنا من أهل العلم : الاستثناء في الإيمان ، لا على جهة الشك ،
نعوذ بالله من الشك في الإيمان ، ولكن خوف التزكية لأنفسهم من الاستكمال للإيمان ،
لا يدري أهو ممن يستحق حقيقة الإيمان أم لا ، وذلك أن أهل العلم من أهل الحق إذا
سئلوا : أمؤمن أنت ؟ قال : آمنت بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر والجنة والنار
، وأشباه هذا ، والناطق بهذا ، والمصدق به في قلبه مؤمن ، وإنما الاستثناء في
الإيمان لايدرى أهو ممن يستوجب مانعت الله عز وجل به المؤمنين من حقيقة الإيمان أم
لا؟ هذا طريق الصحابة رضي الله عنهم والتابعين لهم بإحسان ، عندهم أن الاستثناء في
الأعمال ، لا يكون في القول ، والتصديق بالقلب ؟ وإنما الاستثناء في الأعمال
الموجبة لحقيقة الإيمان ، والناس عندهم على الظاهر مؤمنون ، به يتوارثون ، وبه
يتناكحون ، وبه تجري أحكام ملة الإسلام
“Di
antara sifat Ahlul-Haq dari para ulama yang telah kami sebutkan adalah bahwa
dibolehkan pengecualian dalam iman tetapi bukan untuk keraguan, na’udzubillah.
Akan tetapi ber-istitsna’(pengecualian) dalam iman tidak lain adalah
untuk menghindari, jangan sampai mengaku dirinya sampai pada puncak
kesempurnaan iman, padahal belum tentu apakah ia sampai kepadanya atau belum.
Para ahli ilmu dari ahlul-haq manakala ditanya : ‘Mukminkah engkau ?’; mereka
akan menjawab : ‘Aku beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, para Rasul, hari akhir, surga, neraka dan sejenisnya’. Orang
yang meyakini ini dan meyakininya dengan hati, maka dia adalah mukmin.
Pengecualian dalam iman hanya boleh disampaikan manakala ia tidak mengetahui
apakah ia termasuk ke dalam golongan orang yang disifati Allah sebagai mukmin
yang memiliki hakikat iman yang sebenar-benarnya atau tidak. Ini adalah jalan
yang ditempuh shahabat radliyallaahu ‘anhum dan oleh tabi’in (yang mengikuti
mereka) dengan penuh kebaikan. Mereka berpendapat bahwa istitsna’ bukan
dalam ucapan dan keyakinan dalam hati, tetapi pada amal yang mengantarkan si
hamba kepada hakikat iman. Dan menurut mereka, orang itu pada lahirnya beriman,
dengannya mereka saling mewaris, dan dengannya mereka saling menikah, serta
dengannya berlaku-hukum-hukum Islam” [Asy-Syari’ah oleh
Al-Imam Al-Ajurry hal. 102].
[5] Beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam tidak
sengaja dan tidak mengetahui jika panggilan itu merupakan yang dibenci oleh
orang tersebut.
abul-jauzaa.blogspot.co.id
0 komentar:
Posting Komentar